
Semangat Ares berulang kali dipatahkan oleh orang lain. Namun, berulang kali juga ia berhasil bangkit kembali dari dalamnya jurang putus asa. Karena asa itu selalu ia genggam sekuat tenaga, sekuat ia mempertahankan degupan lemah yang bernaung di dadanya.
Chapter 1
Jalanan malam nan sepi itu menemani kesendirian Ares selepas les. Ia sudah meminta omnya untuk menjemput, tetapi lelaki 30 tahun itu tak kunjung datang. Ares hampir menjadi es akibat udara dingin di sini. Namun, tak juga terlihat batang hidung omnya tersebut. Ares akan menggorok kepala Genta jika lupa. Ia bahkan sampai rela menunggu di pinggir jalan karena tak mau merepotkan Genta kalau harus masuk ke dalam. Ia mendecak keras.
Dari kejauhan ada suara mobil yang mendekat. Ares langsung antusias, segera saja ia merapat ke jalan untuk memastikan mobil milik siapa yang datang. Mobil itu berhenti tepat di hadapan Ares. Tidak, itu bukan mobil Genta. Ares mundur secara perlahan. Seingatnya Genta juga tidak pernah membawa mobil Alphard saat menjemput. Perasaan pemuda itu mendadak tak enak.
Secepat kilat, Ares berbalik. Hendak berlari. Namun, suara tegas yang amat Ares kenali itu terdengar.
"Arestya!"
Dengan terpaksa langkah itu terhenti. Jemari panjangnya saling bertaut, diiringi kepala si taruna yang menunduk takut. Sosok tinggi tegap berjas rapi itu keluar dari mobil. Kemudian menarik lengan Ares agar masuk ke mobil. Tarikannya tak terlalu kencang, tetapi mampu membuat Ares tersentak kaget. Ia langsung merapal berbagai doa dalam hati.
Ares terus menunduk. Sama sekali tak berani menatap pria yang berstatus sebagai ayah kandungnya.
"Kemarin Ayah sudah bilang, jangan les segala macem. Sekarang ini maksudnya apa? Kamu mau membangkang sama Ayah?"
Gelengan tegas terlontar dari Ares. Perlahan, ia kembali mengangkat kepala. Lantas menoleh ke sang ayah dengan tatapan lekat. "Aku cuma mau belajar biar bisa lulus seleksi olimpiade, Yah. Dan aku bayar les bukan dengan mencuri uang Ayah atau uang orang lain. Nggak bisa Ayah biarin aku sekali ini aja?"
Pemuda 16 tahun itu tampak kesal. Bulan lalu sang ayah menolak mentah-mentah saat Ares mengutarakan keinginannya untuk les tambahan agar bisa lolos seleksi. Adrian tampak sangat tak suka dengan semangat membara yang Ares punya hingga membunuh mimpi Ares, bahkan sebelum ia mencoba untuk mewujudkan.
Tangan Ares terkepal. Kebungkaman dari sang ayah adalah tanda kalau pria itu tak punya argumen untuk mendebatnya.
"Yah, kalau aku lolos dan menang, 'kan nanti Ayah juga yang bangga. Kenapa Ayah malah seolah-olah menghalangi aku begini?" ujar Ares tak habis pikir.
Adrian menghela napas sejenak. Kemudian mengurut pangkal hidungnya pelan. "Fagan bilang dia bisa memenangkan olimpiade kali ini. Ayah nggak mau kalian berdua ikut dan malah jadi saingan. Lebih baik salah satu dari kalian mengalah."
Jawaban dari Adrian barusan menjadi tamparan keras bagi Ares. Fagan, cowok yang seumuran dengannya itu ternyata adalah dalang di balik semua ini. Ares makin tak habis pikir. Sungguh, keluarganya benar-benar dimanipulasi oleh paras kalem milik cowok itu. Bahkan sang ayah pun sampai berani berbuat sejauh ini.
Bohong kalau saat ini Ares bilang dirinya tak sakit hati dan kecewa. Ares sudah banyak bersabar sejak kedatangan ibu dan saudara tirinya tersebut. Ia muak. Sangat muak.
"Tahun lalu aku sudah mengalah, Yah. Dia itu nggak pintar. Buktinya tahun lalu dia kalah. Padahal seharusnya kalau aku yang maju, aku bisa menang. Tapi apa? Aku mundur bahkan sebelum sempat berperang. Dan sekarang Ayah meminta aku untuk mengulangi kesalahan bodoh itu lagi? Nggak. Aku nggak mau. Nggak akan!"
"Jangan bicara sembarangan. Dia bisa diandalkan. Ayah juga sudah terlanjur berjanji dengan dia," kata Adrian.
Ares kehabisan kata. Ia membuang pandang ke luar seraya memejam erat. Menikmati sesaknya kesal yang menyusup jauh ke dalam relung hati. Memporak-poranda segala yang ada di sana sampai tak bersisa.
"Batalkan! Dia bukan orang penting yang harus Ayah jaga janjinya." Ares mengerahkan segala nyali yang ia punya. Semenjak Adrian naik ke kursi legislatif, pria itu jarang punya waktu untuk sekedar diajak berbicara.
"Dia penting, Ares."
Bibir taruna tersebut sedikit terangkat. Sebuah senyum miris timbul. "Iya, buat Ayah. Tapi nggak buat aku! Dia cuma parasit buat aku, Yah!"
"Arestya, jaga omongan kamu!" sentak Adrian. Hingga bahu sempit itu sampai berjengit kaget.
Mata Ares terpejam kuat. Lantas meremat celana abu-abu yang masih melekat padanya. Dua tahun ternyata lebih dari cukup bagi pemuda bermuka dua itu untuk membuat Adrian tunduk. Ares sampai bingung apakah ia di sini masih dianggap sebagai anak atau tidak. Ketidakadilan yang kerap kali terjadi benar-benar menunjukkan kalau Ares memang tak terlalu berarti di mata Adrian.
Ares hanyalah remaja 13 tahun saat Adrian memilih berpisah dengan Evelyn--bundanya. Lalu beberapa bulan kemudian datang seorang wanita yang mengaku akan menjadi ibu baru untuk Ares serta kedua kakak kembar cowok itu. Namanya Vanya, wanita yang turut membawa Fagan masuk ke dalam kehidupan Ares.
Frustasi, itu yang Ares rasakan sekarang. Keluarga adalah orang-orang yang seharusnya mendukung mimpi Ares. Namun, mereka malah memukul Ares mundur dari mimpi tersebut. Dan yang menjadi penyebab utama yaitu sosok saudara tiri yang sungguh Ares benci. Sejak mereka masuk ke dalam rumah, ia tak pernah menganggap mereka lebih dari orang asing. Ares punya alasan kuat untuk rasa bencinya itu.
"Kamu bayar les pakai uang siapa? Ayah sudah larang kamu bertemu dengan Evelyn. Jangan sampai kamu berani melawan perintah Ayah yang itu juga." Adrian kembali buka suara. Menyadarkan Ares dari lamunannya.
Jujur saja, Ares sudah malas berbicara dengan Adrian. Tepatnya malas bicara pada orang yang sudah buta akan kasih sayang. Tak ada gunanya juga terus-terusan ngotot. Buang tenaga saja yang ada. "Enggak. Aku minta uang sama Om Genta."
"Mulai besok, berhenti les. Ayah nggak akan izinkan kamu kemana-mana."
"Iya, terserah. Aku nggak akan kaget kalau suatu saat nanti aku bernapas aja gak boleh."
Dalam. Dan tepat menusuk ke hati Adrian.
***
Terik matahari begitu menyengat di Senin ini. Tak cukup dijemur saat upacara, kelas XI MIPA 1 harus kembali bermesraan dengan teriknya sang surya di tengah lapangan. Sehabis jam pertama mereka harus keluar untuk pelajaran Penjaskes. Kebetulan materi kali ini mereka bermain futsal di lapangan outdoor. Siswi-siswi yang dasarnya lenjeh sudah melipir sejak pelajaran dimulai, dengan berbagai macam alasan yang jelas mengada-ngada.
Ares memang tidak terlalu pandai bermain futsal karena menyedot banyak tenaga, tetapi ia masih bisa main sedikit-sedikit. Teman-temannya bilang cukup berbakat hanya kurang diasah saja. Well, hal itu terbukti. Kini cowok itu tersenyum puas saat berhasil menge-gol-kan bola ke gawang lawan. Pemuda kurus tersebut segera menghambur high-five ke seluruh anggota tim.
"Good job, bro!" seru Rayn sambil berlari menjauh. Dan dibalas senyum penuh kebanggan dari Ares.
Babak pertama selesai. Tim Ares unggul 2-1. Lalu di tim lawan ada pergantian pemain. Mata Ares langsung menyipit, lantas terkekeh. Di seberang sana sosok jangkung Fagan mulai berjalan sok ganteng memasuki lapangan. Lucu sekali. Fagan memang sangat senang tebar pesona, padahal ia sama lenjeh-nya dengan anak gadis.
Permainan kembali di mulai. Dari gerakan pertamanya saja terlihat kalau Fagan bermain untuk sekedar bergaya. Ia sama sekali tak punya skill. Seringai di wajah Ares muncul. Ia harus beri Fagan sedikit pelajaran agar anak manja itu tak macam-macam.
Duk!
Ares meringis. Ia tak menyangka bola yang ia tendang akan mengenai wajah Fagan begitu keras. Satu lapangan langsung riuh. Tubuh jangkung milik cowok itu bersimpul di tanah sambil memegang wajahnya yang merah padam.
"Gan, lo oke?" tanya salah seorang dari timnya.
"Ih, dia mimisan!" pekik yang lain.
"Bawa ke UKS!" Pak Andreas memerintah. Guru Penjaskes itu tampak panik karena anak murid kesayangan guru-guru SMA mereka terluka di saat jam pelajarannya.
Mereka lantas membawa Fagan ke UKS setelah diperintah oleh Pak Andreas. Pak Andreas juga ikut bersama mereka untuk jaga-jaga bila terjadi sesuatu. Gadis-gadis di pinggir lapangan bersorak khawatir. Beberapa dari mereka bahkan mengikuti Fagan ke UKS. Ares makin muak saja dengan Fagan.
"Res, lo sengaja, ya?" tuduh Rengga. Orang yang tadi menanyai Fagan. Ia menatap Ares tajam.
"Enggak. Ngapain gue sengaja?" balas Ares santai.
Rengga kemudian mendorong bahu kurus Ares. Tampak marah karena ia melihat sendiri kalau Ares sengaja mengarahkan bola itu pada Fagan. "Lo kalo main yang sehat, dong!"
"Oh, okay. Sorry. Gue emang sengaja. Tapi gue nggak tau kalo bakal sampe kena Fagan keras banget."
Bugh!
"Woi, apaan sih!" Rayn yang pertama pasang badan saat tiba-tiba Rengga memukul wajah Ares. Wajah cowok itu langsung merah padam. Ia menghadang Rengga dari Ares. "Jangan pake otot!"
"Dia duluan yang pake otot!" tegas Rengga.
Ares sudah kepalang emosi karena mendapat pukulan dari Rengga. Ia segera menyingkirkan tubuh tinggi Rayn dan membalas pukulan Rengga tak kalah kuat. Lantas menarik kerah kaos olahraga cowok itu. Rengga juga balas mencengkeram milik Ares, keduanya saling mencengkeram satu sama lain. Murid kelas mereka langsung riuh.
"Wooooo, pukul! Pukul! Pukul!" adu mereka serempak.
"Ares, jangan!"
Namun, terlambat. Kedua remaja 16 tahun itu sampai berguling ke tanah hanya untuk saling melayangkan bogeman. Rayn berusaha keras menahan mereka, tetapi Rengga tak mau melepaskan Ares begitu saja. Ares juga masih terus membalas tiap pukulan Rengga dengan penuh emosi.
Keriuhan mulai padam saat guru BK mendadak muncul dan melerai perkelahian sengit antara Ares dan Rengga. Baju mereka penuh dengan debu dan pasir dari lapangan. Ares mengernyit pelan saat wajahnya terasa begitu kasar akibat kotoran yang menempel. Ia mengusap wajah pelan.
Mereka berdua langsung digiring ke ruang BK yang tak jauh dari sana. Beberapa pasang mata dari ruang guru tampak menilai mereka rendah. Ares hanya bisa menghela napas.
"Kalian ini ngapain kelahi?! Kalian sekolah itu mau pinter apa mau jadi jagoan, hah?!" semprot Bu Intan selaku guru BK. Guru yang berada di pertengahan 30 tahun itu berkacak pinggang. Lantas menatap kedua anak murid yang kini duduk manis di hadapannya. "Jadi, siapa yang mau jelaskan kenapa kalian sampai berkelahi begini?"
Keduanya bungkam. Sama-sama tak berani menjawab.
"Arestya! Kamu mau saya langsung adukan sama Pak Adrian?" Bu Intan menyorot Ares tajam. Cowok itu langsung ciut dalam sekejap ketika mendengar nama sang ayah disebut.
Ares menggeleng, "Enggak, Bu. Maaf."
"Jadi, kenapa kelahi?!" ulang Bu Intan sekali lagi.
"Saya yang salah, Bu. Saya tadi main futsalnya kasar. Terus Rengga jadi marah dan pukul saya." Ares akhirnya buka suara. Kepala cowok itu tertunduk dalam. Baru mulai menyesal karena tindakannya yang begitu gegabah.
Mendengar hal tersebut, Rengga sedikit tertegun. Tak mengira kalau Ares malah mengakui perkelahian tadi sebagai kesalahannya. Padahal Rengga kira Ares akan melemparkan kesalahan itu pada dirinya sebagai balas dendam. Well, Rengga berhasil membuat wajah mulus Ares lebam, bisa saja setelahnya Ares mendendam.
