KHHySB bab 1-2

86
3
Deskripsi

Halo, ketemu lagi dengan cerita baru. Judulnya: Ketika Hanya Hati yang Saling Bicara. 

Kisah Koko Arter dan Mbak Alana. Masih gratis. Selamat membaca 🤗 Mulai berbayar nanti di bab 8 ke atas kok.

Bab 1. Mulai Darimana?

Bab 2. Toko Buku


(ARTERIA)

"Apa gue nggak berhak bahagia juga, Na?"

"Berhak."

"Tanpa Vein?"

"Tanpa dia." Alana mengangguk mantap, tanpa menoleh.

"Sama cewek lain?"

"Random banget sih lo, Kak, cari sumber kebahagiaannya."

"Ya, kali. Ada yang mau."

"Itu artinya lo cari pelarian. Nggak segampang itu."

"Kenapa?"

"Pertama—"

"Nggak perlu lo jawab. Gue udah tahu jawabannya."

Gue menghentikan mulutnya yang akan berkata-kata. Jika ada yang pertama, pasti akan ada yang kedua dan seterusnya. Sebanyak itukah kebusukan gue?

"Nah, situ paham. Jadi udah tahu, kan, harus mulai benahin diri dari mana?"

Gue tahu. Tahu benar mesti mengawali dari titik mana. Sahabat dari perempuan yang gue suka, tengah duduk tenang dengan sebuah novel terbuka di atas meja. Pasang maniknya awas menatap setiap huruf, bersama rungu menangkap segala curahan hati gue.

Kami sedang di Perpustakaan RSUP Samanhudi. Alana menggiring gue ke sini. Menjauhkan dari rival, yang hampir saja gue temui di koridor.

Tempat ini, spot favorit kami. Kami bisa sesorean baca, berganti bangku kayu dan sofa, sesekali keluar hanya untuk membeli minum.

Perempuan ini tenang jika sedang membaca. Juga sedingin aliran gletser yang perlahan meleleh oleh terik yang kian meninggi di pegunungan.

Mendekati Alana bukan hal sulit. Pandai bergaul, open-minded, teman mengobrol asyik. Pilihan katanya terkadang sarkas, menusuk, namun benar adanya. Wajah Alana semanis gula jawa. Kesan pertama mama tentangnya. Kesan gue? Alana ini ... tua banget. Selagi remaja sekarang menggandrungi wajah terkenal oriental, lagu hits masa kini, dia masih mendengar MLTR, Whitney Houston, Bee Gees, hingga Ebiet G Ade, Koes Plus, Iwan Fals—

"IGD, Kak!"

Alana menunjukkan ponselnya ke gue. Saatnya beranjak. Kami mengepaki buku ke dalam tas. Sebelum pergi, dia memberi satu saran dan pelurusan tentang pemikiran gue yang hanya terpaku di satu fokus.

"Oh iya, another information, Kak. Happiness wouldn't only comes from a girl. You know? Lo baca tenang, makan banyak, enak, minum habis, ngobrol banyak hal, gue bisa rasain kok kalau hidup lo baik-baik aja. Besok siang, gue pulang jaga bisa tidur nyenyak, itu udah kebahagiaan banget buat gue. Lupain Vein, ya? Move on to something better, not someone else's heart tapi ya..."

Ah, Alana. Dia cocoknya bukan jadi dokter. Melainkan, Ibu Dewan Penasehat Kewarasan Para Pria Patah Hati.

----------------

(ALANA)

Seseorang bertanya padaku tentang haknya untuk bahagia. Harus mulai dari mana ia menggali.

Pertanyaan bodoh. Orang-orang jatuh cinta selalu tampak bodoh di mana pun berada. Berbuat tanpa pikir panjang, hanya untuk menyenangkan cinta.

Padahal, orang-orang, termasuk aku, selalu melihat Arter sebagai lelaki visioner. Si tampan bermata sipit, yang penuh perencanaan, perhitungan matang, semangat diskusi, pantang mundur sebelum menang. Sekarang, hanya karena dipaksa mengalah oleh takdir, begitu saja dia keok. Lemah.

Apakah cinta membawa bahagia? Benar. Namun sayangnya, sebagian besar manusia seumuran kami, mendefinisikan cinta hanya dimetafora sebagai jalinan kasih laki-laki dan perempuan.

Kudengungkan sekali lagi. Membuka kacamata kuda Arter yang selama ini dia pakai. Agar melihat lebih lebar jika cinta itu luas. Jika bahagia ada di mana-mana. Dia bukan lelaki patah hati. Dia akan bangkit semudah bangun usai terjatuh.

"Pasien apa?" tanya Kak Arter yang baru datang setelah izin melipir sebentar ke kamar koas. Lama banget. Sampai aku dan kawan-kawan selesai mengurus pasien pertama kami di jaga siang ini.

"G3P2A0 35 minggu dengan Pre-eklampsia. Udah diperiksa residen. Laborat udah OTW. Tinggal konfirmasi Anestesi. Lo jangan jauh-jauh, Kak. Tugas lo dorongin pasien ke OK, gue siapin informed consent dokter."

Lagi-lagi, lagu patah hati nyatanya akan menguap oleh kesibukan menyelamatkan nyawa.

--------

"Ngapain sih, Sis, masih nyariin Kumis?"

Kupanggil Kumis berkali-kali, juga nggak kunjung nampak. Kumis adalah kucing seseorang yang sering tiduran di teras kost. Setiap pulang, anabul itu selalu meminta jatah makan padaku. Sekarang, bahkan hingga sore, cemilan bentuk ikan itu masih utuh, nggak tersentuh.

"Ayo. Gue keburu laper."

"Iya. Sabar. Nggak akan bikin pingsan, kok."

Aku keliling dulu ke dua rumah kost sebelah.

"Gue emang nggak akan pingsan. Tapi udah lemes banget, Bestiee ...!"

Aku menyerah mendengar gerutuan sahabatku di belakang. Sasi. Tersisa si Heboh satu ini, yang bertempat tinggal seatap denganku. Ada satu lagi sahabatku bernama Vein, yang sayangnya telah diboyong tinggal ke rumah sang suami.

Oke, Kumis menghilang. Suatu saat, harus kukatakan pada pemiliknya, jika titipan kucingnya sudah nggak mau lagi main ke tempatku. Semoga dia nggak sedih.

"Harusnya, kalo doi sayang sama kucingnya, bukan dititipin ke lo kali, Sis. Dirawat sendiri. Ini antara dia yang udah males ngurusin, atau ada niat terselubung."

Aku menggeleng nggak percaya. "Lo apa-apa dinilainya pakai niat terselubung semua deh?"

"Ya lagian. Banyak bukti. Nggak usah gue omongin siapa-siapa aja yang punya niat begitu."

"Dokter Abrar sibuk."

Sasi membuang pandangan jengah. "Ya, ya, ya, sibuk. Gue percaya sama Alana yang paling positive thinking in the world."

Aku tersenyum. Merangkul ringan Sasi untuk sama-sama berjalan kaki ke depan rumah sakit mencari menu makan malam.

Menjadi manusia lemah, menuruti keinginan terselubung seseorang, adalah pilihan. Menjadi wanita dengan segala pemikiran positifnya seperti yang Sasi bilang, itu pilihanku. We are what we think. Aku masa bodoh orang mau berpikiran apa. Kita takkan pernah bisa mengatur semua orang, harus bagaimana menggunakan isi kepala. Manusia dan segala kerumitannya. Apa yang kuputuskan, akan kutanggung resikonya. Seseram, Dokter Abrar akan melampiaskan amarahnya padaku. Atau ...

----------

Bab 2. Toko Buku

 

(ARTERIA)

Kami lahir dan besar di Jakarta. Mama, Papa, gue dan Sachio. Mendapat kelopak mata sipit indah ini dari kakek buyut Papa, yang seorang Tionghoa asli. Sedangkan garis keturunan Mam lebih jauh lagi. Makin ke sini, hidup di kota besar, komplek perumahan di mana tetangga terasa asing, bertemu beraneka ragam manusia, memaksa kami membaur. Juga teman dari berbagai budaya, bahasa, asal kota.

