DG | Senada dan Om Mafia | Bagian 30 : He's Armageddon

86
128
Deskripsi

He's Armageddon. 

Dibaca pelan-pelan.

Harap dibaca pelan-pelan ya, jangan buru-buru, diresapi baik-baik. Aku kadang kaget kok kalian bacanya cepet banget 😞

Jangan lupa like, dan komen yang banyak dipart ini. Terima kasih.

Happy reading!

━━━━➳༻❀✿❀༺➳━━━━
 

30. Bagian 30 : He's Armageddon

"Lo ... tau siapa bayi itu?" Pertanyaan Pangeran terdengar seperti bukan pertanyaan, tapi tak Catrina sadari karena ia sibuk menangis.

Catrina mengangguk. "Bayi itu ...."

Sebelum Catrina menyelesaikan kalimatnya, video yang masih terputar di layar tiba-tiba mengalami crash, mundur dimenit-menit Ishara menyerahkan bayinya kepada Yudistira, dan mendadak suara muncul dari speaker laptop Pangeran.

"Setidaknya beri dia nama, Nyonya."

"Nama dia ... Arzenro Gananta."

Arzenro Gananta?

Arzen?

Sahabatnya? Pangeran membeku. "A—Arzen?"

"Ya, Kak. Kak Arzen anak kandung Om Pradipta dan Tante Ishara, akhir-akhir ini Kak Arzen lagi ngalamin masalah besar. Makam orang tua angkat Kak Arzen dibongkar paksa sama Om Rival beberapa hari yang lalu." Catrina menjelaskan ditengah tangisannya.

"Apa?" Pangeran terkejut, bukan, bukan terkejut mengetahui fakta bahwa Arzen adalah putra tunggal Pradipta dan Ishara. Namun, Pangeran terkejut saat tau makam kedua orang tua angkat Arzen dibongkar paksa oleh Rival, pamannya sendiri. Dia sampai tidak bisa berkata-kata, merasa gagal menjadi seorang teman karena terlambat menyadari hal ini.

Pangeran mengusap wajahnya, menyesal terlihat jelas di rautnya. Gue ... nggak berguna jadi temen lo, ya, Zen. Hal sepenting ini pun gue enggak tau.

Pangeran berdiri dari tempat duduknya, ia keluar dari ruangan, setengah berlari untuk mencari sahabatnya. Kedua tangan Pangeran terkepal, sedikit gemetar, degup jantungnya mulai acak, berkali-kali ia menelan ludah guna mengendalikan perasaan sakitnya.

Di belakang, Catrina mengikuti Pangeran, gadis itu juga menangis, kakinya tersandung beberapa kali karena berusaha mengejar Pangeran yang melangkah cepat.

Orang-orang di Den Coral Palace yang dilalui oleh Pangeran dan Catrina bingung, ada permasalahan apa sampai keduanya terlihat saling mengejar? Catrina menangis, Pangeran menahan sesuatu yang diyakini ada hal serius menjadi pemicunya.

Tak ada waktu untuk menggunakan lift, Pangeran lebih memilih menuruni tangga, toh ruangannya hanya ada di lantai tiga, mudah untuk Pangeran turun ke lantai dasar.

Dipertengahan anak tangga menuju lantai satu, Pangeran berhenti, ia perhatikan Arzen yang sedang berbincang dengan Pradipta.

Pradipta memang ada di sini untuk bertemu Saga, rutinitas yang selalu Pradipta lakukan untuk mendiskusikan hal-hal penting pada Saga, Saga adalah orang yang selalu Pradipta butuhkan.

Kaki panjang Pangeran bergerak, turun dari anak tangga terakhir.

"Arzen." Pangeran memanggil pelan. Ada rasa senang tersendiri melihat Arzen dan Pradipta berbincang hangat seperti itu, keinginan terbesar Arzen yang tak pernah lelaki itu utarakan adalah bertemu dengan orang tua kandungnya.

Kini, Tuhan mengabulkan, walau Arzen belum menyadarinya.

Arzen menoleh, bibirnya mengulas senyuman membalas sapaan Pangeran. "Hai, Pang!"

Dada Pangeran semakin berat untuk meraup oksigen, tanpa sadar matanya terasa panas, memerah dan berair melihat senyuman Arzen. Kenapa dia harus pura-pura tegar? Kenapa dia harus pura-pura baik-baik saja? Kenapa dia ...

Pangeran memeluk Arzen tanpa diduga, membuat Arzen kebingungan. Jika sedang dalam mode bercanda, Arzen pasti akan kegelian dipeluk tiba-tiba oleh Pangeran, tapi sepertinya Pangeran sedang tidak baik-baik saja.

"Lo kenapa, Pang?" tanya Arzen.

Pradipta mengerti keduanya membutuhkan privasi, ia mau melangkah menjauh, tapi kakinya kaku melihat Catrina muncul dengan wajah basah karena air mata. "Cat? Kenapa?" Pradipta mendekati Catrina, menghapus air mata keponakannya.

"Kalian kenapa?" Arzen benar-benar bingung melihat Pangeran dan Catrina. "Berantem? Ada masalah? Siapa yang salah di sini?"

"Lo yang salah!" Pangeran mendorong bahu Arzen, ia mengelap air matanya yang jatuh.

"Gue? Salah gue apa sama lo?" seru Arzen, wajahnya seperti orang linglung yang tak tau apa-apa soal dunia.

"Lo bikin gue ngerasa gagal jadi sahabat lo!" bentak Pangeran. "Gue enggak berguna banget, sialan!"

"Apa sih, Pang!" Arzen mencengkram bahu Pangeran. "Cerita sama gue, kenapa?"

"Lo yang seharusnya cerita sama gue, Zen! Lo! Bukan gue!" balas Pangeran.

Suara Pangeran terdengar sampai dapur bersih, Princess, Nevis, dan Ratu serta Britney yang ada di gendongannya bingung melihat Pangeran menangis sambil marah-marah pada Arzen.

"Ini kenapa?" Princess menengahi sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

"Kak." Pangeran mengadu. "Kak, Kakak tau apa yang udah Arzen lakuin? Dia nutupin sesuatu dari Pange, dia enggak mau cerita kalau dia lagi kesusahan, dia enggak mau berbagi sama Pange kalau dia lagi ngalamin masalah berat. Sebenernya Pange ini temennya apa bukan sih?"

"Apa salah Pange ya, Kak, karena enggak peka sama kondisi Arzen? Setau Pange, Arzen memang lagi ngalamin masalah soal restu Ayah Ival. Tapi, ternyata ada hal berat yang enggak Pange tau tentang Arzen!"

"Pange gagal, Kak. Pange enggak berguna jadi sahabatnta Arzen."

