DG | Senada dan Om Mafia | Bagian 24 : Rencana yang hampir sempurna

65
36
Deskripsi

‼️ Terdapat scene Arzenia yang 🫦 ‼️

Jangan lupa like dan komentar yang banyak di part ini ya 🀍

Happy reading!

β”β”β”β”βž³ΰΌ»β€βœΏβ€ΰΌΊβž³β”β”β”β”
"I'm not perfect, but i love you."

β€” Arzenro Gananta β€”

24. Bagian 24 : Rencana yang nyaris sempurna.


"Udah lama kita nggak ngobrol berdua, Kak. Gue ... kangen."

Arzen tersenyum mendengar ungkapan Selia, ia menggenggam tangan perempuannya. Memandang danau yang ada di bawah, kilau airnya sungguh menarik mata apalagi saat ikan dan katak berenang dengan nyaman dan gembira.

"Lo nggak kangen gue?" tanya Selia melirik Arzen yang diam saja. Ia mendengkus. "Ternyata gue doang yang kangen. Percuma."

Tawa renyah keluar dari mulut Arzen. "Selia, sehari nggak marah-marah nggak bisa?"

Selia membuang pandangan ke samping, ia bersikap sok tak acuh.

Arzen diam-diam mengamati Catrina yang sibuk bermain ponsel di gazebo, entah apa yang gadis kecil itu lakukan sampai ekspresinya begitu serius dan terkadang menggebu-gebu, mengetik layar dengan sangat cepat. Arzen harap, Catrina tidak menyebar gosip yang membuat heboh keluarganya saja, ia sedikit tau mengenai kebiasaan ngawur Catrina, Pradipta dan Ishara sering menceritakan tingkah ajaib bocah itu yang membuat pening kepala.

Selia membuang napas, ia tak mendengar Arzen mengatakan apa pun. Selia berpikir, Arzen tak merindukannya, mungkinkah perasaan Arzen perlahan memudar saking banyaknya konflik yang sudah terjadi antara lelaki itu dan ayahnya? Mungkinkah Arzen lelah memperjuangkan hubungan mereka?

Tindakan ayahnya memang tak bisa Selia benarkan, sudah sangat keterlaluan pada Arzen, Selia juga berupaya agar ayahnya tak terus-terusan membuat Arzen menderita, ia tak berhenti memberontak bahkan menjadi anak pembangkang demi membela Arzen di hadapan sang ayah. Apakah perjuangannya akan sia-sia?

"Untuk merindukan seseorang yang sempurna di mata gue, butuh keberanian yang besar, Selia. Gue merindukan lo, tapi ... gue takut akan semakin jauh dari lo." Arzen akhirnya mengucapkan sesuatu yang menarik perhatian Selia.

Selia mendongak, menatap mata Arzen yang menarik untuk diselami. "Kak ...,"

"Nggak bohong selama kita nggak ketemu, nggak ada perasaan kangen yang menyelinap di hati gue." Arzen mengusap pipi Selia. "Gue kangen, tapi pada saat itu, nggak ada yang bisa gue lakuin. Gue sedang kacau, Selia."

"Gue pikir, ada baiknya kita enggak ketemu dulu dalam beberapa waktu ke depan sampai gue berhasil menyelesaikan segala permasalahan di hidup gue."

Selia menggeleng cepat, ia cemas.

"Gue enggak mau menarik lo ke dalam penderitaan yang gue alami, gue enggak mau lo melihat betapa lemahnya gue saat dihajar oleh kenyataan pahit yang harus gue terima, gue enggak mau melihat lo mengasihani gue," tutur Arzen lembut. "Gue pengen liat lo bahagia, Selia, dan gue pengen membawa kebahagiaan itu untuk lo."

"Kak, jangan ... gue enggak mau kalau kita enggak ketemu." Suara Selia bergetar, ia menghadap Arzen sepenuhnya, melingkarkan tangannya di lengan kekar Arzen. "Gue pengen ketemu lo terus, Kak. Gue pengen kita selalu ketemu setiap hari."

