
“Kamu hamil? Padahal kita hanya melakukannya sekali.”
Siang ini matahari begitu terik. Kupakai helm bogo warna merah yang selalu menutup kepala saat mengendarai motor. Ketika melewati taman Tirto Agung, pandanganku terpaku pada sepeda motor milik Mas Rendra. Aku sangat yakin itu miliknya, sudah hafal di luar kepala nomor plat motornya.
“Kapan dia pulang? Bisa-bisanya tidak mengabariku. Aku akan memberikan kejutan padanya.”
Kuparkir motorku asal karena ingin memberikan kejutan untuk pacarku. Kami LDR selama satu setengah tahun terakhir semenjak lulus kuliah. Aku menjadi guru TK di sebuah sekolah swasta sedangkan dia bekerja di hotel bintang lima di Yogyakarta.
Mas Rendra sangat menyukai es cappucino cincau yang ada di taman ini. Aku membeli 2 cup sebelum menemuinya. Dia pasti senang mendapat kejutan dariku.
Aku berjalan menuju tempat favorit kami di taman ini. Di sebuah bangku di bawah pohon trembesi yang biasa kami gunakan untuk mengobrol, kulihat ada sepasang kekasih sedang bermesraan. Langkahku memelan ketika mendengar suara mereka.
“Sayang, kapan kamu nikahi aku?”
“Secepatnya. Orang tuaku sudah menginginkan cucu.”
“Dan sebentar lagi semua akan terwujud. Aku hamil tujuh minggu.”
Lututku mendadak lemas dan tidak mampu menyangga tubuhku. Aku kenal suara itu. Sangat mengenalnya. Mas Rendra dan sahabatku telah mengkhianatiku.
“Kamu hamil? Padahal kita hanya melakukannya sekali.”
Rasanya aku ingin melemparkan es cappucino cincau ini kepada mereka, tetapi sayang harganya cukup mahal. Gajiku sehari hanya cukup untuk membeli dua cup minuman ini.
Selama ini aku selalu mengabaikan larangan Ayah dan Ibu. Mereka tidak merestui hubunganku dengan Mas Rendra. Kupikir bukan tanpa alasan mereka melarangku. Ternyata mereka benar. Mas Rendra tidak sebaik yang kupikir. Beruntung Allah perlihatkan keburukannya sebelum kami maju ke jenjang yang lebih serius.
Aku berjalan mendekat sambil menenteng kresek berisi minuman favorit Mas Rendra. Aku tidak menyangka jika Mika yang menjadi orang ketiga di antara kami. Aku dan Mika bersahabat semenjak SMA. Hanya saja kami berbeda jurusan ketika melanjutkan kuliah.
Aku menyukai anak-anak sehingga memutuskan melanjutkan kuliah pada jurusan pendidikan anak usia dini (PAUD). Berbeda dengan Mas Rendra yang memilih teknik informatika dan satu kelas bersama Mika. Dia ingin segera lulus dan mendapatkan pekerjaan yang layak.
Kuhampiri dua sejoli yang sedang dimabuk cinta ini. Mereka sampai melupakan jika sedang berada di tempat umum.
“Ternyata begini kelakuan kalian?”
“Lisa?” Dua orang di hadapanku melotot hingga bola matanya hampir keluar melihatku.
Kulihat Mas Rendra melepaskan tangannya dari perut Mika. Sudah lebih dari sepuluh menit aku melihat mereka bermesraan. Kupikir selama ini kami bertiga bertemu di sini hanya kebetulan saja, ternyata aku salah.
“Lisa? Aku bisa jelasin semuanya!” Mas Rendra mendekat, dia mencoba memegang tanganku, tetapi lekas kutepis.
“Sudahlah, Yang. Dengan begini Lisa akan sadar jika dia adalah orang ketiga di antara kita.”
“Aku?”
Aku terkekeh mendengarnya. Kupikir sahabatku yang menjadi orang ketiga di antara kami, ternyata akulah orang ketiga di antara mereka. Plot twist sekali hidup ini.
“Lisa, dengerin penjelasanku dulu. Kamu salah paham.”
“Jangan sentuh aku, Mas!” Aku bergidik melihat kelakuan mereka.
Kuangkat kepalaku tegap. Aku tidak boleh lemah di hadapan mereka meski air mata ini sudah menggenang di pelupuk mata. “Kita putus, Mas!”
“Lisa! Ini tidak seperti apa yang kamu lihat.”
“Aku tidak buta, Mas! Bahkan telingaku juga mendengar percakapan kalian. By the way aku ucapkan selamat. Kalian pasangan yang cocok.”
Aku berbalik dan pergi meninggalkan mereka meski Mas Rendra masih mengejarku. Dia memanggil namaku beberapa kali, tetapi kuabaikan. Hatiku terlampau sakit menerima kenyataan ini.
Aku berlari tunggang-langgang sejauh mungkin untuk menghindarinya. Setelah apa yang dia lakukan kepadaku, tidak mungkin aku bisa memberikan maaf untuk mereka. Mereka orang yang sangat kupercaya, ternyata menikamku dari belakang.
Langkahku terhenti ketika mendengar suara anak kecil memanggilku. “Bunda Lisa!”
Aku menoleh ke asal suara. Dilihat dari pakaian yang dikenakan, dia adalah murid di tempatku mengajar. Lekas kuhapus air mataku supaya tidak terlihat memalukan. Murid di sekolahku terlampau banyak. Aku tidak mungkin menghafal satu-satu kecuali mereka pernah di kelasku.
“Hai, Sayang. Kamu sama siapa di sini?” Aku berjongkok mensejajarkan tinggi badanku dengannya.
“Aku sama Papa.”
“Di mana papamu?”
Aku melihat sekeliling, tidak ada orang di taman bermain ini. Taman Tirto Agung Merupakan RTH (Ruang Terbuka hijau) yang ada di kota Semarang. Tempat ini cukup menarik perhatian masyarakat. Lokasinya sangat dekat dengan pintu keluar Tol Tembalang-Ungaran.
Sekilas yang terlihat di taman ini hanya puluhan penjual jajanan dan permainan anak, padahal jika masuk lebih dalam akan banyak sekali sarana taman yang menarik.
“Papa pergi, katanya mau beli minuman.”
“Aku ada minuman, nih.”
Aku tersentak kaget mengetahui jika aku berlari tanpa membawa apa pun. Minumanku tadi di mana? Aku bahkan melupakannya karena terlalu terburu-buru. Sinyal! Pasti Mas Rendra sudah meminumnya bersama Mika.
“Mana?” tanya anak kecil itu.
“Sepertinya Bunda lupa membawanya.” Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. “Siapa namamu?”
“Namaku Zahra. Aku sering melihat Bunda di sekolah. Bunda Lisa sangat cantik. Aku ingin menjadi seperti Bunda.”
Kuusap peluh yang bercucuran di dahi dan leherku menggunakan sapu tangan. Beruntung aku memakai celana panjang hingga membuatku bisa berlari tanpa takut jatuh. Kugulung kemeja putihku hingga ke siku. Rasanya panas sekali setelah lari cukup jauh dari Mas Rendra.
“Kita duduk di sana, ya! Nunggu papa kamu datang.”
Akhir-akhir ini marak isu penculikan anak yang katanya akan diambil dan dijual organ tubuhnya. Sebagai seorang guru, kami harus meningkatkan pengawasan terhadap anak di sekolah. Entah siapa ayah dari anak ini. Kenapa dia tega membiarkan anaknya bermain ayunan sendiri di taman.
Baru saja kami duduk, kulihat Mas Rendra datang dengan napas terengah-engah. “Lisa, kita harus bicara. Mika menjebakku.”
Aku bergeming, tidak kuhiraukan ucapannya. Aku sudah muak dengan mereka. Dijebak atau diperkosa pun aku tidak peduli. Yang jelas mereka sudah melakukan perbuatan hina itu. Terlebih ada janin yang dikandung Mika. Meski aku merasa dikhianati, aku ingin Mas Rendra mempertanggung jawabkan perbuatannya.
“Ada anak kecil di sini. Jangan bahas itu. Pergilah!”
“Aku tidak akan pergi sampai kamu mempercayaiku, Lisa.”
“Aku percaya padamu, Mas. Untuk itu kamu harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah kalian perbuat. Mika sahabatku, nikahilah dia!”
Zahra menatapku bingung. “Bunda, siapa dia?”
Belum sempat aku menjawab, seorang laki-laki berpakaian kantoran datang membawa tiga cup es cappucino cincau. Dia menghampiri kami dan mencium pipiku. Setelah itu dia beralih pada gadis kecil di sampingku.
“Sayang, lama ya, nunggunya? Ini Papa bawakan minuman kesukaan Bunda.”
Aku masih bergeming di tempat. Selama dua tahun pacaran, tidak sekali pun Mas Rendra menciumku. Namun, siapa lelaki ini? Berani-beraninya menciumku di depan mantan pacarku. Tubuhku rasanya lemas dan ingin ambruk. Ada getaran aneh ketika dia menyentuhku.
“Lisa, siapa dia?” Mas Rendra pun terlihat emosi melihatku dicium seorang lelaki.
“Aku calon suaminya,” jawab lelaki yang sepertinya adalah papanya Zahra.
Rasanya aku ingin pingsan mendengarnya. Siapa lelaki ini? Beberapa detik yang lalu dia menodai pipiku, sekarang dia mengaku menjadi calon suamiku.
Bersambung ....
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