Tentang menjalani keseharian, memeluk keyakinan, hubungan pertemanan, segalanya terasa samar-samar. Seadanya. Suka-suka. Iya-iyain aja.

Papa dan Mam senantiasa merentangkan tangan selebar mungkin, bagi siapa saja yang mendekat. Senyum 10 jari menyambut sapaan pasien dan teman. Keramahan tingkat dewa-dewi merangkul tamu yang datang. Poin-poin yang hanya terasa bagai fiktif belaka bagi gue.

Kami nggak punya saudara dekat, sahabat lekat, sejawat rekat. Apalagi, seorang alim pemberi nasehat, jika nggak gue sendiri yang mengerahkan senjata utama meluluhkan restu keduanya.

"Besok Mam nggak bisa terima tamu, Ko. Mam ada janji mau ikut workshop. Papa aja ya?"

Sendok gue terhenti di udara. Alasan baru lagi. Semendadak itu? Suasana meja makan seolah berubah dingin. Makanan enak yang tersaji, nggak terasa lagi memanjakan lidah.

"Workshop di mana? Bukannya kita udah janjiin hari Minggu biar selalu kosong? Papa juga mau Mam ikut dong."

"Jogja. Ya workshop, kan, seringnya Minggu, Pap?" Mama mengusap lengan Papa. Tersenyum semanis mungkin. "Mam rasa Ustadz Adiyat juga paham."

"Nginap?" timpal Papa.

"Nginap. Senin sore pulang. Sachio dijagain ya, Ko?"

Gue mendengus. Menyerah. Meski nggak dipungkiri. Gue sedih.

"Mam udah nggak ikut 3 minggu belakangan," pinta gue masih berusaha.

"Iya. Maafin ya, Sayang?" Mam turut mengusap punggung gue. "Mam janji yang pertemuan minggu depan, Mam ikut."

Bolehkan gue berharap, janji Mam akan ditepati?

Nggak berselang lama, seperti yang terjadi di pagi-pagi sebelumnya, Papa meletakkan sendoknya dalam diam. Setengah hidangan di piring, ditinggalkan begitu saja. Tanpa kata. Tanpa mimik. Disusul helaan nafas panjang Mam, yang kemudian turut menyusul ke mana Papa pergi. Memasuki kamar. Menguncinya. Setelahnya, yang gue dengar, hanya rentetan pembicaraan yang ingin saling menyela. Penuh penekanan dalam intensitas rendah, namun tetap terdengar pada bagian kata di mana Mama nggak tahan lagi ingin menjerit. Adu mulut yang begitu menyakitkan, gue dengar dari sisi jendela teras samping.

Sachio datang membawa bonekanya. Ditemani Bu Miranti, babysitter yang merawat adik 4 tahun gue sejak bayi. Bu Miranti menepuk punggung gue. Mata teduhnya menatap gue dan Sachio. Bergantian. Seolah menasehati agar kami selalu kuat.

-------

Gue bahkan belum memutuskan memeluk apa yang gue pelajari belakangan. Namun, ujian terlalu cepat datang. Bukannya, seharusnya, kami menjadi lebih harmonis dengan makin mendekatkan diri pada yang Kuasa?

Tersisa 2 alasan mengapa gue tetap harus kembali, setelah rutinitas ini habis. Ke rumah yang pijar hangatnya telah redup. Dingin bagai malam-malam mendung, tanpa terbitnya pagi. Alasan itu adalah Sachio dan satu misi gue. Menciptakan sinaran kembali dalam keluarga gue lagi.

Mungkin, perempuan ini bisa jadi alasan gue terlambat pulang hari ini. Menghindari penat yang menanti di ujung pintu.

Alana ini Anak Perpus. Ah, si Kutu Buku. Di mana-mana dia membaca. Ngakunya, sih, karena sulit menghafal. Termasuk ketika gue bertanya, apa rencananya hari ini. Dia menyebut satu toko buku besar di mall yang biasa dikunjungi.

"Toko buku lagi? Novel lo habis?"

"Iya."

"Gue temenin."

"Gue naik motor ya."

Begitulah. Dia tidak pernah mau berdekatan sama pria mana pun. Ya, kecuali gue. Harus gue akui, memang gue yang mepet-mepet. Aslinya, kalau gue nggak ada, juga nggak berpengaruh apa-apa pada Alana. Gue yang masih merasa perlu wejangan Bu Penasehat ini agar otak tetap waras menjalani hari-hari. Kalaupun Alana buka tarif curhat, mending gue bayar aja dari pada enggak. Gue nggak mau gila dari muda.

"Nggak masalah. Gue ikutin dari belakang."

--------------------

(ALANA)

Alih-alih terinspirasi tokoh utama bacaanku yang almost menyukai tipe-tipe bad boy, sad boy, aku lebih suka laki-laki dengan good manner. Pintar tapi nggak sombong. Nggak menye-menye.

Di sekitarku? Banyak.

Dokter dituntut punya otak encer, attitude di atas segalanya, dan cekatan. Sampai bingung memilihnya. Ups. Wrong sentence! Yang benar, saking banyaknya perempuan dengan spesifikasi sama, aku jadi seperti tenggelam nggak terlihat. Mungkin? Entahlah. Bohong jika aku nggak pernah memikirkan nasib perjodohanku di masa depan. Namun, kusudahi saja. Untuk apa berlama-lama. Aku percaya, jodoh yang tepat akan didatangkan tanpa dicari sekalipun.

Sebelum kenal sedekat ini sebab kami menjalani koas di departemen yang sama, Arter termasuk dalam kriteria pria dambaan. Ya, habisnya, sahabatku bernama Vein—mantan gebetan gagalnya Arter juga—seolah melebih-lebihkan ketika mendeskripsikan pria ini. Sayangnya, dia nggak satu keyakinan dengan kami.

Seiring waktu, aku lama-lama mundur dari barisan fans berat Arter. Aura pintarnya, sih, masih bersinar. Tumpah ruah. Sayangnya, aku sedikit ilfeel ketika perasaan bimbangnya hadir. Sok galau membenahi hati. Gemas sekali ingin menampar pipinya hingga sadar.

"Hei, Arter! Dunia ini nggak akan berhenti berputar hanya karena lo lagi down! Semua bakal tetap berjalan walaupun lo nggak mau kejadiannya kayak gini. Kita cuma wayang. Bukan dalang!" Ingin kuteriakkan kencang-kencang di depan telinganya, namun berujung kutelan dalam hati.

Arter melenggang santai di depanku. Memakai topi hitam, kemeja hitam, celana hitam, jaket jeans. Snelli koas tersimpan rapi di ransel. Kacamata menutupi sudut mata lancipnya. Pria ini menawarkan diri, menemaniku berbelanja alat tulis. Salahku. Kukira dengan bilang akan mencari woman stuff, selesai memfotokopi tugas refrat kami untuk besok, dia akan pulang. Ternyata, dia bilang, "Gue temenin." Tepat ketika tahu jika pernak-pernik yang kucari ada di toko buku. Lama lagi. Di Margo City.

"Mau minum nggak, Na? Gue beliin sekalian."

"Nggak usah. Gue bawa air mineral."

Arter mengangguk paham. Laki-laki ini bukan seorang pemaksa. Dia mendatangi sebuah stand kecil untuk membeli sebotol air mineral. Aku santai saja. Dia juga santai orangnya. Aku masuk lebih dulu ke Gramedia. Mendatangi area novel. Siapa tahu, penulis kesayangan menerbitkan buku baru. Dan benar, kuambil satu judul setelah membaca sinopsis di halaman belakang.