"Pange, enggak gitu!" Arzen menarik krah jaket Pangeran, memaksa Pangeran agar berhenti menyalahkan dirinya sendiri. "Ini bukan salah lo, lo enggak salah, gue yang salah, Pang. Gue enggak cerita ke siapa pun, karena gue ngerasa gue bisa hadapi ini sendirian."

"Kenapa harus sendirian kalau bisa dihadapi bareng-bareng?!" sambar Pangeran cepat.

"Jelasin!" bentak Princess, tidak tahan dengan kegaduhan yang tidak ia ketahui mengenai adik dan sahabatnya.

"Pang ...." Arzen menggeleng.

"Makam orang tua angkat Arzen dibongkar paksa sama Ayah Ival, Kak!" Pangeran nekat memberitahu Princess meski Arzen melarang.

"What the fuck?!" Nevis kelepasan mengumpat. "Serius lo hal kaya gini enggak lo ceritain ke gue sama Pange?" tanyanya menatap Arzen terluka. Sebagai sahabat, Nevis juga ikut merasa gagal.

"Nevis, enggak—" Belum sempat Arzen selesai bicara, Princess menarik geram jaket Arzen, ia bawa ke dapur bersih untuk berbicara.

Britney menangis kencang melihat ayahnya marah, ia takut, tapi juga khawatir, ingin digendong Pangeran. Maka Pangeran melakukannya, meski suasana hatinya sedang sedih, ia masih memikirkan perasaan putrinya. Pangeran menenangkan Britney sejenak sampai Britney benar-benar tenang.

Melihat Arzen dibawa oleh teman-temannya, fokus Pradipta beralih pada Catrina, ia menggandeng tangan Catrina ke area taman Den Coral Palace. Mereka duduk di taman, tangisan Catrina benar-benar bisa lepas dengan leluasa.

"Om, kita harus kasih tau kak Arzen!" kata Catrina disela tangisan.

Pradipta bungkam, ia tau apa yang membuat Catrina menangis. "Kamu lihat apa, Cat?"

"Videonya! Video CCTV di jalan Om dan Tante kecelakaan! Om tau? Om pasti tau dari lama, kan?" tanya Catrina.

Pradipta menggeleng. Ia dekap Catrina, memberi tepukan pelan pada bahu gadis itu. "Coba Cat cerita."

"Mobil itu ... memang meledak. Tapi, anak Om Pradipta dan Tante Ishara enggak meninggal di sana, Tante Ishara sempat menyelamatkan kak Arzen. Bahkan nama kak Arzen ... Tante Ishara yang kasih," isak Catrina. "Arzenro Gananta itu nama dari Tante."

"Tante Ishara enggak amnesia gara-gara kecelakaan itu, Tante Ishara amnesia karena dihajar sama Harata. Cat liat semuanya."

"Kita harus kasih tau kak Arzen, Om. Kak Arzen berhak tau soal orang tua kandungnya, Kak Arzen pasti seneng saat tau kalau orang tua kandung kak Arzen selama ini ada di sini, ada di samping dia, selalu peluk dia."

Pradipta terbawa suasana, air matanya ikut mengalir mendengar ucapan Catrina. "Om ingin, tapi Om belum bisa melakukannya."

"Kenapa?"

"Om belum siap melihat wajah kecewa Arzen, Om takut Arzen benci sama Om dan Tante."

"Kak Arzen enggak akan kecewa, Om. Percaya sama Cat," bujuk Catrina. "Lagian kenapa harus benci sama Om dan Tante? Kalian udah bantu kak Arzen selama ini, kalian selalu peluk kak Arzen dan enggak biarin kak Arzen apa-apa sendiri. Enggak ada alasan kak Arzen benci sama kedua orang tua kandungnya, kan?"

"Catrina ...." Pradipta mengendurkan pelukan, ibu jarinya menghapus air mata gadis itu, ia berbicara penuh kelembutan dan hati-hati agar Catrina mudah memahami. "Oke, mungkin kamu benar, enggak ada alasan untuk Arzen membenci Om dan Tante, tapi ... kamu memikirkan soal hubungan Arzen dan Selia, nggak?"

"Bagaimana kalau saat Arzen tau Om dan Tante orang tua kandungnya, dan ada peristiwa apa beberapa tahun yang lalu, Arzen jadi benci sama Selia? Hubungan mereka sudah terlalu jauh, kalau berhenti di tengah jalan malah kasihan mereka, kan?"

"Saat Om melihat Selia histeris di acara ulang tahun Tante Ishara waktu itu, Om bisa merasakan bahwa cinta Selia untuk Arzen sangat besar sampai Selia takut disuruh menjaga jarak dari Arzen."

"Catrina enggak kasihan sama Selia, hm? Enggak kasihan sama Arzen juga?" Pradipta menatap lurus keponakannya.

"Tapi, sampai kapan kita harus sembunyiin ini dari Kak Arzen, Om?" tanya Catrina.

"Om sudah mempertimbangkan sesuatu, cepat atau lambat Arzen pasti akan tau siapa orang tua kandungnya," jawab Pradipta kelewat tenang.

Catrina menggeleng. "Keburu kak Arzen mati di tangan Om Rival!"

"Hush!" Pradipta tak menyukai kalimat Catrina. "Jangan bicara sembarangan," tegurnya.

"Cat enggak bicara sembarangan, Om Rival itu masih keturunan Harata, Om liat deh ya makam kedua orang tua angkat kak Arzen sampai dibongkar paksa kaya gitu," oceh Catrina. "Kalau alasannya karena Om Rival susah kasih restu buat kak Arzen dan kak Selia, kenapa harus hancurin hidup kak Arzen? Kenapa sampai bongkar paksa makam orang?"

"Nah ... Cat enggak menyadari sesuatu?" Pradipta tersenyum sedih.

Catrina diam sebentar, berusaha berpikir keras kenapa Pradipta bertanya seperti itu. "Apa?"

"Kalau cuma masalah restu pasti enggak akan segitunya, kan? Pasti ada hal lain," ujar Pradipta. "Kemungkinan terbesarnya ... siapa Arzen yang sebenarnya udah mulai tercium sama Harata, terutama sama ayah Selia."

"Rasa benci Om Rival kepada Arzen yang awalnya didasari oleh restu, sekarang mulai meningkat. Sudah bukan tentang restu lagi, meski kata restu masih menjadi alasan atas perbuatan Om Rival selama ini kepada Arzen."

"A—apa mungkin penderitaan yang Om Rival berikan ke Kak Arzen supaya Kak Arzen tetap berada di tempatnya?" tebak Catrina. "Om Rival enggak mau Kak Arzen tau siapa Kak Arzen sebenarnya?"

Pradipta memberi anggukan sebagai jawabannya.

Catrina menelan ludah. "K—Kalau sampai Kak Arzen tau?"

"Berbahaya." Pradipta berucap. "Harata menginginkan kesetaraan, setara itu sama, sedangkan Arzen ada di atas dia. Ibarat sebuah piramida, Harata ada diposisi nomor dua, sedangkan McGun ada diposisi pertama, paling unggul."

"Ego Harata akan terluka, kemudian luka itu akan menjadi dendam yang sulit dimatikan, hingga akhirnya nyawa akan menjadi taruhan."

"Itulah kenapa kita enggak boleh gegabah Catrina, semua harus disusun melalui strategi. Om juga pengen kok dipanggil Papa sama Arzen," ucap Pradipta. "Kita hanya harus lebih bersabar lagi, ya? Percaya sama Om, cepat atau lambat semuanya akan terungkap."

"Om janji, Catrina, Om akan membawa Arzen kembali pada McGun."

────୨ৎ────

Semuanya kacau. 

Laskar tetap mempertahankan Selia dipelukannya, mencegah tangan Selia menjambak rambut, ia ingin membawa Selia pergi tapi tubuh Selia kaku. Tangisan dan jeritan Selia sudah tidak terdengar, Laskar perlahan melepaskan pelukan. 

"Kak ...." Laskar memanggil Selia yang mendadak diam bak patung, menatap kosong udara, raga Selia tetap di sini, tapi jiwanya mendadak pergi entah kemana. Hanya lamunan, tatapan penuh derita, dan juga air mata yang menjadi pertanda bahwa masih ada dikehidupan di dalam raga itu. 

"Kak Selia!" Tangan Laskar menggoyang tubuh Selia, kemudian mengibaskan telapak tangannya di depan wajah Selia. "Kak!"

"Selia." Senada berusaha menyadarkan Selia dari tatapan kosong itu. "Selia, jangan gini. Semua bakal membaik percaya sama Senada. Jangan gini lagi!"

"Selia!" Senada memeluk tubuh kaku Selia. Adiknya kambuh, masalah kontrol emosinya sudah mencapai batas maksimum hingga membekukan tubuh Selia, saat ini Selia mengalami Disosiasi atau shutdown emosional, perasaan terpisah dari tubuhnya sendiri, mati rasa, dan tidak responsif secara emosional.

"SELIA!" Senada menjerit. Tangisannya merebak kencang. 

"Biar Laskar bawa ke kamar, Kak." Laskar menggendong tubuh Selia, ia berlari menuju kamar Selia dengan perasaan cemas, Senada dan Zamora mengikuti. 

Rhea menyisir rambutnya ke belakang. Melihat kondisi Selia dan Senada, ia menyesal karena terlalu terburu-buru membongkar masalah tersembunyi ini. Tapi, menyesalpun tidak akan mempengaruhi apa-apa, biarlah Selia tau bahwa tradisi kesetaraan ini hanyalah omong kosong.

"Maaf, Shia, aku harus melakukan ini di depan anak-anak kamu, aku udah enggak tahan liat keponakan-keponakan aku disiksa terus mentalnya sama bajingan di depan aku ini!" ceplos Rhea marah menatap nyalang Rival. 

Rival mulai menunjukkan tanda-tanda perlawanan setelah sekian lama diam, kedua tangannya terkepal, ia nyaris mencekik Rhea jika Shia tidak bertindak. 

Satu tamparan kencang mendarat di pipi Rival dari tangan Shia yang selalu dia genggam setiap saat. 

Tangis Shia tumpah, kekecewaan telah menelannya utuh. "Pernikahan kita ... enggak bisa dipertahankan lagi, Rival. Kamu udah melampui batas, kamu ... kamu penjahat untuk kehidupan aku dan anak-anak aku!"

"Makasih Rhea, makasih udah kembali mengingatkan aku tentang dosa aku di masa lalu. Kamu enggak salah, enggak perlu minta maaf, kalau bukan karena kamu mungkin pikiran aku masih bimbang antara mau mempertahankan pernikahan ini atau enggak."

"Tapi, sekarang aku yakin ...." Shia mengembuskan napas, dadanya nyeri sekali. "Pernikahan ini enggak ada apa-apanya kalau enggak ada kebahagiaan di dalam sana. Aku mungkin bahagia karena Rival sayang sama aku, tapi dia enggak sayang sama anak-anak aku."

"Dia ...." Shia meneteskan air mata lukanya. "Dia ayah dan suami yang buruk! Aku bahkan udah enggak bisa mengenali suami aku yang sekarang."

Shia membekap mulutnya, ia memilih pergi, meninggalkan Rival yang masih meresapi perih di pipinya. Tamparan Shia memang pedih dan menyakitkan, tapi yang berdarah justru hatinya, di sanalah letak perih itu berasal. 

Rhea membuang pandangan beberapa detik. "Ya, benar. Aku juga udah enggak kenal sama kakak kembar aku yang sekarang. Rasanya ... kembaran-kembaran aku udah bener-bener pergi meninggalkan dunia ini."

"Sekarang, siapa yang ada di depan aku? Iblis? Iblis pun enggak mau menempati raga busuk itu."

Rhea menendang jerigen asal, ia berlalu, menyudahi interaksinya dengan Rival, rasa muak menenggelamkan dirinya, mengirim sinyal pada otak agar tak mempedulikan apa pun mengenai Rival Fernandez Harata itu. Rhea ingin menjenguk Selia dan Senada, memeluk keduanya erat, menenangkan mereka agar tak menyerah dalam menjalani kehidupan, meski kehidupan ini sering kali membuat mereka babak belur, hancur, dan berantakan. 

Para pekerja di rumah itu sibuk memadamkan api agar ruang kerja Rival dapat diselamatkan, meski banyak dokumen yang sudah hangus terbakar, dan juga beberapa benda elektronik yang meledak. 

Rival melangkah ke besi pembatas, ia cengkram kuat besi itu, menyalurkan emosimya melalui cengkraman itu. Rival mendadak tidak bisa berpikir apa-apa, ia butuh waktu untuk menenangkan diri, pernikahannya terancam selesai, ia akan kehilangan Shia, istri tercintanya. Perempuan yang sangat berharga dan berjasa di hidupnya. Nightmare

────୨ৎ────

Berjam-jam Shia duduk di tepi ranjang Selia, ia belum mengutarakan apa pun, tangannya menggenggam tangan Selia yang menghangat. Padahal suhu tubuh Selia sebelumnya tidak sehangat ini, Shia berpikir pasti Selia akan demam nantinya. Ia harus cepat-cepat mengambil obat untuk berjaga-jaga. 

Shia beranjak dari kasur, belum sempat melangkah, suara Selia membuat perasaannya tercabik. 

"Udah puas? Bunda sama Ayah mau bikin Selia sehancur apa lagi?" tanya Selia. "Kenapa enggak sekalian bunuh Selia aja?"

