
Hari itu, Elisa mendadak emosional dan ingin bertemu sang Papa yang sudah lama tak pulang ke rumah.
1,2k+ wordsβπ»
"Serius! Aku cuma kebawa suasana, El!" Jake pasrah saat tubuhnya terus-menerus digebuk.
Bagian bahu dan punggungnya jadi sasaran empuk. Hendak lari kemana kalau dia terjebak di dalam mobil bersama sahabatnya yang super galak.
"Bodoamat! Aku kesel!" Pekik Elisa yang serangannya mulai melemah.
Dia sudah lelah sebab Heeseung hampir melecehkannya di toilet, malah Jake membuat stressnya double dengan pertanyaan membagongkan soal kiss tadi.
Tidak. Tentu saja mereka tidak melakukannya. Membayangkannya saja mustahil.
"Ampun, El! Gak lagi!" Jake bersahut dari posisi masih melindungi kepala.
Wajar kalau hari ini Jake tak bisa intens mendukung psikologis sahabatnya. Dia sendiri masih belum pulih seutuhnya. Anggap saja tadi Jake niat bercanda tapi bercandanya kejauhan.
"Ya, deh!" Si gadis bereaksi setelah berpikir matang-matang. Dia membuka pintu mobil dan melangkah ke sisi jendela milik Jake. "Makasih buat kebaikanmu hari ini, Jake. Aku gak bakal lupa."
"Anything for you, Elisa. Gih masuk. Langsung mandi dan istirahat, okay?" Kata si Aussie tampan.
Elisa menjauh dari Audi hitam kepunyaan Jake.
"See ya!"
Gadis yang berada di luar mengangguk dan balas melambaikan tangan dengan singkat.
Di dalam mobil, Jake memperhatikan figur sahabatnya yang makin kecil di spion. Disana gadis itu terlihat bergeming di pijakan. Ranselnya dibiarkan menjuntai dan hampir menyentuh tanah.
Usut punya usut, suasana hati Elisa memburuk melihat motor Sunghoon terparkir di depan rumah. Ia betulan takut berurusan dengan si kriminal hari ini.
Curiga, Jake mempercepat laju mobil dan berputar di persimpangan. Dia merasa berat untuk pergi sebelum melihat Elisa melangkah ke dalam gerbang.
"Feeling gue gak enak." Guman lelaki itu, raut mukanya sampai pucat karena khawatir.
Untungnya dia tak butuh waktu lama untuk menemukan rute aman untuk berputar karena perumahan ini punya banyak jalan pintas.
Dan benarlah firasatnya.
Setelah menelusuri jalan random di bagian selatan, Jake berpapasan lagi dengan sahabatnya yang kabur secepat kilat saat melihat mobilnya.
"Argh! Kapan sih tu cewek nggak nekat?!" Jake memekik lalu melajukan mobil secepat mungkin demi menjangkaunya.
Mobil hitam yang Elisa hindari tiba-tiba mengklakson dari belakang dan si gadis refleks menutup telinga.
"ELISA, I SWEAR TO GOD!" Jake berlari dan membiarkan pintu mobilnya terbuka.
Sudah terlambat bagi si gadis untuk kabur karena Jake cepat mencengkram kedua lengannya.
"Aku tau kamu stres berat, tapi bisa gak kamu pulang aja?! Gak usah bikin repot aku!" Sentak Jake.
"Lepasin!" Ia menaruh pukulan di dada Jake tapi lelaki itu tak goyah. "Kenapa kamu ikut campur sejauh ini?! Aku bukan anak kecil!" Teriak si gadis, masih berusaha melepas cekalan kuat dari lelaki itu.
"Jangan keras kepala!" Karena sahabatnya terus memberontak, Jake spontan membentak.
"AKU GAK MAU PULANG KE RUMAH! GAK MAU!" Setelah berteriak seperti itu, Elisa akhirnya menangis.
Jake mendesah. Daripada yang menyaksikan mereka jadi salah paham, ia pun menarik gadis itu ke pelukan. Lambat laun, si gadis berhenti menyerangnya.
"Hiks, aku pengen ketemu Papa." Elisa akhirnya mengungkap keinginan di hati terdalamnya.
Β
βο½‘Λ βοΈ Λqβq
Β
Pegal, itulah yang dirasakan si gadis yang terjebak berjam-jam di dalam kereta.
Hiburannya cuma hamparan sawah, rumah penduduk dan keramaian pengendara yang berhenti di sepanjang portal kereta api. Tak sendiri, Elisa duduk ditemani sahabatnya, Jake, yang mendengkur halus di bahunya.
Sungguh random, tapi ini keputusan mereka setelah lelah terlibat dalam pertengkaran. Ini benar-benar masih hari yang sama, dengan seragam yang melekat utuh.
Kalau saja si gadis tak nekat, mungkin Jake sudah bisa leyeh-leyeh di apartemen saat ini. Lelaki itu terpaksa menemaninya pergi ke kota lain demi keinginan bertemu ayahnya yang 6 bulan tak pulang.
Jake setuju Elisa pergi dengan syarat dia harus ikut mengantar. Dua tiket seharga first class kemudian dibelinya dari calo, hanya itu yang tersisa di waktu yang relatif mendesak.
"El." Lelaki yang tengah tidur tiba-tiba bicara sendiri, kemungkinan mengigau. "Elisa, don't."
"Jake, kamu gapapa?"
Sahabatnya sama sekali tidak menghiraukan panggilannya. Tangan besar yang menggenggam milik si gadis juga terasa panas dan lembab.
Elisa menarik diri sedikit untuk memeriksa wajah pucat sahabatnya. Sebelah tangannya menangkup pipi yang bersangkutan.
Dia demam.
Β
βο½‘Λ βοΈ Λqβq
Β
Β
Β
19:25π
"Gak tau deh, Ma. Diomelin bagaimanapun anakmu tetap pengen bolos." Ujar sang kepala keluarga dalam panggilan, ponselnya sengaja disetel volume tertinggi agar putrinya mendengar omelan sang Mama.
Elisa sudah mendekam di rumah dinas sang Papa yang ditaksir mencapai 6 jam perjalanan. Urusan Jake, dia tadi langsung berpisah setelah mencarikan gadis itu taksi.
"Dasar anak nggak jelas. Besok ijinnya gimana? Masa Mama harus nulis surat bodong?"
"Mama, buatin dong! Elisa bulan ini belum pernah cuti sama sekali!" Si anak pertama menyahut sambil dengan santai menyeruput pop mie.
"Anakmu, Pa. Bikin repot mulu, heran."
"Ya sudahlah, Ma. Kalau anak gadismu ini lagi keras kepala, seluruh dunia nggak bakal bisa melawan. Lebih baik Mama istirahat. Besok sore Papa antar anak nyebelin ini ke stasiun." Kata Papanya.
Mendengarnya, Elisa sebagai anak tertua menampakkan cengiran kemenangan. Kapan lagi dia bisa merasakan liburan sendirian? Mana rumah dinas Papanya sangat nyaman untuk ditinggali.
"Ya sudah. Nanti Mama beritahu Sunghoon supaya jemput kakaknya di stasiun. Dari tadi dia sudah cerewet karena kakaknya pergi gak bilang-bilang."
Duh, kenapa Mamanya jadi membahas lelaki itu? Elisa sontak menoleh ke ponselnya yang di setting senyap. Dia merinding sebab nama Sunghoon terus muncul di notifikasi. Apa mungkin tindakan sembrono si gadis membuat amarahnya terpancing?
Β
Β
βο½‘Λ βοΈ Λqβq
Β
Β
23:26 π
Menjelang tengah malam, Elisa dan sang Papa mengobrol hal-hal yang belum pernah dibicarakan. Mulai dari membahas pekerjaan, hingga masa lalu Papa dan Mamanya sebelum menikah.
"Kamu tau kalau Mamamu divonis mandul?" Wajah sang Papa biasa saja ketika mengatakannya, berkebalikan dengan anaknya yang mendelik drastis.
"Eh? Jadi cerita itu bener? Kirain aku salah denger." Respon sang anak.
"Iya, Sunghoon bisa lahir karena proses pembuahan tak langsung. Itupun Mamamu maksa-maksa sampai bertengkar dengan Papa lalu hampir depresi. Kalau Papa malah berekspektasi pernikahan kami nggak usah punya anak. Punya anak itu repot apalagi anak laki-laki."
"Ih, Pa. Fontal banget ngomongnya!" Elisa mencubit betis Papanya yang sedang goleran di sofa.
Sebetulnya dari isyarat Papanya, beliau agak memfavoritkan anak perempuannya lebih dari Park Sunghoon. Tapi tetap saja rasanya tak benar. Anak adalah anugerah. Tak peduli lelaki dan perempuan, mereka sama-sama punya keunikan masing-masing.
"Mana boleh kayak gitu, Pa? Papa harus bantu ngedidik Sunghoon biar dia gak ngerasa kekurangan." Anak gadisnya secara terang-terangan protes.
"Papa sudah berusaha. Tapi mulai 10 tahun lalu pekerjaan Papa sangatlah sibuk dan Sunghoon jadi terlalu menempel dengan Mamamu," jawab Mr. Park sambil mengubah posisi golerannya ke duduk. "Kamu gimana, Nak? Sejauh ini semua baik-baik aja, kan?"
Sang putri mengangguk. "Iya, Pa. Sekolahku lancar dan hubunganku sama Mama baik-baik aja."
"Ya. Sering-seringlah ajak Mamamu ngobrol. Sadar atau tidak, sebenernya Mamamu tidak se-menjarak itu denganmu." Jawab yang lain.
Sayangnya, realita yang terjadi adalah Mama Elisa agak sulit melihatnya sebagai anak kandung. Ada ratusan kali beliau bilang tujuannya mengadopsi Elisa adalah supaya Sunghoon tak kesepian. Tak ada embel-embel beliau ngidam punya anak perempuan atau yang lain.
Mungkin sebatas itu peran Elisa di rumah. Cuma seorang anak yang selalu kebagian duduk di kursi belakang dan mendengar keluarganya bicara masa depan. Dia tak pernah disertakan ke dalam grup chat keluarga yang sering mereka bahas disekitarnya.
Kerap kali mereka melakukan sesuatu tanpa melibatkan Elisa. Jadi secara tidak langsung ia terdoktrin bahwa tugasnya adalah menjaga Sunghoon ketika orangtua mereka tidak ada.
Yeah, syukurlah pekerjaan yang diberikan padanya tak seburuk itu. Elisa tak diperlakukan seperti Cinderella yang harus tidur di kamar penuh tikus. Selama ini dia cukup dimanja dan difasilitasi dengan baik.
Bahkan seandainya dia dijuluki anak pungutan, itu bukan masalah besar. Elisa Park bersyukur diperkenankan menjalani hidup yang dia impi-impikan.
_________________
To Be Continued.
Β
Β
Β
#ON_THE_OTHER_SIDE
Β
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
