DG | Senada dan Om Mafia | Bagian 25 : Memori kelam

75
86
Deskripsi

Memori kelam mengenai tragedi itu.

Dibaca pelan-pelan ya, manisku.

Aku menulis part ini dalam kondisi flu-batuk dan meriang, jadi gamau tau part ini harus rame komentarnya 🙂↔️

Happy reading!

━━━━➳༻❀✿❀༺➳━━━━
"Saya pastikan semua aman dalam genggaman saya."

— Devano Alghairon Tera —

25. Bagian 25 : Memori kelam

Mobil Devano sampai di Billiard and Caffe Mattias dengan selamat setelah terjebak macet yang lumayan lama. Devano menunggu Senada selesai memperbaiki make up, ia tak berhenti mengamati wajah cantik perempuan kesayangannya. 

Senada melirik Devano seraya berkata, "Apa? Kenapa liatin Senada kaya gitu? Mau ciuman lagi?"

"Mau." Devano menjawab cepat. 

Senada tergelak, ia menutup lipstiknya lalu menyimpannya di tas. Tubuh Senada menyerong menghadap Devano. "Enggak ya, Senada nggak izinin Om Mafia cium-cium Senada lagi. Yang tadi, lipstik Senada sampai rusak. Om Mafia paling enggak bisa ya ciumannya pelan-pelan?"

"Enggak." Devano mengusap sudut bibir Senada.

"Coba ngomong panjang dikit," ujar Senada.

"Panjang dikit." Devano tersenyum tipis. 

"Ngeselin!" Senada mencubit kedua pipi Devano. "Ayo, keburu Pangeran sama kak Nevis makin tantrum."

Saat Senada hendak membuka pintu, Devano menahan pergelangan tangan kanan perempuan itu. Ia mengecup pelan punggung tangan Senada dengan tatapan penuh cinta. "I love you," ungkapnya. 

"I love you too, Om Mafia sayang." Senada membalas.

Devano membuka seat belt dan segera keluar dari mobil. Ia menggenggam tangan Senada erat, tak rela apabila mereka berjalan dengan jarak yang tercipta. Devano selalu ingin berada di dekat Senada tanpa sekat. 

Kedatangan Devano dan Senada tentu saja mencuri perhatian para pengunjung kafe, tak jarang tatapan terkejut serta penasaran mereka tunjukkan saat melihat dua sejoli itu berjalan santai melewati meja-meja mereka. 

"Kayanya hujatan di sosial media Senada nggak mempan deh, dia masih aja nempel sama tunangan orang."

"Nggak sekali, dua kali, mereka kaya gini. Gatel banget tuh cewek, bangsat!"

"Kasian Selia, ditikung kembarannya sendiri."

"Tapi, akun X Senada udah hilang nggak sih?"

"Iya, direport bareng-bareng. Mampus, Senada hama soalnya, takutnya dicontoh sama orang-orang."

Senada mengusap telinganya yang berdenging, ia masuk ke private room yang sudah dipesan oleh Devano. Di sana Nevia dan Pangeran sedang karaokean sampai joget-joget di atas kursi menyanyikan lagu Paijo karya Siti Badriyah, penyanyi jaman dulu. 

"PANGERAAAAN! KAK NEVIIIIS!" Senada berteriak kesal. 

Pangeran dan Nevis seakan tak mengindahkan teriakan tersebut, telinga mereka seolah disumpal oleh lagu yang sedang mereka nyanyikan. 

Devano mengambil tindakan, ia mencabut kabel yang tertancap di stop kontak. Seketika musik di ruangan itu mati total. 

Nevis yang pertama kali menyadari kehadiran Devano dan Senada, ia turun dari kursi, melirik Pangeran yang masih asik berjoget, menggeol-geolkan pantat dengan mata terpejam. 

"Woy!" Nevis menabok pantat Pangeran. 

"Sakit, sayang." Pangeran terkejut, mengusap pantatnya. 

"Iyuh, gay!" Senada bergidik ngeri. Ia mengambil ponsel, menelfon Ratu untuk mengadukan hal penting ini.

"Halo, kenapa Senada? Udah ketemu Pangeran?"

"YuA, kayanya kamu harus cerai sama Pangeran, soalnya dia gay. Barusan manggil kak Nevis pake sayang. Ternyata suami kamu suka sama kakak kamu, YuA!" Senada pura-pura menangis sedih. 

"Anying!" Pangeran merebut ponsel Senada, ia berbicara pada Ratu meluruskan kesalahpahaman. "Halo, Sayang. Aku cinta kamu, kamu yang utama di hatiku, Nepis cuma cadangan aja kalau sewaktu-waktu kamu pergi ninggalin aku ke Korea lagi. Nepis sekarang jadi LC."

"Coooook!" Nevis melotot kaget. 

"KAK PRINCESS, ABANG JADI LC!"

"RATU ANJING!" marah Nevis murka, ingin memakan meja kaca dan berubah jadi barongsai. 

"Lo anjing!" Pangeran membalas, tak terima Nevis mengumpati istri kesayangannya. 

"Lo anjing!" Nevis tak mau kalah. 

Akhirnya, Pangeran dan Nevis bergulat, mereka saling memiting kepala, berguling-guling, saling menjambak dan menarik telinga.

Senada menyerah, ia keluar dari ruangan kebetulan sekali ada Fira di kafe ini tapi Senada tak melihat Saga, mungkin Saga sedang ada di tempat lain. Senada membawa Fira untuk menghentikan kegaduhan yang terjadi di private room.

Fira ternganga melihat kelakuan Pangeran dan Nevis. "Anak-anak!" pekiknya. 

Tak ada cara lain, Fira menggunakan cara terakhir. Ia berdiri di tengah-tengah Nevis dan Pangeran lalu menarik telinga kedua anak itu. 

"Aduh, Mamai!"

"Tante, sakit, telinga Nepis mau lepas!"

"Mau berantem lagi? Nggak malu diliatin Devano sama Senada? Kaya anak kecil kalian!" omel Fira. 

Pangeran meringis. "Nepis duluan!"

"Enak aja, lo duluan! Tante, Pangeran ngatain Nepis LC!" adu Nevis.

"Memang LC, kan?" Pangeran menjulurkan lidahnya. 

"Tuh, kan! Tuuuuh!" Nevis makin berisik. 

"Pangeran, Nevis, stop!" Fira melepas jewerannya. "Kalian ada janji ketemu sama Devano, kenapa malah ribut? Ayo, bahas apa yang mau dibahas, jangan malah berantem. Kalau nggak jadi, batal aja, pulang ke rumah masing-masing."

Nevis mengangguk, ia menarik kursi dan hendak duduk, sementara Pangeran dengan wajahnya yang jahil itu berlari keluar ruangan dan berseru-seru, "PAPAI, PULANG, MAMAI JADI TUYUUUUL!"

"Pangeran Ghideon Mattias!" Fira menyusul dengan kobaran api di atas kepalanya.

Nevis tergelak, ia menata rambutnya yang berantakan, setelah itu mempersilakan Devano dan Senada duduk di bangku mereka. 

"Jadi, kita mau bahas ...," 

"Reiyyan." Devano menyela ucapan Nevis. "Kamu tau kalau selama ini yang sedang bersama kalian adalah Reiyyan bukan Raja?"

Nevis mengangguk. "Gue tau, Bang. Pangeran juga. Agak sulit dibedain antara Raja sama Reiyyan karena Reiyyan bersikap seolah-olah dia Raja."

"Apa dia ... mengganggu kalian?" tanya Nevis. 

"Belum." Jawaban ambigu Devano membuat kening Nevis mengerut.

"Belum?" ulang Nevis. "Tunggu, berarti ... ada kemungkinan Reiyyan bakal ganggu kalian?"

"Bisa jadi." Devano memberi jawaban yang lugas. "Akhir-akhir ini saya merasa ... dia akan seperti akan menghancurkan siapa pun yang ada di dekat Senada, perlahan tapi pasti."

"Hah?!" Senada terkejut. Bagaimana tidak? Devano tidak memberitahunya perihal masalah ini.

Lelaki di samping Senada menambahkan, "Dia akan menggunakan cara lama. Sebuah Alat yang pernah dia gunakan sebelumnya saat dia ...,"

Devano menatap lurus Nevis. "Ingin menghancurkan kamu, Nevis."

Tubuh Nevis membeku mendengar kalimat Devano, ia tak memerlukan waktu lama untuk mencerna apa yang Devano maksud. Kedua tangannya mengepal erat, tepat saat pintu ruangan terbuka, Nevis berdiri, ia menarik jaket Pangeran dan memojokkannya di dinding dengan tatapan nyalang.

"Lo kenapa?!" Pangeran terheran-heran saat Nevis tiba-tiba menatapnya garang seperti itu.

"Gue nggak mau tau, lo suami Ratu, lo harus jagain Ratu dari adek lo! Jangan sampai si bajingan itu nyentuh Ratu. Lagi!" desis Nevis berapi-api, bahkan kedua matanya sudah memerah. "Ada kemungkinan Reiyyan bakal gunain Ratu buat melancarkan aksi dia hancurin bang Devano, gue enggak tau apa yang ada dipikiran dia, tapi kalau sampai kejadian yang dulu terulang lagi dan lo gagal jagain dia ...,"

"Lo harus cerai sama Ratu!"

"Sinting lo!" Pangeran mendorong dada Nevis agar lelaki itu mundur. Ia melangkah menuju Devano, menuntut penjelasan pada pria itu atas apa yang Nevis katakan. "Dari mana lo tau kalau Reiyyan bakal gunain Ratu lagi? Lo nggak lagi nyebar omong kosong, kan?"

Devano mengeluarkan sebuah foto polaroid, dan ia serahkan pada Pangeran. Foto itu berisi gambar Ratu yang sudah diberi tanda menggunakan spidol merah dan terdapat tulisan My Next Tool. "Saya nemuin gambar ini di ruangan pribadi dia. Ada banyak foto Ratu di sana."

"Nggak hanya foto Ratu, foto Senada dan Selia juga ada di sana."