Cukup lama kami berkeliling secara terpisah setelah saling pamit. Arter menuju bagian buku agama. Aku menetap berkutat bersama tumpukan novel, berlanjut ke rak buku kuliah, alat tulis, sampai tas-tas kecil lucu bergambar bunga yang menarik mata. Tas belanjaanku telah penuh. Kuedarkan pandangan. Arter masih bertahan berdiri di rak yang sama. Aku merasa belum mumpuni jika harus memberinya saran buku mana yang harus dibeli. Kecuali, jika dia bertanya. Nyatanya, dia nggak bertanya. Jadi, kubiarkan saja. Kutinggalkan ke kasir.

"Udah selesai, Na?"

Arter menyapa, membawa satu buku yang belum dibayar dalam genggaman setelah kutunggu sekitar 10 menit. Anggukan kuberi dari bangku panjang di tengah toko. Menunggunya membaca dan memilih. Nggak mau memburu-buru.

Dia panik. Mungkin baru tahu jika diriku telah di sini beberapa waktu. Arter berjalan tergesa-gesa menuju kasir, setelah bilang, "Tunggu. Aku bayar dulu. Nggak lama."

--------

"Makan dulu nggak?"

"Gue langsung pulang deh. Beli warteg deket kost aja."

Jelas saja. Aku nggak mau kepergok teman dan dibilang kami ada hubungan serius hingga jalan berduaan di mall ketika langit juga telah mulai gelap. Sasi bilang sibuk. Vein sedang cuti untuk waktu yang nggak bisa ditentukan. Sejak tadi, aku mencoba menjauh. Asyik membaca pesan di grup WhatsApp. Sesekali menelepon Sasi agar menemaniku mengobrol by phone. Mas Putra, salah satu kakakku, juga nggak lepas dari panggilan Whatsapp, beralasan menanyakan kabar.

"Gue antarin?"

"Nggak perlu. Lo langsung aja. Gue bisa. Berani. Udah biasa." Aku meringis sombong.

Kami tiba di parkiran. Arter belum meninggalkanku hingga aku selesai memakai helm. Pria itu bahkan membantu mengeluarkan motor matic-ku dari barisannya. Menghadapkan ke arah pintu keluar. Persis tukang parkir.

"Dah! Lo pulang, Kak. Pamit ya?"

"Hati-hati. Jalan licin habis hujan." Dia sambil menepuk jok belakangku dua kali.

"Oke."

Aku melajukan motor keluar. Satu yang mengganjal kemudian adalah, dari kaca spion, kulihat dia nggak menyentuh motor sport yang terparkir tepat di sebelah motorku tadi. Justru berbalik dan berjalan menunduk kembali ke arah lift mall.

Kuhentikan laju. Menoleh sebentar ke belakang. Haruskah aku bertanya? Mau kemana dia? Ada apa dengannya, yang pendiam hari ini? Namun, apa hakku? Dia bukan siapa-siapa.

Tentangku yang memang malas berurusan dengan lelaki—apalagi yang patah hati—sementara kutelan ludah sendiri. Beberapa kali, aku menangkap ekspresi jengah Arter setiap kutanya tentang kabar keluarganya. Juga bagaimana pria ini mengobrol banyak tentang adik berikut sang pengasuh, namun jarang membicarakan orang tuanya. Pikiranku melanglang buana hingga kemungkinan terburuk. Aku takut saja dia terjerumus pada hal seram-seram.

Aku terdiam sebentar hingga punggung Arter menghilang. Untuk apa kupikirkan dalam-dalam sampai mengernyit begini? Kuhela nafas panjang sebelum menarik gas melewati petugas parkir. Kuputuskan ... untuk meninggalkannya. Seharusnya, masalah dia bukan jadi kewajibanku, bukan?

---------
 

 

Masih bab 2. Semoga betah ya temans.🤭

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya KHHySB bab 3-4
37
5
Ketika Hanya Hati yang Saling Bicara bab 3. PENASARAN AKU DIBUATNYAbab 4. HCU PANAS KARENANYA
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan