| ACADEMY | Bagian 20 : Didikan tegas Appa

66
65
Deskripsi

Setiap orang tua pasti punya cara untuk mendidik anak mereka masing-masing, ada yang tegas dan lemah lembut.

‼️ RULES ‼️

1.Jangan terburu-buru menilai cerita ini.

2.Sabar.

3.Dibaca pelan-pelan.

4.Vote dan komen. WAJIB! Demi kelangsungan cerita ini.

Terima kasih.

Selamat membaca kisah menakjubkan anak-anak!

❦ ════ •⊰🅐-🅒-🅐-🅓-🅔-🅜-🅨⊱• ════ ❦


.

.

.

"Setiap orang tua pasti memiliki cara untuk mendidik anak-anaknya, ada yang tegas dan lemah lembut."

— Shielda —

● Bagian 20 : Didikan tegas Appa

Tidak seperti hari-hari biasanya, Sereia mengajak Britney makan di bangku taman sambil melihat pemandangan air mancur yang sangat indah dan juga menikmati sejuknya udara di bawah pohon yang rindang. Bukan tanpa alasan kenapa Sereia ingin makan berdua saja dengan Britney, ada yang ingin Sereia bicarakan, lumayan serius.

Meski usia Sereia masih terbilang sangat muda, tapi Sereia sangat memperhatikan bagaimana perasaannya. Sereia tidak ingin berlarut-larut dalam perasaan sedih dan mengganjal, ia harus membicarakannya pada Britney.

Britney sibuk mengunyah sosis gorengnya, rambut blonde Britney dikucir dua, sama dengan Sereia, mereka selalu memiliki gaya rambut yang sama meski berbeda warna.

"Kak Brinnie ...," panggil Sereia setelah berhasil menelan telur yang dia kunyah.

Britney menoleh, bibir merahnya mengulas senyuman ramah. "Ada apa?"

"Eia selalu suka ada di dekat Kak Brinnie," ungkap Sereia. "Eia mau selalu ada di samping Kakak, menjadi adik perempuan Kakak yang sangat Kakak sayang."

"Tentu saja aku menyayangimu, Eia, kamu adalah adik perempuan yang sangat aku sayangi selamanya," ujar Britney sumringah.

Sereia ikut tersenyum. "Apa ada seseorang yang Kakak sayang selain Eia?"

"Ada. Bintang, Langit, Kai, dan Zeus, kalian semua adik-adik aku yang aku sayang. Aku akan memberikan apa pun untuk kebahagiaan kalian," sahut Britney.

Sereia merasa sangat senang mendengar kalimat manis Britney. "Kak Brinnie adalah Kakak perempuan kesayangan Eia."

"Benarkah?" Britney merapatkan tubuhnya, lalu merangkul Sereia.

Sereia mengangguk. "Benar. Kita harus selalu bersama ya, Kak, nggak boleh berpisah."

"Aku juga enggak mau berpisah dari kamu, Eia. Aku selalu ingin bersama kamu," balas Britney mencium pipi chubby Sereia. "Kita harus saling menyayangi selamanya!"

"Yeay!" seru Sereia gembira. Keduanya kembali melanjutkan makan, sesekali Britney menyuapi Sereia buah apel, dan Sereia menyuapi Britney daging ayam. Sangat manis untuk dilihat.

"Kakak, apakah Kak Brinnie mau berteman dengan Athena?" Pertanyaan Sereia membuat Britney memelankan kunyahan. 

"Aku mau. Tapi, aku butuh waktu untuk terbiasa melihat Athena, sejujurnya aku masih sedikit takut. Athena adalah manusia yang unik, pertama kalinya aku melihat manusia seperti Athena." Britney berkata. Ia menjeda beberapa saat sebelum melanjutkan. "Aku sempat berpikir ... Athena bukan manusia."

"Athena mengerikan untuk dilihat, kan?" tanya Sereia. 

Britney tertawa dan menggeleng. "Nggak, bukan begitu. Athena sama sekali enggak mengerikan."

Sereia meniup poni tipisnya. "Sesuatu yang membuat Kakak takut adalah sesuatu yang mengerikan untuk dilihat. Nggak papa loh kalau Kakak mau menyebut Athena mengerikan, Eia juga mengakui hal itu."

"Kulitnya terlalu putih, semuanya serba putih, rambutnya juga mirip nenek-nenek, telinganya ... mirip ... domba."

"Manusia mana yang seperti itu?"

"Eia ...," Britney mengembuskan napas pelan, ia menyingkirkan kotak bekalnya sejenak. Lalu, tubuh Britney menyerong menghadap Sereia. "Nggak baik mengatai fisik seseorang seperti itu. Kalau Athena dengar, pasti Athena sedih dan merasa sakit hati."

"Daddy bilang, di dunia ini enggak ada yang sempurna. Semua manusia punya kekurangannya masing-masing, tapi bukan berarti kita bisa menilai kekurangan seseorang sebagai sesuatu yang buruk," tutur Britney dengan penuh kesabaran.

"Kita belum mengenal Athena sejauh itu untuk menilai dia, kan? Fisik Athena mungkin berbeda dengan kita semua yang ada di sini, tapi siapa tau Athena memiliki hati yang sangat baik dan penyayang." Britney menasehati adiknya pelan-pelan. Sangat dewasa sekali pola pikir untuk anak berusia 7 tahun, Britney sudah bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Tentu saja, sesuatu yang salah harus segera diluruskan agar tidak menimbulkan perselisihan di waktu yang akan datang.

Sereia menganggukkan kepala, ia menunduk dalam. "Maaf, Kak."

"Nggak papa. Jangan seperti itu lagi ya, kita pelan-pelan mengenal Athena bersama," kata Britney. 

Sereia diam, perlahan pandangannya naik menatap Britney. "Eia takut saat kita berteman dengan Athena, Kakak enggak sayang Eia lagi."

"Loh, kenapa Eia berpikir seperti itu? Aku tetap sayang Eia. Di sekolah, aku juga memiliki banyak teman, kan?" tanya Britney. 

"Teman-teman di sekolah Kakak berbeda, Eia bisa menerima mereka berteman dengan Kakak, tapi ... Athena ...." Sereia menyendu. 

Britney memahami kekhawatiran adik perempuannya. Ia memeluk Sereia dari samping. "Dengar ya, Eia, mau aku berteman dengan siapa pun, di dalam hati aku tetap tersimpan nama Eia, aku selalu memikirkan Eia, enggak pernah istirahat sama sekali. Setiap hari, aku berpikir, aku harus memberi Eia apa lagi agar Eia selalu tersenyum."

"Eia cuma mau minta kasih sayang Kak Brinnie. Jangan dihilangkan ya, Kak, tetap sayang sama Eia," pinta Sereia. 

"Aku nggak akan pernah menghilangkan rasa sayangku pada Sereia. Jangan khawatir, aku janji aku akan selalu menyayangi Eia selamanya," ucap Britney tulus. 

Dikejauhan Bintang, Langit, Kai dan Zeus mengamati Britney dan Sereia. Mereka terheran-heran dan penasaran apa yang sedang dua gadis itu bicarakan sampai berpelukan segala. 

"Apakah mereka bertengkar seperti kita, Bintang?" tanya Langit. 

"Em ... aku pikir nggak." Bintang menggelengkan kepala pelan. 

Zeus melirik Kai yang diam saja, Kai pasti tau sesuatu tapi tidak mau membaginya. Mungkin Zeus akan mencari tau sendiri nanti. 

────୨ৎ────

Sudah lebih dari dua jam Saga memandang album foto seraya menghangatkan tubuhnya di depan perapian. Ruangan Saga memang dibuat minim cahaya karena Saga kurang suka suasana yang terlalu terang. Terbesit kesedihan serta kerinduan yang mendalam pada sorot matanya. 

Saga menarik napas untuk menetralisir rasa sedihnya. 

"Kakek-papai!" Suara Bintang memanggil Saga membuat Saga memijat ujung matanya yang mengeluarkan sedikit air mata. 

Bintang dan Langit duduk di samping Saga. Mereka mengintip apa isi buku yang kakek mereka baca.

"Kapan kalian pulang?" tanya Saga lembut. 

"Baru saja." Langit menjawab. "Kakek-papai, lihat gigi Langit." Anak itu memamerkan giginya yang sudah lepas. 

"Wah, gigi Langit sudah tercabut? Nggak takut ke dokter gigi?" tanya Saga antusias. 

"Nggak." Langit menggeleng dengan senyuman cerah. "Dokter giginya adalah Bintang. Jadi, Langit enggak takut."

Saga beralih menatap Bintang yang sibuk memandang ke bawah. "Bintang yang bantu cabut gigi Langit ya?"

"Hah? Oh, iya, Bintang yang membantu Langit mencabut gigi." Bintang menjawab cepat. "Kakek, siapa yang ada di foto ini?"

Fira duduk di sofa yang berseberangan dengan Saga. Ia tau suaminya sedang bersedih, maka ia datangkan cucu-cucunya yang selalu membuat heboh suasana untuk mengusir kesedihan itu. Belum lama ini Saga ditinggal oleh seseorang yang sangat berarti dihidupnya, Saga kembali merasakan kehilangan. 

"Ini eyang Arga. Ayah kakek-papai," lirih Saga memaksakan senyumannya disela rasa sedih yang tengah menyelimuti hati.

Bintang dan Langit ber-oh ria. "Kenapa Bintang enggak pernah bertemu eyang Arga? Apakah eyang Arga nggak menyayangi Bintang dan Langit?"

Pertanyaan polos Bintang membuat Saga tertawa pelan. Ia menaruh buku album foto tersebut di meja, setelah itu menarik Bintang dan Langit ke pangkuannya. 

"Eyang Arga sangat sayang Bintang dan Langit, kalau eyang Arga masih ada di dunia ini pasti eyang Arga nggak akan berhenti menggendong dan mencium Bintang dan Langit," kata Saga. 

"Hah? Jadi, eyang Arga sudah nggak ada di dunia ini lagi? Eyang Arga pergi kemana?" tanya Langit cemberut. "Kenapa eyang Arga pergi?"

"Begini ..." Saga mulai menjelaskan. "Bintang dan Langit pernah merawat seekor burung, kan, bersama kakek-papai?"

Bintang dan Langit mengangguk. 

"Kita bersama-sama menjaga burung itu, kita memberi dia makan, minum, dan tempat yang nyaman untuk beristirahat. Tapi, suatu hari, burung itu nggak bergerak lagi setelah kita periksa ke dokter hewan, burung itu mengalami masalah di paru-parunya dan meninggal."

"Ah, benar, Bintang dan Langit sangat sedih saat burung itu meninggal," ucap Bintang. 

"Kami merasa ditinggal seorang teman," tambah Langit. "Tapi, Kakek-Papai, apa kaitannya dengan eyang Arga?"

"Eyang Arga seperti burung itu." Jawaban Saga membuat Bintang dan Langit terkejut, lembutnya hati mereka, mata Bintang dan Langit langsung berkaca-kaca. 

"Eyang Arga sudah meninggal?" tanya Langit serak. 

Saga mengangguk, ia mengusap air mata Langit yang menetes di pipi gembul anak itu.

"Itu berarti kakek-papai enggak punya ayah lagi? Kakek-papai kasihan sekali." Bintang memeluk Saga erat, ia ikut menumpahkan tangisannya, Bintang bukan anak yang mudah menangis, berbeda dengan kembarannya. Namun, ada hal-hal tertentu yang membuat Bintang tidak dapat membendung tangisnya, misal kepergian seseorang ke alam lain. 