"Gue juga." Arzen membalas. "Tapi ..."

"Kak." Selia menyela. "Jangan ngomong yang aneh-aneh, please. Gue enggak bisa dengernya."

Arzen mengembuskan napas pelan. Ia merendahkan tubuhnya, mengecup lembut bibir Selia . Sejenak, Arzen menarik diri, memandang paras cantik perempuan kesayangannya, lalu ia kembali menautkan bibir mereka, mencecap rasa manis hingga menghasilkan bunyi decapan dari pagutan bibir yang sedang terjadi.

Perasaan mereka sangat kompleks tapi sayang restu menjadi penghalang untuk mereka bersama.

Selia menumpukan kedua tangannya di bahu Arzen, memperdalam ciuman, menyelami perasaan rindu yang ingin sekali ia tumpahkan. Selia berjinjit, memperdalam ciuman, menekan tengkuk Arzen agar semakin merapat padanya.

Saat oksigen mulai menipis, mereka saling menarik diri, menyisakan embusan napas yang berantakan.

Arzen mengusap bibir bawah Selia yang memerah, ia kecup berulang kali bibir lembut itu hingga ia merasa puas. Tapi, rasa haus yang dia rasakan tak kunjung reda, malah semakin bertambah haus. "Selia ...," lirih Arzen.

Namun, lelaki itu berusaha menahan keinginannya untuk tidak melakukan apa yang otaknya desak.

Entah kenapa Selia merasa canggung, ia ... menginginkan Arzen tapi mereka sedang ada di ruangan terbuka. Siapa pun pasti bisa melihat mereka berciuman tadi.

Selia mengambil langkah mundur selangkah, ia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga lalu memutar tubuhnya menghadap ke depan. Debaran jantung Selia membuat perempuan itu sedikit gugup. Ia khawatir jika ada yang memergokinya berciuman dengan Arzen, tak terbayang betapa malunya ia melakukan hal itu dan tertangkap oleh mata seseorang apalagi .... Catrina. Bocah perempuan berusia enam belas tahun.

Ah, Selia lupa, ia membawa Catrina di taman ini. Selia celingukan, ia tak mendapati Catrina duduk di Gazebo lagi. Kemana perginya anak itu?

"Kak, kemana Catrina?" tanya Selia.

Arzen buru-buru menyadarkan dirinya dari keinginannya untuk menuruti rasa hausnya. Ia ikut menoleh, mencari-cari keberadaan Catrina. "Mungkin udah masuk ke Den Coral Palace," jawabnya.

"Kita pastiin dulu kalau Catrina bener-bener udah masuk ke sana, gue khawatir dia hilang, dan lo bakal kena masalah," kata Selia berusaha menghindari tatapan Arzen. "Ayo, Kak."

Arzen tersenyum tipis melihat Selia yang tampak begitu gugup dan canggung. Sebelum perempuan itu melangkah terlebih dahulu, Arzen mencekal pergelangan tangan Selia membuat Selia menoleh ke arahnya. "Setelah kita berhasil ketemu Catrina ... gue pengen ...."

"Pβ€”pengen apa?" tanya Selia berdebar.

"Lo." Tatapan Arzen begitu intens dan dalam saat mengutarakan keinginannya, ia tak bisa lagi menahan diri. Arzen menginginkan Selia. "Gue butuh recharge energi gue yang sempet hilang karena masalah yang akhir-akhir ini menimpa gue, Selia."

"So, can we?"

β”€β”€β”€β”€ΰ­¨ΰ§Žβ”€β”€β”€β”€

"Arzen sama Selia kemana, Cat?"

Pipi Catrina menggembung berisi buah semangka, mulutnya comot, penampilan menggemaskan itu membuat Princess, Ratu, dan Mimi terhibur. Mereka seolah sedang menemani anak kecil makan semangka.