"Selia," bisik Senada. "Jangan bilang gitu."

"Gue capek." Air mata Selia menetes. "Gue capek harus jadi sempurna, kesempurnaan yang selalu lo anggap enak, perlahan-lahan bikin gue mati."

Selia tersenyum kecut. "Gue benci jadi sempurna." Kelereng matanya naik menatap Shia yang berdiri di sampingnya. "Bunda tau?"

"Selia udah tidur sama kak Arzen. Berkali-kali, setiap kita ketemu."

Shia seketika lupa caranya menarik napas, tangannya gemetar. "S—Selia ...."

"Apa? Bunda pikir Kak Arzen yang maksa Selia? Enggak." Selia tertawa di tengah rasa sakitnya. "Selia yang memulai semuanya. Selia mau terikat lebih jauh dengan Kak Arzen."

Rasa terkejut itu tak hanya Shia yang merasakannya. Namun, Senada juga. Senada tak kalah shock meski firasatnya sudah mengatakan hal ke arah setiap kali ia menelfon Selia, Senada menyadari suara erangan adik kembarnya. 

"Kenapa Selia begitu?" tanya Shia, suaranya bergetar. 

"Kenapa? Kalau Senada yang enggak pernah melakukan apa pun selain saling menyentuh sama si bajingan Reiyyan, Bunda dan Ayah menganggap hina Senada, lalu sekarang apa bedanya sama Selia?" tanya Selia dalam. "Selia enggak kalah hina, kan?"

"Jadi, enggak cuma Senada yang kalian pandang seolah dia bakteri di rumah ini, tapi Selia juga. Selia lebih-lebih dari semua itu. Selia patahkan tradisi kesetaraan sialan itu, Selia patahkan kesempurnaan yang Selia miliki."

"Sekarang, Senada dan Selia sama. Dunia memang milik orang-orang yang sempurna, Selia sempat memilikinya, tapi sekarang dunia ini bukan milik Selia lagi."

"Selia memutuskan untuk hidup bersama Senada apa pun yang akan terjadi."

Pelukan Senada di pinggang Selia bertambah erat. "Selia ...." Ia tergugu tangisnya. 

Shia kembali duduk di ranjang Selia, ia bingung, mau marah juga takut, mau kecewa pada Selia pun ia tak memiliki alasan yang kuat kenapa ia harus melakukan hal itu. Ini semua berawal dari dirinya dan Rival yang terlihat membedakan antara Senada dan Selia. 

Shia dan Rival selalu memandang Senada berdasarkan masa lalu kelam Senada bersama Reiyyan, sementara mereka memandang Selia bak berlian paling mahal di dunia ini. Padahal, baik Senada atau pun Selia, mereka sama-sama berlian yang sangat berharga, bahkan harga yang anak-anak manis itu miliki begitu tinggi nilainya, hingga sulit dijangkau oleh nalar manusia. 

Shia sangat salah karena selama ini ia selalu mengikuti kemauan dan ego Rival, memberi makan ego suaminya sampai membuat sang suami lupa akan bumi yang dia pijak. Mengukir luka dan trauma berat untuk anak-anaknya. 

Shia menoleh pada Senada, melihat bekas kemerahan, seperti sayatan panjang di leher putih Senada, lagi-lagi membuat Shia kembali di lempar ke jurang dosa. Keegoisan Shia nyaris membuat ia hampir kehilangan kedua putrinya. 

"Bunda minta maaf," ungkap Shia penuh penyesalan. "Bunda minta maaf," ulangnya begitu perih. 

"Ini semua salah Bunda, Bunda enggak bisa menjalankan peran ibu untuk kalian berdua. Bunda minta maaf, Senada, Selia," sesal Shia. "Begitu banyak kesalahan Bunda yang sudah Bunda lakukan, membuat kalian terluka, membuat kalian merasa buruk. Kesalahan Bunda pada Papi Saga memang enggak bisa termaafkan, kalian berhak mengutuk Bunda kalau memang ingin, agar rasa sakit hati dan malu kalian bisa tersampaikan."

"Bunda." Senada meraih tangan Shia, ia genggam lembut. Seakan tak takut kehabisan stok air mata, Senada masih terus menangis. "Kita perbaiki, okay? Apa yang bisa kita perbaiki, kita perbaiki."

"Bunda meemang salah, Senada juga salah, Selia salah, Ayah salah, semuanya salah. Kita perbaiki, kita keluarga, Senada enggak mau keluarga kita hancur berantakan," kata Senada. 

"Nyatanya keluarga kita udah hancur sejak Ayah mengasingkan lo ke Aussie, Senada!" bentak Selia. "Kepulangan lo ke sini enggak mendapat sambutan baik dari Ayah, itu awal mula kehancuran keluarga kita! Ditambah perjodohan sialan ini, tradisi, dan segala hal brengsek yang Ayah lakukan!"

"Kalau memang lo pengen memperbaiki apa yang sudah rusak, cukup lo, gue, dan Bunda. Enggak usah ngajak Ayah, karena mulai detik ini ... gue benci banget sama Ayah."

"Gue bakal benci Ayah seumur hidup gue, dan suatu saat kalau Ayah pergi dari dunia ini, gue enggak akan pernah sudi dateng ke makam Ayah."

"Kata orang, ayah adalah cinta pertama anak perempuannya, kan? Tapi, itu enggak berlaku buat gue, ayah adalah bentuk kehancuran yang sesungguhnya untuk hidup gue, Senada."

"He's Armageddon."

────୨ৎ────

Arzen memperhatikan Catrina yang sedang sarapan, mata gadis itu bengkak seperti habis tersengat lebah, bercanda. Penampilan Catrina benar-benar berantakan, pagi-pagi sekali Catrina sudah menelfonnya, menangis, ingin ditemani makan. Sepertinya bocah itu sedang dalam mode manja.

"Masih sedih?" tanya Arzen pada Catrina.

Catrina menggeleng, mulutnya penuh nasi goreng buatan Ishara. Di samping piring Catrina tersedia susu vanila.

"Semalem lo nginep di sini? Enggak pulang ke rumah?" Arzen kembali bertanya, ia kurang suka Catrina diam seperti ini.

"Di rumah sepi, Mama sama Papa keluar kota, kak Riko ada operasi, baru pulang nanti jam satu siang." Catrina menjawab, suaranya masih parau.

Arzen manggut-manggut, ia minum teh hangatnya sebentar, matanya tak luput memandangi Catrina. Meletakkan gelasnya di meja, Arzen lanjut memberi pertanyaan pada gadis manis itu. "Lo sebenernya kenapa sih? Lo takut gue marah soal Pangeran semalem?"

Diamnya Catrina menandakan sebuah jawaban iya bagi Arzen. Lantas lelaki itu berkata lemah lembut, "Cat, nggak apa-apa. Kalau lo enggak kasih tau Pangeran pun, cepat atau lambat Pangeran juga bakal tau. Lo tau apa pekerjaan dia, kan?"

"Gue bakal tetap jadi guru les lo sampai lo lulus SMA, sesuai perjanjian awal. Enggak perlu khawatir, gue enggak marah sama lo."

Catrina menunduk, ia memainkan sisa nasi gorengnya yang tinggal sedikit, mengambil timun lalu ia makan. "Sebenernya ...."

"Cat, belum selesai makan?" Ishara muncul mengejutkan Catrina, raut muram Catrina muncul memandang Ishara. "Tante bisa nggak sih ketok pintu dulu?"

"Pintu?" Ishara menoleh ke belakang, tak ada pintu atau apa pun yang menjadi sekat antara ruang makan dan dapur. "Pintu apa?"

Catrina menggembungkan pipinya. "Tante duduk deh di deket kak Arzen, mau Cat foto kalian berdua."

"Tante udah punya foto bareng kak Arzen, wle!" Ishara meledek. Namun, ia tetap duduk di samping Arzen sesuai kemauan Catrina, dari pada bocah itu tantrum seperti tadi malam.

Catrina memposisikan kamera, ia tersenyum melihat Ishara dan Arzen duduk berdampingan seperti itu. Kemudian, lampu flash kamera ponsel Catrina menyala, gambar hangat pun berhasil Catrina abadikan. "Okey, mantap!"

"Mau buat apa sih?" tanya Ishara kepo.

"Mau Cat bawa ke dukun!" seloroh Catrina ngawur.

Ishara memutar malas matanya. "Nak Arzen, mau Tante bikinin cemilan? Nungguin Catrina makan, bikin laper juga, kan?"

"Saya sudah sarapan, Tante. Terima kasih," ujar Arzen manis.

"Tante bikinin kentang goreng, tunggu di sini, sama nugget ya?" Ishara segera bergegas ke dapur, tak memberi Arzen kesempatan untuk menolak.

"TANTE, CAT MAU SOP IKAN BUNTAL!" teriak Catrina.

Ishara hanya melirik sekilas, tak berniat meladeni permintaan aneh-aneh Catrina. "Sana, tangkap ikan buntal di laut."

"Nggak mau ah, nanti Cat jadi siren," tolak Catrina.

Arzen tertawa, gemas sendiri melihat Catrina yang gemar menjahili Ishara. "Cat?"

"Apa?" Catrina bertanya.

"Kita ... cocok nggak sih jadi adek-kakak? Gemesin banget lo soalnya," celetuk Arzen.

Catrina tersenyum malu. "Cocok kok, cocok banget! Kakak, kan, emang kakak aku!"

"Eh?" Gadis itu keceplosan. Catrina membungkam mulutnya rapat-rapat, merutuki kebodohannya, ia terlampau senang menjawab pertanyaan Arzen.

Arzen mengerutkan dahi, kedua matanya menyipit. "Kok eh, kenapa? Jadi, selama ini lo memang menganggap gue kakak lo?"

"I—iya, gitu maksudnya." Catrina tersenyum kikuk.

"Oh." Arzen manggut-manggut. "Bagus deh. Gue punya adek juga akhirnya."

Catrina memasang senyuman manis. "Aku bakal bilang ke temen-temen aku, kalau aku punya kakak kandung, kak Riko kakak pungut soalnya."

Arzen tertawa lepas mendengarnya, ia tau Catrina hanya bercanda, terkadang Catrina memang kesal pada Riko yang sulit meluangkan waktu untuk menemani gadis itu bermain.

Ishara datang dengan sepiring kentang goreng dan nugget. Ia mendengar percakapan manis Catrina dan Arzen dari dapur. "Jangan mau punya adek seperti Catrina, dia bawel, suruh makan susah, tantrum nomor satu."

"TANTE IH!" Catrina rewel.

"Tuh, kan." Ishara tertawa renyah bersama Arzen. Catrina cemberut, pura-pura ngambek, lucu sekali wajahnya yang sok ditekuk seperti kanebo kering itu.

"Catrina memang sering nginep di sini, ya, Tante?" tanya Arzen basa-basi.

"Iya, sering. Tante yang suruh, dari pada di rumah sendirian, kasihan, Tante khawatir kalau Cat sering sendiri nanti malah melampiaskan rasa kesepian ke hal-hal nggak baik," kata Ishara. "Lebih baik, Cat di sini aja, nemenin Tante. Kalau Om Pradipta lagi ada urusan di kantor atau di luar rumah, Tante suka kesepian juga. Adanya Cat di sini, hari-hari Tante enggak sepi lagi."

"Meski bawel, tukang ngambek, susah makan, Tante tetap sayang sama dia seperti anak Tante sendiri."

"Andai anak Tante masih hidup ... dia pasti suka banget main sama Catrina." Sorot Ishara perlahan menyendu kala mengingat almarhum putranya.

Mulut Catrina gatal sekali ingin berteriak, ANAK TANTE ISHARA MASIH HIDUP! DIA ADA DI SAMPING TANTE! KAKAK SEPUPU KESAYANGAN CAT BELOM MENINGGAL PLIS!

Tapi, Catrina telan kembali keinginannya, ia belum mendapatkan persetujuan Pradipta untuk memberitahu semuanya. Entahlah, kalau sewaktu-waktu Catrina kelepasan seperti tadi, mungkin strategi Pradipta gagal total diakibatkan mulut nakal keponakannya sendiri.

Berbeda dengan Arzen yang merasa prihatin. Ia genggam tangan Ishara, memberi belaian lembut pada tangan halus itu. "Dia pasti melihat semuanya dari atas sana, Tante. Dia pasti juga gemes sama Catrina."

"Ya Tuhan ..." Catrina meletakkan kepalanya di meja.

Ishara mengusap kepala Arzen penuh perhatian disertai senyuman hangat sehangat mentari pagi. "Di sini lebih lama ya, kalau bisa menginap lagi. Tante seneng banget kalau Nak Arzen ada di sini."

"Saya jadi enggak enak kalau menginap di sini terus, Tante. Entah apa yang akan orang-orang bilang kalau saya menginap di rumah majikan saya sendiri terlalu sering," ucap Arzen sungkan.

"Majikan?" Ishara menghela napas. "Jadi, selama ini kamu menganggap Tante majikan?"

Arzen mengangguk ragu.

"Nak Arzen, kenapa seperti itu, hei? Tante bukan majikan kamu," sahut Ishara.

"Lalu, saya harus menganggap Tante apa? Tante yang membayar gaji saya sebagai guru les Catrina, itu berarti Tante adalah atasan saya," kata Arzen.

Ishara terkekeh. "Kamu bisa menganggap saya ibu kamu, karena saya sudah menganggap kamu sebagai anak saya sendiri."

"Tante ...." Arzen tak bisa menahan rasa senangnya. "Sudah lama saya nggak memiliki orang tua, sekarang tiba-tiba saya memilikinya? Tante benar-benar malaikat."

"Kamu ini." Ishara gemas, mengacak rambut Arzen lalu menatanya kembali.

Catrina senyum-senyum, saat dilirik Ishara, ia kembali menatap Ishara penuh permusuhan sambil menggeram seperti banteng yang mau menyeruduk orang.

"Kesurupan kamu?" sindir Ishara pada Catrina.

"Aing maung!" Catrina menanggapi.

"Maung timana sia?!"

"Legok hangseurrr!"

Suara tawa Ishara, Arzen dan Catrina pecah seketika, memenuhi ruang makan yang menjadi saksi tawa bahagia itu meluncur.

Drrttt!

Ponsel Arzen yang tergeletak di meja bergetar, Arzen menghentikan tawanya sejenak demi melihat siapa yang menelfonnya. Keningnya bergelombang ketika melihat nama Shia di layar, ia pun segera mengangkat panggilan itu. Jarang sekali Shia menghubunginya terlebih dahulu, pasti ada sesuatu yang membuat Shia menelfonnya.

"Arzen!"

"Kenapa, Tante?" Arzen bingung kenapa Shia tiba-tiba menelfonnya, dan menangis histeris seperti itu. Perasaan Arzen campur aduk, gelisah.

Ishara dan Catrina seketika terdiam, fokus melihat mimik muka Arzen yang terlihat panik.

"Arzen, Selia demam tinggi. Dia enggak mau buka mata, terus-terusan manggil nama kamu, tolong dateng ke sini, Tante takut Selia kenapa-napa!"

Jantung Arzen berpacu cepat. Ia berdiri dari kursinya. Rasa panik dan cemasnya mulai menyelimuti hatinya. "Tapi, Om Rival ...."

"Nggak usah peduliin dia! Dateng aja, Tante mohon!"

"Iya, Tante. Saya ke sana sekarang." Arzen menyambar cepat, setelah itu mematikan sambungan telfon, meminum tehnya hingga tandas dan memakan beberapa kentang goreng dan nugget buatan Ishara. "Tante, Catrina, saya harus ke rumah Selia sekarang. Selia demam tinggi, dan dia butuh saya."

"Ah, ya. Hati-hati, Nak, jangan ngebut ya naik motornya." Ishara berpesan.

"Terima kasih, Tante." Arzen buru-buru beranjak keluar dari kediaman megah Ishara.

Catrina menatap kepergian Arzen, tangannya mencomot nugget yang ada di piring bekas kakak sepupunya itu lalu memakannya. "Kasian, Kak Selia."

"Gara-gara demam?" tanya Ishara.

"Bukan." Catrina menggeleng sambil mengunyah. "Kasian Kak Selia kalau enggak dapat restu dari Ibu kandung Kak Arzen."

Ishara menggumam pelan. "Siapa ibu kandung Arzen, ya?"

TANTELAH! Catrina tersenyum pias. "Siapa, ya?"

────୨ৎ────

Begitu Arzen tiba di rumah Selia, ia langsung melepas helm, dan turun dari motor. Langkah Arzen semakin cepat menaiki satu persatu tangga menuju pintu utama, kemudian dia berlari ke kamar Selia yang ada di lantai dua. Arzen tak sempat berpikir untuk menaiki lift, ia memilih naik tangga saking paniknya.

Napas Arzen terengah-engah, sedikit terbatuk, tapi lelaki itu tak menyerah berlari sampai ke kamar Selia. Tanpa mengetuk, Arzen masuk begitu saja melihat pintu kamar Selia yang sedikit terbuka. Arzen melihat Shia menangis di samping tempat tidur Selia, di dahi Selia terdapat kain kompres untuk meredakan demam.

"Tante," panggil Arzen.

Shia menoleh dengan mata basahnya. "Tolong Selia, dia enggak mau di bawa ke rumah sakit sejak semalam, Arzen, dan sekarang kondisinya benar-benar parah."

"Kemana Om Rival, Tante? Pelayan? Om Jeff, Om Sai?" tanya Arzen bertubi-tubi.

Shia menggeleng. "Kemarin sempat ada sedikit masalah, tolong fokus pada Selia dulu."

Arzen mengangguk, ia berlutut di tepi ranjang Selia, tangannya mengusap kepala Selia lembut. "Selia, hei, gue di sini," bisik Arzen.

"Kak Arzen..." racau Selia tanpa membuka matanya.

"Iya, gue di sini." Arzen menggenggam tangan Selia yang terasa panas. "Selia, kita ke rumah sakit ya, demam lo tinggi banget. Gue takut lo kenapa-napa."

"Gue janji, gue bakal nemenin lo terus selama di rumah sakit," ujar Arzen.

Tak ada jawaban dari Selia, Arzen berinisiatif menggendong perempuannya. "Tante, ada mobil nganggur, kan?"

"Iya, ada. Pakai mobil saya." Shia melangkah lebih dulu, ia akan menyiapkan mobilnya.

Arzen mengikuti dari belakang, matanya memanas melihat kondisi Selia seperti ini. Rasanya dunia Arzen hancur, meski tadi dia sempat bercanda dengan Ishara dan Cartrina, tapi saat melihat Selia tidak baik-baik saja, Arzen kembali dirundung rasa sedih yang tak tertahankan.

Arzen meletakkan Selia di jok mobil belakang, Shia menjaga putrinya, menempatkan kepala Selia di pangkuan, sementara Arzen yang menyetir ke rumah sakit.

Mobil putih milik Shia pun melaju kencang di jalanan.

"Kak Arzen ...." Selia kembali meracau lagi.

"Gue di sini, Selia, gue mau anter lo ke rumah sakit dulu, supaya lo dapat penanganan, okay?" Arzen menyahut.

Shia tidak berhenti meneteskan air mata, ia belai kepala putrinya. "Arzen udah ada di sini, Sayang. Arzen di sini buat Selia."

Beberapa menit setelahnya, Arzen tiba di rumah sakit, ia meminta para perawat untuk menangani Selia terlebih dahulu. Selia pun dibawa ke IGD untuk menjalani pemeriksaan dan penanganan tahap awal.

Arzen dan Shia menunggu di luar, mereka saling diam karena rasa khawatir yang mereka rasakan lebih mendominasi.

Shia mengusap lengannya sendiri, ia mengalihkan tatapan dari ruang IGD kepada Arzen. "Jangan tinggalin Selia, ya?" pintanya penuh harap.

"Saya bakal di sini terus, Tante. Saya bakal jagain Selia," sahut Arzen.

