
Mau berpositif thinking bagaimanapun, Elisa akhirnya melihat sisi mengerikan dari Lee Heeseung ketika mereka hanya berduaan.
CW: Mentions of violence and scars, non-consensual, kissing, touching. | 2,6k+ words βπ»
"Ternyata luka kakak lebih parah dari Sunghoon."
Elisa mengoles salep bening ke area pipi dan rahang Heeseung, tempat dimana Sunghoon bertubi-tubi melakukan penyerangan. Teringat kejadian kemarin membuatnya meringis.
Sunghoon waktu itu terus mengincar pukulan meski lawannya sudah meringkuk di bawah. Pinggiran wajah Heeseung berdarah, bahkan sedikit bagian telinganya sobek. Heeseung menyerang balik karena Sunghoon menghempas Elisa yang niat melerai.
"Gapapa. Tadi aku dipakein make-up tipis sama temen-temenku." Ujar Heeseung.
Lelaki tampan itu dengan senang hati menyuguhkan wajah sambil menaruh banyak sentuhan kecil di tangan sibuk milik gadis itu.
"Aku lega banyak yang perhatian sama kakak. Di kelas tadi Sunghoon diceramahin habis-habisan sama guru. Untung dia ngaku habis bertikai ama maling."
"Sejak kapan aku jadi maling?" Tanya Heeseung.
Si gadis menyenggol lengan kakak kelasnya. "Kalo bilang bertengkar sama kakak, repot nanti."
Lelaki di sampingnya tersenyum. Dia memperhatikan betapa Elisa telaten merawat luka. Binar cantiknya naik turun membaca artikel tentang luka luar di ponsel Heeseung. Benar, lelaki itu memperbolehkan Elisa mengotak-atik ponselnya.
"Maaf, ya. Kamu jadi ngurus bekas lukaku."
Mendengar itu si gadis menggeleng pelan. "Aku cuma beresin kekacauan yang adikku buat."
Heeseung lagi-lagi tersenyum. Tangan besarnya menyelip ke sela surai panjang milik si gadis. Mengusap lembut dari rambut, bahu lalu beristirahat di tengkuknya.
Cantik. - Pikir Heeseung.
Sepertinya belum ada gadis dengan rambut bergelombang natural sepertinya seantero sekolah. Kebanyakan gadis akan meluruskan rambut mereka, Heeseung sampai bosan karena mereka semua terlihat mirip.
Elisa agaknya nyaman dengan penampilannya. Di mata Heeseung, gadis itu seperti gadis Bali yang rajin ke spa. Kulitnya cerah dan tiap jengkal tubuhnya wangi.
"Sebenernya yang kakak dan adek siapa sih? Kamu kakaknya Sunghoon, kan?" Tanya Heeseung.
"Iya. Aku lebih tua. Jangan percaya kalo Sunghoon bilang aku adeknya. Dia cuma sok keren."
Heeseung terkekeh dan gadis di sampingnya belum sadar kalau rambutnya berulang kali dibelai. Itu membuat Heeseung berpikir kalau dia biasa dibegitukan oleh seseorang.
"Sunghoon sering mainin rambutmu kayak gini?" Tanyanya kepo.
"Hm?" Elisa mendadak gugup saat sadar wajah mereka terlalu dekat. "I-iya, kak. Sunghoon orangnya touchy, tapi aku gak suka jadi dikit-dikit dia kugampar."
Si tampan berdecih gemas kemudian merebahkan kepala di meja tepat dibawah wajah gadis itu. Sengaja supaya gadis itu tak perlu mendongak kalau mengobrol dengannya. Tapi di posisi itu, Elisa betul-betul berbagi udara dengan Lee Heeseung.
"Terus kalau aku giniin kamu, apa kamu bakal gampar aku?" Tanya lelaki yang tiba-tiba membelai pipinya.
Elisa menelan ludah. Pipi dan dagunya memerah. "Aku percaya kak Heeseung tau batas." Jantungnya berdegup kencang setelah mengatakan itu.
Pikiran melayang ke momen lelaki itu pertama kali menciumnya di ruang ganti. Gadis itu belum mengerti apakah perasaannya waktu itu bisa disebut rasa suka.
Meski pernah menolak pernyataan sayang dari Heeseung secara halus, diam-diam ia mengagumi paras dan cara bicaranya hingga detik ini.
Tubuh si gadis menegang gara-gara Heeseung kembali sedekat ini dengannya. Apalagi lagaknya lelaki di depannya peka kalau gadis itu sedang nervous.
"Elisa." Panggil si Heeseung, sangat lembut.
Sensasi dari suaranya bukan cuma menggelitik telinga, tapi hati dan perut gadis yang diajak bicara.
Si gadis ujungnya menyamakan arah pandang. "Ya, kak?"
"Menurutmu, apa sekarang aku sudah cukup baik buat jadi pacarmu?" Tanya lelaki itu tiba-tiba.
Demi tuhan, Heeseung mendadak memberikan pertanyaan yang gadis itu sendiri belum siap menjawab. Sepertinya Heeseung memang punya nyali besar dalam membina hubungan romantis.
"Aku nggak tahu soal itu. Tapi Mama bilang aku belum boleh pacaran." Jawab si gadis, mencari aman.
"Mama kamu atau Sunghoon yang bilang?"
Elisa membulatkan mata. "S-Sunghoon, kak. Memangnya semudah itu ditebak?"
Heeseung kembali duduk tegak seperti posisi semula. Kedua tangannya mengguncang-guncang bahu perempuan yang disukainya sejak lama.
Jika semesta mendukung, semoga kali ini terbuka jalan Heeseung mendapatkan hatinya.
"Aku kenal Mamamu. Beliau bukan tipikal yang melarang kamu dalam hal apapun," Heeseung menarik dagu gadis cantik itu, membuat ujung bibir mereka benar-benar dekat. "Yang selama ini ngatur kamu itu cuma Sunghoon." Imbuhnya, sambil sengaja mengguncang-guncang dagunya.
Elisa memperhatikan bibir seniornya yang terlalu dekat. Lagi-lagi sekarang matanya jadi agak juling dan itu membuatnya menggemaskan di mata Heeseung.
"I-iya, kak. Sunghoon memang perhatian sama aku dari dulu."
Heeseung menggeleng tak puas lalu berupaya menyatukan kening mereka. "Dengar, cantik. Perhatian dan mengekang itu beda tipis."
Waktu terasa terhenti saat Heeseung perlahan-lahan memiringkan wajah. Ia menyentuh lembut bibir si gadis dengan miliknya. Menyeringai mendengar penggalan napas yang lolos di bibir cantik yang dipagutnya.
Elisa makin gelagapan saat lelaki itu makin intens melumat bibir atas dan bawahnya. Deru napas beradu, bibir sudah sama-sama lembab dan Heeseung masih betah menyesap miliknya sampai agak bengkak.
Heeseung menarik pinggul gadis itu mendekat lalu membuat tangannya bertengger di varsity hijaunya. Lidah mengobrak-abrik rongga mulut demi memberikan cumbuan terenak yang pernah Elisa terima.
Elisa mulai gila.
Dia merasa Heeseung sanggup membuat gadis yang dikira benci physical jadi haus akan sentuhan.
Β
β β οΎ β½ * β β
Β
Entah kemana Lee Heeseung akan membawanya, Elisa harap itu ke rumah.
Setelah ciuman tadi, Heeseung gencar melakukannya lagi dan lagi. Di bibir, di rahang, sampai bahu mulus yang tertutup cardigan sempat-sempatnya disingkap demi membubuhi kecupan ringan.
Jujur gadis itu bingung mendeskripsikan perasaannya. Seperti ada sengatan listrik di perut, juga rasa cemas dan ingin tahu.
Ditambah sang senior memperlakukannya dengan sangat seduktif. Elisa tidak pernah merasakan sentuhan sejauh ini dari orang lain. Benar-benar kali pertama.
Lee Heeseung sudah jauh lebih tampan dan gadis itu menyukai cara lelaki itu menyihir tubuhnya. Pipi Elisa terus merona saat ditatap oleh lelaki itu di kafe, seakan-akan dirinya sangatlah cantik.
Ini membuat gadis itu berpikir. Apa ia harus mengambil kesempatan berpacaran dengan Heeseung?
Ia menatap punggung seniornya dengan jantung berdebar. Heeseung tengah menyetir dengan kecepatan tinggi. Begini saja dia sangat atraktif. Punggung tegap di sana seperti mengundangnya untuk merapatkan pelukan.
Nahas saat motor Heeseung hendak berbelok, tiba-tiba ada mobil membunyikan klakson dengan keras.
"ELISA!"
Yang dipanggil menoleh heboh. Jelas ada suara bestie-nya di belakang sana. Mungkinkah mereka tanpa sengaja berpapasan di jalan?
Elisa cepat menepuk pundak seniornya, memintanya meminggirkan kendaraan. Dan benar saja, setelah di cek itu benar-benar Jake dan Audi hitamnya.
"Turun dan masuk ke mobilku sekarang!" Sentak Jake setelah keluar dari pintu.
Elisa panik saat berdiri ke tengah-tengah lalu menoleh ke arah Heeseung dan Jake bergantian. Karena bimbang, ia memulai tindakan dengan melepaskan helm di kepala.
"S-Sebentar, aku mau ngembaliin ini."
"No no, don't you dare!" Jake mencegah gadis itu.
Sang sahabat mendekat dan mengambil helm di tangan Elisa lalu pergi ke tempat Heeseung berdiri.
"Mending lo cabut sekarang." Titah Jake, melempar helm ke perut Heeseung dengan kasar. Untung saja reflek menangkap si Heeseung bagus.
"Maaf. Gue ada salah apa sama lo?" Tanya Heeseung.
Dia melepas helm dan menarik turun risleting jaket seakan-akan menantang bocah emosional itu.
"Heeseung. Gue nggak jago berantem. Tapi kalo lo maksa, gue punya ini." Jake menunjukkan sesuatu dibalik hoodie kebesaran miliknya.
Sebuah stun gun atau kejut listrik. Terlihat jelas pancaran kilat kecil di bagian tembaganya. Lelaki yang lebih tua geram dan mengepalkan tangan.
"See? Cepet pergi sekarang atau gue stun badan lo." Tutur Jake, berharap basa-basi ini cepat disudahi.
Heeseung menyeringai karena Jake nampak konyol di matanya. Ia heran, belakangan ini Park Sunghoon sudah cari masalah dengannya dan sekarang Jake juga? Aneh, sepertinya orang-orang dari pihak Elisa tak satupun menyukainya.
"Gue gak ngerti kenapa lo segini sensinya ama gue. Tapi kalo emang ada masalah, obrolin baik-baik besok di sekolah." Ucap yang lebih tua.
Saat itu juga Heeseung pergi bersama motornya, meninggalkan Jake dan gadis yang disukainya.
Brugh!
Suasana tiba-tiba hening saat Jake menutup pintu mobil. Nampak dia berusaha menenangkan diri dengan cara menyandarkan kepala dan memejamkan mata.
"Maaf aku tiba-tiba kayak gini. Aku sengaja ngikutin kalian dari kafe." Ucap Jake.
"Dari kafe?!" Elisa mendelik tak percaya. Jadi sahabatnya memperhatikan semua yang terjadi? Sial, mau ditaruh dimana mukanya. "Ngapain kamu ngikutin aku sih?!" Protesnya.
"Dari awal aku udah cemas pas kamu bilang Heeseung ngajakin kamu. Terus kenapa kamu diem aja pas dia nyosor, argh!" Jake memukul setir, frustasi.
Si gadis yang takut langsung menjauh, hampir menempel dengan pintu. Seingatnya Jake bukan tipikal emosian seperti adiknya. Kalau sudah begini sepertinya gadis itu wajib merespon dengan sopan.
"Ya, maaf. Kan aku gak tau kalau bakal di gituin?" Jawabnya sambil menautkan jemari.
Jake meracau tak jelas gara-gara kenaifan sang sahabat sambil memijat pelipisnya. Dia juga tiba-tiba menurunkan tuas rem.
"Seatbelt. Kayaknya aku perlu ngasih tau kamu sesuatu." Ucapnya, kemudian membawa mobil yang mereka tumpangi ke jalan yang tadi Lee Heeseung tuju.
Jalan itu berupa perumahan yang gelap dan sangat sepi. Gadis di kursi pengemudi merasa tak pernah melintasi daerah ini. Selang beberapa menit, Jake mematikan mesin dan cuma menyalakan lampu depan.
"Lihat kesana baik-baik." Pinta Jake.
Dia menunjuk ke salah satu bangunan paling ujung perumahan. Dari semua bangunan yang terbengkalai dan minim penerangan, cuma tempat itu yang terkesan hidup dan di sekitarnya banyak kendaraan terparkir.
Elisa mengangguk dan mencoba membuka lock pintu. Itu membuat Jake berdecak dari posisinya.
"Ngapain pake keluar, El?? Liat dari sini kan bisa?!"
"E-Eh, iya. Jangan emosi dong!"
Si gadis menjawab dengan nada pasrah, nyatanya dia mau keluar karena kemampuan melihat yang agak minus. Tapi kaeena Jake bersikap galak, maka tak ada pilihan selain menurut. Lagi, Jake seram kalau marah.
"Com... fi... tel. Hah? Comfitel apaan?" Gadis itu mengeja tulisan di papan iklan.
Berkat keluguan itu, Jake hampir menampar muka sendiri. Syukurlah dia punya self-control yang baik.
Ok, tarik nafas. - Jake membatin.
"Elisa Park. My dear bestfriend yang tiap di kelas hobi tidur, yang cakep, yang hatinya baik. Nih, aku bilangin ya-"
"Kalo kamu diajak keluar sama cowok, apalagi first date. Jangan keburu kasih dia kiss. Kedua, kalo kamu dibawa ke daerah yang gak familiar, cobalah pintar dikit dengan buka maps. Perhatikan Heeseung bawa kamu kemana-"
Lelaki sebaya Elisa menghela napas panjang. "Comfitel itu semacam hotel. Ngapain anak SMA bawa adek kelasnya ke hotel? Lebih detail lagi, ngapain Lee Heeseung bawa cewek yang jelas-jelas kakak sahabatnya sendiri ke hotel?"
"Aku beneran gak abis pikir kenapa kamu biarin dia seenaknya nyentuh kamu. Ngeliat kamu pasrah dan nurut melulu, kamu seperti cewek yang nggak pernah dapat kasih sayang, tau nggak?"
Jake bicara panjang lebar tanpa tahu kalau Elisa sudah menatapnya dengan mata berlinang. Lelaki itu cepat menoleh setelah mendengar isakan tertahan.
"Elisa, kamu nangis?" Tanyanya.
"No, aku cuma sadar kalo aku emang kayak perempuan murahan." Jawab gadis itu dengan napas yang mulai tersenggal-senggal.
Jake mendesah kecewa pada diri sendiri. Mungkin dia sudah berucap yang keterlaluan.
"Udah. Jangan ngomong jelek ke diri sendiri. Kamu nggak seperti itu, El. Aku paham kamu cuma inexperienced soal cinta." Sahabatnya menjelaskan seolah-olah dia sendiri expert dalam hubungan, padahal bicara dengan perempuan lain saja jarang.
"It's okay, I'm getting used to it." Elisa mengusap air matanya lalu menghadap ke jendela.
Dalam hati dia masih menyalahkan diri sendiri karena sempat girang diajak pergi jalan-jalan untuk kedua kali oleh Heeseung.
Dia pikir dirinya sudah dewasa dan mampu menjaga diri. Ternyata tidak. Agaknya dia begitu haus akan perhatian lelaki super atraktif itu.
Perlahan tapi pasti, Jake membuka kaitan sabuk pengamannya dan juga milik sahabat yang dia jaga sepenuh hati. Dia menyentuh bahu berbalut cardigan marun dengan hati-hati.
"I'm sorry. Let me hug you."
Bisikan Jake terlalu lembut sampai menyentuh hati rapuh Elisa. Membuat tangis yang semula ditahan-tahan meledak begitu saja.
Si lelaki mengeratkan pelukan sambil dengan sabar mengusap punggung sahabatnya. Ini adalah cara mereka berbagi emosi supaya tak dipendam sendiri.
Jake sadar kata-katanya telah menyakiti gadis itu. Setidaknya, ini bukti kalau Jake tak mau sahabatnya menyesal berhubungan dengan lelaki yang salah.
"Aku malu banget hari ini. Aku pengen pulang." Elisa bergumam sambil membenamkan muka di bahu Jake.
Gara-gara kejadian hari ini, dia merasa perlu menjauhi lelaki yang membuat hatinya berbunga-bunga. Elisa pasti akan mempertimbangkan semua yang Jake katakan. Bisa jadi, barusan Lee Heeseung betulan punya niat yang kurang baik padanya.
Meski entah mengapa, diam tanpa mendengar penjelasan dari Heeseung rasanya juga tak benar.
Β
βο½‘Λ βοΈ Λqβq
Β
Pagi ini, Sunghoon melihat gadis yang dirindukannya hanya sebatas punggung. Padahal biasanya gadis itu sering menoleh ke belakang dan mengobrol berbagai macam topik murahan dengannya.
Sekarang kakaknya berubah. Apalagi setelah kekacauan yang Sunghoon lakukan, situasi jadi makin canggung dan ia makin jarang mendengar suara sang kakak.
Mau mengajak mengobrol pun hanya sebatas sudah siap? Mau pulang? Mau mampir kemana? itupun kadang dijawab anggukan dan gelengan kepala oleh kakaknya.
"Duh, mana sih yang biasanya kasih susu stroberi?!"
Beberapa orang terkejut karena Elisa tiba-tiba menghantamkan ujung buku yang dibacanya ke meja. Jake dan Jay yang berdiri di depan kelas berdiskusi perihal sesuatu yang gadis itu cari.
Siapa sih yang kasih susu stroberi? Bikin penasaran aja. - Batin Park Sunghoon.
"Beli ke kantin aja, El. Kelamaan kalau nungguin orangnya." Si Jongseong menyarankan.
Lelaki yang memasang wajah datar itu sibuk membenahi laptop yang akan dia gunakan presentasi nanti, dibantu Jake yang merupakan presentator utama kelompok.
Elisa mengangguk atas ide cemerlangnya. Daripada banyak harap dan terus-terusan menunggu, lebih baik dia langsung membeli susu kotak stroberi itu.
"Hm... Kantin ya? Geb!" Panggil Elisa pada sahabat berambut pendeknya.
"Oi! Let's go!" Perempuan yang ia panggil Gabbie pun beranjak dari kursinya.
Β
βο½‘Λ βοΈ Λqβq
Β
Rupanya ada banyak jajanan baru di kantin. Elisa tak menyesal datang. Kondisinya ramai lancar, meski antrian dibuat memanjang jadi satu baris.
Elisa menyambar dua kotak susu, satu pudding dan pizza yang baru dikeluarkan dari oven. Kawannya, Gabbie pun tak kalah hedon. Dia sampai beli paper bag jumbo untuk menyimpan belanjaannya.
"Rame banget, nitip sama orang depan boleh gak sih?" Gabbie mengomel karena kasir kantin dan makanan ringan jadi satu, mungkin karena ini belum jam istirahat.
Ada sekitar 15 orang di depan mereka. Belanjaannya juga sedikit-sedikit. Sebenarnya tak begitu panjang kalau saja dua gadis ini sedikit bersabar.
"Aku gak kenal sama mereka. Kamu?" Tanya Elisa.
"Eng--Buset!" Gabbie menjerit atas kedatangan Sunghoon yang tiba-tiba, ditambah lelaki itu pasang muka usil karena si rambut pendek berhasil dia kageti.
"Mana sini, biar gue yang ngantri." Ucapnya, membuat dua gadis menatap gelagat Sunghoon yang aneh.
Tumben ni bocah mau jadi babu. Biasanya taunya ngebabu. - Batin Elisa.
Mereka menyerahkan masing-masing keranjang ke tangan Sunghoon. Karena bocah itu mendadak berhati baik, sepertinya tak masalah kalau Elisa memberi sedikit imbalan pada adik raksasanya.
"Geb, pesenin donat tiramisu sekotak dong." Pinta kakaknya Sunghoon, memesan varian donat kesukaan sang adik.
Gabbie yang disuruh pun manut saja. Dia langsung melangkah ke kios yang menjual dessert manis-manis.
"Tiramisu semua?!" Teriak kawannya dari jauh.
"Iya! Kalo bisa double topping! Kasih oreo crumbs juga di atasnya!" Pekik si Elisa.
Sunghoon diam-diam senang memperhatikan Elisa meniru kebiasaannya mengorder makanan. Dia pun fokus lagi pada antrian.
Jujur, kalau sedang sabar begini Sunghoon jadi seratus kali lebih tampan. Semoga saja Park Elisa berbaik hati untuk memaafkan kesalahannya.
Β
βο½‘Λ βοΈ Λqβq
Β
Elisa dan Gabbie sampai di kelas, disusul 5 menit kemudian Park Sunghoon muncul dengan banyak makanan.
Lelaki itu sampai disoraki teman-temannya di sepanjang koridor karena dikira belum makan 3 hari. Semua gara-gara Gabbie dan sang kakak yang tak tanggung-tanggung urusan jajan.
Sunghoon akhirnya mendudukkan bokong penatnya dan membuka kotak donat dengan varian kesukaan. Di kesempatan ini, dia dengan hati-hati menanyakan sesuatu yang sedari tadi mengganggu pikirannya.
"Jadi siapa yang ngasih susu stroberi kemarin?" Tanyanya.
Elisa menoleh ke belakang. Sunghoon pasang wajah kepo maksimal meski mulutnya penuh donat.
"Oh, jadi kamu bantuin tuh ada maunya?" Sang kakak tertawa, "kalo beneran mau tau, gih tanya Jake."
Elisa mengisyaratkan Sunghoon untuk bertanya pada brankas berjalannya. Sementara Jake mengangkat kedua alisnya usil pada Sunghoon.
"Lo tau, Hoon. Gak ada yang gratis di dunia ini." Ucapnya.
"Dih, mau apaan lu?" Tanya Sunghoon ketus.
"Itu tiramisunya bagi dong." Tunjuk Jake.
Kesepakatan disetujui begitu saja pasalnya Sunghoon tak suka ribet. Donat habis dia bisa beli lagi, kalau bisa satu kios dia borong semua.
Jake mendekat ke bangku Sunghoon dan mengambil satu donat yang tersaji cantik di dalam kotak.
Sambil menguyah dan menjilat bibir atas yang terkena topping, Jake mengungkap rahasia kecil yang cuma dirinya dan Elisa ketahui.
"Orang yang selama ini ngasih Elisa susu stroberi, itu Kim Sunoo."
______________
To be continued.
Β
ππππ€©βππ₯ππ₯°
π πππππ₯°π€©βπ
π ππ€©βπππ₯π
Β
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