"Kakek-Papai bisa menganggap daddy sebagai ayah, daddy sangat penyayang dan baik hati," sambung Langit ikut menangis bersama Bintang, ia merasa sesak di dada, tidak bisa membayangkan sesedih apa kakeknya ditinggal orang tersayang. 

Fira ikut terharu melihat kedua cucunya menangis, ia mengusap air matanya, bergabung memeluk Saga erat.

"Tuhan jahat, ambil eyang Arga dari Kakek-Papai," marah Bintang sesenggukan. 

"Hei, nggak baik berbicara seperti itu, cucu Nenek." Fira menasehati. "Di dunia ini pasti ada manusia yang lahir, dan ada manusia yang meninggal. Datang dan pergi adalah hal yang mutlak yang akan dirasakan oleh setiap orang. Enggak bisa dicegah, dan enggak boleh menyalahkan Tuhan."

"Tuhanlah yang menciptakan dunia ini, termasuk menciptakan manusia seperti kita. Tuhan berhak mengambil apa pun yang Dia ciptakan jika Dia berkehendak."

"Itulah yang disebut dengan takdir. Semuanya ada di dalam genggaman Tuhan."

Tangisan Bintang dan Langit semakin menyedihkan mendengar kalimat nenek mereka. Rasa takut menyelimuti hati si kembar. 

"Kakek dan Nenek enggak akan pergi meninggalkan Langit dan Bintang, kan?" tanya Langit, air matanya bercucuran begitu deras. 

Fira tersenyum, mengecup dahi Langit penuh kehangatan. "Do'akan kakek dan nenek agar berumur panjang ya, supaya bisa menemani Bintang dan Langit sampai kalian menemukan kebahagiaan masing-masing."

"Tugas kakek dan nenek di dunia ini belum selesai, sayang. Kakek dan nenek harus selalu menjaga cucu-cucu kami dari segala bahaya."

"Bintang enggak mau ditinggal kakek dan nenek, nanti kalau mommy marah, kami mau mengadu ke siapa?!" jerit Bintang histeris.

"Benar! Mommy garang sekali seperti musang!" Langit menambahkan. "Jangan meninggal ya kakek-papai, nenek-mamai, lindungi kami dari serangan musang."

Suasana yang mengharukan sekaligus menggemaskan yang Bintang dan Langit ciptakan membuat Saga dan Fira tak kuasa mengumbar senyuman, rasa sedih mereka teralihkan sesaat. 

Saga mencium Bintang, Langit, kemudian Fira. "Jangan mengatai mommy kalian seperti itu. Tanpa mommy kalian enggak akan lahir di dunia ini, mommy melahirkan kalian bertaruh nyawa, Bintang dan Langit harus hormat dan sayang pada mommy. Paham?"

"Paham Kakek-Papai, Bintang dan Langit akan selalu menyayangi mommy dan daddy, meski mommy seperti musang," celetuk Bintang, bandel. 

"Harus sopan sama mommy." Fira memperingati. 

Bintang dan Langit mengangguk, mereka kompak mencium kakek dan neneknya setelah itu memeluk keduanya erat, mencari kenyamanan dikedua tangan Saga dan Fira.

Pintu ruangan Saga terbuka, Pangeran datang untuk menjemput anak-anaknya makan siang bersama di dapur bersih. Melihat Bintang dan Langit berada dipelukan kedua orang tuanya, Pangeran penasaran apa yang sedang terjadi, tidak biasanya Bintang dan Langit anteng di satu tempat. 

"Bintang, Langit," panggil Pangeran. "Kenapa nih? Tumben pelukan. Ikut dong."

"Daddy!" Bintang turun dari pangkuan Saga, ia mengambil buku album kakeknya. Ia tunjukkan buku itu pada Pangeran. "Daddy lihat, di sini ada foto eyang Arga. Tapi, eyang Arga sudah meninggal. Kasihan kakek-papai enggak punya ayah lagi."

Pangeran menerima buku itu, ia duduk di sofa single dan mulai membuka satu persatu buku album. Senyuman tipis terbit di bibir merahnya. "Eyang Arga memang sudah meninggal karena sakit."

Bintang dan Langit saling pandang. "Sakit apa, Daddy?" tanya Langit. 

"Eyang Arga punya sakit tekanan darah tinggi," jawab Pangeran menutup buku tersebut. "Enggak papa kakek-papai sudah nggak punya ayah, yang penting kakek-papai punya Bintang, Langit, daddy, mommy, dan keluarga besar."

"Kita temani kakek-papai dan nenek-mamai ya, jangan biarkan kakek-papai dan nenek-mamai kesepian."

"Baik, Daddy!" Bintang mengangguk patuh. 

"Kalau ayah nenek-mamai masih hidup?" Langit bertanya. 

Fira tersenyum, ia mengangguk pelan. 

"Ibu nenek-mamai?" 

"Masih tapi ...," Jawaban Fira mengambang. 

"Eyang Vely mengalami demensia." Pangeran yang menjawab dengan hati-hati.

"Demensia itu apa, Daddy?" Langit dan Bintang bingung. 

"Demensia itu penyakit yang membuat seseorang mengalami penurunan daya ingat serta kemampuan berpikir. Biasanya dialami oleh orang-orang yang sudah lanjut usia seperti eyang Vely dan eyang Raldi," papar Pangeran. "Eyang Vely sudah kesulitan untuk mengingat orang-orang terdekatnya."

"Hah? Kasihan sekali eyang Vely, pasti eyang Vely enggak mengingat nenek-mamai," ujar Bintang kembali bersedih. 

"Nggak papa, nanti kalau ketemu, nenek-mamai akan bantu mengingatkan eyang Vely." Fira membalas.

"Eyang Vely dan eyang Raldi tinggal di mana?"

"Desa Matilda. Mereka sepakat menghabiskan masa tua di sana."

"Jauh sekali."

Pangeran menghabiskan waktu sejenak untuk bercerita kepada anak-anaknya, memperkenalkan satu persatu anggota keluarga Mattias  kepada Bintang dan Langit agar mereka mengenal para tetua. Setelahnya, Pangeran mengajak Bintang dan Langit untuk makan.

Saga masih ada banyak urusan, dan Fira akan selalu menemani. 

────୨ৎ────

Zeus celingukan mencari seseorang di taman. Ia memandang puas orang-orang yang sedang membuat jalur beratap sesuai pesanannya. Ayunan untuk Athena pun akan segera dipasang di bawah pohon dekat sungai. 

"Nina, jangan lari! Kalung kamu lepas!"

Telinga Zeus bergerak mendengar suara Athena berteriak, sepertinya Athena sedang mengejar Nina, kucing pamannya. Zeus berlari kecil mencari asal suara Athena, begitu menemukannya, Zeus memanggil gadis kecil itu.

"Athena!"

Athena berhasil menangkap Nina, ia menoleh ke sumber suara saat merasa namanya dipanggil oleh Zeus. Senyum Athena mengembang melihat Zeus berdiri dikejauhan, ia menggendong Nina berjalan mendekati Zeus. 

"Hai, Zeus!" Athena menyapa. "Kapan kamu datang?"

"Baru saja." Zeus menjawab, ia mengelus kepala Nina. "Kalungnya lepas lagi?"

"Benar." Athena mengangguk-anggukkan kepala. "Kalung Nina memang suka lepas ya? Aku pikir ini pertama kalinya."

"Tidak. Nina memang sering menghilangkan kalung. Kucing nakal." Zeus membantu Athena memasang kalung di leher Nina, Nevis akan panik jika Nina hilang diambil orang karena tak memiliki kalung. 

Athena tertawa geli, setelah kalung Nina berhasil dipasang, Athena melepaskan Nina agar kucing itu berkeliaran bebas disekitar taman. 

"Ayo, makan," ajak Zeus. 

"Makan? Makan di mana?" tanya Athena. 

“Di dalam.”

Athena tersenyum kikuk. "Zeus, apakah boleh aku bergabung bersamamu seperti waktu itu?"

"Kenapa tidak boleh?" Zeus heran. 

"Entahlah, aku merasa ... tidak pantas berada di sana. Paman adalah seorang tukang kebun di sini, aku juga bagian dari keluarganya sekarang," kata Athena. 

Zeus membuang napas, ia mengambil tangan Athena, menggandengnya erat. "Ayo. Jangan memikirkan hal itu."

Athena menurut, mereka berjalan beriringan memasuki gedung Den Coral Palace. 

"Hari ini kamu nggak ada cerita apa-apa. Apakah harimu berjalan lancar? Biasanya kamu akan bercerita lewat telepati," ujar Zeus. 

"Ah, itu ...," Athena terdiam sejenak. "Sebenarnya ada yang ingin aku ceritakan, tapi aku takut ini akan mengganggumu."

"Kamu selalu bercerita sebelumnya tanpa berpikir apakah itu akan menggangguku atau nggak, kenapa sekarang baru memikirkan itu?"

Athena terkesiap, ia kesulitan membalas ucapan Zeus. "Zeus, kamu marah ya?"

Zeus menggeleng. 

"Kamu pasti marah." Athena menduga. "Maafkan aku, Zeus."

Zeus kembali menghela napas, ia berhenti melangkah. "Harimu berjalan lancar?"

"Tidak juga," kata Athena. "Tadi, aku melihat dua ular di taman."

"Ular?" Zeus terkejut. "Ular apa? Besar? Aku akan minta tolong ayah untuk mengusir ularnya."

"Zeus." Athena menahan Zeus. "Paman Raja sudah mengurusnya, Paman Raja yang menjemputku ke taman saat kamu belum datang."

"Benarkah?" Zeus memastikan. 

"Tanyakan saja sendiri pada Paman Raja." Athena cekikikan. 

"Nanti aku tanyakan. Cepatlah, aku lapar."

Athena berlari kecil mengikuti Zeus. 

Zeus memelankan langkah agar Athena berjalan di sampingnya dengan tenang, tidak terburu-buru. 

"Kapan kamu sekolah, Athena?"

"Entahlah."

Zeus dan Athena memasuki dapur bersih, di sana sudah ramai sepupu-sepupunya yang berkumpul di meja makan, dan juga ada Nevis yang sedang memasak di dapur. 

Paman dan Bibinya yang lain ada di sofa kecil untuk mengobrol. 

"Hai, Athena!" Bintang, Langit, Kai menyapa Athena.

Athena melambaikan tangannya. "Hai, kita bertemu lagi."

Athena melirik Britney dan Sereia. "Hai, Sereia, Britney."

Britney tersenyum lebar pada Athena, membalas sapaan ramah teman barunya. "Hai, Athena. Apa kabar?"

"Kabarku sangat baik," ucap Athena.

"Kak Brinnie, dengar Eia bicara." Sereia menangkup wajah Britney agar fokus padanya. Ia satu-satunya anak yang tidak membalas sapaan Athena. 

Athena tidak keberatan, ia duduk di kursinya, dekat dengan Britney karena kursi yang dia pakai sebelumnya telah ditempati oleh Kai. Di samping Athena ada Zeus. 

"Kalian tau? Kita punya kakek dan nenek banyak ternyata dari keluarga nenek-mamai dan kakek-papai," celetuk Langit. 

"Hah? Siapa saja?" tanya Kai. 

"Eyang Raldi, eyang Arga, eyang Vely, eyang Melinda, eyang Vidya." Langit menyebutkan satu persatu eyang-eyang buyutnya. 

"Wah, banyaknya!" Kai kagum. "Tapi, kenapa kita nggak pernah bertemu mereka ya?"

"Kalian memang enggak pernah bertemu mereka, tapi mereka pernah bertemu dan menggendong kalian waktu kalian masih bayi," sambar Ratu.

"Benar kata mommy, daddy pun tadi juga bilang seperti itu. Eyang Arga dan eyang Vidya sudah meninggal, sedangkan eyang Vely mengalami ... dilecia eh delecius eh ... apa ya?"

"Demensia." Ratu meralat ucapan Bintang. 

Bintang menggebrak meja. "NAH! DEMENSIA!"

"Apa itu demensia?" tanya Sereia. 

"Penurunan daya ingat, eyang Vely sudah kesulitan mengingat kita semua!" Langit berseru. "Daddy yang bilang."

Bintang dan Langit menceritakan semua yang dia tau mengenai silsilah keluarga Mattias, informasi yang Pangeran berikan kepada anak-anak itu ternyata diserap dengan baik. Mereka menjadi penyebar informasi yang aktual dan terpecaya sekaligus memperkenalkan keluarga besarnya yang lain kepada para sepupunya. 

"Kasian ya kakek-papai dan nenek-mamai, kita harus menjaga kakek dan nenek agar hidup selamanya." Kai menyeletuk. 

"SE-TU-JU!" seru Bintang, Langit, Britney dan Serria.

"Kakek-Papai dan Nenek-Mamai harus hidup selamanya agar bisa menjaga kita dari serangan musang!" ledek Langit melirik Ratu yang melotot di sofa. 

"SIAPA MUSANG?!" Ratu bersiap mengomel. 

"Udah, udah. Makan dulu." Nevis menata hasil masakannya dibantu oleh Princess. 

"Wah, karipap!" Langit menelan ludahnya, tangannya menyomot karipap yang baru saja matang, sedikit panas, Langit meniupnya sejenak sebelum melahapnya. "Enak! Karipap Uncle-Appa mirip dengan karipap mommy."

"Sebenarnya itu karipap buatan mommy, uncle yang goreng." Nevis menyengir. "Resep karipap buatan mommy kalian susah ditiru, uncle bikin nggak seenak itu meski pakai bahan yang sama."

"Inilah keajaiban tangan mommy." Ratu meniup telapak tangannya penuh rasa bangga.

Langit menjawil bahu Bintang agar mendekat, ia berbisik, "Tangan musang."

Bintang cekikikan. 

Tiba-tiba lampu berkedip cepat, suasana berubah suram, Bintang dan Langit menoleh ke belakang melihat mata ibu mereka yang menyala seperti kilat di langit. 

Bintang dan Langit mengeluarkan cengiran takut, mereka turun dari kursi, mendekati Ratu, meraih tangan Ratu untuk dicium secara bergantian. 

"Maaf, Mommy, kami hanya bercanda," ucap Bintang dan Langit, lima puluh persen menyesal, lima puluh persen takut telinga mereka jadi sasaran tangan ajaib ibu mereka. 

BRAK!

"MAKAN!" Suara Ratu menggelegar seperti petir seraya menggebrak meja. 

"AAA!" Bintang dan Langit ketakutan, mereka kembali ke tempat duduk dan segera makan dengan tenang. 

Pangeran dan Princess mengusap dada mereka masing-masing, tempat ini hampir rubuh karena kemarahan Ratu. 

Ratu menyandarkan punggung di sofa, mengulurkan tangannya pada Pangeran untuk dikikir kembali kuku-kuku cantiknya. 

Pangeran mengecup punggung tangan Ratu, kemudian kembali melakukan tugasnya melakukan perawatan pada kuku-kuku sang istri. 

Kai menatap makanan yang ada di meja, tidak ada ayam yang digoreng, semuanya serba diberi bumbu dan dijadikan sup. Hari ini Kai ingin ayam goreng, ia tak terlalu menyukai makanan berkuah. "Appa, ayam goreng Kai mana?"

"Ayamnya Appa bikin sup, Kai harus makan sayuran biar ada serat," ujar Nevis membantu Kai menyuir ayam untuk memudahkan putranya makan. 

"Kai enggak mau makan ayam yang diberi kuah, mau yang digoreng," keluh Kai. "Ayam yang diberi kuah enggak enak."

Nevis terdiam sejenak. 

"Appa, mau enggak mau ayam yang ini." Kai berusaha membujuk ayahnya agar mengganti makanannya. 

Nevis menghela napasnya. "Ya udah, nggak usah makan!" Ia mengangkat piring Kai. "Appa buang aja makanannya."

"Appa!" Kai merengek. "Jangan dibuang!" Anak itu mulai menangis. 

"Nggak enak, kan, katanya? Nggak usah dimakan, Kai masak aja makanan yang menurut Kai enak. Sebentar, Appa ambilin bahan-bahannya." Nevis pergi ke dapur, mengambil bahan makanan mentah. 

"Appa! Enggak mau!" Kai tambah keras menangisnya. Kaki kecilnya turun dari kursi, berlari menuju ayahnya, dan memeluk kaki panjang Nevis. "Kai enggak bisa masak, Kai masih kecil, Appa. Kai takut kena api dan kena pisau."

"Appa, Kai minta maaf." Kai mengulurkan kedua tangannya pada Nevis. "Kai mau makan supnya."

Nevis berusaha meredam emosinya, ia tidak suka anak-anaknya terlalu memilih-milih makanan, apalagi jika Nevis sudah memasak, rasanya lelah, ia ingin mendengar pujian anak-anaknya mengenai masakan yang baru saja ia buat. Ucapan Kai terkadang menyentil ego Nevis, tapi sebagai ayah yang sangat menyayangi anak-anaknya, Nevis sebisa mungkin mengendalikan gejolak emosi yang meletup-letup di dadanya. 

Nevis menggendong Kai, membantu Kai menghapus air mata. "Kalau Appa sudah masak dimakan, enggak baik mengeluh di depan makanan. Bersyukur Kai masih bisa makan, di luar sana, belum tentu ada yang seperti Kai bisa makan masakan ayah dan ibunya."

"Iya, Appa. Kai minta maaf sudah menyakiti hati Appa." Kai memeluk leher Nevis.

Nevis mengangguk, mencium pipi Kai dan kembali menaruh Kai di kursi makan. Ia lanjut membantu Kai menyuir ayam. 

"Athena, makan yang banyak ya," ucap Nevis pada Athena.

Athena tersenyum. "Terima kasih, Paman."

"Oh iya." Nevis berlari ke dapur, mengambil dua rantang makanan. "Athena, nanti tolong beri makanan ini ke Paman Gen dan Paman Zen ya."

"Baik, Paman, terima kasih banyak sekali lagi." Athena senang menatap rantang makanan itu yang diperuntukan untuk Zen. Ia tidak sabar mengantar makanan-makanan itu pada Zen dan Gen di taman belakang. 

Melihat teman-teman barunya begitu diperhatikan oleh orang tua mereka masing-masing, Athena semakin merindukan orang tuanya. Athena berharap suatu hari nanti ibu atau ayahnya datang ke bumi untuk menjenguknya, meski kemungkinan itu sangat kecil terjadi. 

"Kenapa?"

Athena tersentak mendengar suara Zeus melalui telepati. Ia menoleh sekilas pada Zeus lalu melanjutkan makan. "Tidak apa-apa, aku hanya merindukan ibu dan ayahku. Pasti sangat menyenangkan jika aku diperhatikan oleh mereka juga."

Zeus termenung selama bermenit-menit. "Makanlah, setelah itu kita pergi bermain di taman belakang.

────୨ৎ────

"Paman!"

Zen mengalihkan pandangannya pada Athena yang datang bersama Zeus, ia sedang beristirahat bersama Gen setelah membersihkan kebun. Zen menggunakan topinya untuk mengipasi tubuhnya yang berkeringat.

Athena dan Zeus meletakkan rantang makanan di rerumputan. "Paman, makanlah bersama Paman Gen, semua masakan ini dimasak oleh Paman Nevis."

"Benarkah?" Zen membuka satu persatu rantang makanan, kebetulan perutnya sedang lapar. Aroma masakan yang harum membuat gemuruh di perutnya datang.

"Tuan Zeus, ayunannya sudah selesai dipasang, atapnya juga sebentar lagi jadi." Gen berkata.

Zeus mengangguk, ia sudah melihat sendiri progressnya. "Ayo, Athena."

"Paman, aku main dengan Zeus ya." Athena melambaikan tangan.

Zen mengangguk, ia dan Gen memilih untuk mengisi perut sebelum melanjutkan pekerjaan.

Athena menatap kagum ayunan yang terpasang di bawah pohon, ia duduk di sana, mengayunkan ayunan itu menggunakan kedua kakinya. "Zeus, ini menyenangkan sekali."

Zeus berdiri bersandar di pohon. "Bermainlah, aku di sini."

"Kamu nggak mau bermain ayunan?" tanya Athena.

"Tidak." Zeus menjawab singkat.

Athena memejamkan mata menikmati semilir angin yang menabrak wajahnya, ayunan yang ia naiki terus bergerak, membuat Athena merasa sedang terbang menggunakan sayap. Athena sangat ingin merasakan rasanya terbang, seperti bangsa phoenix lainnya. Athena pernah melihat ibunya berubah menjadi seekor burung besar yang tampak cantik, memiliki sayap yang lebar, serta bulu-bulu putih yang indah.

Jika diberi kesempatan, Athena ingin merasakannya, berubah wujud menjadi seekor burung seperti ibunya.

"Zeus, aku pernah melihat ibu berubah menjadi burung phoenix." Athena bercerita.

"Lalu?" Zeus menanggapi.

Athena menghentikan laju ayunannya, ia memutar tubuh menghadap Zeus. "Aku ingin merasakan bagaimana rasanya berubah menjadi burung phoenix, memiliki sayap besar, dan terbang ke angkasa."

"Begitu ya..," gumam Zeus. "Apa kelebihan bangsa phoenix?"

"Mereka hidup kekal dengan terus bereinkarnasi setelah membakar dirinya sendiri." Athena menjawab.

"Membakar dirinya sendiri?" Zeus menyipitkan mata.

Athena mengangguk. "Ya, kata ibu, bangsa phoenix akan membakar dirinya sendiri untuk menghapus dosa masa lalu dan memulai kehidupan baru setelah proses regenerasi melalui pembakaran itu."

"Mereka akan menjadi abu, dan akan hidup kembali dalam bentuk yang lebih muda dan kuat, sehingga mereka bisa memulai kehidupan baru yang lebih baik."

"Apa itu berarti mereka enggak bisa mengingat dosa di masa lalu mereka setelah mereka hidup kembali?" tanya Zeus penasaran, ia tertarik dengan kisah bangsa phoenix.

"Tergantung dosa yang pernah mereka lakukan, jika dosa itu terbilang sangat berat dan mereka melakukannya dengan sengaja, mereka akan tetap mengingatnya untuk dijadikan pelajaran dalam pertumbuhan dan perbaikan diri."

"Tapi, jika dosa itu dilakukan tanpa ada unsur kesengajaan, maka dewa akan menghapus ingatan mereka secara keseluruhan agar mereka bisa hidup dengan tenang dikehidupan selanjunya." Jawaban Athena membuat Zeus tercengang, Athena memilah kalimat yang sangat baik, yang mana ia mengingat jelas kalimat itu dari ibunya.

"Aku penasaran."

Zeus menggulirkan tatapannya pada Athena, menyimak Athena yang masih betah bercerita.

"Bagaimana ya kehidupan bangsa pheonix di sana?" Athena memandang langit biru di atas. "Apakah kehidupan mereka aman damai?"

Zeus menggidikkan bahunya. "Hiduplah di sini, untuk apa menebak-nebak kehidupan bangsa yang telah membuangmu? Mau mereka hidup bahagia atau sengsara, itu semua bukan urusan kamu, Athena."

"Di bumi, hiduplah dengan nyaman ..." Zeus menjeda. "Bersamaku."

Athena tersenyum. "Kamu benar, setidaknya di sini aku memiliki teman sepertimu, Bintang, Langit, Kai, Sereia, dan Britney."

"Aku juga memiliki Paman Zen yang sangat menyayangiku."

Zeus mengumbar senyuman segaris, ia menegakkan tubuh. "Mainlah lagi, aku bantu dorong ayunan kamu."

────୨ৎ────

"Jagoaaaaan, ayah kesepian!"

Reiyyan teriak-teriak memanggil Zeus, ia sedang rebahan di depan TV, memindah chanel dengan raut wajah bosan.

Mimi terkekeh, ia mengusap rambut lebat Reiyyan. Suaminya sedang bermanja tiduran di pangkuannya. "Zeus lagi ngerjain PR, sebentar lagi juga turun nyari kamu."

Reiyyan menghela napas, ia memiringkan tubuhnya, menempelkan wajahnya di perut Mimi, mendusel manja. "Mika, hamil lagi dong."

"Nggak mau," tolak Mimi.

"Aku hamilin kamu." Celetukan Reiyyan mengundang gelak tawa Mimi.

"Rei, aku nggak mau," rengek Mimi. "Zeus aja cukup."

Reiyyan cemberut. Dengan jahil, Reiyyan menelusupkan tangannya di balik piyama Mimi, meremas sesuatu yang membuat Mimi menahan pekikan.

"Rei!" Mimi menabok lengan besar suaminya.

Reiyyan tertawa kesenangan. "Mikaw, mau nen."

"Reiyyan, astaga!" Mimi membekap mulut Reiyyan dengan telapak tangan kecilnya.

"Kamu pulen banget." Reiyyan nekat berbicara meski mulutnya ditutup oleh tangan sang istri.

Mimi bersemu, Reiyyan memang seperti itu, kebiasaannya dari dulu hingga sekarang tidak pernah berubah, selalu mesum dan menggodanya. Terbesit di pikiran Mimi ingin membalas godaan Reiyyan.

Tangan Mimi merayap masuk ke kaus singlet Reiyyan, mengelus perut padat dan keras suaminya.

"Nggak gini caranya ya Mikaela Yamada-Mattias!" Reiyyan mengomel. "Kamu aku goda, jerit-jerit, sekarang malah balik godain. Aku bawa kamu ke kamar baru tau rasa."

Mimi tertawa. "Abisnya kamu, aku bales malah pengen bales yang lebih-lebih."

Reiyyan menunjukkan cengiran lebarnya.

"Ayah!" Zeus berlari menuruni tangga mencari keberadaan ayahnya.

"Ayah di sini!" Reiyyan bangun dari rebahannya, ia melambaikan tangan pada Zeus. "Sini jagoan, ayah kesepian!"

Zeus berlari senang menuju ayahnya, ia langsung melompat ke pangkuan Reiyyan, memeluk tubuh Reiyyan yang hangat. "Ayah, nanti Zeus bobo sama Ayah lagi ya."

"Oke, Jagoannya ayah." Reiyyan mencium gemas pipi Zeus.

Mimi ikut mencium Zeus. "Mama boleh gabung?"

"Boleh!" Zeus mengangguk. "Ayah, katanya di taman ada ular, itu benar ya?"

"Pasti kata Athena," tebak Reiyyan diangguki Zeus. "Athena bilang sempat lihat ular, di atas gazebo dan di tempat sampah. Tapi, setelah ayah suruh orang buat cari ularnya, mereka enggak bisa menermukan ular itu."

"Mungkin ular itu udah masuk ke hutan lagi," ujar Mimi. "Ular nyasar."

"Nggak papa, setelah ini nggak akan ada ular lagi."

"Kapan Athena bisa sekolah di sekolahan Zeus?" tanya Zeus.

"Lusa. Dokumen Athena sudah hampir siap," kata Reiyyan. "Nanti Athena ditemenin ya."

"Okey, Ayah!"

"Mama, kapan-kapan Athena Zeus ajak main ke sini boleh?" Zeus menatap ibunya.

"Boleh, sayang," tanggap Mimi.

────୨ৎ────

"Kenapa waktu Athena pamit pulang sama Sereia, Sereia enggak menjawab? Sereia malah mengajak kak Brinnie berbicara terus?"

Sereia menunduk memainkan rambut boneka barbie miliknya, ia tidak memiliki jawaban— lebih tepatnya tidak mau menjawab pertanyaan ayahnya.

"Kalau Appa tanya dijawab, Sereia," tegas Nevis mengambil boneka barbie Sereia.

"Eia enggak dengar Athena bicara, Appa," cicit Sereia. "Suara Athena pelan."

"Bukan karena Eia nggak suka sama Athena?" tanya Nevis curiga.

Sereia menggeleng pelan tanpa menjawab sepatah kata pun.

Nevis membuang napas pelan, ia berlutut di depan putrinya, menatap Sereia yang terlihat menghindari kontak mata. "Kamu mau bohongin Appa?"

"Appa tau Eia nggak nyaman kalau Athena bicara sama kak Brinnie. Setiap kali Athena mau bicara sama kak Brinnie, Eia suka menyela, suara Eia tiba-tiba besar padahal kak Brinnie ada di dekat Eia. Kenapa harus seperti itu?"

"Berteman yang baik, Sereia, jangan memusuhi orang yang punya salah sama Eia."

Sereia menghapus air mata yang meleleh di pipinya. Ia merapatkan bibir agar isak tangisnya tak keluar.

Princess mendekati Nevis. "Nevis, udahlah, pelan-pelan ngomongnya."

"Kamu nggak usah belain anak-anak kalau posisinya mereka salah, Princess. Sikap Sereia hari ini, aku perhatiin terus selama di Den Coral Palace," sahut Nevis. "Kamu juga lihat sendiri gimana sikapnya ke Athena, kan? Apa itu bisa dibenerin?"

"Iya, aku tau Sereia salah, aku bakal nasehatin Sereia supaya enggak gitu lagi," kata Princess.

"Nggak bisa gitu, kamu terlalu lembut sama anak-anak. Kali ini biar aku yang bertindak." Nevis kembali menatap Sereia. "Besok Sereia enggak usah sekolah, di rumah aja, enggak usah kemana-mana apalagi ketemu kak Brinnie!"

Nevis menarik Princess keluar kamar Sereia, lalu menutup pintu kamar putrinya.

"Appa!" Sereia berlari ke arah pintu, ia mulai menangis. "Appa, Eia mau bertemu kak Brinnie! Eia mau sekolah!"

"Appa, Eia minta maaf!" Sereia mengetuk-ngetuk pintu disela tangisannya. Ia berusaha membuka pintu tapi sepertinya Nevis mengunci pintu dari luar. Tangisan Sereia makin kencang. "APPA! APPA BUKA! AMMA!"

Di luar kamar Sereia, Kai juga menangis memohon pada ayahnya agar adiknya tidak dikunci di kamar.

"Appa, maafkan Eia. Kai, kan, abang, Kai akan jaga Eia supaya enggak bersikap buruk ke Athena lagi. Kai mohon, Appa." Kai memeluk kaki Nevis. "Kai harus memohon seperti apa agar Appa nggak mengunci Eia di kamar?"

"Nevis!" Princess jadi ikut menangis. "Mana kunci kamar Eia! Kasihan Eia sama Kai!"

"Ini hukuman buat Sereia, Princess," kata Nevis.

"Amma!" Kai menarik ujung dress piyama ibunya. "Amma tolong buka pintu kamar Eia, Eia pasti ketakutan. Amma tolong bujuk Appa."

Kai berlari ke pintu kamar Sereia. Ia memelankan tangisannya. "Eia, tenang ya, abang sedang berusaha suruh Appa buka pintunya. Eia di sana jangan sedih, abang di sini."

"Abang!" Sereia menjerit, ia menangis sampai berkeringat. "Temenin Eia, Abang."

Kai semakin tidak tega mendengar adiknya berteriak. "APPA, BUKA PINTU KAMAR EIA!" pekik Kai sangat-sangat kencang, wajahnya berkeringat dan memerah.

Teriakannya tak digubris oleh sang ayah, Kai berlari menuruni tangga, lalu membuka pintu utama.

"Kakek-Papai!"

"Kai, astaga!" Nevis frustasi, ia pergi menyusul Kai yang sibuk teriak-teriak memanggil kakeknya.

Tak lama Saga keluar rumah dengan raut cemas. "Kenapa, Kai?" Ia berlari melompati gerbang rumah Nevis, kekhawatirannya tak bisa dibendung lagi melihat cucunya menangis kencang.

"Appa kunciin Eia di kamar." Kai mengadu.

"Loh, kenapa?" Saga berlari masuk ke rumah Nevis, disusul Kai di belakang.

"Papai...,"

Saga tak merespon Nevis, ia melangkah cepat menuju kamar Sereia, berusaha membuka pintu kamar cucu perempuannya yang terkunci. Tak ada cara lain selain menghancurkan engsel pintu kamar Sereia.

"Kakek-Papai ..," Sereia berhamburan ke pelukan Saga.

Saga menggendong Sereia, mendekap cucunya erat agar anak itu tidak ketakutan lagi.

"Apa-apaan ngunciin anak di kamar? Gila ya kalian!" Saga tampak sangat marah pada Princess dan Nevis yang baru saja datang. "Kalau Sereia kenapa-napa gimana di dalam kamar? Mikir! Di kamar ada stop kontak, bisa konslet sewaktu-waktu, kamar Sereia juga ada jendela, kalau Sereia lompat dari jendela gimana?"

"Nevis cuma mau kasih hukuman ke Sereia, supaya Sereia jera, hari ini sikap Sereia ke Athena keterlaluan, Papai," ucap Nevis.

"Nggak gini cara kasih hukuman!" sentak Saga. "Kunciin anak di kamar itu berbahaya, Nevis. Senakal-nakalnya Pangeran dan Raja waktu masih kecil, nggak pernah sekali pun Papai kurung mereka di kamar."

"Papai malah nggak izinin kamar mereka dikunci karena takut ada apa-apa sama mereka. Hukuman bisa yang lain, yang lebih mendidik, suruh Eia cuci piring ditemenin Athena dan lainnya."

"Papai menghargai parenting kamu dan Princess, tapi kalau udah membahayakan cucu-cucu papai, terpaksa papai harus ambil tindakan, meski kalian enggak suka sekali pun!" marah Saga.

Baik Nevis mau pun Princess tak ada yang menjawab, mereka paham kesalahan mereka, apa yang Saga bilang ada benarnya. Mengunci anak di kamar malah akan menimbulkan bahaya serta trauma, efeknya anak jadi lebih penakut dan mungkin akan bertindak gegabah demi membebaskan diri dari rasa takut, misal melompat dari jendela dan yang lainnya.

Saga merendahkan tubuh, ia juga menggendong Kai, lalu membawanya pergi. "Malam ini Kai sama Eia biar tidur sama papai. Renungkan kesalahan kalian!"

────୨ৎ────

GIMANA PART INI?

Jangan lupa komen yang banyak ya!

Like cerita ini juga, makasih

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Academy
Selanjutnya DG | Senada dan Om Mafia | Bagian 22 : Tantangan yang menarik
74
60
“Ini adalah tantangan yang begitu menarik.”— Arzenro Gananta —
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan