Salah Target 3

40
3
Deskripsi

"Terus, terus? Lo rencana mau jadi pelakor?"

Anin mengetuk kepala Kimmi memakai topinya selagi mereka menunggu ojek online di teras kost.

"Sembarangan! Kepala lo nggak lagi eror, kan, Kim?! Gue gini-gini juga masih gadis berharkat martabat tinggi ya ... Nggak level. Kayak nggak ada cowok lain aja!"

Terang-benderang menyapa mata Anin. Bukan oleh sorot mentari dari balik jendela. Melainkan Kimmi yang seenak hati melepas penutup mata tidurnya.

Terang yang menyapa penglihatan Anin barusan adalah lampu kamar. Sejak mereka bersahabat, Anin baru tahu Kimmi hanya bisa tidur dalam keadaan lampu menyala. Sedangkan, Anin berkebalikan. Baru terjatuh lelap oleh kegelapan. Seolah hati lebih tenang, menurut Anin, kegelapan selalu memberi pelukan dan rasa nyaman.

"Handphone lo. Ibu lo telepon barusan."

Anin masih mengerjap dalam duduk. Memanggil kesadaran penuhnya. Dia mengamati layar ponsel berlayar mati di nakas. Sudah tak ada lagi panggilan. Sembari merebahkan tubuh lagi ke kasur, Anin berguling ke tepi, mendekati nakas. Dilihatnya jam tangan yang masih menunjukkan pukul 2 malam. Matanya membola maksimal. Tubuhnya langsung tegap berdiri.

Ada masalah apa Ibu menelepon dini hari begini?

Tanpa pikir panjang Anin mendial nomor Ibu. Dalam beberapa detik, suara serak Ibu terdengar di seberang sambungan. Terpatah diiringi rintihan di belakang.

"Aya sakit. Demam. Tadi barusan kejang. Ini Ibu baru siap-siap ke rumah sakit. Diantar Aris."

Bagai kejatuhan bongkah batu, dada Anin terasa sesak tak mengenakkan.

"Tapi Aya nggak parah kan, Bu? Yaudah cepat. Ibu ke rumah sakit aja. Jangan panik. Ada Anin. Kabarin Anin terus. Kalau butuh apa-apa bilang Anin. Bawa BPJS. Ini Anin transfer dulu 2 juta kalau ada apa-apa."

2 juta bagi Ibu merupakan nominal besar. Juga untuk Anin yang bersusah payah mengirit demi menggemukkan rekening yang kurus kering beberapa tahun belakangan.

Setidaknya uang tersebut sanggup mewakili Anin yang selama 6 bulan terakhir tak bersua. Ibu hanya tahu Anin adalah orang sukses di ibukota. Anin selalu beralasan sibuk bekerja hingga tak punya waktu pulang. Dia hanya malu. Juga enggan melihat binar mata Ibu redup dipenuhi kekhawatiran. Tak satu pun keluarga di Blora yang tahu Anin bangkrut beberapa tahun lalu.

Sisa keluarga Blora yang Anin tinggalkan merantau, Ibu, Aris, Atika, Ai dan Aya adalah tanggung jawab Anin sebagai anak tertua. Ibu seorang pedagang sayur matang. Aris masih berstatus siswa kelas 3 SMA. Atika dan Ai masih berstatus murid SMP. Sedangkan Aya adalah adik terkecil, baru berusia 4 tahun. Bapak Anin meninggal saat Ibu hamil muda Aya. Mulai saat itu, hanya Anin dan Ibu yang saling bergotong-royong memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Anin pernah berjualan tas kulit, viral dan mendapatkan untung besar. Ia sempat cuti kuliah satu semester demi mengembangkan bisnisnya. Hingga pacar Anin bernama Jero, pria melarat yang bergaya gedongan, membawa lari seluruh modal yang Anin niatkan untuk membeli sebuah gerai. Beruntung Anin sempat membelikan 1 patok sawah di Blora. Sayangnya, ternyata hasil sawah juga tidak bisa diharapkan.

Anin kecewa. Segala usahanya selama ini sia-sia. Sebagai manusia lemah tanpa dukungan moril, cinta dan kepercayaan yang dimanfaatkan, Anin memutuskan untuk mengubah jalur usahanya. Yaitu menjadi bagian keluarga dari orang-orang berkantong tebal tersebut.

Sulit tidur karena memikirkan kabar Aya, Anin baru terlelap justru usai Subuh. Hatinya sedikit tenang karena Aya telah mendapat penanganan dokter. Akhir pekan dia akan merencanakan pulang Blora.

Penutup mata Anin lenyap lagi. Disingkirkan oleh Kimmi. Matahari sudah sangat garang menyusup di jendela. Melihat jam di nakas, Anin sontak berdiri.

"Gue telat," ucapnya sembari melesat mengambil handuk dan menuju kamar mandi.

"Emberan ..." Kimmi memulas bedak santai sambil senyum-senyum jahil melihat sahabatnya kelimpungan. "Lagian, udah gue bilangin nggak usah tidur."

Anin keluar tergopoh dari kamar mandi setelah 1 menit masuk. Mandi macam apa itu?

"Jadi ... Lo masih nggak mau curcol gimana ceritanya caddy cantik itu bisa dapatin that most eligible bachelor."

"Nanti. Telat."

Anin menjawab dalam mulut penuh makanan. Tangannya multitasking memakai sepatu, menyiapkan tas dan segala perlengkapan.

"Beruntung telat begini gue masih berbaik hati nyisain lo mie goreng."

"Aduh ... makasih Kimmi yang baik hati nan cantik."

"Makanya jangan bikin gue pingsan penasaran dong!"

Kimmi juga telah rapi dalam pakaian kerjanya. Berbeda dengan Anin, Kimmi mengambil pekerjaan sebagai pramuniaga di salah satu gerai brand ternama dunia. Tentu saja impian Kimmi tak jauh-jauh beda dari Anin. Hanya saja Kimmi masih sedikit lebih waras. Siapa tahu nasibnya di toko itu bisa berubah layaknya Georgina yang bertemu Ronaldo.

"Nggak mati penasaran sekalian?"

"Ogah. Nggak jadi dengar cerita lo lah kalo keburu isded!"

"Cindy masih malu-malu sih ngakuinnya. Cuman ... ya ... kata dia karena nyaman. Bang Regi menganggap Cindy nyaman jadi tempat berbagi cerita. Jadi dulu Bang Regi kalau suntuk ke BGC. Lama-lama keterusan lah."

"Bullshit! Pasti karena Cindy cantik."

"Itu juga sih. Cantik, sopan, kalem."

"Terus, terus? Lo rencana mau jadi pelakor?"

Anin mengetuk kepala Kimmi memakai topinya selagi mereka menunggu ojek online di teras kost.

"Sembarangan! Kepala lo nggak lagi eror, kan, Kim?! Gue gini-gini juga masih gadis berharkat martabat tinggi ya ... Nggak level. Kayak nggak ada cowok lain aja!"

Ya. Anin telah memutuskan. Dia tak akan mengambil hati milik orang. Amit-amit. Anin tidak mau terkena karma suaminya diambil pelakor lain. Tahu sendiri. Suami masa depannya pasti akan banyak singa betina lapar yang mengincar padahal cincin kawin tersemat begitu besar di jari suami.

"Terus? Ngapain dong ini lo memenuhi undangan tuan kaya raya itu?"

"Gue mau kangen-kangenan sama Chan aja lah. Dekat-dekat Bu Roro. Siapa tahu ada jabatan bagus buat gue di kantor. Kerja pakai setelan cakep, kacamata dan ilmu gue kepakai. Biar keliatan pintar dikit lah di depan target gue. Gue butuh dana cepat. Aris mau kuliah. Ibu juga udah tua."

Kimmi tertawa merangkul sahabatnya. Akhirnya, Anin mau mulai memikirkan karirnya sendiri setelah petualangan mencari cinta nggak jelasnya selama ini.

"Gue dukung. Asal kalau udah dapat, jangan lupain gue, sahabat lo dalam suka maupun duka."

"Pasti. Ntar lo gue jodohin sama sekretaris suami gue." Imajinasi Anin makin melambung. Dia terbahak sambil memegangi perut menertawakan bayangannya sendiri. "Capek juga gendongin golf bag, cuy."

------

"Bang Regi!"

Panggil Anin tergopoh-gopoh lari setelah memastikan Bang Reginya selesai main. Juga Bu Melinda berikut 3 kliennya pamit pulang.

Anin tertunduk bertumpu lutut masih mengatur nafas. Tetes-tetes keringat terjatuh di rumput hijau. Bang Regi masih berpikir panjang. Puzzle ingatannya baru terkumpul setelah Anin melepas topinya, dan menyebut nama sendiri. "Anin, Bang. Guru privatnya Chan dulu."

Regi menjentikkan jari yakin. "Ya ya ya ... Anin. Apakabar kamu?"

"Baik, Bang. Bang Regi apa kabar? Ibu Bapak Agung sehat selalu kan?"

"Baik, baik. Alhamdulillah. Kenal Cindy dong?"

Cindy tersenyum di belakang Bang Regi sambil memasukkan golf stick ke dalam tas.

"Pasti." Seloroh Anin percaya diri. "Juga tahu kalau Bang Regi cuma mau main ditemani Cindy di BGC ini," senyum Anin memberi lirikan menggoda pada Cindy dan Bang Regi bergantian.

Bang Regi terbahak. Kemudian mereka berjalan menuju gedung utama bersama setelah Bang Regi mengambil alih golf bag yang seharusnya Cindy bawa sebagai caddy. Juga mengangsurkan payung agar Cindy pakai selama berjalan di bawah terik yang menyengat. Kalau begini kan Anin jadi baper sendiri. Kapan dia merasakan indahnya diperhatikan suami kaya begini? Cindy pasti sedang ditahap sudah nggak perlu memikirkan siapa nanti yang akan bayar traktiran makan sore dan malam.

"Kamu kenapa kerja di sini? Sayang ijazahnya."

"Gajinya lumayan. Lagi banyak kebutuhan. Daripada nganggur, Bang." jujur Anin penuh maksud terselubung. "Banyak ketemu orang hebat juga. Siapa tahu nanti saya kecipratan."

Kecipratan sukses? No.
Kecipratan tertulis nama dalam satu buku nikah yang sama? Yes.

"Chan apa kabar, Bang? Udah SMA ya pasti?"

"Iya. Percaya nggak? Dia udah setinggi saya dan badannya lebih berat dari saya."

"Dari dulu memang gembul. Gemas banget!"

"Kenapa nggak nanya kabar Saga? Teman kuliah Anin, kan?" Senyum Bang Regi dengan sebelah alis naik. "Btw, dia juga alhamdulillah baik-baik aja kabarnya."

Anin berakting seolah baru ingat.

"Ah, iya ... Saga. Pasti udah hebat banget sekarang. Lanjut ke Aussie kan? Udah lulus, Bang?"

Bang Regi tidak menjawab. Dia justru tersenyum penuh arti sambil terus berjalan.

Setahu Anin, kabar dari teman-temannya, Sagala Birendra melanjutkan S2 Business Management di Melbourne mengikuti pacarnya yang telah lebih dulu kuliah di negeri kangguru itu.Β  Setelahnya Anin nggak mencari tahu.

Setelah mencapai gedung, lebih tepatnya di executive lounge, Bang Regi mendaratkan diri di sofa warna coksu super empuk itu. Melepas topi di meja sofa. Meneguk air mineral yang telah disiapkan. Wajahnya terlihat serius. Entah memikirkan apa. Bisa jadi beban pekerjaan sedang berat-beratnya. Terbukti dari dirinya yang hanya datang sendiri ke BGC tanpa membawa klien perusahaan.

Cindy pamit berganti baju diikuti Anin yang kehabisan topik bicara.Β  Bagaimana mau menciptakan obrolan nyaman bersama target nantinya, jika begini saja dia mudah sekali kehabisan topik bicara? Gara-gara Sagala. Kenapa pula dia tadi lupa menanyakan kabarnya?

Baru 3 langkah Anin pergi, Bang Regi memanggil Anin untuk kembali. Anin menurut.

"Kamu mau kerja sama saya aja nggak, Nin? Gajinya saya pastikan lebih besar dari di sini. Walaupun saya belum tahu gaji kamu sama seperti Cindy atau nggak."

Kelopak mata Anin otomatis berubah bermotif lembaran dollar-dollar bertebaran. Tapi kemudian dia berpikir. Masa iya dia mau menggaet Alisan. Sedaun-daun mudanya Alisan, dia masih di bawah umur. Anin gila!!

Kepalanya menggeleng. Lantas 2 detik kemudian, dia mengangguk. Teringat dia butuh dana cepat setidaknya untuk persiapan masuk kuliah Aris.

"Mau. Jadi guru privat Chan lagi? Anin bisa kok materi anak SMA. Keciiiilll ... !!" Anin memajukan jentikan jari kelingkingnya di depan Bang Regi yang masih duduk tanpa bersandar.

Bang Regi tergelak sampai tubuhnya berguncang. Kedua matanya masih menatap Anin sambil geleng-geleng tak habis pikir.

"Besok ke rumah ya? Saya tunjukkan dulu jobdesknya dan kita sepakati nominal gaji yang cocok. Kalau oke, saya merasa beruntung banget, Nin, kamu bisa bantu saya sama Mama."

-------

Wowww ... Mayan Ninnn.. gak panas-panasan lagi lah minimal 🀣🀣🀣

-------

🌷🌷🌷

Author's note:

Teman,
Seperti biasa,
Aku upload cepetnya sampai bab 7 ya di Wattpad ini. Bab 8 ke belakang, slow tiap seminggu sekali InsyaAllah seperti biasa.

Jalur cepat khusus warga KBM dan KaryaKarsa nanti.

Sekarang kita bisa menikmati bareng2 dulu sampe bab 7.

Salah Target ini juga sepertinya nggak panjang-panjang. Tahu sendiri ya. Novel terpanjangku cuma sampai bab 55.

Jadi kalau nggak 20-30an, ya 40an bab aja.

Oiya akun aku di sana sama kok. Shining Haha. Jangan lupa follow dan subscribe ya.

Β 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi πŸ₯°

Kategori
Salah Target
Selanjutnya Salah Target 4
54
3
4. Rumah Pondok IndahChan menoleh. Dahinya mengernyit maksimal mengamati dari atas ke bawah sosok perempuan yang berjalan mendekat dengan riangnya. Atasan kemeja warna milo, lengan sesiku dengan motif titik-titik, bagian depannya dimasukkan ke dalam kulot hitam. Rambut panjangnya dikucir kuda, juga kaos kaki hitam menutupi kaki.Ih, masa lupa? Mbak Anin. Anin menunjuk diri sendiri. Kita dulu sering bikin kemah depan kamar. Jangan bilang-bilang Mama kalau hari ini kita nggak belajar tapi malah pesta. Jangan bilang-bilang Mama kalau hari ini kita kabur beli mobilan, jangan bilang Mama kalauβ€”Mbak Anin berhenti!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan