DG | Senada dan Om Mafia | Bagian 26 : Birthday Party Nyonya Ishara McGun

68
124
Deskripsi

Birthday Party Nyonya Ishara McGun. Penuh haru dan … endingnya yang membuat emosi teracak-acak.

Dibaca pelan-pelan, sayang

Ramein komentarnya ya, jangan lupa like cerita ini juga. Love you

Note : Piramida 1. McGun

1. Pradis Ganan McGun : Tuan besar McGun

2. Janna Ellara McGun : Nyonya besar McGun

2. Pradipta Re McGun X Ishara Ellisabeth McGun

- Arzenro Gananta

3. Praga Andares McGun X Kimberley Tithara McGun

- Eriko Ayasha McGun
- Catrina Alara McGun

4. Pranav Adiraga McGun X Ayana Lisa McGun

- Deren Oktaviano McGun
- Wendy Liyana McGun
- Hanni Selsaya McGun(anak angkat)

5. Elbara Wilson McGun X Leya Riantani  Vanndict-McGun

- Dylan Anawesa McGun
- Ryan Wang McGun
-  Arelle Van Lumiya McGun

Happy reading!

━━━━➳༻❀✿❀༺➳━━━━
"Ikatan batin orang tua dan anak memang kuat."

— McGun —

26. Bagian 26 : Birthday Party Nyonya Ishara McGun

"Undangan ke pesta ulang tahun Tante Ishara McGun? Maksudnya ... McGun?!"

Senada membuka lebar matanya membaca undangan yang Selia terima dari Arzen, ia hampir tak percaya adik kembarnya menerima undangan VIP ini dari keluarga yang menjadi musuh bebuyutan keluarganya.

"Kenapa?" tanya Selia bingung melihat reaksi Senada.

Senada menggulirkan tatapannya pada Selia sembari menggigit kuku ibu jarinya. "Selia, mungkin Senada sempat buta tentang keluarga kita. Tapi, soal McGun ini Senada paham banget."

"Selia inget nggak terakhir kali kita ketemu sama kakek Fazor beberapa tahun yang lalu? Sebelum Kakek Fazor dinyatakan meninggal dunia?"

Selia mengangguk samar. "Terus?"

"Dari sana, Senada mulai ngulik siapa kakek Fazor dan apa kaitannya sama konflik yang terjadi antara kakek Fazor dan beberapa orang yang terlibat selain Den Coral."

"Senada sempat baca ada nama McGun yang pernah jadi korban kekejaman kakek Fazor," terang Senada.

"K—korban?" Selia berdebar cemas. "Korban apa maksud lo?"

Senada mendudukkan diri di tepi ranjang, ia lanjut bercerita dengan kening berkerut seolah mengingat informasi penting yang pernah ia baca sebelum semua informasi itu tidak dapat ditemukan kembali di mana-mana. "Kakek Fazor pernah berada diambang kebangkrutan setelah Ayah mengakuisisi perusahaan Kakek secara paksa."

"Kakek coba mempertahankan perusahaan itu dengan menyambungkan banyak sistem dari perusahaan-perusahaan lain. Semua berhasil berada di genggaman Kakek, tapi cuma McGunlah satu-satunya perusahaan yang sulit dikendalikan."

"Nggak semudah itu menjalin kerjasama atau meretas sistem perusahaan itu. Hanya ada satu cara merebut perusahaan McGun, yaitu dengan menghancurkan pimpinan terkuat, karena McGun dikenal sebagai perusahaan besar, mereka termasuk golongan konglomerat yang sulit ditembus kekayaannya."

"Siapa pun yang bekerja sama dengan perusahaan McGun, mereka pasti bisa menempuh kejayaan besar."

"Ibarat piramida, tingkat pertama piramida hanya diisi oleh McGun, baru tingkat kedua adalah Harata, Vanndict, Tera, Jeon, dan Li."

Selia menyisir rambutnya frustasi. "Siapa yang jadi korban kakek?"

"Nah, kalau itu Senada kurang tau. Senada belum selesai cari informasi lebih lanjut, semua data tentang kakek udah hilang gitu aja," kata Senada.

"Biadab! Kalau gue dateng, nggak punya muka banget dong gue!" Selia menangkup wajahnya, ia bimbang harus datang ke acara McGun atau tidak, tapi jika ia tidak datang akan terasa memalukan apalagi Arzen yang memberikan undangan ini.

Senada mengusap bahu Selia. "Dateng aja, itu urusan mereka sama kakek. Nama baik Harata udah membaik lagi, kan? Seharusnya udah nggak jadi masalah."

"Lo dateng, temenin gue." Selia memaksa.

"Nggak bisalah, Senada nggak dapat undangan. Ayah sama Bunda juga nggak, cuma Selia yang dapat," tolak Senada secara halus. "Setiap tamu yang dateng, kan, harus kasih undangan ini. Lagi pula semua tamu udah dicatat juga."

"Aduh, lo aja deh yang dateng," geram Selia. "Kita, kan, kembar. Mereka nggak akan ngenalin, lo dandan kaya gue."

"Selia, ih! Mau Senada dandan kaya Selia, tetap aja yang nama vibes itu nggak bisa dibohongi. Selia anggun, cablak, mulutnya bau cabe sepuluh kilo."