Catrina mengunyah semangkanya, lalu menelan buah itu. "Aku tinggal mereka di taman, Kak. Aku laper, jadi aku mau makan semua makanan yang ada di sini. Nggak apa-apa, kan, Kak?"

"Nggak apa-apa, makan aja yang banyak." Princess menjawab, ia menyodorkan tisu pada Catrina. "Setelah makan bersihin mulut kamu pake tisu."

"Oke, Kak!" Catrina tersenyum manis.

"Nak ... Ti..." Britney yang duduk di baby chair ikut makan semangka disuapi Ratu, ia senyum-senyum menatap Catrina.

Catrina menoleh, ia paham bahasa bayi. "Enak ya, ayo kita habisin semua semangka ini, Britney."

"Jangan sampe kak Arzen dateng, nanti diminta!"

Britney tertawa, kedua tangan kecilnya mengetuk-ngetuk meja, ia senang diajak berbicara oleh Catrina. Bayi bicara dengan bayi.

Tak berselang lama, Arzen dan Selia datang ke dapur bersih. Catrina langsung memeluk piring berisi semangka itu, mulutnya menggigit penuh semangka.

Britney ikut memeluk mangkuk kecilnya yang juga berisi semangka yang sudah dipotong kecil-kecil, mengikuti apa yang Catrina lakukan.

"Santai, gue nggak minta." Arzen terkekeh melihat Catrina mengamankan buah-buahan di meja.

Catrina menggeram seperti kucing yang takut makanannya diambil. "Hrr...."

"Masih banyak kok semangkanya, cuma potong sendiri, ini tadi Abang Nevis yang potongin sebelum dia pergi sama Pangeran," kata Ratu.

"Gampang nanti, gue cuma mau ngecek Cat, ternyata dia di sini, gue kira hilang," ucap Arzen.

"Aku nggak hilang, aku laper. Cium bau semangka rasaya aku pengen berubah jadi kucing garong, Kak," sambar Catrina.

Selia hendak mengambil satu semangka di piring yang Catrina peluk. Namun, anak itu tiba-tiba menggeram lagi.

"Hrrr..."

"Oke, nggak." Selia berkedip cepat.

Mimi terbahak kencang, begitu juga Arzen menyaksikan betapa posesifnya Catrina pada makanan yang ada di depan mata. Juga, pada Selia yang tiba-tiba mengalah untuk tidak mengusik semangka Catrina, padahal kalau saja mau, Selia akan marah semarah-marahnya dan mengatai Catrina dengan kalimat yang tajam. Tetapi, Selia menyadari bahwa Catrina hanya anak berusia enam belas tahun yang polos dan memiliki tingkah kekanakan.

Catrina bukan ancaman untuk Selia, itulah kenapa Selia anteng-anteng saja melihat Catrina ada di sekitarnya.

"Cat, bisa di sini dulu? Gue sama Selia ada urusan sebentar, nanti kalau udah gue ke sini lagi jemput lo, gue anter pulang." Arzen berkata.

Catrina mengangguk. "Aku di sini aja, mukbang semangka sama Britney dan kakak-kakak cantik!"

"Kak Arzen sama kak Selia pergi aja, ambil waktu sebanyak yang kalian bisa, kalian, kan jarang ketemu karena badai menerpa."

"Melankolis banget," komentar Selia.

Catrina menunjukkan gigi-gigi putihnya. "Udah, sana, Kak. Aku nggak bakal menghilang, setelah makan semangka aku mau main sama Britney."

"Iya, kan, adik manis?" Catrina menatap Britney lucu.

"Ya ... Oti ..." Britney mengangguk tanpa pahan apa yang Catrina bicarakan.

"Tinggal aja, Bang, gue yang awasi Cat, gue ajak main sama Brinnie," sambung Ratu.

Princess dan Ratu mengangguk setuju, mereka juga akan ikut mengawasi dan bermain bersama Catrina. Catrina anak yang menyenangkan dan lucu, sia-sia jika tidak diajak berinteraksi agar nyaman selama berada di sini.

"Oke deh. Thanks ya." Arzen menggenggam erat tangan Selia, kemudian mengajaknya ke ruangan pribadinya. Ya, meski jarang mendapatkan klien, tapi Arzen memiliki ruangan pribadi, isinya tidak begitu banyak dokumen dan laptop pemberian Saga sebagai fasilitas pekerjaan.

Hanya saja, Arzen jarang ke ruangan itu jika ia tak mendapatkan klien, ia lebih sering berkumpul bersama teman-temannya di dapur bersih sambil menikmati makanan yang ada di sana.

Di tempatnya, Catrina melamunkan sesuatu, lalu ia menatap Princess, Ratu, dan Mimi.

"Kak, gimana caranya ngajak orang biar mau tes DNA?" tanya Catrina.

"Siapa yang mau tes DNA?" tanya Mimi.

"Ada. Seseorang. Hahaha." Catrina tertawa.

"Ada-ada aja, kalau ngajak tes DNA orang harus ada penjelasannya kenapa dia harus melakukan hal itu," jelas Mimi.

"Begitu ya, Kak?" gumam Catrina.

Mimi mengiakan.

Catrina mulai berpikir, haruskah ia menjelaskan kepada Om dan Tantenya mengenai kejanggalan yang ia rasakan saat melihat Arzen? Jika iya, maka Catrina harus menyusun strategi untuk memberi kode tipis-tipis pada Pradipta dan Ishara.

β”€β”€β”€β”€ΰ­¨ΰ§Žβ”€β”€β”€β”€

"Kak, sampai kapan lo kerja sama Catrina?" tanya Selia saat sudah berada di ruangan Arzen.

"Kenapa? Lo keberatan?" Arzen balik bertanya.

"Enggak." Selia menggeleng. "Gue cuma tanya, jarang banget lo ambil job anak kecil. Biasanya, kan, klien lo kebanyakan orang dewasa. Mau ngikut jejak Pangeran?"

"Pangeran?" Arzen tertawa. "Maksud lo, gue ambil banyak klien cewek, yang mana masing-masing seperti Fairy, Veronika, Giselle, dan Red, gitu?"

"Kali aja. Gue takut bernasib kaya Ratu," ungkap Selia. "Harus nahan cemburu setiap lo dapet klien cewek."

"Enggak." Arzen merengkuh pinggang Selia. "Lo nggak akan bernasib seperti Ratu, dan gue juga bukan Pangeran. Gue nggak punya vibes menarik seperti Pangeran."

"Seperti yang pernah gue bilang tadi, siapa pun klien yang ada di Den Coral Palace, pasti tertarik sama Pangeran. Pangeran, kan, memang menarik."

"Geli banget lo muji dia kaya gitu. Jangan-jangan lo tertarik sama Pangeran," tuduh Selia membuka jaket Arzen, tangannya mengusap dada lelaki itu yang terbalut kaos hitam tanpa lengan.

"Gue normal, Selia." Arzen mengecup bibir Selia, ia remas pinggang ramping perempuannya, membawa Selia lebih dekat. "Gue cuma tertarik sama perempuan berkelas seperti lo."

"Gue enggak..." Selia tak sempat bicara, bibirnya dibungkam bibir merah oleh Arzen.

Arzen menuntun Selia di sofa, ia dudukkan perempuan itu di pangkuannya seraya menyibak dress Selia dan membelai paha mulus Selia.

Sejak, Selia menyudahi ciuman, ia tatap Arzen lekat. "Gue .. gue minta maaf atas sikap Ayah."

"Lo udah minta maaf berkali-kali, apa belum cukup?" tanya Arzen.

"Nggak akan pernah cukup. Ayah keterlaluan soalnya," ujar Selia. "Rasa bersalah gue justru tambah besar kalau Ayah terus-terusan nyakitin lo, baik secara fisik mau pun mental."

"Gue bakal terus minta maaf sama lo," imbuhnya.

Arzen menangkup kedua pipi Selia, ia tak langsung menjawab, sibuk menyelami iris indah perempuannya. "Lo tau? Lo bahkan punya banyak cara untuk meminta maaf ke gue, salah satunya adalah dengan memberi energi tambahan untuk gue," tuturnya seraya tersenyum miring.

Kening Selia bergelombang. "Lo memanfaatkan keadaan supaya bisa tidur sama gue?"

"Em ... lo ceplas-ceplos banget sih," tanggap Arzen. "Apa pun yang ada di otak lo, langsung lo omongin tanpa berpikir terlebih dahulu."

"Gue enggak mau larut dalam rasa penasaran," kata Selia mencuri ciuman singkat pada bibir Arzen, ia menggigit bibir bawah Arzen hingga berdarah.

"Selia, sakit!" Arzen tersentak.

"Gue kesel sama lo," ucap perempuan itu.

"Karena?"

"Lo bikin frustasi setiap hari. Kenapa enggak bilang kalau selama ini lo sibuk mempelajari tentang hotel Van Harata? Kenapa lo menjadikan hal itu untuk mengabaikan chat dan telfon gue?" Selia mengusap darah di bibir bawah Arzen. "Lo tau, Kak? Kalau lo bicara sejujurnya sama gue, gue mungkin bisa bantuin lo, gue bakal bantu lo untuk mengenal hotel biadab itu."

"Dengan cara lo mengabaikan gue, gue marah banget! Gue pengen jambak lo, gue pengen nampar lo, gue pengen maki-maki lo sampai gue puas."

"Nih, tampar." Arzen menyodorkan pipi kanannya pada Selia. "Lampiasin kemarahan lo yang udah sejak lama lo pendam."

Akhirnya, Selia meloloskan amarah yang mengendap di hatinya, ia betulan memberikan Arzen tamparan yang cukup kuat hingga kepala Arzen terpelanting ke samping. Telapak tangan Selia perih setelah menampar Arzen. Namun, ia cukup puas melakukan hal itu.

Arzen menggerakkan lidahnya ke pipi bagian dalam, merasakan panasnya pipinya akibat tamparan Selia. Ia terkekeh, lalu kembali menatap Selia. "Udah? Sekarang, maki-maki gue."

"Bajingan!" umpat Selia. "Gimana kalau gue melakukan hal yang seperti yang lo lakuin? Mengabaikan chat lo, menghindar dari lo, dan enggak peduli sama sekali sama lo?"

"Emang lo pernah nggak peduli sama gue?" tanya Arzen dengan senyuman penuh arti terpampang di bibirnya.

"Pernah!" Selia tak mau kalah melawan Arzen, meski ia berdusta. Tak sekali pun, Selia tak peduli pada Arzen. Ia peduli, sangat. Jika tidak, Selia tak akan menjadi anak pembangkang dan melawan ayahnya untuk merampas restu dan menghentikan kegilaan ayahnya yang selalu berusaha menyakiti Arzen.

"Selain pemarah, lo juga pembohong," kata Arzen. "Dan lo harus gue kasih pelajaran."

"Gue enggak bohong, gue beneran pernah enggak peduli sama lo," kilah Selia.

"Oke." Arzen mengiakan dan langsung menyerang Selia dengan ciuman panas. "Bilang sama gue kalau lo pernah nggak peduli sama gue, berulang kali, selama kita melakukan ini."

β”€β”€β”€β”€ΰ­¨ΰ§Žβ”€β”€β”€β”€

Ishara datang ke makan yang biasanya ia kunjungi, wanita itu tak berhenti memperhatikan sebuah makan kecil yang dikatakan itu adalah makam putranya yang sudah meninggal. Taburan bunga di atas makam, membuat makam tersebut terlihat begitu cantik. Makam itu tanpa nama, karena saat putranya lahir, Ishara belum sempat memberi nama.

