
Pernahkah kamu diperlakukan tidak adil? Bagaimana rasanya?
“Mak! Minta uang buat jajan.” Aku mengulurkan tangan kananku, tetapi Emak mengabaikan.
Kutarik pelan jemariku satu per satu hingga menggenggam udara kosong. Sebenarnya siapa aku ini? Apakah aku bukan anak kandung mereka? Dari kecil tidak sekali pun diperlakukan adil oleh kedua orang tuaku.
Emak mengibaskan tangan seolah mengusirku. “Pergi sana! Emak nggak ada duit.”
Dengan perasaan hancur, aku berlari ke luar rumah. Aku duduk bersandar di bawah pohon randu. Saat aku bersedih, tidak ada tempat untukku bersandar selain pohon ini. Di sebelahnya ada pohon ciplukan yang selalu mendengar keluh kesahku. Entah menyimak atau tidak, sepertinya ia sudah bosan tiap kali aku datang.
“Cipluk! Aku tidak mendapatkan uang dari Emak. Padahal aku tidak ingin beli jajan, sebenarnya buku dan pensilku sudah habis.”
Bulir air mata mulai berjatuhan tanpa diminta. Aku menangis tergugu atas ketidakberdayaanku. Berbeda dengan adikku yang selalu mengamuk jika tidak diberi uang. Dari kecil aku pun selalu mengalah untuknya. Dia menjadi nomor satu sedangkan aku selalu dinomor duakan.
Kami lahir di keluarga yang sama dengan orang tua yang sama, tetapi berbeda. Wajah dan kulitku hitam manis mewarisi Bapak sedangkan adikku mewarisi Emak, putih dan cantik. Emak dulunya kembang desa, banyak sekali yang menyukainya, tetapi hanya nge-ghosting.
Tadi pagi sebelum Bapak Kerja, aku sudah bilang kalau alat tulisku habis. Bapak menyuruhku minta sama Emak karena semua uang hasil nguli selalu diberikan kepada Emak, tetapi Emak menolak. Bagaimana aku sekolah besok?
“Mbak, pulang, yuk! Disuruh makan sama Emak,” ajak adikku, Nia.
Kuhapus sisa air mata sebelum berbalik ke arahnya. Dia akan mengejek jika tahu aku menangis. Apalagi jika dia tahu alasanku menangis. Uang memang bukan segalanya, tetapi segalanya butuh uang.
“Iya, sebentar. Mbak ambil ciplukan dulu.”
Aku mengambil beberapa buah ciplukan yang warnanya sudah mulai menguning. Rasa buahnya asam dan ada manis-manisnya. Sama seperti hidupku, meskipun asam tetap ada manisnya.
Kami makan bersama dalam keheningan hingga akhirnya Bapak pulang. Mendadak nasi di tenggorokanku susah sekali untuk ditelan. Apalagi lauknya hanya sambal kemangi. Tempe pun tidak ada.
“Eh Bapak sudah pulang. Sini makan bareng, Pak!” ajak Emak.
Biasanya Bapak membawa ikan sisa lauk dari sawah. Bapak sengaja menyisihkan untuk dibawa pulang supaya anak-anaknya juga makan ikan. Mataku berbinar melihat ikan bandeng yang tinggal separuh.
“Aku mau, Mak!”
“Kamu dikit aja, Lia. Ini biar buat adikmu saja. Nia ‘kan makannya banyak,” jawab Emak.
Aku menelan ikan bandeng sedikit demi sedikit supaya nasi di piringku segera habis. Rasanya sakit diperlakukan seperti ini. Daging bandeng yang kumakan terasa bak duri semua yang masuk melalui tenggorokan.
Usai makan, aku dan Nia harus belajar mengaji. Di kamar, aku mengajari Nia karena dia sangat susah belajar. Berbeda denganku dulu yang langsung hafal huruf Hijaiyah dengan mudah dalam waktu singkat. Usia kami hanya berjarak 22 bulan. Belum genap dua tahun aku lahir, kasih sayang orang tuaku sudah terbagi.
“Mak! Lia tadi minta uang, sudah dikasih?”
Samar aku mendengar percakapan Emak dan Bapak di dapur. Terdengar jelas suara piring dan gelas bersentuhan. Sepertinya Emak sedang mencuci piring.
“Belum, Pak. Duit Emak tinggal dikit. Itu ‘kan jatah buat beli bajunya Nia. Bapak tidak lihat bajunya sudah ngapret semua?”
Adikku memang terlahir gemuk. Berbeda denganku yang kurus kering seperti orang cacingan. Padahal makanan yang kami makan sehari-hari pun sama.
“Buat beli buku nggak habis sepuluh ribu, Mak. Besok kalau Bapak gajian tak ganti. Kasihan Lia, dia pasti merasa disisihkan. Kita tidak pernah menuruti keinginannya.”
“Dua anak kita ini berbeda, Pak. Lia pintar. Tanpa kita memuji atau memanjakannya, dia sudah mau belajar pun mau bantu momong Nia. Berbeda dengan adiknya. Nia kalau tidak dipancing dengan uang, makanan atau baju baru, tidak akan mau belajar. Mau jadi apa anak kita nanti? Apalagi kalau Bapak udah muji-muji Lia. Nia langsung ngamuk.”
“Bapak tahu, Mak! Itu salah satu bentuk apresiasi buat Lia biar makin semangat belajar. Bapak tidak bisa memberikan hadiah apa-apa untuk Lia. Makan aja susah.”
“Bapak jangan bilang begitu. Emak juga sayang sama Lia. Dia sudah banyak membantu Emak mengurus rumah dan momong Nia. Emak memang membelikan dua baju untuk Nia, tetapi harganya murah. Untuk Lia emak belikan yang sedikit mahal karena dia awet meski dipakai sampai tahun depan. Nia cepat sekali pertumbuhannya. Kalau dibelikan hanya satu, cepat rusak. Apalagi polahnya seperti anak laki-laki.”
Hatiku terenyuh mendengar ucapan Emak dan Bapak. Ternyata selama ini mereka juga menyayangiku.
TAMAT
Pati, 25 Desember 2022
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