"Gue gampar lo ya!"

Senada terbahak, hingga membungkuk memegangi perutnya yang kram. "Kan emang bener, Senada nggak pernah ngelontarin kalimat sejahat Selia."

"Pernah. Sama Kak Mimi, dulu." Selia tersenyum angkuh.

Senada cemberut. "Itu, kan, dulu! Sekarang udah enggak. Senada mau jadi cewek manja, centil, kesayangan Om Mafia."

Selia membuang napas kasar, ia masih menimbang-nimbang apakah ia harus datang ke acara itu atau tidak mengingat kisah kelam yang Senada ceritakan barusan mengenai anggota McGun yang menjadi korban kekejaman kakeknya di masa lalu.

"Om Mafia lo itu dateng, kan? Masa nggak ngajak lo? Dia pasti diundang ke acara ulang tahun tante Ishara," ujar Selia.

"Om Mafia dateng, tapi Senada memang nggak diajak. Nggak semua tempat yang didatangi Om Mafia, Senada harus ikut kali, Selia," sahut Senada malas.

"Ya, bisa jadi, kan? Kak Arzen aja ngajak gue," sergah Selia.

"Itu karena Selia dapet undangan, sedangkan Senada enggak," balas Senada.

Selia mengerang frustasi, ia memeluk gulingnya.

Senada mengambil kesempatan untuk mencarikan Selia gaun sesuai dress code yang tertera di undangan aklirik tersebut. Saat membuka lemari Selia, Senada tahan napas, kebanyakan gaun Selia berwarna merah, hitam, dan emas. Warna-warna yang melambangkan pemberontakan, Selia sering mengenakan gaun-gaun itu jika ada acara pertemuan dengan lelaki yang hendak dijodohkan dengannya.

"Dress codenya warna periwingkle. Pft, mana cocok buat Selia yang bar-bar," gumam Senada.

"Lo ngomong apa?" Selia tersinggung.

"Nggak." Senada menggeleng cepat. "Selia nggak punya gaun periwingkle ya? Senada ada, belum pernah dipake sama sekali. Bentar, Senada ambilin."

"Kalau nggak ada nggak usah, males gue, gue malu, gue merasa nggak punya muka kalau dateng ke sana." Untuk pertama kalinya Selia yang galak itu merengek manja pada kakaknya.

"Dateng aja demi formalitas, buktiin sama keluarga McGun kalau Harata bukan Harata yang dulu." Senada membelai kepala Selia. "Percaya sama Senada, selama Selia ada di dekat kak Arzen, semua bakal baik-baik aja. Kak Arzen bakal jagain Selia."

"Eh, tapi ngomong-ngomong, Kak Arzen, kan, nggak ada hubungan kekerabatan sama keluarga McGun, kenapa tiba-tiba diundang ya?" Senada bertanya-tanya.

"Ya, karena Kak Arzen jadi guru les salah satu anak keluarga McGun, namanya Catrina. Pasti diundang kalau bocah itu yang minta, mereka klop banget soalnya, udah kaya kakak-adek," jawab Selia. "Lo juga pernah ketemu sama dia di rumah sakit waktu jenguk kak Arzen dulu."

"Oh, gitu. Selia nggak cemburu?" tanya Senada.

"Nggak. Orang dia masih bocah, apa yang mau dicemburuin? Lo liat sendiri dia masih pake baju SMA, umur dia masih enam belas, mana mungkin kak Arzen naksir bocah." Selia memalingkan wajahnya ke samping, kedua kakinya menekuk, lututnya ia jadikan sandaran dagu.

Senada manggut-manggut dengan senyuman khasnya. "Senada lupa, hahaha. Di kepala Senada isinya Om Mafia terus sih, kecintaan banget Senada tuh sama Om Mafia."

"Tau gue. Bulol." Selia mencibir.

Senada tergelak, ia melangkah hendak keluar dari kamar Selia. Namun, pintu kamar Selia dibuka oleh Shia yang muncul dengan balutan gaun maroon yang indah, kalung berlian melingkar di leher jenjang dan putihnya. "Hai, anak-anak Bunda," sapanya.

"Hai, Bunda." Senada membalas sapaan ibunya. "Tumben Bunda udah rapi, mau kemana?"

"Bunda mau pergi sama Aunty Rhea, kemungkinan Bunda pulang malem, Sayang. Kalian nggak apa-apa di rumah sendiri?" tanya Shia pada kedua putrinya. "Atau mau ikut Bunda aja?"

"Nggak, Bun, Senada di rumah aja sama Selia. Lagi pula nanti malam Selia juga mau pergi sama kak Arzen," kata Senada.

"Oh, ya? Pergi kemana, Sayang?" Shia tersenyum hangat pada Selia.

"Ke ulang tahun kerabat kak Arzen," sahut Selia.

"Okey, hati-hati ya. Telfon Bunda kalau ada apa-apa," ucap Shia. "Ayah lagi ada banyak pekerjaan, pulangnya telat juga. Nanti Senada kalau laper minta dibikinin makan sama Rui aja ya atau kalau mau makan di luar juga boleh."

"Ajak Alicia nginep di sini nggak apa-apa banget loh, Nak."

Senada senang menerima sikap hangat ibunya. Ia tak berhenti mengumbar senyuman lebar, berlari kecil memeluk tubuh Shia yang selalu menyebarkan wangi bunga-bunga segar. "Makasih, Bunda. Nanti Senada call Alicia biar ke sini, Alicia pasti langsung on the way."

Shia mencium gemas pipi Senada. "Sayang banget sama anak-anak Bunda. Bunda minta maaf ya kalau selama ini kurang perhatian sama kalian, Bunda janji mulai sekarang  kalian akan Bunda prioritaskan."

"Bunda tenang aja. Everything will be okay. Iya, kan Selia?" Senada berpaling menatap Selia yang melamun di ranjangnya.

Selia berdehem singkat sebagai jawaban. Ia masih sibuk berperang dengan otak dan hatinya mengenai acara ulang tahun Ishara.

Shia pun pamit saat Rhea sudah berteriak di lantai bawah memanggil namanya. Mereka akan menghabiskan waktu bersama seharian penuh untuk bersenang-senang.

"Oke, gue bakal dateng!" seru Selia penuh tekat yang membara. Ia sudah memutuskan akan datang ke ulang tahun Ishara demi bisa bertemu Arzen, sekaligus membersihkan nama Harata dihadapan keluarga McGun.

"Senada, make over gue, please!"

────୨ৎ────
 


"Wah, rame!"

Catrina mengumbar senyuman paling cantik menatap para tamu yang hadir di ulang tahun tante kesayangannya. Banyak sekali yang mencintai Ishara, mereka bahkan membawa kado yang isinya sangat mahal dan berharga. Catrina celingukan, ia menyapa banyak tamu dengan nada cerianya. Gaun Catrina tampak menawan, warna periwinkle disertai pita dibagian pinggang untuk mempermanis penampilan, rambut panjang Catrina digerai bergelombang, sisi kanan dan kiri rambutnya terdapat cliphair anggur. Lucu sekali.

"Hai, Tante Cloe!" Catrina melambaikan tangan.

Cloe membalas lambaian tangan anak manis itu, ia datang bersama suami dan anak-anaknya.

"Hai, Tante Claudia!"

"Hai, Tante Fermen!"

"Hai, Tante Serena!"

"Hai, Tante Priska!"

"Semua aja kamu sapa, Cat." Riko mengusek kepala Catrina gemas. Adiknya ini memang dikenal sangat ramah pada siapa pun, dan tak segan menyapa orang-orang yang lewat di depannya entah dia kenal atau tidak.

Catrina cekikikan. "Biar mereka pada betah di sini, Kak! Kakak juga jangan kaku kaya robot, sapa semua orang yang ada di bumi ini."

"Banyak amat satu bumi harus kakak sapa," celetuk Riko.

Lagi-lagi Catrina tertawa, wajah manis gadis itu memang selalu menarik perhatian para lelaki yang menjadi tamu di acara tersebut, belum lagi sikapnya yang menyenangkan dan supel. Banyak yang ingin berbincang dengan Catrina, tapi Catrina tidak bisa diam disatu tempat saja, kakinya yang lincah itu akan berjalan ke sana ke sini, menguping pembicaraan para tamu atau sekadar mencicipi makanan lalu kembali jalan tak tentu arah.

Riko sampai pusing melihat adiknya yang tak kenal lelah melangkah, ia mengikuti Catrina, takut adiknya hilang tertelan keramaian.

"Ngomong-ngomong tante Ishara mana ya? Dia, kan, bintang tamu. Kenapa nggak keliatan dari tadi?" Catrina sangat ceriwis.

"Mungkin lagi siap-siap, sebentar lagi juga turun sama Om Pradipta," kata Riko.

"Kak, Kak, penampilan Cat udah rapi, kan? Mata Cat enggak miring? Hidung Cat udah nempel banget apa belum? Telinga Cat perlu plester nggak?"

Riko membuang napas lelah, ia memiting kepala adiknya di ketiak, membuat Catrina memekik sambil tertawa terbahak-bahak.

Para tamu yang hadir merasa bahagia dan tersanjung karena ini pertama kalinya Ishara membuka gerbang rumah megahnya demi sebuah acara. Pada tahun-tahun sebelumnya, gerbang rumah Ishara tak pernah terbuka untuk orang-orang, dia seperti ratu yang menutup diri dari dunia luar. Hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat wajahnya yang sangat cantik itu.

Di luar gerbang para bodyguard dikerahkan untuk melindungi rumah Pradipta selama acara berlangsung, ada juga beberapa pelayan yang menyambut kedatangan tamu dari berbagai konglomerat pada tingkat-tingkat piramida. Semuanya hadir kecuali ... Harata.

Meski Harata menduduki piramida kedua dan sangat terhomat kedudukannya, tapi keluarga itu tidak begitu akur pada keluarga McGun. Keluarga Harata dicurigai sebagai penyebab kecelakaan Pradipta dan Ishara terjadi beberapa tahun silam, meski semua itu sulit dibuktikan kebenarannya tapi siapa yang bisa menyangkal, kan? Harata memang dikenal tamak dan bengis, siapa pun yang tidak bisa dikendalikan oleh mereka akan dilenyapkan.

Selain Harata, beberapa keluarga konglomerat menjalin hubungan yang damai dengan McGun. Malah, para istri dari masing-masing marga, menjalin pertemanan yang baik dan harmonis dengan Ishara.

"Kalian ingat apa yang Nakeya katakan beberapa hari yang lalu? Ah, rasanya aku ingin pingsan!" Serena mengipasi dirinya menggunakan kipas tangan.

"Tolong, jangan pingsan lagi." Fermen mewanti-wanti sahabatnya agar tidak mempermalukan diri di depan para tamu.

"Menurut kalian apakah yang dikatakan Nakeya sudah terdengar oleh orang-orang yang ada di sini?" tanya Cloe.

"Mungkin belum, baru kita yang tau, Nakeya pasti sangat hati-hati dalam memberikan informasi karena ini adalah informasi yang sangat penting." Claudia menjawab.

"Benar juga, beruntungnya kita karena tau duluan, ya." Serena cengar-cengir senang.

"Aku suka sekali dekorasinya, rasanya seperti memasuki istana megah yang sudah lama tidak pernah aku kunjungi." Para wanita itu terperanjat mendengar suara yang sangat mereka kenal. Suara Nakeya.

Nakeya datang mengenakan gaun yang sama seperti para tamu perempuan lainnya. Rambutnya berkilau indah seperti habis melakukan perawatan di salon paling mahal. Jangan lupakan paras cantik yang di luar nalar, sangat tidak mungkin jika Nakeya disebut sebagai manusia. Nakeya lebih cocok disebut sebagai dewi kecantikan.

"Ya, Ishara pasti sangat memperhatikan detail dekorasi yang ada di sini. Mengagumkan, bertahun-tahun menghilang dari publik, sekalinya muncul membuat acara semeriah ini," tanggap Fermen.

"Hei, Nakeya, kamu nggak membawa pasangan? Di mana anak dan suamimu?" tanya Serena.

"Aku tidak menikah." Nakeya berkata dengan lemah lembut dan gaya anggunnya.

"Oh, wow. Ternyata memang ada perempuan yang memilih hidup sendiri. Itu mengagumkan!" seru Cloe.

Tak berselang lama, bisik-bisik dari para tamu mendadak terdengar saat sang bintang utama acara malam ini menunjukkan diri.

Ishara datang bersama Pradipta. Gaun periwinkle bertabur berlian terlihat sangat megah, kontras dengan warna kulit Ishara yang putih pucat. Sementara Pradipta mengenakan kemeja putih, dibalut dengan jas hitam, rambut Pradipta yang panjang melebihi telinga disisir rapi. Mereka pasangan yang sangat serasi, bagaikan raja dan ratu di negeri dongeng.

"Wah, Ishara kamu cantik sekali!"

"Pradipta sangat beruntung memilihmu menjadi istrinya. Kalian cocok!"

"Tolong, jangan tutup gerbangnya lagi, supaya aku bisa selalu melihatmu Ishara!"

"Selamat ulang tahun, Ishara. Apa yang ingin aku doakan ya? Kamu sudah punya segalanya. Minta sendiri saja pada Tuhan, kamu yang paling tau apa yang kamu butuhkan."

Ishara terharu banyak yang menyapanya, memberi kalimat selamat ulang tahun yang begitu manis, memujinya, bahkan memberikan hadiah secara langsung tanpa melalui perantara pelayan. Ishara tidak berhenti mengucapkan terima kasih pada mereka yang sudah hadir di acara ulang tahunnya.

Pradipta mundur beberapa langkah, memandang istrinya yang dikerubungi oleh para tamu perempuan. Senyuman Pradipta tak berhenti terukir indah saat matanya tertuju pada sang istri. Kebahagiaan yang Ishara dapatkan memang nyaris sempurna, dan akan benar-benar sempurna jika seseorang yang mereka tunggu-tunggu kehadirannya memunculkan diri.

Tapi ... di mana dia?

Pradipta memanjangkan leher, berharap dia menemukan seseorang yang dia tunggu.

"Semua tamu sudah hadir?" tanya Pradipta pada Yudistira.

Yudistira melihat daftar tamu, ia membaca deretan nama-nama tamu tersebut. Saat matanya menangkap sebuah nama, senyuman pun terulas dibibirnya. Yudistira menunjukkannya pada Pradipta, mereka saling melempar senyum.

"Jangan tutup gerbangnya, Tira," kata Pradipta.

"Baik, Tuan." Yudistira membungkuk hormat, kemudian dia pamit untuk mengecek hal lain.

Pradipta menyimpan kedua tangannya di saku celana, ia memandang seluruh tamu yang datang. Semoga acara ini berjalan lancar, harapnya dalam hati.

Di lain tempat, mobil yang Arzen kendarai terjebak macet, padahal jaraknya sudah hampir dekat dengan rumah Pradipta. Sayang sekali, Arzen lupa bahwa ini adalah malam minggu, jelas jalanan ramai pengendara, mereka menghabiskan waktu untuk jalan-jalan di malam minggu yang cerah ini.

"Kak, lo yakin gue nggak papa ikut?" Selia bertanya, sejak tadi ia gusar sendiri memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang menyerang pikirannya.

"Nggak apa-apa, santai, Selia. Gue ada di samping lo," ucap Arzen menggenggam tangan Selia hangat.

"Gue inget banget, terakhir kali ketemu Tante Ishara, Tante Ishara keliatan marah waktu lo kenapa-napa," kata Selia.

"Hei, itu, kan dulu. Sekarang mungkin udah enggak marah, gue juga agak bingung kenapa Tante Ishara tiba-tiba semarah itu sama lo. Tapi, percaya sama gue, semua bakal baik-baik aja." Arzen menenangkan Selia.

"Tante Ishara ... keliatan sayang banget sama lo." Selia bergumam pelan.

Arzen menoleh sejenak, sebelum kembali menatap ke depan. "Lo ngerasa gitu?"

"Hm." Selia mengangguk.

Arzen menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. "Tante Ishara pernah kehilangan anaknya, gue pikir itu reaksi alami seorang ibu saat ngeliat anaknya kenapa-napa."

"Bisa jadi, Tante Ishara udah menganggap gue sebagai anaknya," gurau Arzen diakhiri tawa singkat.

Suasana tegang pun perlahan mencair karena candaan Arzen, Selia ikut tertawa. "Ya, bisa jadi."

"Nggak, nggak, itu konyol. Tante Ishara berasal dari keluarga konglomerat nomor satu di sini, sementara gue—"

"Sssttt!" Selia membungkam mulut Arzen dengan tangannya. "Bisa nggak sih lo jangan insecure mulu? Terima aja kenyataannya kalau memang Tante Ishara udah menganggap lo anaknya. Akhir-akhir ini lo juga deket banget sama keponakannya, sering ngelesin dia, ngajak dia main, Catrina juga nyaman sama lo."

"Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini, Kak Arzen. Aunty Rhea aja juga udah menganggap lo anaknya, lo baik sama Laskar dan Mora, siapa pun yang melihat kebaikan lo pasti bakalan terenyuh hatinya."

Arzen mengecup punggung tangan Selia, lalu menautkan jari jemari mereka. Saat lampu sudah berubah hijau, pengendara mobil di depannya melaju, Arzen terbebas dari kemacetan. Mobilnya dengan lancar melaju menuju ke kediaman keluarga McGun.

────୨ৎ────

Puas mengobrol dengan teman-temannya, Ishara menyingkir dari keramaian. Ia melihat kue ulang tahun besar berada di depan panggung mini bertuliskan Happy birthday, My Beloved Wife. Mata Ishara berkaca-kaca membaca tulisan itu, bibirnya mengulas senyuman penuh haru. 

"Kak Pradipta sangat mencintai kamu, Ishara." Kimberley istri dari Praga merangkul pinggang Ishara.

Ishara mengangguk. "Aku juga merasa begitu. Pradipta enggak meninggalkan aku saat tau anak kami ...."

"Jangan dilanjutkan." Kimberley mengerti perasaan Ishara. Ia peluk hangat Ishara. "Aku tau ini kenyataan yang sulit kamu terima, tapi life must goes on. Kamu nggak bisa terus-terusan stuck di sana. Kamu punya kehidupan Ishara, dan kamu harus menjalani kehidupan kamu dengan baik."

"Anak kamu ... pasti bahagia melihat ibunya bahagia."

Catrina yang mendengar itu menyendukan tatapan beberapa detik, kemudian ia berkacak pinggang, sebelah pipinya menggembung karena sedang mengemut permen. "Ih, apaan! Orang anak Tante Ishara masih hidup!" celetuknya. 

Kimberley menoleh pada Catrina, ia melotot. "Riko, adik kamu!" teriaknya memanggil sang anak sulung.

"Berani-beraninya manusia ini mengadu...," Catrina menunjuk-nunjuk ibunya.

"Anak ini!" Kimberley mau menjewer Catrina, tapi anak itu sudah melarikan diri menuju ayahnya untuk meminta perlindungan. Kebetulan Praga sedang berbincang dengan Pradipta. 

"Om-om, anak Om belum dateng ya?" Catrina senyum-senyum memainkan alisnya menatap Pradipta.

"Cat." Praga menegur putrinya. "Bicaranya dijaga."

Catrina memeluk erat Praga, mengabaikan teguran itu. 

"Maaf, Kak." Praga tidak enak hati pada Pradipta. 

Pradipta tak memberikan reaksi apa pun selain tersenyum maklum dan usapan lembut di kepala Catrina. "Om ke Tante Ishara dulu ya."

"Om, marah?" Catrina melepaskan pelukan dari tubuh Praga.

Pradipta menangkup kedua pipi Catrina, bibirnya mendarat di dahi keponakannya yang usil itu. "Kalau Om marah nggak mungkin dicium."

Catrina sontak melompat ke pelukan Pradipta. "Cat sayang banget sama Om, makanya itu Cat punya misi penting di bumi ini."

"Misi apa sih?" 

"Tes DNA yuk Om." 

Tawa Pradipta meluncur begitu saja mendengar ajakan keponakannya untuk kesekian kalinya. Ia gemas sekali, pelukannya mengerat beberapa detik, lalu Pradipta melepaskan Catrina agar dimarahi oleh Praga. Ia mau menyusul Ishara yang sedang berdiri memandangi kue. 

Saat langkah Pradipta hampir dekat dengan Ishara, tiba-tiba tubuh mereka mematung, telinga mereka seolah mendengar sesuatu yang membuat Pradipta dan Ishara menoleh ke arah pintu serentak. Mereka memandang pintu itu tanpa berkedip membuat para tamu yang melihat keduanya, mendadak membungkam mulut mereka masing-masing. 

Ishara menyentuh dadanya, ia berusaha mengatur embusan napasnya, kaki jenjang yang dibalut high heals itu mengambil langkah pelan, Pradipta mengikuti dari belakang. Mereka berhenti tepat di tengah-tengah ruangan.

Tepat saat pintu utama terbuka, Yudistira membawa seseorang, tamu paling penting di acara ini. Tak ada yang menyadari bahwa mata Yudistira merelang, menahan air mata yang hendak jatuh dari pelupuk.

Tubuh Yudistira menyingkir, membiarkan Ishara dan Pradipta melihat siapa yang datang. 

"Arzen." Ishara merapatkan mulutnya. Tanpa sadar bulir air mata Ishara jatuh ke pipinya

Arzenro Gananta. 

Arzen dengan senyuman menawannya menghampiri Ishara, di tangannya terdapat kado spesial untuk ia berikan pada seseorang yang sedang berulang tahun malam ini. 

Semakin dekat langkah Arzen dengan Ishara, perasaan Ishara tak bisa ditampik lagi. Kebahagiaannya benar-benar sempurna berkat kedatangan Arzen di acara ini. Tak memberi Arzen kesempatan berbicara, Ishara memeluk lelaki itu erat. 

Yudistira menunduk, ia berbalik, menyeka air matanya yang sudah sulit ia tahan, kemudian ia kembali berbalik dan mengumbar senyuman terbaiknya. 

Pradipta mendekati Ishara dan Arzen, ia ikut memeluk keduanya. 

Catrina sesenggukan berdiri di samping Riko, ia menyedot ingusnya, mengusap hidung, lalu menjadikan jas Riko lap. 

"Cat!" Riko menyentil tangan adiknya. Ia terheran-heran kenapa Catrina menangis seperti itu. "Kamu kenapa?"

"Terharu." Catrina berlari membelah kerumunan, ia menubrukkan dirinya pada Pradipta, Arzen, dan Ishara. Memeluk erat disertai tangisannya yang sangat berisik. 

"Serena, jangan pingsan!" Fermen melirik Serena yang sudah megap-megap seperti ikan kehabisan oksigen. 

"I'll try!" sahut Serena.

Kimberley menyentuh lengan suaminya, ia ikut menyaksikan pemandangan mengharukan itu. "Kamu tau? Aku adalah orang pertama yang nggak percaya kalau anak Kak Pradipta dan Ishara sudah meninggal."

"Aku yakin ... dia masih hidup dan ada disekitar kita."

"Dia pasti tumbuh dengan baik." Praga menimpali.

"Dan wajahnya pasti mirip Kak Pradipta, tapi matanya persis seperti Kak Ishara." Pranav— adik Pradipta nomor dua ikut bersuara. 

Aya— istri Pranav menambahkan, "Semua hanya menunggu waktu sampai mereka bisa hidup bersama kembali, kan?"

Arzen sudah lama sekali tidak merasakan pelukan sehangat ini, entah kenapa setiap Ishara dan Pradipta memeluknya, ia seperti menemukan tempat pulang yang paling nyaman. Terkadang ia bingung harus menyikapnya seperti apa, seorang konglomerat terpandang mau memeluk anak yatim piatu yang tak memiliki marga sama sekali.

Arzen mengedipkan matanya menghalau air mata, ia merindukan kedua orang tuanya yang telah tiada, berkat kehadiran Pradipta dan Ishara, Arzen merasa ia memiliki kedua orang tua yang lengkap. Ruangan kosong di hatinya kini perlahan terisi kembali. 

Saat pelukan terurai, Arzen menyeka air mata Ishara. "Selamat ulang tahun, Tante. Semoga Tante selalu bahagia setiap saat, dan selalu dalam perlindungan Tuhan," ungkap Arzen tulus.

Arzen menyentuh tangan Ishara, ia letakkan kado yang sudah terbungkus rapi menggunakan kertas kado berwarna biru muda di telapak tangan Ishara. "Ini kado dari saya, Tante. Maaf kalau isinya nggak semahal hadiah yang lain, tapi saya tetap mengusahakan yang terbaik untuk ulang tahun, Tante."

Ishara membuka kado dari Arzen, air matanya mengalir semakin deras melihat sebuah barcelet berwarna silver dengan liontin cantik dibagian tengahnya. "Cantik sekali. Ini hadiah paling mahal yang pernah ... Tante ... dapatkan."

Pradipta membantu Ishara memakaikan gelang tersebut di tangan Ishara. Ia peluk istrinya erat, sembari membubuhi ciuman di kening. "Selamat ulang tahun, Sayang, hadiah yang kamu tunggu sudah ada di depan mata," bisiknya. 

Ishara mengangguk, menenggelamkan wajahnya di dada suami. "Hadiah paling indah."

Selia merenungkan sesuatu, ia teringat mengenai cerita Senada tentang kisah kelam keluarga McGun dan kakeknya. Apa mungkin korban kekejaman kakeknya adalah Ishara dan Pradipta?

"Tante Ishara pernah kehilangan anaknya, gue pikir itu reaksi alami seorang ibu saat ngeliat anaknya kenapa-napa."

Selia tertegun, ia ingat pembicaraannya dengan Arzen saat mereka sedang dalam perjalanan. Berusaha menelan ludah walau rasanya perih, Selia menundukkan kepala. 

"Anak Tante Ishara dan Om Pradipta meninggal gara-gara Kakek Fazor?" batin Selia bertanya-tanya. 

Arzen menoleh, menatap Selia yang mendadak diam. Ia raih tangan Selia agar mendekat padanya. "Kenapa?" tanyanya dengan suara pelan. 

Selia menggigit bibir bawahnya, ia menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Selia memberanikan diri untuk menyapa Ishara dan Pradipta. "Tante, selamat ulang tahun."

Ia memberikan kado di tangannya pada Ishara, telapak tangannya berkeringat dan sedikit gemetar menanti reaksi Ishara. 

Ishara melepaskan diri dari pelukan Pradipta, ia menarik segaris senyuman, menerima kado pemberian Selia. "Terima kasih, Selia. Ayo masuk."

Selia menghela napas lega, reaksi Ishara tak seperti yang ia bayangkan. Tangannya digenggam oleh Arzen, mereka berjalan di belakang Ishara, Pradipta. Catrina berada di sisi kanan Arzen, memeluk lengan lelaki itu. 

Saat Arzen melewati para tamu, semua pandangan tertuju padanya, terlebih Serena yang sudah seperti cacing kepanasan. Wanita itu ingin melihat Arzen lebih dekat, menyapa lelaki itu, bahkan ia tak segan ingin memperkenalkan putrinya pada Arzen. 

"Jangan." Nakeya menggeleng, mencegah Serena yang hendak merealisasikan niat yang tertanam di hatinya. "Kamu nggak liat, Arzen udah bawa pasangan?"

"Itu, kan .... cucu Harata." Cloe berbisik pada Fermen, Claudia, dan Serena, pandangan mereka mengarah pada Selia yang berdiri di samping Arzen. "Apa mataku tidak salah lihat? Arzen berani sekali mengambil resiko."

────୨ৎ────

"Arzen, perkenalkan Praga dan Kimberley, kedua orang tua Catrina." Pradipta memperkenalkan Arzen pada adik dan adik iparnya karena Arzen belum pernah bertemu dengan mereka selama mengajar les Catrina. 

"Salam kenal, Om, Tante. Saya Arzen, guru les Catrina," ujar Arzen sopan. 

Kimberley tersenyum hangat. "Catrina sudah banyak sekali bercerita tentang kamu. Terima kasih, ya, sudah sabar menghadapi Catrina. Dia memang agak sedikit nakal."

Catrina mengerutkan kening tersinggung. 

"Tapi, saya terkesan, nilai Catrina mulai ada kemajuan. Tidak sejelek biasanya." Praga bergurau. 

"Ya, biasanya matematika dapet dua puluh, sekarang nyaris dapet seratus." Riko menyetujui.

"Cat itu aslinya pinter tau!" protes Catrina. 

"Pinter kalau mau belajar, main terus kerjaannya," cibir Kimberley. "Gimana mau jadi dokter besok?"

"Ih, Cat mau jadi ibu bidan," seloroh Catrina.

Arzen tertawa gemas, ia mengusap kepala Catrina. "Mau jadi bidan atau dokter, Catrina tetap harus rajin belajar. Kurang-kurangin mainnya," nasehat Arzen. 

Catrina mengangguk, ia gelayutan manja di lengan Selia. "Asal Cat belajarnya ditemenin Mama sama Papa angkat."

"Siapa?" Selia heran.

"Mama Selia, Papa Arzen." Catrina terkikik geli. 

"Dasar." Selia menjawil hidung Catrina. 

"Maaf, tapi saya dengar Selia sudah bertunangan dengan putra tunggal Tuan Tera?" Pranav menimbrung setelah mengambil minuman untuk istrinya.

Selia tergagap, mendadak ia tak menyukai pembahasan ini, tapi Selia tetap harus menjaga image dia sebagai pasangan Arzen. "Pertunangan itu hanya formalitas saja, Om. Saya dan Devano sudah memiliki pasangan masing-masing."

"Ah, begitu." Aya mengangguk paham. “Atas nama keluarga McGun, saya minta maaf karena nggak bisa hadir di acara pertunangan kamu dengan Devano. Keluarga kami masih sedikit memiliki konflik dengan Harata.”

"Nggak apa-apa, Tante. Saya paham." Selia mengulas senyuman tipis.

"Jadi, kamu sudah paham apa yang sudah pernah terjadi antara McGun dan Harata?" Pertanyaan Ishara membuat Selia berdebar.

Dengan berat Selia mengangguk, rasanya oksigen di sekitar kian menipis. "Belum lama ini ... saya tau dari kembaran saya, Tante."

"Bagus. Kamu memang harus tau," kata Ishara. 

Selia sedikit meringis mendengar nada ketus itu dari Ishara. Namun, Selia memaklumi, tindakan yang kakeknya lakukan benar-benar keterlaluan dan tak termaafkan, siapa pun yang ada di posisi Ishara pasti akan sangat sulit menerima kenyataan pahit itu. 

Arzen mendadak canggung, ia beberapa kali melirik Selia yang gugup berbicara dengan Ishara. "Tante, ada yang ingin saya bicarakan. Bisa minta waktunya sebentar?" tanya Arzen pada Ishara. 

Ishara mengangguk, mereka berdua pergi ke taman belakang, bagian paling minim suara berisik musik tapi juga tetap ramai oleh para tamu yang menikmati pesta. 

"Apa kamu ingin membicarakan mengenai sikap saya pada Selia?" Pertanyaan Ishara mendapat jawaban berupa anggukan dari Arzen. 

"Awalnya Selia sama sekali enggak tau apa-apa tentang permasalahan Tante dan keluarga Harata. Dia baru saja mengetahuinya dari Senada dan dari saya saat perjalanan ke sini beberapa jam yang lalu, Tante," ucap Arzen. "Saya minta tolong agar Tante nggak menyinggung konflik masa lalu di depan Selia. Maaf, kalau saya bersikap kurang sopan, seenaknya menyuruh Tante dengan lancang."

"Sebelum datang ke sini, Selia merasa bimbang, dia benar-benar mempersiapkan segalanya agar bisa menjadi tamu terbaik Tante."

Ishara manggut-manggut, ia membuang napas pelan. "Saya nggak bermaksud menyinggung perasaan Selia. Tapi, begitu mendengar bahwa dia dari keturunan Harata .... saya nggak bisa menahan gejolak di hati saya. Rasa marah, takut, dan cemas selalu hadir."

"Saat ingatan saya pulih ...," Ishara menjeda. Ia mengalihkan tatapan ke arah kolam renang. "Saya terpukul melihat dunia saya sudah nggak sama lagi. Banyak hal berharga saya yang hilang, direnggut oleh Harata."

Arzen bisa melihat luka itu dari mata Ishara, apa yang sudah terjadi pada Ishara memang membuat wanita itu babak belur dihantam kenyataan pahit. 

Ishara kembali menatap Arzen, tangannya terulur mengusap wajah lelaki itu dengan penuh kelembutan. "Kamu ... membuat saya merasakan bahwa ... anak saya ... ada di sini...."

"Bersama saya." Hidung Ishara memerah, suaranya pun berubah serak dan parau. "Saya nggak tau kenapa ...."

"Saya ingin kamu tetap baik-baik aja, Nak Arzen. Perempuan yang kamu cintai adalah keturunan dari Harata, sudah beberapa kali kamu berusaha dihancurkan oleh orang-orang suruhan ayahnya, kan?"

"Saya ...." Dada Ishara pengap. "Saya takut kamu hancur di tangan Harata."

Arzen menggeleng, ia mengusap air mata Ishara dengan hati-hati. "Saya akan menghadapi kehancuran itu demi perempuan yang saya cintai, Tante."

"Jangan ...." Ishara menutup mulutnya saat isak tangisnya hampir melesak. Ia benar-benar diselimuti rasa takut, Ishara tidak ingin mimpi buruknya kembali terulang. "Kamu harus baik-baik saja. Kamu harus bahagia, Nak Arzen. Secinta apa pun kamu dengan perempuan itu, jangan pernah korbankan hidup kamu. Jangan pernah korbankan apa pun."

"Tante, semua akan baik-baik saja, tolong percaya sama saya," ucap Arzen meyakinkan Ishara. 

────୨ৎ────

"Selamat malam, Tuan Rival." Jira datang bersama beberapa bodyguard menghadap Rival di ruangannya. Cahaya remang-remang di sana tak membuat Sai kesulitan menatap tuannya yang sejak tadi memang menunggu kabar mengenai suatu hal.

"Bagaimana, Jira?" tanya Rival datar.

"Sesuai arahan, Tuan. Kami berhasil membongkar dan mengumpulkan sisa-sisa yang ada di dalam liang lahat tersebut." Jira meletakkan kotak merah di meja.

Rival beranjak mendekati kotak merah itu, kemudian membukanya. Senyumannya terukir di bibir, bukan senyuman penuh kehangatan tapi senyuman dingin yang sulit di artikan.

"Begitu anak itu datang ke makam, berikan tulang-tulang ini sebagai hadiah dari saya," perintah Rival.

────୨ৎ────

GIMANA PART INI?

RAMEIN KOMENTARNYA!

Like cerita ini juga jangan lupa

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Dg
Selanjutnya DG | Senada dan Om Mafia | Bagian 27 : Terus dipukul mundur
68
87
Siapkan emosi kalian membaca part ini 🔥
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan