
hai!!👋 ini lanjutan dari cerita sebelumnya yaa hope you like it Bab 4 - Bab 9..
~Bab 4~
Begitu bel sekolah berbunyi, Daniel langsung meraih tasnya tanpa peduli dengan guru yang masih di depan kelas.
"Dan, gas ke basecamp. Stefan mau ngomong sesuatu," kata Rio sambil menepuk bahunya.
Daniel hanya mengangguk malas, lalu berjalan keluar bersama Rio. Mereka melewati lorong sekolah yang mulai sepi, lalu keluar lewat gerbang belakang—jalan yang sering mereka gunakan untuk kabur.
Di parkiran kecil dekat gang belakang sekolah, sebuah motor sudah menunggu. Salah satu anggota geng mereka, Denny, duduk di atasnya sambil merokok. "Cepetan naik, Dan. Stefan udah nungguin," katanya.
Tanpa banyak bicara, Daniel naik ke boncengan, sementara Rio menaiki motornya sendiri. Dalam hitungan detik, mereka melaju ke basecamp geng NO MERCY.
Basecamp mereka adalah sebuah gudang tua di pinggiran kota, tempat yang jauh dari perhatian polisi maupun warga sekitar. Di dalamnya, beberapa anak buah Stefan sudah berkumpul, ada yang sedang mengobrol, ada yang sibuk bermain kartu, dan ada juga yang sekadar merokok sambil menunggu perintah.
Begitu Daniel dan Rio masuk, suara-suara itu langsung mereda. Semua orang di sana tahu, Daniel bukan anak buah biasa. Meskipun baru bergabung beberapa tahun lalu, kemampuannya dalam bertarung membuatnya dihormati.
Di tengah ruangan, duduklah Stefan—pria berusia sekitar akhir dua puluhan, dengan wajah penuh bekas luka dan tatapan tajam yang selalu membuat siapa pun segan.
"Daniel," panggil Stefan dengan suara beratnya.
Daniel berjalan mendekat, duduk di salah satu kursi kayu yang ada di depan Stefan. "Ada apa?" tanyanya santai, meski dia tahu Stefan tidak pernah memanggilnya tanpa alasan penting.
Stefan mengisap rokoknya dalam-dalam sebelum menjawab, "Gue punya pekerjaan buat lo."
Daniel diam, menunggu.
"Lo tahu, kan, gue yang bayarin sekolah lo?" Stefan menatapnya tajam. "Gue nggak pernah minta balasan, tapi kali ini gue butuh lo buat sesuatu."
Daniel menggertakkan rahangnya. Dia benci mengingat kenyataan itu. Jika bukan karena ibunya yang masih dirawat di rumah sakit dan biaya sekolah yang membebaninya, dia tidak akan pernah terikat dengan orang seperti Stefan.
"Apa?" tanya Daniel akhirnya.
Stefan melempar sebuah amplop ke meja. "Ada orang yang berani main belakang sama kita. Gue butuh lo buat kasih dia pelajaran."
Daniel mengambil amplop itu, membukanya. Di dalamnya ada foto seorang pria, tampaknya masih remaja, mungkin dari sekolah lain.
"Siapa dia?" tanya Daniel, matanya masih fokus pada foto.
"Anak baru yang sok-sokan jadi informan polisi. Dia ngelaporin beberapa bisnis kecil kita," jawab Stefan dengan nada penuh kebencian. "Gue nggak mau dia mati, tapi gue mau dia cukup kapok buat nggak buka mulut lagi."
Daniel terdiam, menatap foto itu lama.
Baginya, menghajar orang bukanlah hal baru. Dia sudah melakukannya berkali-kali. Tapi kali ini, sesuatu terasa berbeda.
Dia menarik napas panjang. Jika dia menolak, Stefan mungkin akan menghentikan bantuannya—dan itu berarti ibunya akan terlantar tanpa biaya rumah sakit.
Namun, jika dia menerima, dia akan semakin dalam terjebak dalam dunia ini.
"Lo bisa kan, Dan?" tanya Rio, yang sedari tadi memperhatikan.
Daniel menggenggam foto itu erat. "Kapan dan di mana?" tanyanya akhirnya.
Stefan tersenyum puas. "Bagus. Malam ini. Lokasi akan gue kasih tahu nanti."
Daniel tidak menjawab. Dia hanya mengangguk kecil, lalu menyandarkan punggungnya di kursi.
Di dalam kepalanya, pikirannya berantakan.
Dia tahu, cepat atau lambat, dia harus memilih jalan hidupnya sendiri.
Tapi untuk sekarang, dia tidak punya pilihan selain terus berjalan dalam kegelapan ini.
Malam itu, di kamar yang penuh dengan buku pelajaran dan catatan ujian, Naya tengah sibuk membaca ketika ponselnya tiba-tiba bergetar.
Wali Kelas.
Naya mengernyit. Jarang sekali wali kelasnya menelepon di luar jam sekolah. Tanpa ragu, ia segera mengangkatnya.
"Halo, Bu?"
"Halo, Naya. Maaf mengganggu malam-malam," suara wali kelas terdengar lembut, tapi ada nada serius di dalamnya.
"Tidak apa-apa, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"
"Ini soal kerja kelompok yang kamu atur tadi. Bagaimana pembagian kelompoknya? Semua berjalan lancar?"
Naya menegakkan duduknya, lalu menjawab, "Sejauh ini, semuanya baik, Bu. Tapi… Daniel menolak ikut."
Hening sejenak di seberang telepon.
"Dia menolak?" suara wali kelas terdengar lebih berat.
Naya mengangguk, meskipun wali kelasnya tidak bisa melihat. "Dia bilang tidak tertarik dan tidak mau ikut. Seperti biasa, dia nggak peduli dengan sekolah atau nilai."
Wali kelas menghela napas. "Saya sudah menduga. Tapi Naya, jujur, saya sedikit khawatir dengan Daniel."
Naya mengernyit. "Khawatir bagaimana, Bu?"
"Apa kamu tahu tentang latar belakangnya?"
Naya terdiam. Jujur, dia tidak pernah benar-benar peduli dengan kehidupan Daniel di luar sekolah. Yang dia tahu, Daniel adalah siswa pembuat onar yang sering bolos dan bermasalah. Tapi jika wali kelas sampai membahasnya dengan nada seperti ini…
"Sejujurnya, tidak terlalu, Bu," jawab Naya akhirnya.
Wali kelas terdengar ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Ayahnya meninggalkan keluarganya beberapa tahun lalu dan meninggalkan utang yang besar. Ibunya sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. Daniel… sebenarnya anak yang pintar, tapi dia kehilangan arah."
Naya terdiam. Dia tidak pernah mendengar cerita ini sebelumnya.
"Selama ini dia dibiayai oleh seseorang. Saya tidak tahu siapa, tapi yang jelas, itu bukan dari keluarganya. Saya takut dia terlibat dalam sesuatu yang berbahaya."
Naya menggigit bibirnya. Ini… bukan sesuatu yang pernah ia pikirkan. Selama ini, dia hanya melihat Daniel sebagai pembuat masalah, tanpa pernah mencoba memahami apa yang ada di balik semua itu.
"Naya," suara wali kelasnya kembali terdengar, lebih lembut. "Saya tidak ingin kamu terlibat terlalu jauh, tapi kalau ada kesempatan, tolong coba buat dia peduli pada sekolahnya lagi."
Naya terkejut. "Saya?"
"Saya tahu kamu mungkin bukan orang yang paling dekat dengannya, tapi kamu cukup berani untuk menghadapinya. Daniel mungkin menolak, tapi kalau ada seseorang yang bisa membuatnya berpikir ulang, saya rasa itu kamu."
Naya terdiam.
Membantu Daniel? Anak yang selalu membuatnya kesal? Yang selalu berbuat sesuka hati dan tidak peduli pada siapa pun?
Tapi… jika yang dikatakan wali kelasnya benar, maka ada lebih banyak hal di balik sikap cueknya selama ini.
Setelah beberapa saat hening, Naya akhirnya menjawab pelan, "Saya tidak tahu apakah saya bisa, Bu. Tapi… saya akan coba."
Wali kelas tersenyum dari seberang telepon. "Terima kasih, Naya. Itu saja yang saya harapkan."
Setelah menutup telepon, Naya duduk termenung.
Daniel… siapa sebenarnya dia?
Dan kenapa, untuk pertama kalinya, dia merasa ingin tahu lebih banyak?
~Bab 5~
Malam itu, setelah menutup telepon dari wali kelas, Naya menatap layar ponselnya dengan ragu.
Di kontaknya, ada satu nama yang bahkan dia sendiri tidak pernah menyangka akan mencarinya—Daniel.
Jari-jarinya melayang di atas tombol panggil.
Kenapa gue harus peduli? pikirnya dalam hati.
Daniel bukan urusannya. Daniel tidak mau belajar, bukan masalahnya. Dia sudah cukup dengan hidupnya sendiri, dengan caranya sendiri.
Namun, di sudut hatinya yang paling dalam, ada sesuatu yang mengusiknya.
Mungkin karena kata-kata wali kelas tadi.
Atau mungkin karena… dia tahu rasanya kehilangan seseorang dan tidak punya siapa-siapa.
Bella…
Kenangan itu datang tanpa diundang.
Dulu, dia dan Bella adalah dua sahabat yang tidak terpisahkan. Mereka belajar bersama, berbagi cerita, bahkan bercita-cita masuk ke sekolah yang sama saat SMA.
Tapi semua berubah saat pengumuman peringkat akhir tahun di SMP.
Naya yang selama ini selalu berada di posisi kedua, akhirnya berhasil naik menjadi peringkat pertama.
Bella, yang selalu juara, turun ke posisi kedua.
Awalnya, Naya pikir itu bukan masalah besar. Mereka tetap bisa bersama, tetap bisa berbagi keberhasilan.
Tapi Bella tidak melihatnya begitu.
Senyumnya menghilang. Kata-katanya mulai dingin. Hingga suatu hari, Bella berkata dengan nada penuh kebencian, "Lo cuma menang karena hoki, Naya. Jangan sok pintar."
Setelah itu, Bella mulai menjauhinya. Bukan hanya itu, dia juga menyebarkan gosip buruk tentang Naya, membuat teman-teman mereka ikut menjauhinya.
Naya dikhianati oleh satu-satunya orang yang dia percaya.
Sejak saat itu, dia memilih untuk tidak terlalu peduli dengan orang lain. Dia tidak butuh teman. Dia hanya butuh dirinya sendiri.
Namun sekarang… kenapa dia malah ingin mencoba peduli lagi?
Naya menghela napas panjang. Lalu tanpa berpikir lebih lama lagi, dia menekan tombol panggil.
Tuut… tuut… tuut…
Suaranya berdering di telinga, dan jujur saja, dia tidak yakin Daniel akan mengangkatnya.
Tapi setelah beberapa detik, suara berat dan malas itu akhirnya terdengar.
"Siapa?"
Naya menghela napas. "Gue."
Daniel terdengar menguap di seberang sana. "Gue siapa?"
Naya mencengkram ponselnya, menahan kesal. "Naya."
Hening sebentar. Lalu suara Daniel terdengar lagi, kali ini dengan nada lebih santai.
"Hah? Lo nelpon gue? Wow. Dunia mau kiamat ya?"
Naya menggertakkan giginya. "Gue nggak ada waktu buat bercanda, Daniel."
Daniel tertawa kecil. "Terus, buat apa? Lo mau ceramahin gue lagi soal belajar kelompok?"
Naya menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan emosinya.
"Gue cuma mau bilang, lo bisa sok cuek, lo bisa bilang nggak peduli. Tapi lo nggak sebodoh yang lo tunjukin ke orang-orang," katanya tajam.
Daniel tidak langsung menjawab.
Naya melanjutkan, "Gue nggak tahu lo punya masalah apa. Dan gue nggak peduli kalau lo nggak mau cerita. Tapi lo nggak harus ngancurin hidup lo sendiri, Dan."
Lagi-lagi, hening.
Setelah beberapa saat, Daniel akhirnya berbicara, suaranya terdengar lebih serius daripada biasanya.
"Gue nggak minta lo peduli, Nay."
Naya terdiam.
Daniel tertawa kecil lagi, tapi kali ini terdengar lebih pelan. "Lo nggak perlu buang waktu lo buat orang kayak gue."
Lalu, tanpa menunggu jawaban, panggilannya terputus.
Naya menatap layar ponselnya yang kini menunjukkan tulisan Call Ended.
Entah kenapa, ada sesuatu dalam suara Daniel tadi yang terasa… berbeda.
Dan untuk alasan yang bahkan tidak bisa ia jelaskan sendiri, Naya merasa ini belum selesai.
Malam itu, setelah menutup telepon dari Naya, Daniel berdiri dari tempat tidurnya, meraih jaket hitamnya, lalu keluar dari rumah tanpa suara.
Di luar, motor Rio dan beberapa anggota NO MERCY lainnya sudah menunggu.
"Udah siap?" tanya Rio sambil menyerahkan helm.
Daniel hanya mengangguk, lalu naik ke motor. Tanpa banyak bicara, mereka langsung melaju ke lokasi yang sudah ditentukan Stefan.
Malam yang panjang akan segera dimulai.
Mereka tiba di sebuah lahan kosong di belakang gedung tua yang sudah lama terbengkalai. Lampu jalan remang-remang, memberikan suasana yang cukup untuk menyembunyikan apa pun yang terjadi di sana.
Di tengah lahan itu, seorang remaja dengan wajah ketakutan berdiri dikelilingi tiga anggota NO MERCY lainnya.
"Jadi ini orangnya?" tanya Daniel, suaranya dingin.
Salah satu anak buah Stefan mengangguk. "Iya. Anak ini informan polisi. Udah sok-sokan mau ngelaporin bisnis kita."
Daniel menatap remaja itu. Dari wajahnya yang pucat, jelas dia ketakutan.
"T-tolong... gue nggak bakal ngomong lagi... sumpah..." suaranya gemetar.
Daniel hanya mendengus. "Terlambat buat minta maaf."
Tanpa peringatan, salah satu anak buah Stefan menghantam perut bocah itu, membuatnya terjatuh ke tanah sambil mengerang kesakitan.
Daniel tetap diam. Bagian dalam dirinya sebenarnya enggan melakukan ini. Tapi dia tahu, di dunia ini, menunjukkan kelemahan berarti memberi kesempatan orang lain untuk menjatuhkanmu.
"Lo nggak bakal ngadu lagi, kan?" tanya salah satu anggota dengan nada mengejek.
Remaja itu menggeleng cepat, tapi rupanya itu tidak cukup.
Salah satu anak buah Stefan mengangkatnya lagi, siap melayangkan pukulan berikutnya.
Namun sebelum itu terjadi, bocah itu tiba-tiba melawan.
Dengan gerakan cepat, dia mengayunkan tinjunya ke wajah Daniel.
BUGH!
Pukulan itu mendarat tepat di pipinya.
Rio dan yang lain langsung tersentak kaget.
Daniel terdiam sesaat. Matanya terbelalak sebelum akhirnya tatapan itu berubah gelap. Rahangnya mengencang.
Lalu, dia tertawa.
"Ternyata lo punya nyali juga..." gumamnya sambil menyeka darah di sudut bibirnya.
Rio menatapnya. "Dan, lo nggak apa-apa?"
Daniel tidak menjawab. Sebaliknya, dia berjalan mendekati bocah itu yang masih gemetaran.
"Lawan gue kalau lo berani," kata Daniel pelan.
Remaja itu menelan ludah.
Daniel tidak memberinya kesempatan untuk berpikir. Dalam hitungan detik, dia langsung mengayunkan tinjunya ke perut bocah itu.
DUG!
Remaja itu terhuyung ke belakang, terbatuk, tapi Daniel tidak berhenti di situ.
Dia mencengkram kerah bajunya, menariknya ke depan, lalu menghantamkan lututnya ke perut bocah itu lagi.
BUGH!
Bocah itu jatuh ke tanah, meringkuk sambil memegangi perutnya.
Daniel menatapnya dari atas. "Gue nggak suka orang yang sok kuat, tapi akhirnya nyerah juga," katanya dingin.
Rio mendekat, menepuk bahunya. "Udah cukup, Dan. Stefan cuma mau dia kapok, bukan mati."
Daniel masih menatap bocah itu sebentar, lalu mendecak pelan. "Sialan, lo nyusahin gue malam ini."
Dia berbalik, lalu berjalan meninggalkan bocah itu yang masih terengah-engah kesakitan.
Salah satu anggota geng menendang tanah di dekat bocah itu. "Anggap ini peringatan. Sekali lo buka mulut lagi, lo nggak bakal seberuntung ini."
Tanpa menoleh lagi, Daniel dan gengnya kembali ke motor mereka.
Saat mesin motor menyala, Daniel menyentuh bibirnya yang masih berdarah.
Dan entah kenapa, dalam pikirannya, dia tiba-tiba teringat suara Naya di telepon tadi.
"Lo nggak harus ngancurin hidup lo sendiri, Dan."
Daniel mengerutkan kening.
"Sial," gumamnya.
Dia membenci kenyataan bahwa kata-kata Naya barusan seakan terus terngiang di kepalanya.
~Bab 6~
Malam itu, setelah meninggalkan geng NO MERCY, Daniel langsung menuju rumah sakit. Motor yang dikendarainya melaju pelan, pikirannya penuh dengan kejadian barusan.
Saat tiba di rumah sakit, dia menarik napas dalam-dalam sebelum masuk ke kamar ibunya.
Di dalam, ibunya masih tertidur. Selang infus menempel di lengannya, wajahnya tampak lebih pucat dari terakhir kali Daniel melihatnya.
Daniel duduk di kursi di samping tempat tidur, menatap ibunya dengan ekspresi yang jarang sekali muncul di wajahnya—sedih.
Ia menggenggam tangan ibunya yang lemah, mencoba menahan perasaan yang bergemuruh dalam dadanya.
Kalau saja hidup gue nggak hancur kayak gini... Kalau saja Ayah nggak pergi... Kalau saja gue bisa nyelametin Ibu dari semua ini...
Saat pikirannya dipenuhi rasa bersalah, tiba-tiba ibunya bergerak pelan.
"Daniel...?"
Daniel langsung menegakkan tubuhnya. "Ibu, udah bangun?"
Ibunya tersenyum lemah. "Kamu datang lagi..."
Daniel mengangguk, berusaha menyembunyikan luka di wajahnya dengan menunduk. "Iya, Bu. Kayak biasa."
Namun, ibunya menatapnya lebih lama, lalu matanya menyipit curiga.
"Tunggu... wajah kamu... Kenapa bonyok gitu?"
Daniel mengerjapkan mata, reflek menyentuh sudut bibirnya yang masih bengkak.
"Sial," gumamnya pelan.
Ibunya langsung melotot. "Daniel, jangan bilang kamu—"
"Nggak ada apa-apa, Bu," potong Daniel cepat, mencoba tersenyum meskipun jelas itu bukan senyum yang meyakinkan. "Aku cuma... jatuh dari motor."
Ibunya menatapnya tajam, seakan tidak percaya.
"Jatuh dari motor?" ulangnya dengan nada skeptis.
Daniel mengangguk cepat. "Iya. Nggak sengaja. Jalanan licin."
Ibunya mendesah pelan. "Daniel... Kamu pikir Ibu nggak kenal anak sendiri?"
Daniel terdiam.
"Setiap kali kamu datang ke sini dengan luka baru, kamu selalu kasih alasan yang sama. Jatuh dari motor, terpeleset, kejedot pintu..." Ibunya menghela napas. "Tapi Ibu tahu, Daniel. Kamu berkelahi lagi, kan?"
Daniel terdiam sesaat sebelum akhirnya mengusap wajahnya dengan kasar.
"Ibu... aku nggak ada pilihan lain."
"Tidak ada pilihan lain?" Ibunya menggeleng lemah. "Daniel, kamu pikir Ibu nggak tahu apa yang kamu lakukan di luar sana? Kamu pikir Ibu nggak tahu soal Stefan dan geng itu?"
Daniel langsung menatap ibunya dengan kaget.
"Ibu..."
"Aku ibumu, Daniel," katanya lirih. "Walaupun kamu nggak cerita, Ibu selalu tahu."
Daniel mengepalkan tangannya di atas pahanya. "Gue cuma mau bantu Ibu. Bantu biaya rumah sakit ini. Kalau gue nggak ada di geng itu, kita nggak punya uang sama sekali."
Ibunya menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—antara kecewa dan sedih.
"Kamu pikir Ibu mau kamu hidup seperti ini?" suaranya bergetar. "Bertarung, dipukuli, membahayakan diri sendiri... demi uang?"
Daniel mengalihkan pandangannya, tidak sanggup menatap ibunya lebih lama.
"Aku nggak punya pilihan lain..." ulangnya, kali ini lebih pelan.
Ibunya mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Daniel dengan lemah.
"Kamu selalu punya pilihan, Nak..." katanya lembut. "Kamu cuma belum melihatnya."
Daniel menelan ludah. Kata-kata ibunya seharusnya terdengar klise. Seharusnya dia bisa mengabaikannya seperti biasa.
Tapi malam itu... entah kenapa, kata-kata itu terasa menusuk lebih dalam.
Setelah beberapa saat hening, ibunya tersenyum kecil, meski wajahnya masih penuh kekhawatiran.
"Ayo, duduk lebih dekat. Ceritakan sesuatu yang lebih baik," pintanya. "Jangan hanya membuat Ibu khawatir."
Daniel menghela napas, lalu tersenyum kecil meskipun wajahnya masih penuh luka.
"Oke... ibu tahu nggak, tadi ada cewek sok pinter nelpon gue..."
Ibunya tertawa kecil, meski masih dengan suara lemah. "Cewek?"
Daniel hanya mendengus, lalu mulai bercerita.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia merasa... sedikit lebih tenang.
Pagi itu, suasana kelas masih ramai seperti biasa. Para siswa sibuk mengobrol, beberapa masih setengah sadar karena mengantuk, dan ada yang sibuk mencatat PR dadakan.
Naya baru saja duduk, membuka buku catatannya, ketika tiba-tiba suara langkah berat menghampiri mejanya.
BRAK!
Tas seseorang dilempar ke meja di sebelahnya.
Naya mendongak, dan matanya langsung melebar.
Daniel.
Dengan wajah bonyok dan luka di sudut bibirnya, dia menatap Naya dengan ekspresi datar.
"Belajar bareng, kan?" katanya santai.
Naya masih diam, otaknya mencoba memproses apa yang baru saja terjadi.
Sebelumnya, dia sudah siap menghadapi penolakan dari Daniel. Sudah pasrah kalau cowok itu bakal terus menghindari kelompok belajar.
Tapi sekarang?
Cowok yang selalu sok cuek ini... tiba-tiba setuju?
"Bentar..." Naya menyipitkan mata curiga. "Lo lagi ngelawak?"
Daniel menghela napas panjang. "Gue serius, Nay. Lo ngajak gue belajar, kan? Ya udah, gue mau."
Naya masih menatapnya dengan penuh kecurigaan.
Dia tahu Daniel bukan tipe orang yang gampang berubah pikiran. Dan lebih dari itu...
"Lo kenapa bonyok?" tanya Naya akhirnya.
Daniel hanya mengangkat bahu. "Jatuh dari motor."
Naya mendengus. "Bullshit."
Daniel terkekeh. "Percaya aja, deh."
Naya menyilangkan tangan, masih belum puas dengan jawaban itu. Tapi entah kenapa, dia merasa ini bukan saat yang tepat untuk mendesak.
"Oke, terserah," katanya akhirnya. "Tapi kalau lo mau belajar bareng gue, jangan bikin ribet."
Daniel menyeringai kecil. "Gue? Ribet? Lo lupa siapa yang ngelempar bangku ke luar kelas kemarin?"
Naya menatapnya tajam. "Justru itu. Gue masih nggak percaya lo bisa diem belajar lebih dari lima menit."
Daniel hanya mengangkat bahu. "Kalau gurunya lo, mungkin gue bakal tahan lebih lama."
Mata Naya menyipit. "Lo ngejek?"
Daniel tertawa kecil. "Nggak. Gue cuma ngasih lo kesempatan buat buktiin."
Naya menghela napas panjang. "Oke. Kita lihat aja nanti."
Saat itu juga, bel masuk berbunyi.
Daniel duduk di kursinya, melempar pandangan sekilas ke Naya sebelum menatap ke depan.
Naya sendiri masih memikirkan satu hal.
Daniel berubah.
Atau mungkin... sesuatu sedang terjadi dalam hidupnya.
Dan untuk alasan yang tidak bisa dia jelaskan, dia ingin tahu lebih banyak.
~Bab 7~
Pukul tiga sore.
Naya sudah duduk di salah satu meja perpustakaan dekat kafe, menunggu. Buku-buku sudah terbuka di hadapannya, catatan juga sudah siap. Tapi satu hal yang kurang…
Daniel.
Gadis itu mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, sesekali melirik layar HP-nya. Tidak ada chat, tidak ada tanda-tanda dia akan datang.
Sialan. Jangan bilang dia kabur.
Naya mendesah panjang. Seharusnya dia sudah menduga ini.
Lima menit.
Sepuluh menit.
Dua puluh menit.
Naya semakin kesal. Dia meraih HP-nya, mengetik cepat.
Naya: Daniel, lo di mana?
Tidak ada balasan.
"Argh, cowok ini emang nggak bisa dipercaya!" gerutunya pelan.
Baru saja dia akan merapikan bukunya, suara langkah berat terdengar mendekat.
BRAK!
Seseorang menjatuhkan tas di kursi seberangnya.
Daniel.
Dengan jaket hitamnya, rambut yang sedikit berantakan, dan ekspresi santai seolah tidak terlambat hampir setengah jam.
Naya melotot. "Lo tau jam berapa ini?"
Daniel duduk dengan santai, meregangkan bahunya. "Tadi macet."
Naya menyipitkan mata. "Lo naik motor."
Daniel mengangkat bahu. "Macet di kepala gue."
Naya hampir melemparkan penghapus ke arahnya.
"Terserah!" katanya kesal. "Yang penting lo dateng. Ayo mulai."
Daniel menguap kecil, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Ngapain sih gue harus belajar?"
Naya mendelik. "Karena kalau lo nggak belajar, lo bakal tetap bodoh."
Daniel terkekeh. "Kasarnya langsung keluar, ya?"
"Realistis aja," jawab Naya datar. "Gue nggak ngerti kenapa lo tiba-tiba setuju ikut belajar, tapi kalau lo udah janji, jangan main-main."
Daniel terdiam sesaat.
Dia sendiri nggak tahu kenapa dia beneran datang hari ini.
Mungkin karena tatapan ibunya tadi malam masih terngiang di kepalanya.
Atau mungkin… karena Naya satu-satunya orang yang benar-benar repot buat ngurusin dia, meskipun mereka nggak dekat.
Daniel mendesah, lalu menarik buku yang ada di meja. "Oke, guru. Ajarin gue."
Naya meliriknya skeptis. "Lo yakin nggak bakal kabur?"
Daniel menatapnya dengan seringai. "Kalau lo bisa bikin belajar ini menarik, gue janji bakal diem."
Naya mengerang frustrasi. "Tuhan, cobaan apa ini?"
Tapi dia tetap membuka catatannya dan mulai menjelaskan.
Satu jam.
Dua jam.
Daniel memang sering menguap, sesekali bermain pulpen, bahkan sempat hampir ketiduran.
Tapi… dia tidak kabur.
Dan entah kenapa, di tengah sesi belajar itu, Naya menyadari sesuatu.
Mungkin, Daniel nggak separah yang dia kira.
Dan mungkin… dia juga nggak seburuk itu untuk diajak berteman.
Daniel menghela napas panjang, memasukkan tangan ke saku jaketnya saat mereka berjalan keluar dari kafe. Langit sudah mulai gelap, lampu-lampu jalan mulai menyala, dan udara dingin perlahan menyelimuti kota.
Naya berjalan di sampingnya dengan ekspresi puas, sementara Daniel justru kelihatan setengah hidup.
"Lagi?" keluhnya dengan suara malas. "Serius, Nay? Baru juga kelar, udah ngajakin belajar lagi?"
Naya mendelik. "Yakali sekali belajar langsung masuk ke otak. Lo pikir lo jenius?"
Daniel menyeringai. "Mungkin aja, kan?"
Naya mendengus. "Jenius apaan, nulis nama sendiri aja lo masih typo."
Daniel tertawa pendek. "Heh, gue nggak separah itu juga, kali."
Naya menyilangkan tangan. "Gue ini peringkat satu, Daniel. Gue tau gimana belajar yang bener."
Daniel menaikkan sebelah alis. "Terus?"
"Sedangkan lo kan…"
Naya sengaja menggantungkan kalimatnya, menatap Daniel dengan ekspresi menyebalkan.
Daniel mengerjapkan mata. "Gue kan apa?"
Naya mengangkat bahu santai. "Ah, sudahlah. Lo pasti udah tau sendiri."
Daniel mendengus. "Lo mau bilang gue bego, ya?"
"Ya, lo yang ngomong sendiri," balas Naya cepat.
Daniel menatapnya tajam, tapi Naya hanya terkekeh.
"Lagian, gue nggak seburuk itu," Daniel melanjutkan. "Gue cuma males aja."
Naya menghela napas panjang, lalu berhenti di depan halte tempat mereka harus berpisah.
"Oke, kalau gitu gue tantang lo."
Daniel menyipitkan mata. "Tantangan apaan?"
Naya menyeringai. "Dari sekarang sampai ujian nanti, kalau lo bisa naik peringkat minimal lima tingkat di kelas, gue bakal traktir lo apa aja yang lo mau."
Daniel terdiam sejenak, lalu melipat tangan di dadanya. "Traktir apa aja?"
"Selama masih masuk akal, ya," tambah Naya cepat. "Gue bukan orang kaya."
Daniel berpikir sejenak, lalu tersenyum miring. "Oke, deal. Tapi kalau gue nggak naik peringkat… lo yang gue tantang."
Naya mengangkat alis. "Oh? Tantangan apa?"
Daniel menyeringai jahil. "Nanti gue pikirin."
Naya menatapnya curiga. "Gue nggak suka suara lo barusan. Kedengeran jahat."
Daniel terkekeh. "Santai aja. Gue nggak bakal bikin lo lompat dari gedung, kok."
Naya menggeleng pasrah. "Ya udah. Kita lihat aja nanti."
Bus Naya tiba, dan dia melangkah masuk, melirik Daniel yang masih berdiri di luar.
Saat pintu bus tertutup dan kendaraan mulai melaju, Naya tanpa sadar tersenyum kecil.
Siapa sangka, orang paling malas di kelas sekarang punya tantangan untuk belajar?
Menarik.
Saat keluar dari bus, Naya mengeratkan genggamannya di tali tasnya. Malam semakin larut, jalanan mulai sepi, hanya ada beberapa orang berlalu lalang. Udara dingin membuatnya sedikit menggigil, tapi bukan itu yang membuatnya gelisah.
Perasaan tidak nyaman itu masih ada.
Sejak turun dari bus tadi, dia merasa ada seseorang yang mengikutinya.
Langkah di belakangnya terdengar samar, tapi setiap kali dia mempercepat langkahnya, suara itu juga ikut menyesuaikan ritmenya.
Naya mencoba menoleh sekilas, tapi tidak melihat siapa pun yang mencurigakan. Hanya ada beberapa orang yang berjalan santai, terlihat seperti warga biasa.
Mungkin gue cuma paranoid.
Menghela napas, Naya akhirnya melangkah masuk ke toko buku langganannya. Begitu bel kecil di pintu berdenting, aroma khas buku lama langsung menyambutnya, sedikit menenangkan pikirannya.
"Paman, malam!" sapanya sambil melangkah ke meja kasir.
Paman Jo, pemilik toko, tersenyum ramah. "Oh, Naya. Tumben malam-malam ke sini?"
Naya tersenyum tipis, tapi masih merasa gelisah. "Iya, sekalian mampir. Tapi… Paman, tadi aku ngerasa kayak ada yang ngikutin."
Paman Jo langsung menghentikan kegiatannya. "Ngikutin?"
Naya mengangguk, mencoba berbicara dengan nada biasa seolah tidak terlalu khawatir. "Nggak tau sih, mungkin cuma perasaan aku aja. Tapi rasanya nggak enak."
Paman Jo menatapnya serius, lalu melihat ke luar jendela. Jalanan memang sudah sepi, tapi siapa pun bisa bersembunyi di sudut gelap.
"Kalau gitu, biar Paman antar kamu pulang," katanya tegas.
Naya menghembuskan napas lega. "Boleh banget, Paman."
Setelah mengambil buku yang ingin dibelinya, Naya menunggu sebentar di dalam toko sementara Paman Jo merapikan barang-barangnya.
Tapi sebelum mereka keluar…
DENTING!
Bel pintu toko berbunyi.
Seseorang masuk.
Naya refleks menoleh.
Seorang pria bertopi hitam, dengan hoodie yang ditarik rendah menutupi sebagian wajahnya, berdiri di ambang pintu.
Mata Naya menegang.
Bukan karena dia mengenal pria itu, tapi karena perasaan mengancam langsung menyelimutinya.
Seolah… ini orang yang tadi mengikutinya.
Paman Jo yang menyadari keanehan itu langsung bergerak, berdiri sedikit di depan Naya. "Mau cari buku apa, Nak?" tanyanya ramah, tapi nada suaranya tegas.
Pria itu menatap ke arah Naya.
Detik itu juga, Naya yakin dia dalam bahaya.
Sial. Ini bukan cuma perasaan gue.
Paman Jo menepuk bahu Naya dengan lembut, lalu berbisik, "Jangan panik. Ikuti Paman ke belakang."
Naya menelan ludah dan mengangguk. Dengan perlahan, dia mundur selangkah demi selangkah menuju pintu belakang toko, sementara Paman Jo tetap di tempat, mencoba mengalihkan perhatian pria itu.
Tapi pria itu tidak bodoh.
Dia langsung bergerak.
Dan sebelum Naya bisa bereaksi, pria itu merogoh saku jaketnya.
Kilatan besi terlihat di bawah cahaya lampu toko.
Pisau.
Jantung Naya berdegup kencang.
Pria itu baru saja melangkah maju ketika—
DRET! DRET!
Bel pintu toko kembali berdenting keras.
Seseorang masuk dengan langkah cepat.
"Nay!"
Suara berat itu terdengar familiar.
Naya menoleh.
Daniel.
Mata cowok itu langsung tertuju pada pria berhoodie yang sedang mencengkram pisau.
Sekali lihat, Daniel langsung tahu ini bukan situasi biasa.
Dan tatapan di wajahnya berubah.
Dingin.
Mematikan.
Tanpa pikir panjang, Daniel melangkah maju. "Gue saranin lo pergi sekarang."
Pria itu menatap Daniel, lalu melirik Naya yang berdiri di belakang Paman Jo.
Daniel melihat itu.
Dia tidak suka caranya pria itu menatap Naya.
"Lo nggak denger, ya?" suara Daniel semakin rendah, berbahaya. "Gue bilang, pergi."
Tapi pria itu malah tersenyum kecil.
Lalu bergerak.
Secepat kilat, dia menyerang.
Pisau terayun—
Tapi Daniel sudah lebih dulu bereaksi.
Tangannya terangkat, menepis serangan itu dengan gerakan cekatan, lalu dengan satu hentakan, dia mendorong pria itu ke rak buku di belakangnya.
BRAK!
Rak itu bergetar keras, buku-buku berjatuhan.
Pria itu berusaha bangkit, tapi Daniel tidak memberinya kesempatan.
Sebuah pukulan telak mendarat di wajah pria itu, membuatnya terhuyung mundur.
Naya yang melihat itu hanya bisa membeku di tempat.
Dia tahu Daniel bisa berkelahi.
Tapi dia belum pernah melihatnya SEGANAS ini.
Tatapan Daniel bukan lagi sekadar malas atau sinis seperti biasanya.
Tatapan itu penuh amarah.
"Paman, telpon polisi," bisik Naya cepat.
Paman Jo mengangguk dan segera merogoh ponselnya.
Sementara itu, pria yang tadi terjatuh mulai bangkit lagi, tapi kali ini, dia mundur dengan tatapan panik.
Daniel melangkah maju, menatap pria itu dengan dingin.
"Lo ke sini buat cari masalah?"
Pria itu tidak menjawab.
"Terlalu berani buat seseorang yang nggak bisa berkelahi," Daniel menyeringai tipis.
Pria itu semakin panik.
Dan tanpa menunggu lebih lama, dia berbalik dan langsung kabur keluar dari toko.
Daniel hanya mendengus, tidak mengejar.
Suasana toko buku kembali hening.
Hanya ada suara napas cepat Naya dan langkah kaki Paman Jo yang masih memegang ponselnya.
Daniel menoleh ke arah Naya, menatapnya lama.
"Lain kali, kalau lo ngerasa diikutin, jangan jalan sendirian," katanya akhirnya, dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.
Naya masih sulit berkata-kata, tapi akhirnya mengangguk. "Iya…"
Daniel mendesah, lalu berjalan mendekat.
"Sini."
Sebelum Naya bisa bereaksi, Daniel mengangkat tangannya dan menepuk pelan kepalanya.
"Lo aman sekarang," katanya, setengah bergumam.
Naya membeku.
Jantungnya berdegup sedikit lebih kencang dari biasanya.
Sial.
Kenapa gue malah jadi salah tingkah sekarang?
~Bab 8~
Naya masih berdiri kaku di tempatnya, jantungnya berdegup kencang bukan hanya karena kejadian tadi, tapi juga karena—kenapa Daniel tiba-tiba ada di sini?
Dengan napas yang masih sedikit tersengal, dia mendongak menatap cowok itu. "Daniel… lo ngapain di sini?"
Daniel mengangkat alis, seolah pertanyaan itu aneh. "Gue juga bisa nanya hal yang sama ke lo. Ngapain malam-malam masih di luar?"
Naya mengerutkan kening. "Gue kan ke toko buku. Itu wajar. Tapi lo? Jangan bilang lo kebetulan lewat?"
Daniel menyeringai kecil, memasukkan tangan ke saku jaketnya. "Kebetulan lewat, sih… enggak."
Naya makin curiga. "Terus?"
"Tadi Rio chat lu kan?" tanya Daniel
"Iya, dia nanyain kalo kita udah selesai belajar apa belum, ya gue jawab udah dan gue mau ke toko buku" ucap Naya
Daniel menghela napas, lalu akhirnya menjawab santai, "Nah, Rio bilang lo sendirian ke toko buku malem-malem. Gue cuma penasaran, jadi gue nyari lo."
Naya terdiam.
Daniel nyari gue?
"…Ngapain lo nyari gue?" tanyanya pelan.
Daniel mengangkat bahu. "Nggak tau. Feeling gue aja."
Naya mengerutkan dahi. "Lo punya feeling?"
Daniel mendengus. "Bisa kali, jangan ngeremehin."
Paman Jo yang masih berdiri di dekat mereka akhirnya angkat bicara. "Daniel, kamu kenal Naya?"
Daniel melirik Paman Jo sebentar lalu mengangguk. "Dia partner belajar gue sekarang, Paman."
Paman Jo menaikkan alis. "Oh? Kalau begitu, baguslah kamu datang tepat waktu."
Naya masih belum bisa sepenuhnya mencerna kejadian ini.
Daniel… datang ke sini… buat nyari gue?
"Udah, yuk gue anterin pulang," kata Daniel tiba-tiba, memutus lamunannya.
Naya tersentak. "Hah?"
Daniel menatapnya datar. "Lo nggak mungkin pulang sendiri setelah kejadian tadi, kan?"
Naya membuka mulut, tapi tak bisa membantah. Dia memang masih gemetar sedikit.
Paman Jo tersenyum kecil. "Ide bagus. Aku juga jadi lebih tenang kalau kamu pulang bareng Daniel, Naya."
Naya mendesah pelan, lalu mengangguk. "Oke, tapi jangan anter sampe depan rumah gue. Cukup sampe ujung gang aja."
Daniel hanya mengangguk, lalu berjalan duluan keluar toko.
Naya mengucapkan terima kasih kepada Paman Jo sebelum akhirnya menyusul Daniel.
Saat mereka berjalan berdampingan di trotoar yang sepi, Naya akhirnya memberanikan diri bertanya.
"Jujur, lo kenapa sih repot-repot nyari gue?"
Daniel tidak langsung menjawab. Dia hanya berjalan santai, mata menatap ke depan.
"Kayaknya," gumamnya akhirnya, "gue nggak bakal tenang kalau lo kenapa-napa."
Naya terhenti sejenak, menatap punggung Daniel.
Dan untuk pertama kalinya…
Naya melihat Daniel bukan sebagai troublemaker kelas, bukan sebagai cowok yang malas-malasan dan suka cari masalah.
Melainkan sebagai seseorang yang—walaupun nggak mau ngaku—sebenarnya peduli.
Keesokan paginya, Naya berjalan menuju ruang guru dengan langkah santai. Setelah kejadian semalam, pikirannya masih sedikit dipenuhi oleh sosok Daniel. Gue nggak bakal tenang kalau lo kenapa-napa. Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya.
Setelah mengetuk pintu dan dipersilakan masuk, Naya mendapati wali kelasnya, Bu Rina, sedang memeriksa beberapa dokumen.
"Naya, duduklah," ujar Bu Rina dengan senyum ramah.
Naya duduk di kursi di depan meja guru itu. "Ibu mau bicara soal kelompok belajar?"
Bu Rina mengangguk. "Ya, dan aku dengar Daniel akhirnya mau ikut?"
Naya sedikit tersenyum. "Iya, Bu. Awalnya dia males-malesan, tapi akhirnya mau juga."
Bu Rina tampak terkejut. "Wah, ini kemajuan besar. Daniel itu anak yang… susah ditebak. Tapi kalau dia benar-benar ikut belajar, mungkin ada harapan nilainya bisa membaik."
Naya mengangguk. "Saya juga nggak nyangka dia bakal nurut, Bu."
Bu Rina menatapnya sejenak, lalu berkata dengan nada yang lebih serius. "Naya, bagaimana menurutmu soal Daniel? Maksud Ibu, apa kamu merasa ada sesuatu di balik sikapnya?"
Naya mengerutkan kening. "Maksud Ibu?"
Bu Rina menghela napas. "Ibu sudah lama jadi wali kelas Daniel. Anak itu… sebenarnya bukan nggak peduli, tapi sepertinya dia punya banyak beban di luar sekolah. Kadang, Ibu khawatir dia terlalu menekan dirinya sendiri."
Naya terdiam.
_Dia berubah karena keadaan._
"Kalau bisa," lanjut Bu Rina, "coba bantu dia sedikit, ya. Tidak hanya dalam belajar, tapi juga… kalau dia butuh teman bicara."
Naya menggigit bibirnya. Teman bicara, ya…
Sebelum dia sempat menjawab, bel masuk berbunyi.
"Oke, kalau begitu, kita lanjut nanti saja. Terima kasih, Naya," kata Bu Rina sambil tersenyum.
Naya bangkit, mengangguk sopan, lalu berjalan keluar dari ruang guru.
Saat berjalan di koridor menuju kelasnya, pikirannya masih sibuk memproses kata-kata Bu Rina.
Kalau dia butuh teman bicara… Gue bisa jadi orang itu?
Tepat saat itu, dari kejauhan, dia melihat sosok Daniel berjalan menuju kelasnya dengan wajah mengantuk, tangan di saku, dan baju yang—seperti biasa—berantakan.
Mata mereka bertemu sebentar.
Daniel mengangkat dagunya sebagai sapaan.
Naya hanya mendengus kecil. "Telat lagi?"
Daniel menguap. "Nggak, masih ada waktu beberapa menit."
"Rajin juga," gumam Naya setengah bercanda.
Daniel menatapnya dengan ekspresi malas. "Gue harus jaga image di depan guru biar lo nggak ngomel-ngomel lagi."
Naya tersenyum kecil. "Bagus, teruskan."
Tanpa mereka sadari, interaksi kecil ini mulai terasa natural.
Dan Naya sendiri mulai sadar…
Daniel bukan sekadar anak badung yang malas belajar.
Dia seseorang yang mungkin… hanya butuh sedikit dorongan agar kembali ke jalur yang benar. cetak tebal
~Bab 9~
Kelas tiba-tiba menjadi ramai dengan bisik-bisik saat Bu Rina mengumumkan kedatangan murid baru.
"Oke, anak-anak, hari ini kita kedatangan seorang siswi baru. Silakan masuk dan perkenalkan diri," ujar Bu Rina sambil melirik ke arah pintu.
Langkah kaki terdengar pelan memasuki kelas.
Dan begitu sosok itu muncul, dunia Naya terasa berhenti sejenak.
Bella.
Naya membelalakkan mata, dan di seberang ruangan, Bella pun tampak sama terkejutnya saat melihat Naya duduk di sana.
Gadis itu masih sama seperti terakhir kali Naya melihatnya—rambut hitam lurus sebahu, wajah manis dengan sorot mata tajam, dan postur yang selalu tegap penuh percaya diri.
Bedanya, dulu mereka selalu berdiri bersebelahan.
Sekarang? Mereka seperti dua orang asing yang bahkan tak tahu harus bereaksi bagaimana.
Bella akhirnya menarik napas dan memasang senyuman manisnya. "Hai, aku Bella. Aku pindahan dari sekolah lain. Senang bisa ada di sini."
Suaranya terdengar tenang, tapi mata mereka bertemu sekilas—dan dalam tatapan itu, ada begitu banyak cerita lama yang belum selesai.
Bu Rina tersenyum. "Baik, Bella. Kamu bisa duduk di—"
Mata Bella cepat menyapu ruangan dan langsung berhenti di kursi kosong yang ada di belakang Naya.
"Bu, boleh aku duduk di situ?" tanyanya cepat.
Naya menegang.
Bu Rina melirik sebentar. "Tentu, silakan."
Dengan langkah percaya diri, Bella berjalan ke arah bangku tersebut. Saat melewati Naya, dia berbisik pelan.
"Long time no see, Naya."
Naya menggigit bibirnya, tak merespons.
Sementara itu, dari pojok kelas, Daniel mengamati semua ini dengan ekspresi malas, tapi matanya sedikit menyipit, seolah mencoba menilai situasi.
Siapa nih cewek? pikirnya.
Dan lebih penting lagi… kenapa Naya tiba-tiba jadi kaku begitu?
Bella awalnya berniat menegur Rio yang tidak sengaja menyenggolnya, tapi saat ia menoleh, matanya justru langsung tertuju pada sosok Daniel.
Cowok itu berjalan santai dengan tangan di saku, ekspresi datar seperti tidak peduli pada dunia, jaket lusuhnya sedikit terbuka memperlihatkan seragam yang dipakai asal-asalan.
Tapi ada sesuatu dari Daniel yang membuat Bella memperhatikannya lebih lama.
Aura berandalan, tatapan malas tapi tajam, postur tubuhnya yang tegap, seolah dia bukan sembarang siswa biasa.
Rio menyadari Bella menatap Daniel dan langsung menyeringai. "Kenapa? Naksir?" godanya.
Daniel mendengus. "Apaan sih, Rio," katanya tanpa melirik Bella sama sekali.
Bella justru tersenyum kecil. "Daniel, ya?"
Daniel akhirnya menoleh dengan alis sedikit terangkat. "Lo siapa?"
Bella menyilangkan tangan di dadanya. "Bella."
Daniel hanya mengangguk singkat, lalu kembali berjalan melewati Bella tanpa banyak bicara.
Tapi Bella masih berdiri di tempatnya, matanya berbinar penuh ketertarikan.
Cowok ini menarik.
Sementara itu, dari kejauhan, Naya yang baru saja kembali dari kantin melihat interaksi mereka.
Ekspresi Bella yang penuh minat terhadap Daniel sukses membuat Naya mengerutkan kening.
Bella… dan Daniel?
Entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya tidak suka melihat itu.
Perhatian Bella pun teralihkan setelah melihat Naya dari kejauhan, dia pun mulai mendekati Naya
"Hai Nay, lo ga say hai juga ke gue?" tanya Bella dengan wajah senyum menyeringai
~continue~
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