Sekelompok orang mengejar ia dan Pradipta saat itu, dengan sangat terpaksa, Ishara pergi meninggalkan rumah sakit sebelum waktunya.

Saat perjalanan pulang, sesuatu terjadi. Kecelakaan hebat menimpa ia dan suami, lalu setelahnya Ishara tak mengingat apa pun.

Ishara sempat dinyatakan koma, dan kehilangan ingatan, tapi seiring berjalannya waktu, ingatannya berhasil pulih. Saat ingatannya pulih, di situlah Ishara mendapat kabar bahwa putranya telah tiada.

Ishara terpukul, sangat terpukul, bayi yang berhasil ia lahirkan adalah bukti cintanya dengan Pradipta. Mereka sangat menunggu kehadiran bayi itu dan berencana ingin memberinya kehidupan yang bahagia. Tapi, impian Ishara harus gugur, Ishara menelan kenyataan pahit seperti menelan obat yang sulit dicerna.

Ishara selesai berdoa dan memandangi makam putranya. Tangannya mengusap batu nisan tersebut. "Papa nggak bisa datang ke sini, mungkin Papa butuh waktu untuk mengunjungi kamu, Nak."

"Mama pulang dulu ya, kapan-kapan Mama ke sini lagi," ucapnya.

Ishara berdiri, kakinya melangkah melewati makam-makam yang lain. Sejenak, Ishara berhenti, ia memandang sebuah makam yang sering Arzen kunjungi. Tak lama, Ishara pun pergi berlalu dengan perasaan asing yang lagi-lagi menyelinap di dadanya.

"Benarkah putraku sudah meninggal?" Ishara seolah menolak kenyataan tersebut, ada satu masa di mana ia tak meyakini bahwa makam yang sering dia kunjungi adalah makam anaknya.

Lagi pula Ishara tau makam itu dari supir pribadinya, Yudistira. Suaminya tak pernah pergi ke makam tersebut, dan terkadang membuat Ishara bertanya-tanya.

"Ishara." Pradipta menyambut kedatangan sang istri.

"Katanya kamu ada urusan di kantor, kenapa bisa tiba-tiba di sini?" tanya Ishara terkejut melihat suaminya sudah ada di samping mobil. "Mana Tira?"

"Aku udah suruh Tira pulang, aku pengen berduaan sama kamu. Kangen." Pradipta tersenyum.

"Apa ini? Tiba-tiba?" Ishara tak kuasa menahan senang.

"Ya, kangen juga bisa datang tiba-tiba, kan?" Pradipta memeluk Ishara erat.

Ishara membalas pelukan suaminya. "Kamu nggak mau ke makam anak kita? Mumpung udah di sini. Sesekali kunjungi dia, dia pasti seneng kalau kamu dateng."

Pradipta terdiam, alih-alih menjawab kalimat Ishara, ia justru melamunkan sesuatu. "Sebentar lagi ulang tahun kamu. Kamu mau hadiah apa?"

Ishara melonggarkan pelukan, menatap suaminya yang jauh lebih tinggi itu. "Kenapa kamu selalu alihin pembicaraan setiap kali aku suruh kamu ke makam anak kita? Kamu nggak sayang dia ya?"

"Aku sayang anak kita, Ishara," ungkap Pradipta. "Aku sayang banget sama anak kita, maka dari itu aku mau liat dia setiap hari."

"Maksud kamu?" Ishara mengerutkan kening. "Kamu aja nggak pernah datang ke makam dia, gimana mau liat dia? Kamu indigo bisa liat hantu?"

"Enak aja ngatain anak aku hantu." Pradipta tertawa ringan.

"Kamu nih!" Ishara memukul dada Pradipta. "Oh iya, kamu tadi nanya hadiah yang aku mau, kan? Gimana kalau hadiahnya adalah Arzen?"

"Arzen?"

"Iya, aku pengen kenalin dia ke semua orang kalau dia ... seolah-olah anak aku."

Pradipta mengulas senyuman tulus, ia usap lembut wajah cantik istrinya.

"Nggak tau kenapa, setiap ada di deket Arzen, aku selalu nyaman, aku kaya lagi deket sama anak kita." Ishara membuang napas gusar. "Aku tau orang-orang bakal mikir aku gila, jelas-jelas anak kita udah meninggal, kan? Aku malah seenaknya sayang sama anak orang lain." Ishara tertawa pedih.

"Ya, mau gimana? Ini perasaan pertama aku yang susah buat dijelasin secara logika. Aku ... seperti ibu yang baru aja melihat anakku untuk pertama kalinya."

"Apa menurut kamu, aku perlu dikirim ke rumah sakit jiwa buat berobat?"

"Untuk apa? Kamu nggak gila." Pradipta menyeletuk. "Aku nggak ngerasa kamu gila, Sayang."

"Ayo pulang, kita masih ada banyak urusan untuk persiapan ulang tahun kamu."

"Sebentar, ada yang mau aku omongin lagi." Ishara menahan Pradipta agar tetap berada di tempatnya.

"Apa?" Pradipta menunggu istrinya berbicara.

"Bolehkan aku sayang sama Arzen dan menganggap Arzen anak aku? Keberadaan Arzen mengobati luka aku setelah bertahun-tahun aku kehilangan anak kita," cetus Ishara.

"Ishara ...,"

"Kamu pasti nggak bolehin aku ya buat sayang sama anak selain anak kita?" Ishara menunduk memandang sepatu putihnya, sedih sekali dilarang suami.

"Bukan, bukan begitu." Pradipta merasa Ishara salah paham. Ia tak bermaksud melarang istrinya untuk menyayangi Arzen. "Kamu boleh sayang sama Arzen, boleh banget."

"Ada tapi-nya nggak?" Ishara bertanya, dijawab gelengan kepala oleh Pradipta.

"Kamu juga sayang Arzen?"

"Tentu." Pradipta menggenggam kedua tangan Ishara, mencium punggung tangan istrinya dalam. "Aku sayang sama Arzen seperti kamu sayang Arzen, Ishara."

Senyuman cantik terbit di bibir Ishara. "Seperti ayah yang sayang anaknya?"

"Kenapa enggak?" Pradipta ikutan tersenyum lebar.

Selanjutnya, Pradipta dan Ishara masuk ke mobil, mereka bersiap meninggalkan parkiran pemakaman umum kota Ranting.

Bersamaan dengan hal itu, orang-orang berjas hitam keluar dari mobil. Salah satu diantara mereka memegang sebuah kertas putih berisi sebuah gambar.

"Pembongkaran makam itu harus segera dilakukan sesuai arahan tuan Rival."

"Apa kita akan melakukan pembongkaran secara besar-besaran? Di pemakaman ini ada makam keluarga tuan Saga, dan orang-orang penting beliau."

"Tidak. Kita tidak menyentuh makam yang berhubungan dengan tuan Saga dan nyonya Fira. Tuan Rival melarang. Kita hanya harus fokus pada makam kedua orang tua angkat Arzen."

β”€β”€β”€β”€ΰ­¨ΰ§Žβ”€β”€β”€β”€

Iris mata Devano berubah menjadi hitam pekat dalam beberapa detik, ia merasakan ada sesuatu yang mengusik tempat peristirahatan orang-orang yang telah tiada. Sisi lain dalam diri Devano menunjukkan tanda-tanda murka. Mengusik tempat peristirahatan seseorang yang susah meninggal merupakan perbuatan yang sangat tidak terpuji dan tidak beradab.

"Om Mafia, are you okay?" Senada menatap Devano yang meremas kuat setir mobil.

Mereka sedang terjebak macet, mungkin Devano kesal karena berada dikemacetan yang panjang, begitulah pikir Senada.

"Saya baik-baik aja." Devano menjawab.

"Om Mafia keliatan kesel." Senada mengusap lengan Devano. "Macetnya memang agak panjang, sih. Seharusnya kita pergi dari tadi. Pangeran juga udah nelfon berkali-kali mastiin kita baik-baik aja di jalan."

"Nggak apa-apa, terus kabari Pangeran kalau kita lagi terjebak macet," perintah Devano.

"Okey." Senada memotret jalanan di depan untuk membuktikan pada Pangeran bahwa ia dan Devano sedang terjebak macet.

"Senada, apa pendapat kamu tentang orang yang berusaha merusak pemakaman?" Pertanyaan Devano membuat Senada terkejut dan sontak menoleh pada lelaki itu.

"Nggak punya adab banget kalau menurut Senada, ngapain ngerusak makam orang? Orang udah meninggal kok masih diusik," kata Senada. "Memangnya ada ya?"

"Ada." Devano mengangguk. "Itulah kenapa saya marah."

"Hah?" Senada bingung. "Om Mafia tau dari mana kalau ada yang berusaha merusak makam orang? Emang mereka siapa? Kok gitu sih?"

Devano melirik Senada, jari telunjuknya mengusap bibir bawahnya sendiri, lalu pandangannya beralih ke depan. Devano tak mungkin menjawab siapa dalang dibalik para perusak makam itu meski ia tau. Ia punya alasan, salah satunya adalah tak ingin membuat Senada gelisah lalu mengabari Selia mengenai hal ini. Di samping itu, Devano juga tak mau Senada mencurigai dari mana ia tau semua ini.

"Om Rival, jadi ini alasan kenapa anda membebaskan Selia bertemu Arzen? Untuk menjalankan rencana busuk anda?" batin Devano.

Keheningan menyelimuti, Senada sibuk meladeni Pangeran yang rewel lewat chat, apalagi Nevis juga ikutan tantrum, mereka sepakat untuk bertemu di kafe Saga untuk membicarakan sesuatu.

Geram, Senada menekan VN, lalu menjerit, "PANGERAN, BERISIK BANGET SIH! KAK NEVIS JUGA, SABAR NAPA! MOBIL OM MAFIA ENGGAK BISA TERBANG!"

Beberapa detik kemudian basalan VN dari Pangeran, Senada terima. Senada memutar VN tersebut.

"SIROYOOO~ HAHAHAHA!" Itu suara Pangeran dan Nevis. Heboh dan jahil sekali mereka.

"Om Mafia, Senada nyerah, mereka ngeselin!" Senada mengadu dengan rengekan manja. "Ayo ciuman biar Senada enggak kesel lagi."

Devano lantas mengabulkan permintaan Senada, mencium bibir Senada cukup intens tanpa takut ketahuan dari luar karena kaca mobil Devano begitu gelap.

Senada tak tau kalau Devano akan cepat merespon seperti ini. Namun, ia cukup senang, setidaknya ada yang bisa mereka lakukan selama terjebak macet.

β”€β”€β”€β”€ΰ­¨ΰ§Žβ”€β”€β”€β”€

GIMANA PART INI?

Jangan lupa komentar yang banyak ya!

Ada Addictional Partnya, mau?

Maaf kalau telat update, aku ketiduran, baru bangun. (Note tambahan)

Like cerita ini!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi πŸ₯°

Kategori
Dg
Selanjutnya DG | Senada dan Om Mafia | Addictional Part β€” Bagian 24 : Rencana yang nyaris berhasil
25
11
‼️ NOT FOR UNDERAGE, BE A WISE, ADA PLOT RENCANA ARZENLIA ‼️
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan