
Ketika Hanya Hati yang Saling Bicara
bab 3. PENASARAN AKU DIBUATNYA
bab 4. HCU PANAS KARENANYA
(ARTERIA)
Mengaku sebagai anak gaul Jakarta, baru sekarang gue menginjakkan kaki di car free day Sudirman-Thamrin dari seumur gue tinggal di sini. Dalam artian, benar-benar terjun dalam kerumunan orang jalan yang kebanyakan hanya pose bercandaan, gandengan tangan mesra, dengarin musik, atau malah berkumpul di satu titik sambil cekikikan memandangi lalu lintas manusia. Seperti gerombolan anak SMP yang barusan gue lewatin. Meskipun, terdapat beberapa yang tampak benar-benar berniat lari demi kesehatan.
Tentu saja, gue suka olahraga. Dulu, sebelum jadwal Minggu disibukkan oleh kedatangan Ustadz Adiyat, gue dan Papa sering kabur pagi-pagi ke GBK. Pace gue sekitar 8 min/km. Jadi selama 40-an menit, gue bisa muterin GBK 5 kali. Nggak tahu sekarang. Mungkin gue akan berasa jompo balik-balik ke sana. Papa nggak kalah hebatnya. Papa sudah langganan berolahraga jenis lari ini sedari gue kecil. Meski nggak dipungkiri, faktor usia juga berperan. Tetap, 4 jempol gue berikan pada Papa.
Gue bersama anak-anak koas Obgyn. Hasan, Ezhar, Rico serta beberapa koas perempuan. Hanya Sasi saja, koas THT yang menyelundup karena ajakan Alana untuk menemani. Ini tugas terakhir kami sebelum ujian. Membagikan brosur tentang pentingnya deteksi dini kanker serviks.
"Balik dari sini, mau ngopi dulu nggak, Pak?"
"Gampang."
"Nebeng mobil lo ya?"
"Oke lah." Gue lirik tim koas lainnya yang semangat sekali memberi penjelasan pada seorang ibu di jalur pejalan kaki di depan sana. "Gue traktir sekalian deh semuanya."
Fokus gue hilang, gara-gara Ezhar langsung menepuk punggung keras dan merangkul. "Wohooo ... Koko gue emang paling dermawan. Yang cewek-cewek diajakin juga nggak nih?"
Gue memutar bola mata. Ezhar terlihat senang sekali.
"Terserah."
"Kita ajakin!" sahut Hasan nggak kalah menggebu.
Tanpa meminta restu gue lagi, langkahnya ringan menuju grup perempuan. Seenak udel, meninggalkan tugas kerjaannya yang masih setumpuk, membagikan brosur. Adik kelas durhaka, kan, dia?
-------
"Dalam rangka apa nih?"
"Persiapan ujian."
"Kan, satu stase lagi jadi Pak Dokter, Bro kita ini?" tambah Rico membanggakanku.
"Apa ajalah menurut kalian."
Mereka terbahak. Gue sandarkan punggung ke sofa. Nggak ada yang harus dirayakan, bukan, untuk mentraktir teman? Gue memilih menyesap iced cappucino saja selagi mereka bertukar informasi tentang enak enggaknya stase selanjutnya. Memandang jalanan ibu kota pada hari Minggu dari area outdoor ini. Hanya ada sesosok perempuan di ujung sofa sana yang tersenyum segaris, asyik dalam dunianya sendiri. Matanya enggan bergeser dari apa yang ada di tangan. Caramel macchiato di meja saja belum tersentuh. Hingga berembun. Satu yang kuyakini, meski tampak sibuk, dia akan selalu paham dan mendengar apa yang kami bincangkan.
"Internship mau ambil mana, Pak?"
"Luar Jawa. Puncak gunung," jawab gue yakin.
Sedetik, gue tersenyum bangga, berhasil menarik perhatian seseorang. Dia meletakkan buku di pangkuan. Mata itu beralih tatap ke gue. Bukan gue suka Alana, ada hati dan sebagainya. Bukan gue mau dia memperhatikan. Hanya, dari sekian banyak perempuan dengan segala keribetannya, kenapa dia bisa menjalani hidup sesantai orang bertamasya? Mungkin, yang dia bayangkan kini, sedang membaca novel berteduhkan payung pantai, menghirup nafas dalam, menunggu angin segar menerpa wajah.
"Gils! Sejauh itu, Kak?"
Gue mengangkat kedua bahu cuek, menjawab pertanyaan Maya.
Luar Jawa, daerah pengunungan, bukan bualan semata. Penat yang menumpuk belakangan ini, gue rasa perlu dikikis perlahan dengan menjauh sejenak. Mencari oksigen bersih, yang siapa tahu mampu menjernihkan isi otak gue.
"Kecuali, ada alasan yang bikin gue tetap tinggal."
Serempak, mereka bersorak menggoda. "Roman-romannya, masih ada yang kebawa baper sisa-sisa patah hati kemarin nih." Ezhar berkelakar paling keras.
"Bukan. Itu masa lalu. Udah gue buang jauh-jauh."
Rico merangkul bahu gue. Menepuk dua kali. "Sabar, Pak. Sabar."
Tentang kespontanan gue, yang masih menginginkan istri pria lain, harus dikubur dalam-dalam, bukan?
Mengingat gue pernah lupa diri mencampuri urusan orang, hanya demi menyelamatkan pujaan hati, berujung mengacaukan rumah tangga, nggak lagi-lagi gue lakukan. Meski semestinya, telah selesai oleh jabat tangan perdamaian dan penjelasan pria itu tentang duduk perkaranya, tapi ada sebersit geram yang gue pertahankan sampai saat ini. Bagaimanapun, lelaki itu sukses menyakiti teman gue, gue sendiri dan sahabat lainnya juga.
"Pacar?"
Suara itu. Akhirnya, dia bersuara. Terkadang gue bingung. Dia sedang ditimpa musibah atau tanpa masalah, nggak ada bedanya. Kecuali, buku itu lepas dari tangannya, maka Alana akan berubah jadi gadis cheerful yang gue suka.
Alana bertanya sambil mengerutkan kening. Matanya terlihat jengah. Enggan. Nggak suka.
Gue salah apa, woi?
Jawabannya, bukan pacar tentu saja. Andai Alana tahu. 'Kecuali' yang gue maksud adalah jika suasana rumah kembali seperti dulu, maka gue akan tinggal.
Dia mengerjap setelah gue menggeleng samar sambil menenggak sisa iced cappucino sampai habis. Ditatap tajam, dilempari pertanyaan yang hanya sepatah kata itu, gue merasa dikuliti. Alana mirip cenayang cantik pendiam yang kalau salah nyolek, bisa langsung senggol bacok.
"Kenapa jadi gue sih, yang jadi topik obrolan? Ganti lah!" Gue menunjuk satu orang tepat di depan meja. "Lo, Sasi, gimana rasanya kemarin dapat penguji terhoror se-Obgyn?"
"Lah dia mah. Mau sehoror apa, pengujinya juga menyesal kali, Kak, ketemu koas terhoror dua ribu—"
Sasi maju. Memiting Maya. Tangannya membekap sampai perempuan itu nggak melanjutkan ledekannnya.
"Mulut lo, Sis!"
---------
(ALANA)
"Gue belum ngulang hafalan lagi!"
Dia meremas rambutnya frustasi di depanku. Arter yang konon penuh persiapan, tiba-tiba datang terlambat, tergopoh-gopoh, ngos-ngosan, lalu bilang begitu? Ke mana Arter yang dulu?
"Dari mana sih? Kata junior, udah selesai caesar-nya Dokter Ramadhan."
"Sorry. Ada sedikit urusan. Semaleman gue juga jadi nggak kepikiran hari ini ujian."
Aku menghembus nafas panjang. Seremeh itukah kedudukan ujian ini dalam hidupnya? Ya sudah lah. Berarti dia wajib menanggung resikonya sendiri, kan?
"Tapi yang kita pelajarin kemarin lusa, lo masih ingat, kan, Kak?"
Aku mendongak dari bangku. Dia masih bertahan berdiri setelah mengeluarkan lembaran kisi-kisi dan meletakkan tasnya di sebelahku.
Penguji kami sama. Waktu ujian juga sama. Aku dan Kak Arter. Pertanyaan face to face. Jika salah satu nggak bisa menjawab, maka akan dilempar ke yang lain. Skor lebih banyak dinyatakan lulus seketika. Sedangkan, rival yang skornya lebih rendah, harus mengulang ujian di lain hari. Kami sudah mirip teman makan teman. Sejujurnya, ada setitik lega, Arter berdalih belum mengulang belajar. Posisiku aman. Namun, aku juga sedih. Dia seharusnya belajar maksimal.
Suruhan Dokter Ramadhan akan memanggil kami berdua ke ruangan staf di IBS jika SC pasien VIP beliau sudah selesai. Sebelumnya, aku telah meminta tolong koas junior dari dalam IBS agar mengabari aktivitas beliau. Lantas, jadi ketar-ketir ketika Arter belum tiba dan nggak menjawab teleponku dari tadi. Ingin sekali menjitaknya tapi sayang, dia haram disentuh.
"Sedikit," akunya.
Kusodorkan air mineral yang masih utuh padanya dari bangku sebelah. Siapa tahu berhasil meredam cemas yang menggelayut. Sekaligus meyakinkan, it's okay kalau dia mengulang lain hari. Toh, aku yakin. Arteria Zicco Tobby pasti lulus. Kemampuannya nggak diragukan lagi.
"Minum!" perintahku.
"Lo?"
"Gue masih kenyang. Lo kayaknya yang lebih butuh cairan."
Dia tertawa kecil. Gigi rata, putih, simpul sudut bibirnya membentuk lekukan indah. Senyum Arter ini, duh, boleh nggak aku ceritakan? Senyum yang menyuruhku harus segera membuang pandang sebelum lewat 1 detik. Kalau nggak, aku akan berenang-renang, tenggelam dalam kenikmatan yang setan bisikkan.
"Oke. Makasih, ya, Alana anak sholehah dan tidak sombong."
Aku mengangguk samar sambil menatap catatanku dengan tertunduk.
-------
Dokter Abrar: Gimana ujian? Kata Sasi, hari ini ujian?
Alana: Lancar. Alhamdulillah.
-------
Sasi: Mamis. Dicariin tuh.
Alana: Siapa?
Sasi: Bapaknya kumis lah. Siapa lagi? Ketemu di poli. Males bgt. Ketemu gue cuma buat nanyain lo.
Alana: Hahaha.
Sasi: Garing lo Sis.
-------
"Na, it's okay. Kita belajar lagi."
Arter menyejajari sedari tadi. Usahaku memelankan langkah, membalas pesan yang masuk, nggak sukses membuatnya pergi lebih dulu. Padahal, aku berharap, dia punya urusan yang sama belum selesainya layaknya sebelum ujian.
"Kita? Gue aja kali." Aku tertawa sinis selama menuruni tangga. Lebih tepatnya kecewa pada diri sendiri. Juga, ekspresinya selama di IBS, yang kelihatan sekali tertantang untuk mengungguli. Aku nggak tahu ini perasaanku saja atau bukan. Hanya, dia tampak amat bahagia menatapku tak berkutik, kehabisan jawaban. "Tahu nggak, sih?"
"Apa?"
"Kayaknya gue emang terlalu percaya diri."
"Bagus dong."
Arter mengerutkan kening.
"Gue kira lo yang bakalan masuk putaran dua. Nggak tahunya, gue."
"Wuih, Na!" Langkahnya menuruni tangga terhenti. Arter menggeleng nggak percaya. "Sadis. To the point-nya nusuk gue banget."
Ekspresinya campur aduk saat aku sekilas menoleh. Raut yang sama kutunjukkan sebelum ujian tadi. Bingung antara harus berempati atau bahagia. "Tapi ... gue nggak harus minta maaf, kan?" tanyanya.
Aku yang sekarang menggeleng. "Enggak. Tadi gue seneng-seneng sedih, lo nggak belajar. Sekarang, yang ada, jadinya sedih banget," jujurku.
Ingin rasanya menertawakan diri sendiri. Menyadari kesalahan bersikapku tadi.
Aku mendengarnya bilang, "so sorry," dalam suara lirih. Namun, Arter kemudian terbahak kencang setelah aku melanjutkan.
"Santai aja. Harusnya gue yang bilang maaf lagi." Aku tersenyum tulus. Benar tulus karena merasa bersalah. "Sekarang, lo juga pasti bingung, kan? Mau ikutan sedih atau happy. Di sini bisa aja cemberutan. Pisah dari gue, lo langsung senyum-senyum sendiri pasti, Kak."
Dia menuruni 2 anak tangga sekaligus. Lantas, berbalik di anak tangga terakhir. Tepat di depanku. Kaget. Aku jadi mengerem mendadak. Tubuhku membeku ketika mata kami ternyata sejajar dalam posisi ini. Aku langsung menepi. Menjauh.
"Gue akuin lo emang cenayang. Tapi kali ini lo salah, Na. Mau gue lulus kek, ngulang kek, nggak ada yang peduli sama pencapaian gue. Seru kan, hidup gue? Nggak seenak, sesantai yang lo punya."
Hmm, gimana? To the point-nya sekarang, yang justru bikin aku bengong sesaat.
Lalu, lagi dan lagi, penasaran itu datang kembali. Menambah rumit isi kepala, tapi amat bebal mendesak masuk.
Apakah aku harus bertanya kabar Arter yang sebenarnya?
Perlukah aku tahu apa yang sedang dialaminya?
Siapa yang tidak peduli? Aku saja yang bukan siapa-siapa, merasa lega bahwa dengan dia yang lupa—entah sengaja atau tidak— nggak belajar, nggak menyurutkan usahanya untuk menyelesaikan Obgyn ini secara sempurna.
Bagaimana sebaiknya aku menyikapi lelaki ini?
Berbekal julukan barunya yang menyebutku cenayang, aku nekat dan berubah menjadi sok tahu.
"Kalo urusan kuliah segampang ini lo selesaikan, gue tebak masalahnya ada di rumah ya? Atau, kalo semisal lo sedang dalam fase ngegebet calon pacar baru, seharusnya lo lagi happy-happy-nya, kan?"
Satu yang nggak berani kutanyakan. Aku gentar menyoal, telah sejauh mana Arter belajar tentang apa yang selama ini dia tanyakan berkali-kali padaku.
Kuputuskan untuk pergi, ketika kutunggu beberapa detik dia nggak ada niat merespon. Aku berbalik setelah beberapa langkah. Ternyata, dia masih membelakangiku.
"Oh ya, soal yang gue santai, bukan berarti gue nihil problematika, Kak. Masalah itu tergantung penerimaan. Ada dua alternatif. Mau lo tangkap sebagai masalah, atau lo anggap tamu sekadar lewat, yang minta dijamu dan bakalan pamit pulang. Kalo gue sih, gue prefer pilihan kedua. Gue harap lo juga, Kak."
Dia setia bergeming. "Duluan ya? Hati-hati pulang."
Aku benar-benar pergi. Seenggaknya, menyusuri koridor rumah sakit ramai orang, berhasil menenangkan hati. Hubunganku dengan Arter memang begini. Kami bisa akrab setelah membincangkan topik sepemahaman. Namun, berubah bersitegang jika nggak sejurus. Sama-sama mau menang sendiri, tapi merasa nyaman mengutarakan pendapat hati. Kadang dingin. Kadang hangat. Kecuali, sekarang. Detik ini. Momen ini. Di hiruk-pikuk ini. Genggaman hangat menyelusup di telapak tangan.
"Na?"
Jantungku hampir berhenti saking terkejutnya.
Kurang ajar!
Kuhempas kaitan tangannya. Meski yang kudapat adalah ... tatapan sipitnya yang kian sendu.
--------
Maap Koko, belum waktunya pegangan tangan yak 🤭✋
Hai hai ketemu lagi Mamake.
Yang masih belum tahu app ijo itu kbm app, yang merah KaryaKarsa ya. Di sana babnya jalan lebih dulu
------
BAB 4. HCU Panas Karenanya
(ARTERIA)
Haram hukumnya menyentuh perempuan bukan mahram. Kesalahan yang gue lakukan. Dampaknya? Bukan main. Alana seketika menjauh. Seolah gue ini lelaki bau busuk yang harus dihindari, agar nggak menular aromanya ke mana-mana.
Tanpa sadar, keinginan itu hadir. Meletup nggak terbendung. Mengusik ego, demi perempuan itu nggak meninggalkan gue di saat topik perbincangan berat kami belum usai.
Tentang bagaimana mengelola masalah. Gue rasa pendapat Alana ada benarnya. Memandang datangnya ujian hanya sebagai tamu numpang lewat, yang suatu saat akan ada penyudahannya.
Gue stres? Iya.
Bukan lantaran tatapan menghujam Alana, dimana gigi gingsul yang biasa mengintip kecil di celah bibir itu menghilang.
Bukan karena sikap dingin yang ditunjukkannya selama beberapa momen kami dipasangkan jaga bersama sampai di stase Interna ini.
Bukan juga tentang berminggu-minggu yang gue lalui, selama dia mendiamkan gue.
Namun, satu kehilangan yang nggak mau gue hadapi. Jalinan pertemanan kami.
"Curhat itu sama Allah. Teman Alana, ya, teman-temannya perempuan. Bini gue, Sasi, temen-temen perempuan. Bukan cowok-cowok macam kita."
"Maksudnya, gue suka aja sama cara berpikir dia, isi kepalanya. Lo ngerti maksud gue kan, Bro?" jawab gue setengah bohong. Jujur, hati gue juga tentram setiap Alana ada di sekitaran gue. "Kayak gue sama lo. Gue butuh orang yang nggak nge-judge karena emang otak gue masih dangkal soal agama."
Bapak baru ini merangkul gue selagi kami berjalan menuju HCU. Ilham. Teman seangkatan Alana. Adik kelas gue. Pria yang memegang rekor melepas masa lajang pertama di angkatannya, bahkan angkatan gue. Mantan ketua Rohis kampus. Anak Ustadz Adiyat yang beberapa kali juga datang menggantikan beliau jika berhalangan hadir. Baru saja dikaruniai seorang princess kecil 2 minggu lalu. Prestasi hidupnya sungguh meninggalkan gue jauh di belakang.
Entah kenapa gue nggak merasa iri pada cowok ini, sama halnya teman sepantaran gue lainnya?
Mungkin karena lagi-lagi nasihat Alana mengiang di kepala. Pencapaian hidup orang itu beda-beda. Sulitnya mereka bisa jadi mudahnya kita. Sukarnya kita bisa jadi bukan masalah bagi mereka. Nggak perlu membandingkan. Cukup menjalani.
"Ngerti-ngerti." Ilham mengangguk.
"Nah!"
"Sayangnya, kalau gayung nggak bersambut, jangan dipaksain. Belajar bisa dari mana aja."
Gue yang sekarang menyerah. Menganggukkan kepala membenarkan ucapan sobat gue. Sembari melihat punggung perempuan itu dari kejauhan dimana sedang mengekor seorang residen bersama lainnya. Berpindah-pindah brankar pasien untuk mendalami penyakit.
Si Pemilik Senyum Termanis. Koas dengan pakaian tersopan di balik snelli koasnya. Tertutupi rapat dan longgar oleh balutan hitam motif bunga-bunga kecil yang dia suka. Si otak encer yang bisa saja cemberut ketika gue kalahkan, namun dalam sekejap, begitu mudahnya, kembali bersikap ele—
"Tundukkan pandangan, Bro! Lihat, noh, lantai!"
Sial! Ilham menyenggol bahu gue sambil cengengesan kambing. Menyadarkan bahwa yang barusan gue narasikan hanya seolah angan nggak tergapai semata. Dia ... yang gue nggak pernah bisa menebak isi hatinya.
-------
(ALANA)
Apa maunya lelaki ini? Nggak lelah mengikuti. Pantang mundur memohon pengampunan.
Meski telah kulantangkan.
Di depan mukanya.
Berkali-kali.
Kumaafkan dia.
Bukannya, sebaik-baiknya berteman adalah berkumpul bersama orang-orang saleh? Lalu, bagaimana jika yang menawarkan pertemanan adalah seseorang yang sedang berusaha menjadi saleh? Belum tentu juga, diri sendiri termasuk golongan tersebut. Bisa jadi, apa yang kita anggap kotoran, justru dialah permatanya.
Namun, khusus untuk Arter, kuputuskan menjauh. Selain alasan mendasar, aku juga harus menenangkan debar keterkejutan ini. Setiap dia melintas, menyapa, bilang maaf yang selalu kujawab sesingkat dimaafkan, atau kami berada dalam lingkup sama selagi morning circle, case report, atau ilmiah lain, perasaanku nggak menentu. Panas dingin, takut, kesal, juga was-was jika suatu saat dia mengulang perlakuan yang sama.
"Maaf. Waktu itu gue—"
Kalimat terpotong yang sama, selalu dia ulang-ulang ketika waktu memperangkap kami berdua saja. Menempati 2 kursi nurse station paling ujung. Bergantian mencatat tanda vital pasien HCU tiap 15 menit. Melaporkan perkembangan pasien pada residen.
Arter terpilih menjadi chief koas stase Interna. Stase terakhirnya. Pun, aku. Terdampar pada nasib yang sama setelah argumen panjang meminta jatah stase lain pada mas-mas Bagian Pendidikan. Menyedihkannya lagi, ketika teman-teman menunjukku sebagai wakil chief. Beberapa momen memaksaku mesti berinteraksi dengannya.
"Nggak perlu diulang lagi deh, Kak. Gue bosan. Beneran."
Arter menoleh dari layar monitor besar yang menampilkan seluruh tanda vital pasien di sini. Diiringi bunyi bip HCU, sesekali rintihan pasien, juga detak jarum jam di pukul 3 pagi. 2 suster terlelap, setelah bergantian tugas dengan 2 lainnya menjalankan tugas. Juga ada seorang residen perempuan-Dokter Fatiha- sedang disibukkan oleh deadline tugasnya di Ruang Jaga Dokter yang sama-sama berbatas dinding kaca.
HCU yang dingin.
Beruntung, pasien kami nggak ada yang terlalu mengkhawatirkan malam ini.
Kurapatkan cardigan hitam yang melapisi scrub abu-abu. Warna khusus yang mencirikan koas. Sedangkan residen Interna memiliki warna merah.
"Gue sekarang baru sadar dan merasa beruntung ..."
Dahiku mengernyit, sembari merapikan laporan untuk case report besok.
"Ternyata menikah itu susah. Menjaganya, maksud gue. Tanpa pikir panjang, gue hampir aja ngajakin Vein nikah nggak pakai persiapan apa-apa. Gimana kalau kami berselisih? Gimana kalau isi kepala nggak sejalan? Kepribadian kami. Ego."
Aku mengiyakan. "Makanya dibilang ibadah terpanjang. Menyempurnakan separuh agama. Ujiannya bisa jadi ada di istri, suami, anak, harta, kesetiaan, prinsip atau hal sekecil minta dipahami sama pasangannya. Banyak pokoknya."
"Misal orang tua nggak akur, yang kena dampak anak juga, kan? Orang-orang di sekitar. Dan itu yang bikin kuping gue pengang tiap hari. Dengar mereka debat."
Kuhembuskan nafas panjang. Meninggalkan laptop di depan.
"Gue nggak bisa ngasih saran apa-apa, Kak. Belum pernah nikah soalnya. Cuman, satu mungkin. Coba lo bayangin, gimana kalau di posisi Tante Melda. Juga posisi Om Viko. Gue yakin beliau berdua pasti udah berusaha banget menjaga hati anak-anaknya. Kita memang nggak bisa paksain juga keduanya mengerti apa mau kita, Kak. Tapi, percaya. Kakak yakin sama Allah, kan?"
Kak Arter kini yang malah menaikkan sebelah alis.
"Lo belain siapa sih, Na, sebenarnya?"
Aku tersenyum di balik masker, sembari menggeleng. Mataku pasti kelihatan mengantuknya.
"Nggak belain siapa-siapa. Kan, gue nggak tahu siapa yang salah, sedih, dan paling dirugikan di sini."
"Gue yang paling sedih."
"Masa? Jam 3 masih seger begini dibilang sedih?"
Aku sok-sokan memindai ekspresinya dengan tangan bersidekap.
"Dasar cenayang!" Sudut pasang mata sipitnya turut mengerut naik. Aku yakin dia pasti juga terkekeh di balik masker. Terang saja, Arter merebut laptopku, setelah memasangkan paksa bantal lehernya padaku. "Sini! Gue lanjutin. Lo tidur deh!"
"Udah mau Subuh kali."
Belum sempat, Kak Arter menjawab, tiga residen berpakaian warna hijau berkunjung. Seorang perempuan dan dua lelaki. Tangan mereka bersandar di depan pembatas tinggi nurse station. Khas sekali penghuni tetap OK. Salah satunya adalah seorang yang kukenal. Dua lainnya, kurasa adalah junior beliau. Membawa tas, berjalan di belakang senior, juga dua pasang mata lelah itu.
Aku bangkit. Agak kaget saja Dokter Abrar sendiri yang langsung ke HCU Penyakit Dalam. Padahal, setahuku pria ini residen tahun terakhir. Aku menunduk, memberinya hormat. Dia balas mengangguk. Sembari terkekeh geli melihat bantal masih melingkar di luar leherku.
"Mbak, yang pasien Uro besok Prostatektomi, bed berapa?" tanyanya pada Suster Eka yang duduk agak jauh dariku dan Arter.
"Nomor 4, Dok. Pak Sarwono. Tapi GDS-nya masih agak tinggi. Terakhir berapa tadi, Mbak?" Sekarang Suster Eka berpindah tanya padaku. Memang aku yang kebagian tugas mengecek gula darah sewaktu-nya tadi pukul 9 malam.
"284, Dok."
Dokter Abrar mengangguk-angguk. Dia menelengkan kepalanya agar aku ikut memeriksa bersama para residennya. Arter sendiri telah sibuk dengan laptopku dan layar tanda vital.
Kami menuju ke deretan ranjang pasien. Jelas saja, jam segini, pasien masih terlelap. Beliau mengecek lembaran besar yang tergantung di ujung ranjang. Tentang perhitungan cairan keluar masuk, infus, urin, pantauan tanda vital dan gula darah.
"Dicek lagi kapan?"
"Jam 6, Dok," jawab Suster Eka.
"Nanti sebelum jam 7, bisa minta tolong Alana kabarin langsung gula darahnya ke saya? Via WhatsApp nggak papa."
Dia menoleh padaku. Pria tinggi, berbadan sedikit gemuk berisi, dengan alis tebal menghias bagian atas maniknya. Suaranya berat namun lembut. Menurut kabar dinding kamar koas, pria ini residen idaman para junior Bedah. Mengayomi, rajin memberi tutor dan kesempatan pada adik-adik tingkatnya untuk mencoba. Juga nggak pernah menggertak, semena-mena sebagai senior.
Dia yang paling menerapkan 3S pada sejawat dan pasien. Senyum, salam, sapa.
"Bisa, Dok."
"Kalau makin bagus, biar Dokter Peter daftarin OK pagi ini, dan disiapkan langsung untuk puasa. Nanti Suster Eka minta tolong konfirmasi ke IBS ya? Kemungkinan masuk jadwal siang."
"Baik, Dok."
Kami menyelesaikan pemeriksaan di malam menjelang pagi ini. Seketika mengenyahkan kantuk yang menggelayut sedari tadi. Dokter Abrar menutup map rekam medis Pak Sarwono. Juga memberi kebebasan kedua junior untuk kabur duluan, persiapan sembahyang, setelah mengobrol sebentar bersama residen kami.
Aku berdiri kaku di belakang Dokter Abrar. Sebenarnya, dia bukan residenku. Namun, aku merasa segan lantaran rumahnya adalah tetangga kost. Meki jarang bertegur sapa, kami sering berkirim pesan, membicarakan kebutuhan si Kumis yang kini punya 3 anak. Kucing ini melahirkan ketika kuceritakan dia menghilang beberapa waktu. Selain tentang Kumis, kami juga membahas beberapa hal random secara singkat.
Dia berbalik.
"Pulang koas nanti, kamu ada waktu nggak, Na?"
Aku masih berpikir, sambil bertanya. "Belum tahu. Memang kenapa, Dok?"
"Bisa minta tolong lagi?"
"Minta tolong apa?"
"Anterin anak-anaknya Kumis vaksin."
Aku mengangguk. Mudah saja. Klinik hewan juga nggak jauh dari Rumah Sakit Samanhudi dan kost kami. Belum selesai kami berbincang akan seperti apa rencana sore nanti, Arter sudah berdiri di sebelah. Menyerahkan laptop case beserta isi-isinya dengan agak kasar ke dekapku. Tatapan yang biasa kulihat teduh, kini tampak melotot lebar yang nggak lebar-lebar amat. Tapi kutahu, dia sudah berusaha. Kedua alisnya menukik gahar.
"Subuh, Na. Subuh! Udah adzan! Dokter nggak sholat? Maaf, kerjaan kami masih banyak setelah ini."
----------
HCU: High care unit. Ruang perawatan pasien ICU yang telah mengalami perbaikan tetapi masih membutuhkan pengawasan ketat.
Interna: Penyakit Dalam.
Prostatektomi: Tindakan operasi mengangkat sebagian atau seluruh kelenjar prostat karena penyakit.
-------
🎶: Tulus- Hati-Hati Di Jalan
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
