Semanis Cokelat

4
0
Deskripsi

Hidup itu tidak semanis cokelat 🍫

“Ayo lari, Siti!”

 

“Aku udah nggak kuat, Sita. Perutku sakit gara-gara kamu ajak lari pagi.” Siti berhenti dan memegangi perutnya.

 

“Ayo!”

 

Aku menggandeng tangan Siti dan menyeretnya karena hari ini kami memiliki tugas membaca doa pagi di madrasah. Bel berbunyi dan kami masih di ujung jalan. Beruntung madrasah kami tidak ada gerbangnya, kami bisa masuk tanpa dimarahi satpam. Hanya ada guru BP yang berdiri di halaman memberikan mauidho hasanah kepada santri yang terlambat.

 

Madrasah kami berada di desa yang terletak di lereng pegunungan Muria. Beberapa pohon mangga yang buahnya mulai matang bergoyang-goyang tertiup angin. Pagi ini sangat mendung dan sepertinya akan turun hujan.

 

Kujinjing rok warna abu-abu hingga terlihat kaos kaki yang hampir setinggi lutut. Begitu sampai di kelas, kami langsung meletakkan tas dan berlari ke kantor. Aku berlari sambil menunduk, melihat sepatuku yang lemnya sudah mulai lepas.

 

“Hai, Sita,” sapa salah satu kakak tingkat. Aku semakin menunduk tanpa berani menatapnya. Dia selalu saja menggodaku meski beberapa kali kuabaikan. “Awas!” teriaknya.

 

Namun, semua terlambat. Seseorang membuka jendela kaca dan aku tidak melihatnya hingga membuat kepalaku terbentur kayunya, kepalaku benjol. Aku mengaduh kesakitan hingga membuat lelaki itu mendekat.

 

“Ya Allah, sampe benjol gini kepalanya. Siti, kamu ke kantor aja biar aku yang bantu Sita.”

 

Siti dan Sita, itulah nama kami. Kami saudara kembar, tetapi tidak ada mirip-miripnya baik secara fisik maupun sifat. Wajah kami memang serupa, tetapi Siti terlahir putih dan aku kuning langsat. Dia kurus dan aku gemuk, dia galak dan judes sedangkan aku baperan.

 

Ketika Siti pergi, Arif mengajakku duduk di depan kelas. Sebuah tempat duduk yang terbuat dari semen ini terasa dingin di pagi hari. Tempat ini menjadi salah satu tempat nongkrong favorit santri ketika istirahat. Tiba-tiba Arif mengeluarkan sebuah cokelat dari sakunya. “Ini buat kamu.”

 

Aku menggeleng.

 

“Kamu harus makan ini, biar perasaanmu membaik,” ucap Arif sambil membuka bungkus cokelat silverqueen.

 

Dia memang anak orang kaya yang mampu membeli apa saja. Berbeda denganku yang berangkat sekolah tanpa uang saku. Tanpa menunggu persetujuanku, dia menyuapiku dengan sepotong cokelat. Dia juga ikut memakannya sambil menatap lurus ke depan. Halaman sekolah yang cukup luas menjadi pemandangan kami. Belum banyak guru yang datang sehingga kami bisa mengobrol di luar.

 

“Cokelatnya manis, ya? Kayak kamu,” ucapnya sambil menatap ke arahku.

 

Aku terkekeh pelan. “Jangan membual. Aku sudah kenyang dengan gombalanmu pada cewek tiap hari.”

 

Baru kali ini aku berbincang dengan Arif, aku tidak mau berurusan dengan lelaki yang sudah memiliki pacar. Dia disukai banyak wanita dan aku tidak tahu siapa pacar yang sesungguhnya. Bukankah lebih baik menghindar?

 

“Itu hanya gosip, Sita. Tidakkah kamu lihat jika aku tidak pernah membonceng seorang wanita? Motorku masih perawan. Hanya kamu yang boleh duduk di sana.” Dia menunjuk motornya yang terparkir tepat di parkiran paling depan.

 

Dadaku kembang kempis mendengarnya. Bualan lelaki ini semakin hari semakin membuatku ingin terbang. Memang mulutnya begitu manis, tetapi tidak akan pernah menggoyahkan hatiku.

 

“Maaf, aku harus pergi.” Kutinggalkan dia yang masih memakan sisa cokelat dengan harga selangit itu.

 

Di kantor, aku melantunkan Asmaul Husna yang sebagian sudah dibacakan Siti. Ketika kami selesai, aku meminta Siti mengantarkanku ke kamar mandi. Cuaca dingin seperti ini membuatku harus bolak-balik ke kamar mandi. Namun, betapa terkejutnya aku melihat Arif sedang memeluk seorang gadis di depan kamar mandi.

 

“Sita?” Mata Arif membulat seolah ingin keluar dari tempatnya melihat kehadiranku.

 

Siti menggeleng dan menarik tanganku, tetapi aku tetap maju dan segera masuk kamar mandi karena sudah tidak tahan. Arif menggedor pintu kamar mandi dari luar, tetapi kuabaikan. Aku tidak akan keluar sampai dia pergi.

 

Saat tidak lagi mendengar suaranya, kuhapus sisa air mata. Kupikir aku baik-baik saja, ternyata ada sesuatu yang membuat hatiku sakit melihatnya. Aku benci dengan kelemahanku ini.

 

“Tunggu, Sita! Aku bisa jelaskan semuanya.” Arif menghadangku tepat di depan kamar mandi. “Ini salah paham.”

 

“Maaf, aku tidak perlu mendengarkan penjelasanmu karena kita tidak memiliki hubungan apa-apa.”

 

Tangannya dia turunkan setelah mendengar ucapanku. Dia menjatuhkan lututnya di lantai kemudian menunduk. Tanpa pikir panjang, aku segera kabur darinya dan kembali ke kelas.

 

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Siti. “Maaf, dia memintaku meninggalkanmu.”

 

“I’m fine. Alhamdulillah, meski ada yang nyeri di sini.” Aku menunjuk ke dada.

 

“Ikhlaskan, Sita. Kamu tahu? Hidup memang tak semanis cokelat. Manis memang, tetapi cokelat akan terasa pahit tanpa pemanis. Kita akan melewati pahit manisnya hidup bersama. Kisah kita akan berakhir manis setelah menjalani pahitnya hidup,” ujar Siti sambil menendang kaki kananku.

 

Ternyata sepatunya lebih parah. Jempol kakinya sampai keluar dan terlihat kaos kakinya yang bolong.

 

TAMAT

 

Pati, 27 November 2022

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Cerpen
Selanjutnya Pilih Kasih
2
0
Pernahkah kamu diperlakukan tidak adil? Bagaimana rasanya? 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan