
7. Angkot Ciledug
Kimmi berdecak. Memukul helm Keropinya sendiri. Anin melotot.
"Dih. Susah ya lo!"
"Gue juga mau punya anak."
"Emang Saga nggak bisa ngasih?"
"Ya ... mana tahu?" Anin membuang bola mata. "Kehidupan malam gue nanti gimana?" ucap Anin pelan.
"Apa?!" Kimmi tergelak keras. “Kehidupan malam banget Nin ngomongnya? Lo pikir lo kalong?!”
"Arrrgghh!!!"
Anin berguling, salto, berenang gaya katak, kemudian memepes kepala menggunakan bantal, atau apapun sikap absurb manusia galau, telah ia coba di atas kasur tunggalnya.
"Ck!" Kimmi berdecak di pintu kamar mandi. Mengeringkan rambut usai keramas. "Masih aja. Kalau nggak yakin, yaudah."
Tangannya mengambil bantal yang menutupi muka Anin. Lama-lama Kimmi capek sendiri melihat tingkah sahabatnya.
"Sana! Mandi! Jadi nggak nih gue temenin ngambil motor?"
"Jadi," jawab Anin lesu.
"Yaudah. 2 jam lagi gue masuk shift. Waktu gue dikit nemenin lo cari baju."
Anin bangkit. Rambut panjangnya awut-awutan. Genderuwo saja kalah kerennya. Penuh lunglai, dia berjalan ke kamar mandi.
Malam itu, 2 minggu lalu, Anin menolak permintaan Bang Regi. Apalagi Bu Roro. Anin tidak siap. Tung-hitung, dia akan memantapkan diri menjadi karyawan BGC saja daripada lelah hayati dan ragawi melayani Sagala. Sambil mencari target baru sesuai rencana awal.
Banyak yang menjadi pertimbangan Anin.
Menerima tawaran Bang Regi, Anin masih mampu. Dia mungkin bisa menyiapkan sumbat telinga. Bersikap masa bodoh pada apa saja yang Sagala umpatkan padanya.
Hal yang Anin hindari adalah jika bekerja pada Sagala, artinya dia juga akan bertemu Bu Roro. Akan seperti apa muka segannya menghadapi Bu Roro yang telah menawarkan harta karun terbaiknya, tapi malah ditolak oleh Anin.
Bisa jadi, Anin dianggap tidak tahu bersyukur. Tidak berterima kasih pada banyak kebaikan Bu Roro yang menerimanya sebagai guru privat ketika Anin bangkrut ditipu mantan pacar. Lobi orang dalam Bu Roro juga berhasil meloloskan Anin untuk mendapatkan beasiswa sampai lulus.
Dilematik.
Menerima Sagala sebagai suami juga bagaikan masuk jurang. Masih mending jika pria kursi roda itu melimpahinya rasa kasih sayang. Anin bersedia mengurus dan menerima keadaannya. Ini sudah fisiknya tidak sempurna, mulut dan sikapnya ikut-ikutan cacat. Pikiran Anin tak sampai di situ. Dia juga sampai membayangkan bagaimana jika Sagala tidak bisa memberinya keturunan. Anin belum tahu Sagala lumpuh di bagian mana saja. Begini-begini kan Anin juga mau jadi ibu-ibu sosialita yang menjemput anak di sekolah keren naik Alphard. Sudahlah! Kepala Anin mau pecah rasanya!
-------
Minggu siang, mereka berdua telah duduk rapi di bangku serong paling belakang angkot hijau jurusan SMP 2. Menuju bengkel langganan motor Anin. Motor Scoopy-nya sedang ngambek. Terpaksa menginap di bengkel selama 2 minggu terakhir. Sebenarnya, mas montir telah menghubungi sejak seminggu lalu. Apa daya? Baru hari kemarin Anin gajian.
Gajian jugalah yang akhirnya memberanikan Anin pulang ke Blora besok. Menengok kondisi adik bungsunya yang kini telah keluar dari RS dalam keadaan sembuh.
Hari ini, setelah mengambil motor, Anin akan mengantarkan Kimmi ke Mall Pondok Indah—tempat Kimmi bekerja— sekaligus berbelanja oleh-oleh murah yang sekiranya punya tampilan mahal. Anin tidak boleh ketahuan melarat di mata keluarga sendiri.
Aspal Ciledug cukup mulus. Meski terkadang ada lubang yang membuat tubuh keduanya berguncang. Ke kanan. Ke kiri. Hanya ada 1 penumpang lain selain Kimmi dan Anin. Seorang ibu berkerudung instan yang membawa keranjang belanjaannya.
"Kalau gue jadi lo nih ya, Nin, gue terima."
Nada Kimmi mantap. Tanpa keraguan. Goyangan angkot tak menyurutkan semangat Kimmi. Helm di pangkuan menjadi salah satu bawaan selain tas. Tas besar berisi baju cantik lumayan mahal, juga alat make up. Sampai mall, Anin akan mengganti baju leceknya dan membenarkan make up. Sedangkan Kimmi membawa seragam yang biasa digunakan untuk bekerja.
"Alasannya?"
"Buset dah. Kenapa lagi? Bertahun-tahun kita kerja buat apa sih, Nin, kalau nggak nyari duit? Sekarang ada yang nyodorin masa dilewatin."
"Tapi dia lumpuh. Mulut kayak naga."
"Ya kali. Lo baik-baikin dia aja. Ntar juga luluh. Makanya lo pernah dengar sugardaddy sama sugarbaby?"
Anin bergidik ngeri. "Amit-amit!"
"Tamu toko gue banyak. Bahkan ada yang nikah sama bapak-bapak yang umurnya udah seumuran bapaknya sendiri. It's okay. Asal nggak pelakor kan? Dan ini Saga. Masih muda. Cucu mantan presiden, Buk. Dih, bego kalau lo nggak ambil!"
"Gue juga mau jadi Cinderella, Kim. Nggak cuma jadi queen, tapi dapat juga king yang tampan. Baik. Yang bikin gue nggak eneg ngobrol sama dia."
Kimmi berdecak. Memukul helm Keropinya sendiri. Anin melotot.
"Dih. Susah ya lo!"
"Gue juga mau punya anak."
"Emang Saga nggak bisa ngasih?"
"Ya ... mana tahu?" Anin membuang bola mata. "Kehidupan malam gue nanti gimana?" ucap Anin pelan.
"Apa?!" Kimmi tergelak keras. "Kehidupan malam banget Nin ngomongnya? Lo pikir lo kalong?!"
Kimmi terpingkal. Angkot sepi adalah tempat paling cocok untuk ngerumpi. Daripada diam saja. Nanti dikira anak cupu sama sopir dan dinaikkan ongkosnya. Perut Kimmi sakit sendiri. Anin malu setengah mati.
Si ibu di dekat pintu menoleh. Memperingatkan pakai tatapan tajam. Sopir angkot pun ikut mengintip dari spion tengah. Dua cewek berisik ini turun dimana ya? Dari tadi heboh sendiri.
"Lo pikir Saga impoten?!!" Kimmi makin nyeplos. Sedikit berbisik begitu tahu pipi Anin memerah. "Bisa jadi sih. Eh, tapi ada bayi tabung kan? Lo bisa coba."
"Kimmi. Stop!"
"Lagian. Jauh banget lo bayanginnya."
"Ya gue nikah kan nggak cuma setahun dua tahun."
"Atau kawin kontrak? Kayak yang di TV-TV."
"Ogah."
"Lo bisa angkat anak. Nggak sedikit orkay angkat anak. Masih banyak yang membutuhkan uluran tangan menantu keluarga Birendra, Nin! Ecieeehh ... !"
Anin malu sampai ubun-ubun. Sialan memang si Kimmi. Anin mengetuk kaca jendela pakai koin. "Berhenti, Bang!"
"Eh, kok cepat?" Kimmi panik celingukan. Dia membereskan bawaannya. "Nin. Ini kan belum SMP 2, Nin!"
Anin ngambek.
"Bodo amat. Jalan. Biar energi lo habisnya nggak cuma buat ngimpi doang."
-------------
"Loh, Anin?"
Anin menengok. Baru saja melihat-lihat koleksi baru store tempat Kimmi bekerja, seseorang memanggilnya. Bukan. Anin nggak mungkin belanja barang-barang senilai gajinya setahun itu. Dia hanya meminta izin cuci mata sambil afirmasi. Mumpung ada kenalan orang dalam.
"Bu Roro?" Anin mendekat. Mencium tangan wanita paruh baya bersetelan Chanel tersebut. "Belanja ya, Bu?"
Anin tidak perlu bertanya. Di tangan kanan kiri asisten Bu Roro telah ada 3 paperbag brand kenamaan Italy.
"Iya. Anin lagi ngapain?"
"En ... nggak. Teman saya kerja di sini. Tadi nganterin aja."
"Sejauh ini?"
"Iya."
"Sekarang mau kemana?"
"Mmm ... " Anin masih berpikir.
"Sibuk nggak?"
"Nggg ... " Sibuk, Bu. Mana berani Anin bilang sibuk di depan ibu-ibu yang aslinya lebih sibuk kemana-mana daripada Anin.
"Ikut saya yuk?"
"Ke ... kemana?" tanya Anin ragu ketika lengannya telah digandeng begitu saja. Keluar dari store. Menuju entah kemana.
"Temani saya cari sweater untuk Saga."
"Hah?" Saga lagi? "Emmm ... sebenarnya saya mau—"
"Saya nggak akan bilang kalau belinya sama kamu."
"Saya ... "
Anin mau belanja sendiri, Bu. Terus pulang. Packing. Besok Anin mau pulang kampung. Mau ketemu keluarga Anin.
Bu Roro berhenti. Memandang Anin penuh tanya. Juga pengharapan. Mata bulatnya memang selalu teduh dan membuat Anin sulit menolak kebaikan hatinya.
"Boleh minta waktu Anin? Sebentaaar saja ... ada yang perlu saya sampaikan. Ini penting."
-------
Nah lho...
Besok Bab 8 mulai digembok yak.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