"Reiyyan sempat menggunakan Selia, dia mengirim sebuah video yang berhubungan dengan masa lalu saya ke ponsel Selia, saya akui rencana pertama dia berhasil. Saya ... sempat merasa hancur dan kembali terlempar ke masa lalu kelam saya."

"Setelah itu, saya memasang keamanan ketat agar Reiyyan nggak bisa menggunakan Selia lagi melalui ponsel baru yang Senada berikan pada Selia. Tapi, saya nggak bisa melakukan hal yang sama pada Ratu karena itu di luar batas kemampuan saya."

Devano kembali melanjutkan, "Ratu adalah tanggung jawab kamu, Pangeran. Jadi, lindungi dia. Kali ini Reiyyan akan sedikit nekat. Dia masih mencintai Senada, tapi karena dia nggak bisa memiliki Senada, dia akan menghancurkan saya atau lelaki mana pun yang bersanding dengan Senada."

"Berengsek!" umpat Pangeran. "Ruangan apa yang lo maksud? Ruangan di Den Coral Palace tempat dia nyimpen foto-foto itu?"

"Bukan." Devano menggeleng. "Markas lama dia bersama teman-teman masa lalunya."

"Gue tau," potong Nevis serius. "Markas yang sering dipake Linggar dan temen-temennya. Ada di belakang SMA kita dulu, Pang."

Pangeran sudah diambang batas emosi, ia ingin meledak, menghajar Reiyyan hingga koma seperti dulu tapi Pangeran tidak bisa gegabah kali ini, Reiyyan terlalu tapi dalam memainkan peran sebagai Raja. Adik kembarnya itu bahkan tidak menyadari bahwa penyamaran yang dia lakukan sudah disadari oleh anggota keluarga yang lain.

Senada ikut merenung, ia tak menyangka Reiyyan senekat itu ingin membuat siapa pun yang ada di dekatnya hancur. Senada merasa semua ini harus disudahi, bagaimana pun caranya Reiyyan harus kembali terlelap.

Diam-diam, Senada memikirkan rencana agar Reiyyan tak menyentuh Ratu atau bahkan Devano serta ... Reiyyan harus berhenti mencintainya. Obsesi gila alter ego nakal itu benar-benar membuat kepala Senada berdenyut nyeri memikirkannya.

"Ada satu lagi yang ingin saya bicarakan," tutur Devano. "Ini mengenai Arzen."

────୨ৎ────

Catrina celingukan mencari keberadaan Om dan Tantenya, pulang sekolah ia langsung mampir ke kediaman Ishara dan Pradipta. Mulutnya tersumpal permen batang rasa strawberry, seragam SMA melekat di tubuhnya yang ramping dengan tas boneka di punggung.

"Mana Om dan Tante?" Catrina bertanya pada salah satu pelayan yang lewat di depannya. Riska.

"Tuan dan Nyonya ada di ruang utama, mereka sedang menyusun undangan," kata Riska.

Catrina berlari ke ruang utama, tanpa permisi, dia menubrukkan tubuhnya di pintu mengejutkan om dan tantenya yang sedang anteng memilah undangan. "Tuh, kan, tanpa bantuan Cat, undangannya udah jadi," ucap Catrina.

Ishara tersenyum. "Iyalah, nunggu Cat bantu Tante, tahun depan bakal kelar."

Catrina cengar-cengir. Ia duduk di sofa kosong, mengacak-acak undangan yang sudah Pradipta rapikan demi mencari sebuah nama yang ingin dia lihat. "Mana undangan buat kak Arzen? Kenapa enggak ada? Mana, mana, mana???"

"Cat, Ya Tuhan!" Pradipta mengembuskan napas lelah. "Undangan buat Nak Arzen nggak ada di sana. Tamu VIP pakai ini."

Pradipta memberikan undangan berbentuk aklirik, terlihat menawan, elegan, ada ukiran tubuh Arzen di sana dan juga nama Arzen terpampang jelas di bawah ukiran tersebut.

Catrina ternganga melihatnya, matanya berbinar cerah. Namun, keningnya bergelompang saat menyamakan undangan aklirik milik Arzen dengan undangan aklirik milik tamu VIP lainnya. "Kenapa undangan yang lain nggak sebagus punya kak Arzen? Undangan punya kak Arzen ada ukiran gambarnya, lebih berat lagi."

"Sengaja, biar istimewa." Ishara menjawab masih dengan senyuman cantiknya. "Nggak tau kenapa Tante selalu pengen kasih yang terbaik buat Nak Arzen, meski itu hanya sekadar undangan."

"Om setuju." Pradipta mengangguk.

Catrina melepas permen dari mulutnya, ia terdiam beberapa detik. "Saat Cat ada di deket kak Arzen, Cat ngerasa nyaman banget. Kak Arzen baik sama Cat, nilai-nilai Cat banyak yang berubah jadi lebih baik."

"Cat suka sama Nak Arzen?" tanya Ishara.

"Ih, enggak!" Catrina menggeleng cepat. "Justru Cat ngerasa kalau Cat sama Kak Arzen kaya ... punya ikatan darah."

"Heh, apa sih." Ishara tertawa. "Kakak kandung Cat ya kak Riko, bukan Nak Arzen."

"Bukan, bukan ikatan darah yang seperti itu, Tante. Aduh ... gimana ya ngomongnya?" Catrina bingung sendiri. "Om, Tante, tes DNA yuk."

"Catrina." Pradipta dan Ishara memutar malas matanya.

"Siapa tau kak Arzen anak kalian yang hilang itu," ceplos Catrina.

"Bukan hilang, tapi meninggal," kata Ishara.

"Bukan meninggal, tapi hilang," balas Catrina. "Memangnya Om sama Tante nggak punya perasaan semacam ... ikatan batin yang kuat waktu ketemu kak Arzen?"

"Mama sama Papa aja tau banget langkah kaki Cat sama kak Riko. Waktu Cat diem-diem mau kabur main sama temen, Papa langsung Cat, mau kemana? Padahal Papa lagi nonton TV, Cat juga nggak ada ngeluarin suara. Mustahil, kan Papa tau Cat mau kabur diem-diem?"

"Ya, itu karena Cat udah kebiasaan kabur, jadi Praga tau." Pradipta terkekeh menanggapi ocehan Catrina.

"Ih, masih ada lagi. Om sama Tante inget nggak waktu Cat dibully kakak kelas, Cat pulang dalam kondisi penuh tepung, air got, terus rambut Cat digunting compang-camping?" Catrina mengenang masa-masa dia mendapat bullyan saat SMP. "Cat nangis-nangis, enggak tahan dibully terus, Mama langsung peluk Cat dan bilang Mama sakit liat Cat sakit, Mama sedih liat kondisi Cat seperti ini."

"Mama sama Papa marah banget, terus dateng ke sekolah Cat, orang-orang yang bully Cat dimarahin habis-habisan sama mereka, bahkan denger-denger orang-orang itu sampai punya catatan buruk waktu lulus. Orang-orang itu jadi susah masuk ke SMA bergengsi di kota Alas, jadinya mereka masuk ke sekolah buangan."

Ishara dan Pradipta menyimak dengan baik kisah yang Catrina ceritakan.

"Mama bilang ikatan batin orang tua pada anak itu kuat banget, orang tua selalu tau kalau anaknya sedang terluka, orang tua tau kalau anaknya sedang mengalami hal berat, dan orang tua tau kalau anaknya sedang nggak baik-baik aja."

"Kalau anak sakit, orang tua pasti cemas banget dan rela menukar apa pun yang mereka punya demi kesembuhan sang anak." Catrina menatap Pradipta dan Ishara yang bungkam seribu bahasa. "Om sama Tante ngerasain itu nggak waktu ada di dekat kak Arzen?"

"Terkadang."

Pradipta melirik Ishara sekilas, kemudian ia memalingkan pandangan, fokus pada kertas-kertas undangan yang ia masukkan ke plastik. "Ya, terkadang kami merasakan itu. Tapi, Cat, kamu pasti tau tentang kecelakaan yang pernah menimpa Om dan Tante."

"Anak kami ... meninggal di mobil itu."

"Kalau ternyata anak Om dan Tante nggak meninggal?" tanya Catrina. "Om dan Tante enggak melihat sendiri jenazah anak Om dan Tante, kan?"

"Anak Om dan Tante yang dikatakan meninggal itu cuma bagian dari asumsi kalian aja. Yang sebenarnya terjadi? Enggak ada yang tau," lanjut Catrina.

"Cat, makam anak Om dan Tante bahkan ada di pemakaman," ujar Ishara.

"Gimana kalau itu bukan makam anak Om dan Tante? Siapa sih yang kasih tau kalau itu makam kakak sepupu Cat?" Catrina mengempaskan punggungnya di sofa, ia melipat tangannya di depan dada. "Dia pasti orang gila. Seenaknya kasih tau kalau itu makam anak Om dan Tante."

"Lagi pula, kalau itu bener, kenapa Mama dan Papa nggak pernah ke sana? Keluarga yang lain juga enggak. Enggak ada upacara penghormatan untuk mengenang anggota keluarga yang sudah meninggal, seperti yang biasanya keluarga McGun lakukan," oceh Catrina tanpa lelah.

"Catrina, kamu nggak capek ngomong terus dari tadi? Enggak mau makan dulu? Sebentar lagi Nak Arzen dateng, kamu harus les juga, kan?" sela Pradipta.

"Ugh!" Catrina mendengkus malas. "Selalu aja ngalihin topik."

"Bukan ngalihin topik, itu topik yang sensitif buat Tante Ishara. Nggak bisa liat kalau Tante punya trauma inget tentang kecelakaan itu?" Pradipta mengusap bahu Ishara, ia bisa melihat Ishara memucat setiap kali tragedi tersebut dibahas lagi.

Catrina cemberut. "Cat nggak bermaksud. Cat, kan, cuma mau ....,"

Tok, tok!

"Permisi, Tuan, Nyonya. Nak Arzen sudah datang dan mencari Nona Catrina." Salah seorang pelayan berdiri diambang pintu memberikan informasi mengenai kedatangan Arzen.

Ishara tersenyum lebar. "Tolong, suruh Arzen ke sini."

"Baik, Nyonya." Pelayan itu pun segera pergi untuk memanggil Arzen.

"Kenapa Tante seneng banget ketemu kak Arzen? Kan yang mau les itu Cat," tanya Catrina penuh selidik. "Kak Arzen anak Tante ya?"

"Hus!" Pradipta geleng-geleng kepala.

Catrina kesal setengah mati Om dan Tantenya denial seperti itu.

Tak berselang lama, Arzen datang dengan balutan kemeja berwarna merah hati, dan celana jeans panjang. Juga, di punggungnya ada tas hitam berisi materi yang akan dia ajarkan pada Catrina.

"Selamat sore, Om, Tante." Arzen menyapa.

"Selamat sore, Nak Arzen." Ishara berdiri, ia begitu senang menyambut kedatangan Arzen. "Lesnya di sini aja ya, sekalian ngobrol sama Tante dan Om."

"Iya, Tante." Arzen mendudukkan diri di atas karpet bulu yang halus dan wangi. Arzen menatap Catrina yang tampak kesal entah kenapa. "Lo kenapa? Lagi ada masalah?"

Catrina menggeleng, ia mengeluarkan buku-bukunya. "Tanya aja sama orang tua kakak. Mereka nyebelin banget."

"Catrina." Pradipta menegur.

Arzen merapatkan bibir. "Orang tua gue? Gue, kan, pernah cerita kalau mama dan papa gue udah meninggal, Cat. Lupa ya?" ujar Arzen hati-hati.

"Kapan-kapan deh, gue ajak lo ke makam mereka. Lusa gimana? Mau?"

"Lusa ulang tahun Tante, Nak." Ishara memberikan undangan untuk Arzen. "Ini undangan khusus dari Tante untuk Nak Arzen."

Arzen menerima undangan tersebut. "Saya diundang, Tante?" tanyanya.

"Iya, dong. Spesial tamu VIP." Ishara terkikik halus. "Dateng ya? Jangan nggak dateng."

"Saya pasti dateng, Tante," ucap Arzen. "Terima kasih, suatu kehormatan bagi saya mendapatkan undangan eksklusif ini dari Tante Ishara dan Om Pradipta."

Catrina menopang dagunya di meja, memperhatikan Pradipta dan Arzen. Wajah mereka benar-benar mirip tapi Pradipta dan Ishara sama sekali tidak menyadarinya? Catrina geleng-geleng kepala saking herannya. Sepertinya mata manusia diciptakan berbeda-beda, ada yang jeli, dan ada yang tidak. Beruntungnya Catrina memiliki mata yang jeli dalam mengamati apa pun yang ada disekitarnya.

"Oh iya, dan ini untuk Nak Selia." Pradipta memberikan undangan untuk Selia. "Tolong berikan ya, Nak Arzen. Om dan Tante belum sempat bertemu langsung dengan Nak Selia untuk memberikan undangan ini, kami sibuk mengatur persiapan acara."

"Baik, Om. Nanti saya kasih undangan ini untuk Selia. Terima kasih."

Restu memang dipertaruhkan di sini. Catrina meringis samar melihat undangan milik Selia yang desainnya jauh lebih sederhana dibanding milik Arzen. Pertanda bahwa Ishara kurang menyukai Selia tapi tetap harus mengundangnya agar Arzen datang ke acara tersebut.

"Kak Selia baik banget sama Cat, katanya Kak Selia tuh sering marah-marah sama orang, tapi waktu liat Cat, dia perlakuin Cat seperti adiknya sendiri," celetuk Catrina.

Arzen tersenyum menanggapi Catrina. "Selia cuma bakal marah kalau apa yang dia punya terancam direbut, dan lo bukan ancaman buat dia, Cat, itulah kenapa Selia memperlakukan lo dengan baik."

"Kamu tetap mencintai Selia meski perlakuan ayahnya buruk sekali?" tanya Ishara pada Arzen.

"Ini hanya masalah waktu, Tante. Saya yakin, lambat laun Om Rival bisa menerima saya dengan baik jika saya berhasil membuktikan bahwa saya layak bersama Selia," jawab Arzen.

"Tapi ..." Pradipta menggenggam tangan Ishara, mengode Ishara agar tak mengatakan apa pun lagi karena khawatir akan mengusik kenyamanan Arzen. Ia tak mau pembahasan ini membuat Arzen jarang datang ke rumah.

Ishara membuang napas, ia tetap mengulas senyum. "Semangat, Nak. Kalau ada sesuatu yang kamu butuhkan, kamu bisa hubungi Tante."

"Om dan Tante sudah banyak membantu saya, saya sangat terharu," ungkap Arzen.

Catrina mengunyah permennya. Ia menarik kemeja Arzen. "Kak, tes DNA yuk."

"Catrina!" Pradipta dan Ishara berseru serempak.

────୨ৎ────

Ishara melepas antingnya di depan cermin wastafle kamar mandi, tak lupa gulungan rambutnya juga ia lepas. Rambut panjang berkilaunya terjuntai bebas menyentuh pinggang. Menghidupkan kran, lalu ia membasuh wajahnya.

"Mama bilang ikatan batin orang tua pada anak itu kuat banget, orang tua selalu tau kalau anaknya sedang terluka, orang tua tau kalau anaknya sedang mengalami hal berat, dan orang tua tau kalau anaknya sedang nggak baik-baik aja."

"Om sama Tante ngerasain itu nggak waktu ada di dekat kak Arzen?"

"Kalau ternyata anak Om dan Tante nggak meninggal?"

"Om dan Tante enggak melihat sendiri jenazah anak Om dan Tante, kan?"

"Gimana kalau itu bukan makam anak Om dan Tante?"

Harusnya ucapan anak umur enam belas bisa Ishara abaikan, tapi justru setiap kalimat itu membekas diingatan Ishara. Telinganya berdenging saat semua kalimat Catrina terus berjalan di dalam kepalanya.

Ishara mengangkat kepalanya, menatap pantulan dirinya di cermin. Bulir air mengalir di wajahnya yang basah, Ishara menggapai tisu, mengelap air di permukaan wajah. Jantungnya berdebar tak karuan sampai membuatnya mengusap dadanya sendiri guna merasakan debaran berisik  itu.

"Apa masih ada sisa ingatanku yang belum pulih?" tanya Ishara pada dirinya sendiri. "Apa aku masih melupakan sesuatu?"

Ishara mengepalkan tangan kanannya, lalu ia memukul kepalanya sendiri. "Apa yang masih aku lupakan? Aku harus bisa mengingatnya kembali!"

"Terutama tentang anakku. Apakah benar dia sudah meninggal atau ... selama ini dia masih hidup dan ada di sekitarku tanpa aku sadari?"

"Aku hanya ingin mengingat tentang anakku. Aku hanya ingin itu!" Air mata Ishara menetes, rasanya sakit sekali ada di situasi yang membingungkan. Bertahun-tahun ia mengunjungi makam yang digadang-gadang makam putranya. Jika benar, makam itu bukan makam putranya apa itu artinya ... Yudistira sudah berbohong?

Yidistira adalah supir sekaligus kaki tangan Pradipta, orang yang paling suaminya percaya tidak mungkin menyembunyikan hal penting semacam ini, kan? Lagi pula apa untungnya Yudistira melakukan hal sekeji ini dengan menipunya?

"Ishara! Kamu baik-baik aja? Kenapa lama sekali di toilet?"

Ishara berhenti memukul kepalanya, ia menoleh pada pintu toilet. Kedua tangannya menyeka air mata, setelah itu Ishara beranjak keluar, menemui Pradipta yang sedang menunggu di tepi ranjang.

Pradipta sontak berdiri, mencengkram bahu Isahara dengan raut cemas. "Kamu kenapa? Mata kamu merah, kamu ... nangis?"

Ishara berusaha menghindari tatapan Pradipta. Namun gagal, Pradipta menahan dagunya agar tak melepaskan tatapan. "Kenapa kamu nggak pernah berkunjung ke makam anak kita? Kamu selalu nolak setiap aku ajak ke sana. Kenapa?"

"Kamu nangis karena ini?" tanya Pradipta.

Ishara mengangguk patah-patah. "Kamu jahat."

"Ishara, aku udah bilang, kan? Aku belum siap. Tapi, kalau kamu memang pengen banget aku ke sana, aku bakal ke sana, setelah acara ulang tahun kamu. Okay? Sekalian sama nak Arzen, dia juga mau jenguk makam orang tuanya," ujar Pradipta membelai sisi wajah cantik istrinya.

"Bener? Janji?" Ishara mencebikkan bibirnya, setetes air mata kembali lolos.

"Janji." Pradipta mengecup dahi Ishara, kemudian memeluk istrinya hangat. "Ayo, istirahat. Kamu pasti kepikiran kata-kata Catrina ya? Anak itu sekalinya bicara enggak dipikir dulu."

"Nggak apa-apa, Catrina masih anak-anak, wajar, kan? Rasa ingin tahu Cat masih tinggi-tingginya, kita kasih tau pelan-pelan," tutur Ishara membaringkan tubuhnya di ranjang dengan Pradipta yang selalu memeluknya.

"Tapi, kamu jadi kepikiran." Pradipta berkata.

"It's okay, otak manusia, kan, memang selalu menampung apa yang dia lihat dan apa yang dia dengar. Besok juga pasti aku udah lupa," kata Ishara. "Jangan marah sama Catrina, ya?"

Pradipta mengangguk, ia mengusap kepala Ishara sampai istrinya tertidur lelap. Pada detik berikutnya Pradipta ikut menyusul Ishara ke alam mimpi.

Menit demi menit bergulir, malam pun semakin larut dengan bunyi burung hantu yang memecah sunyi. Angin berembus menggoyangkan pepohonan tinggi menjulang. Tirai di kamar Pradipta pun berkibar karena Ishara lupa merapatkan jendela, embusan angin itu masuk melalui sela-sela.

Ishara gelisah dalam tidurnya seolah ia sedang mengalami mimpi buruk yang mengusik ketenangannya.

────୨ৎ────
 


 

Tragedi kecelakaan dua puluh tiga tahun yang lalu kembali berputar layaknya sebuah film. Aksi kejar mengejar antara mobil putih yang dikendarai Yidistira— supir pribadi Pradipta dan beberapa mobil hitam di belakangnya tak terelakkan.

Pradipta berupaya menghindari kejaran orang-orang yang berusaha mencelakainya, ia menyadari bahwa teror yang dia terima selama kehamilan Ishara akan membawanya ke dalam petaka besar.

Terpaksa Pradipta harus membawa Ishara keluar dari rumah sakit sebelum rumah sakit itu meledak karena b0m yang sudah terpasang disetiap sudut bangunan.

Suara peluru yang ditembakkan terdengar, beriringan dengan suara tangisan putranya.

"Pradipta anak kita ketakutan." Ishara terisak memeluk erat bayinya.

"Tolong bertahan, aku bakal bawa kamu dan anak kita ke tempat yang aman, setelah itu aku ... bakal serahin diri aku ke mereka," sahut Pradipta.

"Enggak, jangan! Kamu bisa dibunuh!" cegah Ishara.

"Nggak ada pilihan lain, mereka nggak akan lepasin kita atau lebih tepatnya ... mereka nggak akan lepasin aku. Mereka mau menggulingkan McGun atas perintah tuannya, Ishara," ujar Pradipta disela kepanikan. "Tuan mereka nggak berhasil masuk ke sistem perusahaan utama McGun. Hanya dengan kematiankulah sistem perusahaan McGun lemah."

"Jangan khawatir, aku akan menjamin kehidupan kamu dan anak kita. Saga dan Fira pasti akan melindungi kalian."

Ishara tak bisa membendung kesedihannya, tangisannya membuat bayinya ikut menangis juga.

"Tira, percepat mobilnya, kita harus membawa Ishara ke tempat yang aman." Pradipta memerintah.

"Kecepatannya sudah paling maksimal, Tuan. Mereka tidak berhenti mengejar dan tidak segan menembak dari belakang," kata Yudistira.

"Jangan pedulikan, fokus menyetir," titah Pradipta.

Salah seorang dari mobil hitam di belakang menyembulkan diri dari kaca jendela, di tangannya terdapat senapan yang siap menembakkan peluru ke ban mobil Pradipta. Tepat hitungan ke tiga, tembakan itu berhasil diloloskan dan mengenai ban mobil bagian depan milik keluarga McGun.

Mobil Pradipta kehilangan kendali, berguling di atas aspal jalan, kap bagian atas rusak, Pradipta dan Ishara terlempar keluar dan terseret beberapa meter.

Mobil-mobil yang mengejar Pradipta dan Ishara berhenti.

Ishara bangun dengan sisa kesadarannya, kepalanya penuh cairan merah kental, tubuhnya lecet dan kakinya terasa sakit digerakkan. Ia berjalan terseok-seok menghampiri mobil putih itu, tangannya membuka pintu dengan susah payah hingga menyebabkan telapak tangannya terluka. Tangisan bayi yang ia dengar membuat Ishara tersenyum. Bayi itu tidak mengalami luka apa pun karena sebelum mobil terguling, Ishara lebih dulu mengamankan bayinya.

"Nyonya!" Yudistira menangis melihat kondisi Ishara yang sangat parah. "Nyonya, tolong bertahan! Saya akan mencari bantuan."

Ishara menggeleng tegas, ia melihat mobil-mobil yang mengejarnya kian mendekat. "Tira, bawa anak aku! Bawa dia pergi sejauh mungkin, jangan sampai dia ditemukan oleh orang-orang itu!"

Ishara menyerahkan putrnya pada Yudistira.

"Tapi, Nyonya—"

"Bawa pergi, Tira! Aku nggak mau anak aku celaka!" pekik Ishara. "Hapus semua jejak anak aku, hapus semua dari keturunan McGun agar dia nggak dikenali oleh siapa pun kalau dia anak aku dan Pradipta."

"Ini semua demi kebaikan dia, anak aku nggak akan selamat, dia akan terus diburu seperti Pradipta."

"Fazor Harata itu orang yang sangat kejam dan bajingan. Jangan sampai anak aku bernasib buruk seperti orang tuanya."

"Kalau aku ditakdirkan masih hidup, suatu saat nanti, aku akan cari anak aku lagi."

Hati Yudistira tersayat mendengarnya, air matanya tak berhenti mengalir. Sangat pedih dibanding luka yang ada ditubuhnya. "Setidaknya tolong beri dia nama, Nyonya."

Ishara mengusap pipi putranya dengan tangisan pilu. "Arzen. Arzenro Gananta."

"Gananta adalah nama kakeknya. Pradis Ganan McGun." Ishara mencium pipi Arzen untuk yang terakhir kalinya sebelum ia benar-benar berpisah dengan Arzen dalam waktu yang sangat lama. "Pergilah lewat hutan ini, ikuti alur sungainya."

Setelah Yudistira membawa Arzen pergi, Ishara bersiap menghadapi Fazor Harata dan apa pun yang akan terjadi beberapa waktu ke depan.

Pradipta tak sadarkan diri, sehingga Isharalah yang akan melindungi suaminya. Ia tak gentar berdiri tegak menyambut kedatangan Fazor Harata yang keluar dari mobil dengan senyuman bengis.

"Hello, Nyonya McGun."

Itu adalah sapaan pertama dan terakhir yang Ishara dengar sebelum dia kehilangan kesadaran sepenuhnya di tangan Fazor ditutup dengan suara ledakan yang memekak telinga.

Bermenit-menit berlalu, kerumunan orang datang beserta ambulance dan pemadam kebakaran untuk menolong Pradipta serta Ishara.

Saat berada di atas brankar medis, Pradipta sempat siuman beberapa saat, ia melihat mobilnya sudah hangus terbakar, anggota damkar berupaya mematikan sisa-sisa api di beberapa badan mobil.

"Apa ... yang sudah terjadi ... pada mobil saya?" tanya Pradipta terbata pada petugas ambulance.

"Mobil anda sepertinya telah meledak dan terbakar, polisi sedang mengurusnya, Tuan," kata petugas tersebut.

"Meledak? Anak saya!" Pradipta berusaha bangkit, tapi tubuhnya terlalu sakit untuk digerakkan. "Anak saya masih di dalam mobil! Anak saya ...,"

"Maaf, Tuan. Tapi, tidak ada yang tersisa lagi."

Hancur. Pradipta hancur. Air matanya menetes.

"Mana istri saya?" tanya Pradipta parau.

"Istri anda sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Kondisinya terluka parah dibagian kepala. Bertahan, Tuan, kami juga akan membawa anda ke rumah sakit."

Persaingan bisnis memang semengerikan itu, apalagi jika sudah bersaing dengan Harata, tak ada jalan keluar, semuanya akan binasa, dan untuk sekarang putranyalah yang menjadi korban kekejian Harata.

Pradipta sangat membenci keluarga itu. Keluarga yang sudah menghancurkannya, yang sudah membunuh anaknya dan melukai istrinya.

────୨ৎ────

Catrina : Kak Pange, kak Pange! >.<

Pangeran : Oiiiit! Naon? Ih belom bobo anak kici.

Catrina : Aku mau sewa Kak Pange dong!

Pangeran : Astaghfirullah.

Catrina : IH BUKAN SEWA BEGITUAN! Aku udah nemu website Den Coral buat nyewa jasa Kak Pange. Harganya mencekik sekaliiii, diskon jusewyooo~ 🥺🥺🥺

Pangeran : 50 juta deh buat anak sekolah.

Catrina : MANA ADA ANAK SEKOLAH PUNYA UANG 50 JUTA KAK! ASTAGHFIRULLAH!

Pangeran : 🤣🤣

Catrina : Aku cuma punya uang 50 ribu, Kak. Dapet apa?

Pangeran : Dapet hikmahnya.

Catrina : PEJAMKAN MATA, BAYANGKAN WAJAH WALID!

Pangeran : Walid nak dewi boleh?

Catrina : Geleuh.

Pangeran : WKWKWKWK. Mo apa sih sewa jasa gue? Anak kici tau apa hm?

Catrina : Cat punya misi, Kak. Jasa Kak Pange diperlukan!

Pangeran : Emang apa yang harus gue lakuin?

Catrina : Cek CCTV di lokasi kejadian tante Ishara dan Om Pradipta kecelakaan dong. Rumornya, CCTV di sana udah lenyap, tapi siapa tau Kakak bisa dapetin datanya.

Pangeran : Buat apa? Misi anak kici berat banget keknya.

Catrina : Ah, ayolah! Misi penting ini! Please :( nanti Cat bayar sesuai harga di website deh, Kak!

Pangeran : Duit dari mana? Cat masih umur 16.

Catrina : Melakukan adegan dewasa.

Catrina : Minta uang ke Papa dengan muka memelas.

Pangeran : Hampir aja gue istighfar 33x :)

Catrina : Hah? Kenapa? Kakak nggak pernah melakukan adegan dewasa minta uang ke Om Saga ya?

Pangeran : Sering 😆

Catrina : WKWKWK. Jadi, di ACC nggak?

Pangeran : Buat apa dulu? Kalau buat main-main enggak ah.

Catrina : Enggak main-main ih, Kak. Aku memang punya misi penting yang ada kaitannya sama om dan tante aku. Ini demi kebaikan bersama, Kak.

Pangeran : Spill tipis-tipis dulu dong. 😙

Catrina : Biar mereka mau tes DNA.

Pangeran : Tes DNA sama siapa?

Catrina : Kak Arzen.

Pangeran : Hah?

Catrina : Hah?

Pangeran : Hah? Hah?

Catrina : Hah, hah, hah, hah, 🐌🐌🐌🐌🐌🐌

────୨ৎ────

GIMANA PART INI?

RAMEIN!

See you next part!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Dg
Selanjutnya DG | Senada dan Om Mafia | Bagian 26 : Birthday Party Nyonya Ishara McGun
68
124
Birthday Party Nyonya Ishara McGun. Penuh haru dan … endingnya yang membuat emosi teracak-acak.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan