
[genre: strangers to lovers, fluff] bayangkan jika kau bertemu dengan orang asing tetapi dia sungguh baik hati. bukan hanya sekali, tapi untuk kedua kali kalian berinteraksi dan rupanya dia mengingat betul wajahmu. dan lelaki itu bernama jungwon.
bayangkan kau bertemu dengan orang asing tetapi dia sungguh baik hati. bukan hanya sekali, tapi untuk kedua kalinya kalian sempat berinteraksi dan ternyata dia mengingat betul wajahmu.
lelaki itu bernama jungwon.
pertemuanmu dengannya bisa dibilang random. ia tak sengaja masuk ke toilet kampus khusus wanita. jangan salah paham dulu, tidak ada ikon wanita/pria di depan toilet melainkan hanya warna biru dan merah. toilet birunya juga terpisah agak jauh dari tempatmu.
paras jungwon yang terlihat naif dan gegabah tak menampakkan bahwa dirinya lelaki mesum. jadinya kau memperhatikannya dengan tenang dari pojok area wastafel.
"ah, m-maaf. aku kesulitan menemukan toilet pria." dia menyengir sampai bibirnya berbentuk kacang.
kau ingin bilang kalau semua fitur lelaki itu sangat bulat dan menggemaskan. tetapi mengingat kondisimu yang sedang tak begitu baik, kau cuma memalingkan wajah demi mematikan kran.
kau berusaha tersenyum meski hidung dan matamu sedikit bengkak bekas menangis. bukan apa-apa, belakangan ini kamu memang agak sensitif, sebut saja pengaruh lingkungan.
"tidak masalah, haksaeng. kau bisa gunakan toiletnya, kebetulan cuma aku disini sejak tadi." ujarmu dengan ramah.
jungwon mendelik kecil ke arah lain, menunjukkan bahwa timbul sedikit kepanikan di kepalanya.
"hokshi (by any chance)... apa kau seorang dosen?" tanya lelaki yang masih asing denganmu itu.
kamu menggeleng tertawa.
"aniya~ aku juga mahasiswi disini. aku memanggilmu haksaeng karena kau terlihat masih sangat muda."
lelaki itu langsung berekspresi lega, takut saja kalau dirinya salah beretika.
"ah, begitu... syukurlah." katanya, sembari membenarkan posisi ransel hitamnya.
suara gemerincing gantungan kunci dan gesekan tas menggelora di kesunyian. ia melangkah malu-malu saat mencapai bilik yang paling dekat.
kecanggungannya bisa berarti dua hal. pertama, karena toilet ini sangat kedap, dia yakin suara air akan sangat menganggu pendengaran. mungkin lelaki itu malu mau buang air.
kedua, terbesit rasa bersalah dalam hatinya saat melihat bengkak yang muncul disekujur wajahmu, utamanya suaramu juga berat dan serak.
dia mungkin telah mengacau ruang privasimu. jadi dia memperhatikanmu sambil tangannya menapak di pintu dorong, bersikap siaga siapa tahu kau butuh bantuan.
sebaliknya, kau memang sudah bersiap-siap saat ada orang yang masuk. itu berarti waktumu untuk bersedih wajib disudahi.
meski masih ada gelombang berat dan panas di dadamu, kau bersyukur masih bisa bertingkah emosional sejenak. seringkali kau tak sempat dan tak punya tempat untuk menjadi dirimu sendiri.
"silahkan, aku akan menjaga toiletnya dari luar untukmu." katamu, menunduk sopan melewati lelaki itu.
"ah, terimakasih banyak. aku takkan melupakan kebaikanmu." ujar jungwon, begitu terkesan saat dirimulah yang justru memberinya ruang nyaman.
Β
***
Β
itu adalah yang pertama. pertemuan kedua kalian jauh lebih unik dan random.
dengan tanpa sengaja, jungwon mendapatimu duduk di kafe yang lumayan sepi. persisnya duduk di deretan stool yang tinggi, dimana kau berhadapan dengan kaca dan nampak di depanmu pemandangan aspal hitam dan tembok gang.
jarang sekali manusia berlalu-lalang di depanmu sebab sederet gang itu hanyalah toko-toko underrated dan sebuah rusun sederhana yang ditinggali jungwon.
situasi kafenya sangat pas untuk para introver. kau bertaruh orang-orang datang kesini karena alasan yang sama; ketenangan dan privasi.
dua karyawan yang bekerja terlihat mengobrol satu sama lain di belakang showcase es krim, sangat menikmati pekerjaan mereka. para kutu buku mencari sudut membaca yang nyaman supaya tak diganggu orang lain.
oh ya, tentang jungwon. dia tidak langsung bertegur sapa dengan dirimu.
hampir setengah jam dia duduk jauh di belakangmu, menyilangkan kaki dan menautkan tangan di depan lutut. punggungnya bersandar nyaman di sandaran sofa empuk. yang bikin gemas, dagunya condong ke depan dan ia berkedip saja macam boneka.
pikirannya sibuk mempertanyakan apa yang membuat seorang gadis hobi menangis. cara menangismu pun bukan tipikal mencuri perhatian.
kau begitu anteng di pojokan, menutup sisi kanan wajahmu seperti tak ada apa-apa, padahal dari sisi kiri jungwon melihat dengan jelas banyak bekas tisu yang dilipat rapi. mereka semua dalam keadaan basah seakan-akan dirimu adalah produsen air mata.
gadis yang pintar menyembunyikan luka. batin jungwon.
jungwon secara random teringat guru-gurunya ketika ia masih di pre-school. mereka tak pernah kelihatan mengeluh atau menangis meski bocah yang mereka rawat hiperaktif dan mengompol sana-sini. bisa jadi, cara mereka venting mirip-mirip sepertimu.
jungwon jadi semakin kagum dengan perempuan-perempuan kuat di dunia ini.
pluk! screch! dug!
anggap saja itu bunyi cup kopi, gantungan kunci, dan kedua siku jungwon yang diletakkan disampingmu.
kau memutar bola mata, hendak mengomel karena kau yakin ada sekitar dua belas stool yang kosong di deretmu. kau berani bertaruh disampingmu ini tak lain adalah manusia iseng.
setelah membereskan pilek lalu melirik ke kanan, kamu menemukan seorang lelaki melipat lengan dan menghadap lurus ke depan. sekujur mukanya tegang seperti tengah menahan napas.
"orang aneh." ejekmu dengan terang-terangan, meski tak kuasa menahan cringe.
lelaki yang belum kau kenal itu terkekeh dengan bunyi hehehe~ yang lucu.
tentu saja, kau cukup peka kalau lelaki disampingmu berusaha mengalihkan atensi dan kemungkingan besar, ingin menghiburmu.
padahal aku sudah setenang mungkin, tapi sepertinya aku ketahuan menangis, batinmu. agak menyesal suka meleburkan emosi di tempat yang acak. ini yang terakhir, tidak mau lagi deh, imbuhmu.
"apa kau kemari untuk menghabiskan tisu? kulihat kopimu belum tersentuh." ujar si lelaki.
setelah mendengar suara uniknya, barulah kau sadar kalau lelaki ini pernah kau temui tempo hari.
cara otak kalian mengingat sangat berbeda secara spesifik. kau adalah tipe pendengar yang baik sedangkan jungwon adalah pemerhati visual. fakta hangatnya, perbedaan itu tetap membuat kalian saling menotis.
"benar. sepertinya aku akan menghabiskan semua tisu disini, kalau saja kau tidak menginterupsi." katamu, mengawali kalimat dengan nada playful tetapi tetap menyindir kecil di akhir.
"well, baguslah aku datang. sekarang para tisu sudah aman." balasnya, dari nadanya saja kelihatan kalau wajah lelaki itu tengah berseri-seri.
"berchyandaa~" katanya lagi.
"ini kotak tisu di mejaku, nona. habiskan saja. lagipula apa kau tidak menotis kalau pajak cafe ini terlalu mahal? pemiliknya pasti sangat perhitungan." ucap lelaki itu, dengan raut alis yang serius.
kau menggeleng sambil menepuk-nepuk pipimu.
"ini sebuah cafe, tuan. bukan rumah makan. tentu saja kita bayar pajak untuk sekedar duduk." jawabmu.
jungwon berangguk-angguk sambil sedikit menjatuhkan rahangnya. wajar sih dia terkejut, soalnya dia tidak biasa ke kafe sendirian, paling-paling bersama kawannya itupun kalau di traktir.
"aah, begitu. pantas saja aku tak betah di rumah makan. tiap aku bersandar karena perut kenyang, tiba-tiba halmeoni pemilik restoran berteriak mengusirku. katanya, pergilah, dasar babi! kursimu sekarang milik orang lain. bersandarlah pada tiang di jalanan sana! bikin sesak saja!"
tawamu meledak mendengar pengungkapan spontan nan berapi-api barusan. mana dia terlihat sangat menghayati peran nenek galak yang diceritakan.
"yeah, kurasa si halmeoni paham kalau kau sering muncul dan buang-buang waktu di restorannya. lamanya kau duduk bisa memotong sekian persen keuntungannya, kau tahu?" ungkapmu.
lelaki disampingmu cemberut dan itu hampir membuatmu merasa kasihan.
"begitukah? padahal aku mencintai masakan lezat nan murah disana. mungkin jika aku sengaja makan dengan lelet, si nenek akan menyumpali mulutku dengan sisa makananku lalu menendangku keluar."
nah, sekarang kau mengerti. ucapmu dalam hati. gestur tubuhmu kini rileks dan menegap, persis mengikuti lawan bicaramu.
"oh! apa kau sudah baik-baik saja?" tanyanya, berubah duduk menghadapmu.
fyuhhhh~ kau menghelakan napas paling berat dan yang paling terakhir menggulung di dadamu. sekarang kau merasa ringan.
"aku baik-baik saja, soalnya ceritamu terdengar lebih menarik. hahaha." jawabmu, kemudian mengubah arah duduk juga.
dia tersenyum sampai eye-smile dan lesung pipinya muncul. rasanya dia lega saat kau tidak bersedih-sedih lagi. awalnya dia pikir kau akan tersinggung dengan tingkahnya yang tidak tahu malu.
"namamu? haksaeng."
tanganmu menapak dua kali ke permukaan meja tempel, menagih identitas sebelum terjadi percakapan yang lebih intens.
"yang jungwon, kalau kau?"
"y/n. jangan pedulikan margaku, aku benci keluargaku." ujarmu, membuat senyum jungwon merekah hingga nampak di rona pipinya.
ah, sekarang jungwon jadi tahu penyebab dirimu menangis. dia mulai mencari setitik persamaan diantara kalian, supaya diskusinya makin nyaman.
"yeah, aku juga benci keluargaku, khususnya kakekku. dia tak pernah lagi mengunjungiku di rusun, tak juga mengirimiku uang. setelah kuperiksa di kampung, ternyata tua bangka sok keren itu sudah tiada."
kau sontak terbatuk-batuk dan menyengir canggung ke sekitarmu.
"uhuk, ehem! well~ kita tidak bercanda seperti itu disini, jungwon."
dia terkekeh usil, sedikit bersyukur dalam hati karena akhirnya kau berkenan menyebut namanya.
"ah, baiklah. maafkan aku, y/n." jawabnya, dengan pipi semerah buah peach.
jungwon mulai mendesis sambil memperhatikan parasmu. tentu dia tidak bisa mengawali percakapan dengan membahas soal keluarga atau alasanmu menangis. entahlah? mungkin dia bisa bisa memancing dari hal-hal random yang berkaitan.
"akhir-akhir ini harimu terasa berat, ya? kita baru bertemu dua kali dan keadaanmu tidak jauh berbeda. melihatmu seperti ini memunculkan beberapa pertanyaan di kepalaku. apa aku boleh bertanya? sulit kalau aku terus mengabaikan sesuatu yang kucemaskan." tanyanya, isyarat meminta penjelasan darimu.
kau menggembungkan pipi dan menatap lesu ke bawah. mungkin sudah saatnya kau membantu jungwon menuntaskan segala keingintahuannya.
"aku tidak bisa memberi tahumu banyak, jungwon-si. yang pasti, akhir-akhir ini kesabaranku mendekati batas jadi aku membuang emosiku sesempatnya. kupikir aku sudah sangat hati-hati, ternyata gelagatku menganggumu. ah, aku benar-benar minta maaf soal ini." katamu, malu.
terkadang rumitnya situasi membuatmu sering meminta maaf pada orang asing. apalagi negara yang kau tinggali sangat menomorsatukan privasi. jadi kalau jungwon mengetuk ruang kecilmu, itu bisa jadi karena kaulah yang mengusik ketenangannya.
"kenapa minta maaf?" jungwon terheran, pertama kali dia mendengar ungkapan penyesalan dari gadis cantik yang ia coba dekati.
kau menghela napas, bingung harus beraksi bagaimana. lelaki di depanmu jelas punya hati yang baik, jadi kau mencoba memperlakukannya sesopan mungkin. salah satunya dengan spontan meminta maaf.
"a-aduh!" kau terkejut saat kedua pipimu dicubit lalu diusap kuat-kuat dengan ibu jarinya.
"kau tidak menjawab pertanyaanku~ kenapa kau minta maaf, y/n? justru akulah yang harusnya minta maaf, dasar kau iniii~" jungwon mengomel dengan agresif.
kau meremas tangan spontan jungwon sambil mengusap pipimu yang memerah. semoga saja lelaki itu menganggap pipimu blushing gara-gara suatu alasan, selain karena jantungmu berdebar kencang.
"kalau kau terus tak-enakan begini, bisa-bisa aku akan bicara pada pihak yang membuatmu menangis." kata jungwon, mengambil kotak tisu untuk di remasnya, hampir dia gigit bahkan.
kau agak cemberut dan menutup wajah seperti anak kecil.
"ish~ kau tidak akan sanggup bicara dengan mereka. lingkunganku sangat keras, banyak pertikaian dan kalimat menyakitkan sampai-sampai kau bisa menangis setiap hari."
saat kau mulai pening teringat manusia-manusia egois di dalam rumahmu, tiba-tiba pergelangan tanganmu digenggam oleh si muka bulat tampan.
"tak masalah. kalau kau berkenan, kumohon bawa aku pada orang-orang itu." ucap jungwon, muka serius yang melekat disana membuatmu tak sanggup menahan gelak tawa.
bocah di sampingmu ajaib sekali. sedihmu terhempas dan kau akhirnya bisa menjadikan penderitaan sebatas candaan hidup saja.
"mereka pasti marah kalau aku bawa pasukan." katamu.
"setidaknya mereka akan tahu kalau kau tidak sendiri." ucap jungwon, tanpa sadarΒ melontarkan kalimat yang begitu bermakna di hatimu.
"ah, sudahlah. mereka berada jauh dariku sekarang. aku sudah aman." jawabmu, kembali merapatkan paha dan menghadap lurus ke posisi semula.
jari jungwon mengetuk-ngetuk meja sembari kursinya ia goyang ke kanan-kiri. beberapa detik kemudian, jari telunjuknya menoel ubun-ubun sendiri.
"tapi disini kau pasti merasa tak nyaman." ujarnya, mengisyaratkan bahwa kata disini = otak.
jungwon ingat kalau sejauh apapun manusia pergi, mereka membawa dua macam memori utama. pertama, memori yang sangat ingin mereka kenang. dan yang kedua, sesuatu yang paling mereka benci dan ingin lupa.
jika kau betul-betul merasa aman, mengapa kau masih menangis? itulah yang dipertanyakan jungwon.
"kau mudah mendapatiku berbohong, jungwon." tuturmu.
kau tak lagi mengelak soal keadaan. berkata jujur sepertinya lebih menguntungkan pasalnya lelaki dewasa ini adalah lawan bicaramu.
"well, aku membaca beberapa buku self-help." ungkapnya.
"oh? aku juga hobi mengumpulkan buku semacam itu. tapi tak ada satupun dari mereka yang kubaca, malah aku lebih suka mencari kutipan populer di goodreads."
"jujur kau agak aneh. tapi sepertinya kita bisa saling menguntungkan, tahu? kau bisa ambil bagian membeli dan aku akan meringkas lalu menceritakan semua buku yang kubaca padamu. bagaimana?" tawarnya, menunjukkan bahwa jungwon punya hobi membaca.
"oh? tiba-tiba?" tanyamu.
jungwon mengangguk antusias. "iya, apa aku kelihatan bercanda?"
padahal kau tak serius mengatakannya. lagipula untuk apa? kau tidak sedang dalam mode positif demi membaca asupan positif.
untuk sekarang, kau ingin memberi sedikit ruang untuk keegoisan. toh, biasanya motivasi baik bakal datang kalau semesta mengijinkan.
"kau ini baik sekali. apa kau seorang nerdy? jangan-jangan kau lelaki mesum? atau mungkin... kau bekerja di perusahaan asuransi?"
yang terakhir terdengar paling meyakinkan soalnya jungwon datang tiba-tiba dan menawarkan banyak bantuan.
"aku mungkin orang aneh, tapi aku sama sekali tidak berada di list kecurigaanmu kok. aku ini cuma seorang haksaeng dari universitas yang sama denganmu."
"hm, apa kau juga suka mengobrol dengan orang asing? seperti bertemu random di jalan atau sosial media." tanyamu.
"iya!"
pupil lelaki itu melebar saat mendengar kesukaan yang sama. berhubung jungwon punya visual dan ekspresi yang lucu, orang-orang selalu datang mengajaknya bicara. kawaii privilege membuatnya mudah mendapat teman.
"oh my god, aku juga suka bicara dengan orang asing. ketika semua orang melarang hal ini, aku malah pergi ke kafe yang sepi, berbincang dengan pelayan tentang menu yang cocok denganku. aku bukan tipikal pembicara yang baik dan seringkali suaraku bergetar. tapi ketika ada orang asing yang meresponku dengan tulus, itu sangat membahagiakan. kalau aku harus berpisah dengannya, hatiku benar-benar hancur soalnya momen seperti itu jarang terjadi."
jungwon tersenyum dengan karakter paradox yang kau punya. di matanya sekarang, kau adalah tipikal introver akut tetapi punya sisi sosial yang optimis.
meski tanpa jungwon tahu, kau cuma sanggup menunjukkan karakter secerah mentarimu pada selain orang-orang yang kau kenal.
"ngomong-ngomong. aku punya beberapa pertanyaan untukmu," kata jungwon, langsung melanjutkan omongan saat kau berpangku tangan menghadapnya.
"y/n, jika ada orang yang melihatmu menangis lalu dia menertawakanmu dengan temannya, apa reaksi yang akan kau tunjukkan?" tanyanya.
kau memiringkan kepala, berfikir.
"hm, aku akan pergi supaya mereka bisa cari topik pembicaraan lain. bukannya mau membela diri, tapi menertawakan kesedihan itu hal yang kurang pantas. aku lebih suka mereka datang padaku secara terang-terangan lalu menyuruhku menangis di tempat lain. toh, aku memang mencari tempat venting yang nyaman." jawabmu.
"lalu seandainya mereka bertanya secara gamblang seperti, hey nona! kenapa menangis di tempat umum? apa kau tidak punya tempat tinggal?"
jujur agak sakit hati mendengar perkataan menjerumus semacam itu. sebenarnya sejak dulu kau sudah bersiap dengan detail jawaban pertanyaan demikian. hanya saja, apakah yang bersangkutan mau mendengar alasan spesifikmu?
"maka aku berkata jujur padanya, won. kubilang, maaf, aku hidup dengan dua teman di asrama. kami mengenal satu sama lain sebagai tiga gadis yang ceria. jadinya aku lebih nyaman bersedih di sekitar orang asing. masa bodoh kalau alasanku terlihat dibuat-buat dan gila. aku akan langsung meminta maaf dan pergi."
jungwon mengangguk-angguk. alasan itu tak terlihat gila, malah baginya itu perfect sense. berbeda dengan dua manusia tak punya hati yang dia temui setengah jam lalu, mereka mungkin takkan mempedulikan itu.
benar, ada sepasang kekasih yang menunggu orderan di depan jungwon tadi. mereka membicarakanmu dan menertawakanmu secara sadis.
sampai detik ini, jungwon masih syok dengan parahnya mentalitas bullying di korea. entah darimana problem itu mengakar tapi itu sudah parah sekali.
"kau tidak perlu bereaksi seperti itu, y/n. kalau aku jadi dirimu, aku akan langsung menyumpahi mereka di muka. bilang saja, kaulah yang cari tempat lain. aku tak membayar untuk mencium bau busuk mulutmu!"
asal tahu saja, sikap jungwon nyata terjadi. dia benar-benar membuat pasangan yang menghinamu pergi detik itu juga karena sindiran bau mulut darinya.
"hahaha, tapi kita ini berbeda jungwon. aku punya caraku sendiri mengatasi masalah semacam itu." jawabmu.
"no, aku tidak setuju dengan caramu. biar aku jadi temanmu, akan kuajarkan jurus memperlakukan orang-orang jahat."
"ish, kau ini kerasa kepala ya? memangnya apa alasanmu ingin dekat denganku?" tanyamu.
"soalnya orang-orang sepertimu-"
jungwon tercekat saat melihat goresan pulpen di pergelangan tanganmu. meski gambarannya cantik dan berwarna, jungwon mengenal kekacauan dibalik sisi artistik itu.
four leaves clover, stars and semicolon.
"orang-orang sepertimu harus berumur panjang dan menghabiskan waktu dengan orang-orang baik. tidak peduli kau menemukan mereka di tempat yang paling random, jangan pernah lupa untuk menyisakan ruang untuk keberanian. keberanian untuk memaafkan, keberanian untuk berbahagia dan keberanian untuk terang-terangan menunjukkan sisi emosionalmu. kau berhak untuk menjelaskan kepada orang-orang yang melukaimu bahwa kau kecewa dengan sikap mereka. kau berhak mengungkapkan kau butuh ruang nyaman. hidup ini cuma sekali, jangan sampai mati dengan menyimpan banyak luka di hatimu. lakukan semua yang kusarankan, jangan cuma diam kalau diperlakukan tidak adil. apa kau mengerti?"
"huh?"
kau menotis jungwon melirik sesuatu dibalik kerah lenganmu. padahal itu bukan apa-apa, cuma usahamu menghentikan keinginan self-harm dengan tato temporer.
mungkin dia mengira kau ingin mengakhiri hidupmu? ish, apa iya kau sudah mengalami banyak hal menyakitkan di dunia malah berniat menyerah? enak saja. lebih baik bertahan dan mengeluh bertubi-tubi pada tuhan nanti di afterlife.
"apa kau mengerti? aku tidak mau kehilangan orang sepertimu. tidak mau tahu pokoknya kita harus jadi teman!" jungwon lagi-lagi menggenggam tanganmu.
dan kau akhirnya mengangguk dan tersenyum. tak menyangka dalam kurun waktu dekat pertemanan ini bakal berubah menjadi hubungan romantis yang paling manis sepanjang hidupmu.
__________________
(to be continued)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