"Bukan itu maksud, Tante." Shia mengambil napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Ia melangkah lebih dekat pada Arzen. "Kalau terjadi sesuatu sama Selia, tolong jangan tinggalkan dia."

"Maksud, Tante?" Arzen bingung dengan ucapan Shia.

"Tante akan mengusahakan pembatalan pertunangan antara Selia dan Devano, setelah itu kamu harus menikah dengan Selia," kata Shia. "Tante enggak mau, saat pembuahan itu terjadi, kalian belum memiliki status yang sah."

Tunggu.

Apa? Pembuahan?

Arzen diam mematung. "Tante ..."

"Tante tau, kamu dan Selia sudah melakukan sesuatu. Tapi, kamu jangan khawatir, hanya Tante dan Senada yang tau," ucap Shia menepuk bahu kokoh Arzen. "Setelah ini, tolong jangan melakukan apa pun terlebih dahulu. Setidaknya sampai kalian memiliki ikatan resmi, Arzen."

"Tante enggak melarang kamu bertemu Selia, sama sekali enggak, tapi tolong dipertemuan kalian selanjutnya, jaga batasan."

Arzen menahan napas tiga detik, kepalanya mengangguk kemudian. "Tante, saya minta maaf, saya janji saya akan bertanggung jawab atas Selia. Saya akan mengusahakan apa pun agar bisa menikah dengan Selia."

"Tante percaya. Kita berusaha bersama." Shia memberi Arzen dukungan penuh pada lelaki yang dicintai oleh putrinya. "Ingat ya pesan Tante, jaga batasan terlebih dahulu."

"Iya, Tante. Pasti." Arzen mengangguk tegas. "Oh iya, Tante. Ngomong-ngomong kemana Senada? Saya nggak lihat dia dari tadi."

"Tadi, Senada pamit mencari obat penurun demam buat Selia, Tante bakal kasih tau Senada kalau Selia sudah ada di rumah sakit."

Satu jam berlalu, dokter memanggil Shia ke ruangan untuk menjelaskan kondisi Selia. Jantung Shia berdegup, ditemani oleh Arzen di ruangan yang begitu dingin, dipenuhi aroma khas ruang UGD.

"Tidak ada masalah serius yang dialami oleh Nona Selia, tapi sebaiknya Nona Selia dirawat di sini untuk beberapa hari ke depan karena demamnya memang cukup tinggi," jelas dokter.

"Baik, Dokter, terima kasih." Shia cukup lega mendengar penjelasan sang dokter.

"Satu lagi."

Shia menahan napasnya, ia berdebar. "Apa masih ada lagi, Dok?"
 
Dokter menyerahkan beberapa dokumen hasil pemeriksaan Selia. "Berdasarkan hasil pemeriksaan melalui tes darah yang kami lakukan untuk mengetahui kondisi Nona Selia, kami menemukan tanda-tanda kehamilan Nona Selia."

"Untuk mengetahui usia kandungannya, kita bisa melakukan USG saat kondisi Nona Selia sudah membaik."

"K—kehamilan?" Arzen dan Shia terkejut.

Shia menatap Arzen, ia menepuk bahu Arzen kencang sampai Arzen mengaduh. Kesal, tapi mau bagaimana, semuanya sudah terjadi.

Arzen dan Shia berterima kasih pada dokter atas penjelasan yang telah diberikan, selanjutnya mereka akan menunggu Selia dipindahkan ke ruang rawat inap VIP.

Arzen tidak tau ia harus senang atau bagaimana, ia tidak bisa menahan senyuman di bibirnya mengetahui Selia hamil. Ada anaknya di dalam perut Selia.

Shia memijat kepalanya, pening, ia bersandar di dinding sambil membaca dokumen hasil pemeriksaan Selia. "Arzenro Gananta."

"Saya, Tante." Arzen menegakkan punggung.

Shia melirik Arzen, tangannya melintir telinga Arzen tanpa peduli pekikan lelaki itu.

"Tante, telinga saya lepas, Tante! Sakit!" jerit Arzen.

"Anak nakal! Nakal! Nakal banget! Kalian berdua itu nakalnya kelewatan!" Shia memukuli tubuh Arzen menggunakan kertas yang dia pegang.

"Maaf, Tante!" Arzen kabur.

"Sini, kamu anak nakal! Arzenro Ganantaaaaaa!" Shia mengejar, ingin menjewer anak itu lagi sampai puas.

────୨ৎ────

Senada mengerjabkan matanya, rasa mual dan pusing mendera saat ia berusaha bergerak dari tempatnya. Pandangan Senada meliar ke sebuah ruangan yang gelap, tanpa pencahayaan, terakhir kali yang dia ingat, dia ingin pergi ke apotek membeli obat untuk Selia. Tapi, tiba-tiba pandangannya gelap, ia tak bisa mengingat apa pun lagi.

"Lo udah bangun?"

Suara itu.

Senada merasa jantungnya berdetak kencang. Dalam sekejab, lampu menyala, seseorang yang sangat familier berdiri di hadapannya dengan pandangan dingin, tajam, menusuk.

"Rei?" gumam Senada takut.

Reiyyan melangkah mendekati Senada yang tengah duduk di kursi, membuat rasa panik Senada semakin tinggi.

Senada tak bisa pergi kemana-mana, kedua tangan dan kakinya dirantai, menyatu dengan kursi yang sedang ia duduki. "Rei, lepasin Senada ...," lirih Senada dengan air mata menetes di pipi.

"Lepasin lo? Setelah gue bersusah payah menangkap lo?" Reiyyan tertawa sumbang. "Jangan harap!"

Reiyyan berlutut di depan Senada, memandang lekat wajah cantik perempuan yang akhir-akhir ini memenuhi kepalanya. Tangannya terulur menghapus air mata yang ada di pipi Senada. "Kemana pun lo pergi, selalu ada si bajingan itu di samping lo. Gue muak, Senada. Gue muak melihat lo bersama perempuan itu."

"Kenapa? Itu normal, Senada sama kak Devano saling mencintai, kemana-mana memang harus bersama," sambar Senada.

"Saling mencintai?" Reiyyan geram mendengar kalimat itu.

"Ya, Senada memang sangat-sangat mencintai kak Devano, kak Devano pun begitu. Hal itu enggak salah sama sekali karena kita berdua enggak ada ikatan darah!" bentak Senada.

"Gue dan lo juga enggak punya ikatan darah yang dekat, Senada. Lo cicit dari kembarannya Eyang Ratih, lo sepupu jauh gue!" balas Reiyyan dengan nada yang tak kalah tinggi.

"Tapi, biar gimana pun kamu tetap sepupu Senada, Rei!" Senada terisak. "Kenapa susah bagi kamu buat menerima hal ini? Kenapa? Senada udah coba menerimanya, Senada bisa, jadi kamu pasti bisa!"

"Karena gue cinta sama lo, Senada!" Ungkapan Reiyyan membekukan seluruh saraf Senada. Senada menggeleng kencang.

"Enggak boleh, ini salah." Perempuan itu menunduk dalam. "Jangan gini, Rei. Reiyyan udah punya kak Mimi, Reiyyan juga cinta sama kak Mimi, kan? Jangan ada perempuan lain dihati kamu saat kamu sudah bersama seseorang, itu sakit, Rei."

Reiyyan semakin kesal, ia menangkup wajah Senada, lalu menyatukan bibir mereka, mencium Senada dalam, penuh amarah, bahkan ia tak segan-segan menggigit bibir Senada hingga berdarah.

Senada memberontak, ia berusaha mendorong tubuh Reiyyan dengan sisa tenaganya.

Reiyyan memeluk pinggang Senada, ia membawa Senada berdiri, suara rantai yang bertabrakan dengan lantai terdengar. Reiyyan duduk di kursi Senada, dan menempatkan Senada di pangkuannya.

"Rei, berhenti!" Senada histeris.

"Enggak! Gue enggak akan berhenti, kalau lo enggak bisa gue miliki. Seenggaknya, ada sesuatu yang ingin gue berikan di sini." Reiyyan meraba perut rata Senada.

Senada merinding, rasa takutnya semakin menjadi-jadi. Ia tak ingin menghadapi mimpi buruk itu.

Suara gemuruh di langit saling bersahutan, hujan mengguyur kota ranting dengan begitu deras.

Seharusnya ... 

Seharusnya sejak awal Senada tidak akan menempatkan hatinya pada Reiyyan.

Seharusnya ...

Seharusnya Senada tidak memberikan harapan sekecil apa pun pada Reiyyan.

Reiyyan Gale begitu mengerikan, dia seperti iblis yang terperangkap di dalam tubuh manusia berhati lembut. Apa pun yang lelaki itu mau harus bisa dia dapatkan, bagaimana pun caranya, jika gagal, Reiyyan akan menggunakan cara paling nekat dan gila.

Seperti saat Reiyyan membuat Nevis patah tulang, koma dan nyaris meninggal demi membuat Nevis dan Princess menikah.

Sekarang, hal gila itu kembali dia lakukan, tak peduli tangisan, pekikan atau teriakan menggema di tempat itu.

Senada hancur.

Benar-benar hancur.

────୨ৎ────

Berkali-kali Devano menghubungi Senada tapi tak kunjung mendapat jawaban. Devano resah, sulit terhubung dengan Senada, pertanda bahwa jarak Senada dan dirinya terlalu jauh. Devano sudah memerintahkan kaki tangannya untuk mencari tau keberadaan Senada. Namun, Robin tak kunjung memberikan informasi, sepertinya Robin pun kesusahan melacak keberadaan Senada.

Devano berdiri, mengambil coat abu-abu yang tergantung di belakang pintu, ia memakainya. Tidak ada cara lain selain mencari tau kekasihnya dengan tangannya sendiri.

Keluar dari kamar, menuruni anak tangga tergesa-gesa, Devano tiba di pintu utama. Tepat saat pintu di buka, seseorang yang dia khawatirkan sejak tadi ada di sana.

Devano menatap lurus Senada dengan wajah bingung, seluruh tubuh Senada basah akibat diguyur hujan lebat, berdiri di depan rumahnya dengan isak tangis yang terus menggema.

"Senada, what happen?" tanya Devano, saat ia hendak memeluk perempuannya, Senada justru melangkah mundur, dia terlihat ketakutan dan putus asa. "Saya khawatir sama kamu, Senada. Kamu enggak bisa saya hubungi, terakhir kamu bilang mau cari obat untuk Selia. Tapi, sampai sore seperti ini kamu enggak ada kabar sama sekali."

"Sudah dapat obatnya? Sudah diberikan pada Selia? Kamu kenapa hujan-hujanan?"

"Om Mafia ...." Senada memberanikan diri menatap Devano, meski hatinya hancur dan terluka. "Om Mafia masih cinta sama Senada?"

"Saya selalu mencintai kamu, Senada," sahut Devano cepat. "Kenapa bertanya seperti itu?"

Tidak, ini tidak benar. Ada yang salah dengan Senada.

"Senada ... Rei ..." Senada menunduk takut, seluruh tubuhnya gemetar.

Suara ledakan di langit membuat bising dunia, disusul kilat yang menyala terang. Dunia seperti akan berakhir sebentar lagi saking lebatnya hujan dan kencangnya petir.

"Rei? Reiyyan? Kenapa?" Devano berusaha mengenyahkan pikiran buruknya, ia akan berusaha pelan-pelan berbicara dengan perempuannya, meski iris hitam legam mata Devano berubah-ubah setiap detiknya. Sisi dewa kematian Devano hendak mengambil alih tubuh.

"Senada, jawab! Kamu diapain Reiyyan?!" Suara Devano meninggi, mengguncang bahu Senada.

Senada tak kunjung menjawab, mulutnya seakan terkunci rapat, menimbulkan praduga Devano yang kian erat.

"Kamu ... disentuh ... Rei?" tebak Devano dengan napas tercekat dan rahang mengetat.

Senada menggeleng. "H—hampir ...."

"Hampir?" Devano maju selangkah. Pandangannya turun menatap tangan Senada yang berlumuran darah, pergelangan tangan Senada terluka cukup lebar. "Senada, it's okay. Hampir. Enggak apa-apa, saya tetap mencintai kamu."

"Saya tetap mencintai kamu, Senada." Devano membawa Senada ke pelukannya, ia tenangkan sang kekasih, ia kuatkan, dan ia yakinkan Senada bahwa dirinya akan tetap mencintai Senada apa pun kondisinya, apa pun yang terjadi.

"Saya di sini, enggak akan meninggalkan kamu. Percaya sama saya, ya."

Senada mengangguk, ia membalas pelukan Devano, menumpahkan segala rasa takut dan cemasnya.

Kehancuran hampir menghampiri Senada jika saja Senada tak bertindak nekat membebaskan diri dari perangkap iblis terkutuk itu. Ia rela kaki dan tangannya terluka asalkan Reiyyan tak benar-benar membuang benih di rahimnya. Tak bisa Senada bayangkan apa yang akan terjadi jika Reiyyan berhasil melakukan hal itu.

Senada mungkin akan sangat hancur bahkan mati.

────୨ৎ────

Gimana part ini?

6k word! RAMEIN!

Maaf telat ya

Jangan lupa likenya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Dg
Selanjutnya DG | Senada dan Om Mafia | Bagian 31 : Menghapus jejak
76
42
Happy reading!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan