
Yuhuuii
"Masuk gak, ya?"
Luwar meragu. Kakinya enggan beranjak dari gerbang Puskesmas. Pikiran cowok itu penuh gumpalan asap bermuatan negatif. Bayangan serta imajinasi buruk terus menerjangnya. Dia tidak yakin harus kembali dan sanggup menantang kenyataan, meski di rumah tadi dia sudah membulatkan tekad untuk bertanggung jawab. Ya Tuhan! Tapi mengapa ketika sampai, yang ada keberanian itu mendadak kabur?
Dalam benak Luwar, pertanyaan yang keluar adalah: Apa beliau akan memaafkanku? Apa beliau akan meminta ganti rugi? Apa beliau akan memasukkanku ke penjara karena melakukan tindakan kekerasan?
Luwar berteriak dalam hati. Dia sangat merutuki perbuatan sembrononya. Bisa-bisanya sok jadi pahlawan, padahal tidak tahu kejadian sebenarnya.
"Ya Tuhan." Luwar berulang kali membenturkan kening ke dinding. Meski pelan, tapi lumayan sakit.
Beberapa orang yang melewati Luwar, merinding dan berbisik tentang aura menyeramkan cowok itu. Kebanyakan dari mereka buru-buru menjauh. Sementara itu, Luwar mengabaikan dan berpura-pura tidak tahu akan reaksi orang-orang.
Luwar menjauhkan dahi dari dinding pagar Puskesmas. Dia mengumpulkan lagi keberanian.
Dengan menarik napas dan membuang cepat serta kuat, Luwar berseru, "Baiklah! Memikirkan hal-hal buruk sebelum melakukan tindakan hanya akan menciptakan manusia pengecut. Laksanakan saja dulu, masalah apa yang akan terjadi biarlah alam yang akan menentukan nanti.
Meski berat, meski jantung bergemuruh hebat, meski tangan terasa kedinginan, Luwar terus melayangkan langkah masuk Puskesmas. Dia menyimpan sejenak ketakutan dalam bentuk lipatan ke otak paling luar.
Kurang lima langkah menuju ruangan, secara refleks Luwar menutup mata, berjalan menghadap tembok seraya berdoa, "Semoga Nyonya itu baik hati. Sangat baik hati. Sungguh-sungguh baik hati."
Punggung Luwar merasakan ada orang yang lewat. Sayangnya tidak sempat tertangkap mata karena orang itu sudah berbelok saat Luwar menoleh. Hanya kilasan warna merah buram yang teringat serta sisa wangi tubuh orang itu di jalan yang dia dilewati.
"Wanginya seperti bunga Lavender," gumam Luwar.
Bukankah otak begitu cerdas mengidentifikasi keharuman dalam waktu seperkian detik? Harus disyukuri. Luwar mengiakan pemikiran barusan.
Lavender. Benar. Lav—
Mata Luwar sontak melotot. Kepalanya menoleh lagi ke belokan, tempat orang berbau lavender itu hilang.
"Wangi Lavender dengan hoodie warna merah. Bukankah ...."
Dugaan itu muncul. Kemudian dengan cepat, Luwar mengalihkan fokus dan berjalan buru-buru ke ruangan yang dikehendaki. Begitu sampai, dia mendesah menyesal dengan membenturkan kening ke dinding. "Dugaanku benar. Orang tadi adalah Nyonya. Ternyata beliau sudah bangun dan aku terlambat menyadarinya."
Penyesalan selalu datang terlambat, selambat Luwar mengambil keputusan. Kalau saja dia tidak berhenti dulu di pintu gerbang cukup lama, mungkin saja dia masih bisa bertemu dengan Nyonya itu untuk meminta maaf secara langsung.
Ruang UGD sudah kosong. Tempat tidur yang seharusnya berisi si Nyonya korban, kini hanya menyisakan bantal. Luwar menghapus jarak, tangannya meraba bagian kasur. Hangat. Pertanda belum lama orang itu meninggalkan tempat ini. Ya, iyalah. Luwar baru saja berpapasan. Hanya saja keduanya sama-sama tidak sadar.
Luwar meninggalkan Puskesmas dengan perasaan hampa. Punggungnya membungkuk gontai seperti sedotan lentur. Entahlah. Sebenarnya patut disyukuri karena nyonya itu bangun dan langsung pergi serta tidak menuntut ganti rugi. Tapi entah kenapa hati Luwar masih saja tidak enak? Dia baru bisa lega jika mereka bertemu, dan Luwar meminta maaf. Pertanyaannya: Apakah mungkin mereka bisa bertemu lagi?
Terik surya menyengat kulit. Luwar berjalan menggeser ke arah di mana ada bayang-bayang bangunan untuk melindungi diri. Dia bergegas ke toko BuANG, tempatnya bekerja saat ini. Bukan tempat pembuangan seperti namanya, itu hanya akronim dari toko Buku dan Bunga. Kata sang pemilik, ini hanya strategi menggaet pelanggan dengan nama unik.
Gemerincing lonceng saat pintu terbuka menyadarkan Luwar kalau dia ternyata sudah sampai di toko BuANG. Pak Ragnala berdiri di antara pintu dengan tangan masih memegang gagang. Keduanya sama-sama terkejut.
"Kukira kamu gak datang hari ini, War? Ini Bapak sudah siap menutup toko karena ada acara mendadak," kata Pak Ragnala seraya membalik lagi papan bertuliskan Close ke Open.
Luwar tersenyum sungkan. Matanya tak berani menatap kalau begini. Kepalang malu. "Maaf, Pak, saya terlambat. Bahkan sangat."
Waktu bekerja Luwar dimulai pukup 8 pagi sampai 4 sore. Sekarang sudah pukul 10. Terlambat dua jam!
Ada hal-hal yang dianggap biasa. Salah satunya melanggar peraturan yang dibuat sendiri. Aneh memang. Pak Ragnala tidak pernah mempersoalkan tokonya ramai atau sepi, buka atau tutup seolah membuka toko baginya hanyalah kegiatan iseng untuk mengisi waktu senggang. Namun dari itu semua, lebih aneh lagi bahwa gaji Luwar selalu tepat waktu dan tidak pernah terkena potong sepeser pun. Mungkin bagi beberapa manusia jika mendapat tempat kerja yang seenaknya seperti itu, maka mereka akan memilih datang dan pergi seenaknya pula. Tidak seperti Luwar yang merasa sangat menyesal dan memilih untuk mengembalikan uang yang bukan haknya.
Pak Ragnala melewati Luwar dan berkata, "Baiklah, kuserahkan tokonya padamu. Bapak pergi dulu. Bye, bye." Topi koboinya dilambaikan tak acuh, sebelum akhirnya dipakai untuk menutupi bagian kepala yang tak terjamah rambut.
"Hati-hati di jalan, Pak."
Persiapan toko sudah semua. Tangga bunga berisi berbagai macam bunga dalam pot sudah dikeluarkan. Terpampang indah penuh warna di depan jendela kaca geser. Dan untuk memaksimalkan pekerjaan, Luwar mulai mengelap buku-buku dalam rak, meski sebenarnya tidak terlalu berdebu. Lanjut menyapu bagian yang juga tidak kotor karena habis dibersihkan. Terasa percuma, ya?
Tidak banyak pelanggan datang. Paling-paling dua atau tiga pengunjung lama ditambah dua pengunjung baru. Reaksi pengunjung baru bisa ditebak; terkejut dan perlahan mundur hendak kabur. Tetapi akan urung begitu ada pengunjung lama yang memasuki toko dengan wajah serta sapaan akrab ke Luwar.
Pukul 15:45 WIB, Luwar bersiap-siap menutup toko. Dia menyapu dengan gerakan lambat. Pandangan awas, menanti kedatangan pelanggan setia. Biasanya pada hari ini, nenek datang.
Luwar langsung tersenyum begitu pintu dibuka ke dalam dan memunculkan seseorang yang dinanti.
Cowok itu tergopoh menaruh sapu dan pengki di pojok ruang, lalu menghampiri Nenek. "Selamat datang, Ne Ja."
"Oh, Luwar, setiap kali aku kemari rasa penatku seketika lenyap." Nenek terlihat menghirup dan membuang napas lagi. "Oh, betapa aku suka ini. Jadi," Nenek sedikit memajukan kepala, "mari kita lakukan."
"Siap, Ne Ja."
"Tapi tutup dulu tokonya."
"Siap."
Luwar menggeser jendela kaca, memberikan akses untuk tangga bunga yang di dorong masuk.
"Aku masih takjub dengan infrastruktur untuk bangunan ini. Kok, ya kepikiran memakai jendela kaca geser biar tidak repot-repot mengeluarkan dan memasukkan tanaman?"
Itu juga yang dirasakan Luwar saat pertama kali bekerja di sini. Sistem kaca geser bergantian seperti menggeser kaca etalase. Hemat ruang dan mempermudah pekerjaan. Pintu utamanya sendiri terletak di antara kedua jendela kaca itu.
Kaca sedikit tarik ke arah badan, geser ke kanan bagi kaca yang berada di kiri, begitu juga sebaliknya. Begitu terdengar bunyi klik, tandanya jendela sudah rapat menempel. Tinggal kunci. Lalu ditutup selambu siang bermotif bunga.
Luwar teringat sesuatu. "Ya, ampun maaf, Ne Ja. Silakan duduk. Saya akan segera siapkan alat-alatnya."
Ne Ja membantu dengan memencet saklar lampu di samping rak buku. "Tidak apa-apa. Aku juga sedang ingin melihat-lihat buku. Kali saja ada yang cocok untuk cucuku."
Luwar mengangguk. Dia kembali berjibaku dengan pekerjaannya menutup toko. Dilakukannya dengan cepat dan tepat. Begitu selesai dia tak langsung bergabung dengan Ne Ja, tapi ke dapur kecil yang tersedia di bagian belakang.
Letakkan poci di atas kompor. Nyalakan api. Sementara menunggu mendidih, Luwar sibuk menata cangkir di atas nampan.
"Tidak perlu repot-repot, Luwar!" Ne Ja sedikit berteriak untuk menghentikan.
Luwar tersenyum mendengarnya. Alangkah tidak beretika jika ada tamu bertandang, tapi tidak disuguhi sesuatu. Kata mendiang ibunya, "Minimal berilah air putih, kali saja tamu kita haus. Namun kalau punya rezeki banyak, berilah yang paling mewah. Sebab tamu itu pembawa rezeki."
Dua cangkir berisi teh hangat diletakkan hati-hati pada satu-satunya bangku. Setelahnya Luwar mengambil barang-barang yang dibutuhkan dari laci di bawahnya. Tali kur, staples Hardboar (papan penjepit), dan manik-manik dalam beragam bentuk sudah siap di atas meja, bergabung dengan dua cangkir tadi.
"Jadi," Ne Ja bertepuk tangan, antusias. Duduk rileks di salah satu kursi. "kita akan buat pola apa hari ini?"
"Pola seperti kemarin?" usul Luwar.
Ne Ja meringis lalu menggeleng. "Nene sudah berhasil membuat pola itu. Yang lainlah. Bagaimana kalau sakura? Kapan hari kulihat di salah satu postingan seseorang di sosial media itu bagus banget. Cantik waktu dipakai anak muda."
Luwar mengiakan. "Boleh. Tapi apa akan laku, Ne?" Cowok itu agak ragu karena memikirkan untung rugi.
"Tentu saja," tukas Ne Ja semangat. "Ini pasti la—"
Terdengar getar ponsel, menghentikan kalimat Ne Ja. "Sebentar, ya?"
Luwar mengangguk mempersilakan. Cowok itu—daripada hanya menunggu—memilih memotong dua benang beda warna: hijau dan merah muda. Benang merah muda lebih panjang dari benang hijau. Dia potongkan juga benang untuk Ne Ja. Barangkali selepas menelepon beliau ingin langsung mempraktikkan kreasi hari ini.
Ponsel merek Anggrek Hitam menempel sempurna ke telinga Nenek. Beliau menyapa si penelepon. Sepertinya, bukan kolega. Mungkin, cucunya. Melihat bagaimana Ne Ja berbicara tidak seformal biasanya dan malah menggerutu dengan bahasa sedikit kesal.
"Kamu menelepon Nenek hanya untuk main tebak-tebakan!" Ne Ja remas ponselnya begitu panggilan diputuskan sepihak oleh beliau. Seperti ingin membanting, tapi tidak. Lantas langsung dimasukkan kembali ke tas kecil miliknya dengan kasar.
Beliau menggerutu lagi. "Cucuku itu, umurnya saja sudah dia puluh sembilan, tapi kelakuan iiiih! Ingin kujitak, deh!"
Luwar menahan senyum. Tidak baik tertawa saat ada orang lain marah, kan?
Ne Ja berubah serius. Sepertinya beliau tersadar akan kelakuan. Lantas beliau berdeham. "Baiklah, mari kita buat macrame barcelet."
Tangan Ne Ja menggengam tali. Namun, beliau hanya diam dan tidak langsung mempraktikkan apa yang dicontohkan Luwar. "Emm ... tapi sebelum itu, kamu tahu tidak hewan apa yang mukanya bengkak?"
***
Ayo tebak, ayo tebak. Yang bisa tebak dapat cucian kotor milik masing-masing, di rumah masing-masing. 🤣
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
