
Di tengah warung kopi sederhana, tiga sahabat—Bayu, Dimas, dan Joko—membedah program makan bergizi gratis ala Konoha. Apa bener ini solusi? Atau cuma pencitraan yang dibungkus nasi dan formalitas?
Obrolan mereka dimulai dari mie instan di kotak makan anak sekolah... dan berakhir di keresahan rakyat yang cuma dijadiin angka di laporan.
Jakarta, selepas hujan. Jalanan masih basah, motor-motor berjejer di pinggir gang. Bau tanah bercampur asap kopi bikin udara malam jadi adem, meski kepala masih panas mikirin target kerjaan. Di pojok warung kopi langganan, di bawah papan kayu bertuliskan "WARKOP" yang udah mulai miring, tiga kursi plastik berjajar di meja kayu tua. Di sanalah Bayu, Dimas, dan Joko, tiga perantau yang udah lama nyangkruk di Jakarta, kembali berkumpul seperti biasa.
Bayu datang paling awal. Setelan kerjanya udah dilepas, tinggal kaos oblong dan celana bahan lusuh. Dia duduk sambil ngelamun, sesekali ngaduk kopi yang dari tadi belum diminum.
Bayu (ambil kopi, tatapan kosong): "Lo liat berita tadi pagi nggak? Makan bergizi gratis se-Konoha, katanya mulai jalan. Gila, 400 triliun, bro. Empat. Ratus. Triliun. Itu kalo dibelikan seblak, bisa banjir seblak dari Sabang sampe Merauke."
Beberapa detik kemudian, Joko dateng dengan langkah santai. Di tangannya, dua gorengan udah ludes sebelum duduk.
Joko (sambil ngunyah bakwan): "Buset, kalo 400 T itu diubah jadi gorengan, gua pensiun dini. Buka warteg, free flow tahu isi sampe kiamat."
Dimas datang paling akhir, seperti biasa. Tapi dia yang paling rapi. Kemeja masih masuk ke celana, rambut masih klimis. Duduknya pelan, seperti orang yang udah biasa denger dua temennya ribut duluan.
Dimas (tenang, sambil nyeruput pelan): "Sebenernya niatnya bagus sih. Gizi anak-anak Indonesia kan masih banyak yang kurang. Stunting juga masih tinggi. Tapi ya... pertanyaannya: udah siap belum? Infrastruktur siap? Data siap? Masak siap?"
Bayu (angkat alis): "Masak siap apanya? Nih gue udah ngitung, kalo 400 T dibagi buat makan se-Indonesia, itu sekitar 10 ribu per kepala per hari. Lah, nasi padang aja sekarang 25 ribu. Itu baru satu kali makan. Belum ayamnya, belum sayurnya, belum plastiknya."
Joko: "Belum upah abang-abangnya yang bagi-bagi makan. Belum sewa truk, belum solar, belum sopir. Kalo salah hitung dikit, yang dapet gizi malah cuma elit Konoha. Kita mah dapetnya nasi kering sama tempe dibalur bumbu penghematan."
Bayu: "Makanya gue bilang, ini bukan soal niat. Ini soal nalar. Negara kita tuh suka banget bikin proyek gede yang keliatan heroik, padahal implementasinya... ya gitu deh. Kayak pengen jadi Hokage tapi nggak lulus akademi ninja."
Dimas (nangguk pelan): "Gue ngeliatnya kayak ini: kayak lo pengen ngasih semua anak-anak sekolah iPad, padahal colokan aja di kelas cuma satu."
Joko (ketawa ngakak): "Atau kayak lo pengen buka startup unicorn, tapi modalnya cuma semangat dan pinjeman dari mertua."
Bayu: "Gue curiga ini bukan soal gizi, tapi soal gengsi. Biar headline-nya keren. 'Konoha Negara Dermawan, Semua Anak Makan Gratis.' Tapi realitanya? Petani yang nyuplai bahan makanan nggak dibayar tepat waktu. Dapur umum kerja lembur tapi anggarannya nyangkut di tengah."
Dimas: "Plus, bayangin deh, siapa yang bakal jadi vendor pengadaan makannya? Ada auditnya nggak? Siapa yang quality control? Jangan sampe makan bergizi tapi basi, terus disuruh syukur."
Joko: "Kalo udah gitu, bisa viral tuh. Anak SD keracunan makanan, terus jurus pamungkas dikeluarin: 'Itu hoaks. Udah diklarifikasi.'"
Bayu: "Hadeh... Gue nggak anti program sosial, ya. Tapi tolonglah, Konoha. Kalo mau bantu rakyat, bantu dengan data, logika, dan sistem. Bukan cuma slogan dan baliho di tiap gang."
Dimas: "Ya mungkin pemerintah kita emang kelebihan semangat ya. Cuma lupa, semangat doang nggak cukup. Harus ada rencana jangka panjang. Karena kalo nggak, nanti generasi depan bukan tumbuh sehat, tapi tumbuh skeptis."
Joko: "Ya kan mereka pikir, asal rakyat kenyang, nggak protes. Tapi lupa, rakyat sekarang kenyang info juga. Kita udah bukan rakyat zaman kerajaan yang cukup dikasih nasi uduk, terus diem."
Bayu: "Setuju. Sekarang rakyat bisa cek APBN di HP. Bisa bandingin harga ayam di pasar sama tender pemerintah. Bisa liat siapa yang ngurus makan bergizi, siapa yang ujung-ujungnya gizi dompetnya nambah."
Dimas: "Dan sayangnya, program kayak gini tuh gampang banget dijadikan ladang politik. Bisa jadi alat kampanye, bisa jadi alat pembungkam kritik. Padahal harusnya, jadi ruang partisipasi publik."
Joko: "Coba deh, misalnya ada versi partisipatif. Warga bisa kasih ide menu, bisa bantu masak. Gua sih daftar. Gua jago bikin telur dadar krispi."
Bayu: "Bener. Bayangin kalo dapur-dapur komunitas dikuatkan. Anggarannya transparan. Ada sistem feedback dari warga. Kan bisa tuh, makan bergizi tapi tetap rakyat punya suara."
Dimas: "Dan bisa sekaligus edukasi gizi juga. Jangan cuma kasih makan, tapi kasih pengetahuan soal makanan sehat. Karena sehat itu bukan cuma kenyang."
Joko: "Tapi ya, kayaknya pemerintah lebih percaya vendor besar daripada emak-emak jago masak di kampung. Padahal emak-emak itu ninja dapur. Nggak ada yang bisa ngalahin."
Bayu (ambil gorengan terakhir): "Akhirnya, kita balik lagi ke pertanyaan lama: siapa yang sebenernya dimakan dari semua program ini? Rakyat... atau..."
Joko (angkat tangan): "Gue tau jawabannya. Yang dimakan adalah... anggaran!"
(Tertawa bertiga)
Dimas (senyum, lihat jam): "Yuk, balik. Besok kita kerja lagi, cari nasi padang sendiri dulu, sebelum Konoha ngasih nasi bungkus bonus janji."
Bayu: "Dan semoga, suatu hari nanti, kita bisa makan bergizi tanpa harus ngeluhin sistem."
Joko: "Amin. Tapi sebelum itu, gua makan gorengan dulu. Ini gizi juga, kan? Gizi perasaan."
Tawa lagi. Malam makin larut. Tapi warkop tetap jadi tempat paling waras untuk mengkritik, bercanda, dan berharap.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