Bu Intan menarik napas panjang. Guru itu sebenarnya tak tega memberikan hukuman melihat wajah memelas mereka. Apa lagi Bu Intan tahu kalau ini kasus pertama Ares semasa di SMA. Namun, kalau tidak ditindak tegas, Ares bisa saja berkembang menjadi anak nakal. "Ya, sudah. Kalian akan tetap dapat skorsing dan surat panggilan. Dan sebagai hukuman tambahan, Ibu mau kalian bersihkan Mushola saja. Mumpung Ibu lagi baik."
"Makasih, Bu."
Kedua remaja tersebut segera bangkit. Ares berjalan lunglai ke luar ruang BK. Entah apa yang akan Adrian lakukan jika tahu Ares berulah begini. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan kemarahan macam yang akan ia terima.
"Argh, bego!" erang Ares. Ia menjambak rambutnya frustasi.
Rengga acuh tak acuh pada Ares yang begitu kusut. Padahal ia sendiri sedang takut setengah mati, ayahnya pasti marah besar jika tahu. Ia juga merasa bodoh, sama seperti Ares. Namun, apa yang bisa mereka perbuat? Nasi sudah terlanjur menjadi bubur.
Meski begitu, ada sedikit keberuntungan yang menghampiri mereka. Kalau Bu Intan bilang untuk membersihkan Mushola maka itu artinya mereka terbebas dari hukuman tambahan, karena Mushola sekolah mereka selalu bersih. Ares melepas sepatunya kemudian segera merebahkan badan di teras Mushola ketika sampai. Sementara Rengga membasuh wajah dan rambutnya yang lengket karena keringat di kran tempat wudhu.
"Ngga, gue minta maaf, ya." Tiba-tiba sebuah celetukan terdengar. Ares sudah merubah posisi menjadi duduk menghadap ke Rengga. "Ngga?"
"He'em." Rengga menjawab pelan.
"Boleh minta beliin air minum, gak? Haus."
Rengga segera menoleh ke Ares. Ia hendak menolak, tetapi urung setelah melihat wajah Ares yang sedikit pucat. Cowok itu mendengus pelan. Tak apa berbaik hati sedikit, pikirnya. "Ya udah. Mana duitnya?"
"Beli dua, sekalian sama lo." Ares mengulurkan selembar uang berwarna hijau pada Rengga. Lalu tanpa banyak bicara, segera diterima oleh cowok itu.
"Ya."
Selepas kepergian Rengga, Ares langsung membungkuk sambil menekan dadanya. Rasa sesak yang asing itu mendadak hadir tanpa diundang. Ares sempat kebingungan dan sedikit takut karena tak pernah merasakan sesak yang seperti ini. Pemuda itu memejam untuk sesaat. Mengatur napasnya yang berantakan karena sesak.
Tak lebih dari lima menit, Rengga kembali dengan dua botol air minum di tangan. Ares mengerjap beberapa kali saat Rengga menjadi berbayang. Ia kembali memejam.
"Res? Lo nggak pa-pa?" Rengga tentu saja bingung karena mendadak Ares seperti orang habis marathon berpuluh-puluh kilometer. Ia segera membuka botol minuman yang dibawanya. Kemudian menuntun Ares untuk mengubah posisi menjadi sedikit tegak. "Minum dulu."
"Thanks," lirih Ares setelah meneguk sedikit air yang Rengga berikan. Ia segera mengambil botol air minum dari tangan Rengga dengan tangan gemetar, kemudian meminumnya hingga tandas.
Rengga dibuat terdiam dengan apa yang barusan ia lihat. Jelas barusan pemuda kurus yang duduk lemas di hadapannya itu tak baik-baik saja. Untuk sejenak, Rengga kembali menyingkirkan gengsinya. "Lo barusan kenapa?"
Sebuah kekehan menjadi jawaban untuk pertanyaan retoris Rengga. "Lo liatnya apa? Gue sesak napas barusan."
Lidah Rengga langsung dibuat kelu. Bodoh juga ia mengeluarkan pertanyaan seperti itu. Ia jadi bingung harus bersikap bagaimana. Gengsinya tiba-tiba kambuh lagi. Namun, hati nurani Rengga belum mati dan terus memberikan dorongan. Dan menjebloskan cowok itu ke dalam sebuah dilema.
Cowok itu mengusap tengkuknya. Lalu menatap Ares kikuk. "M-mau gue anter ke UKS?"
"Enggak usah. Udah baikan," tolak Ares. Ia sendiri bersyukur karena sesak itu tak bertahan lama. Ia sudah berpikir macam-macam tadi.
Ares menarik sebuah napas panjang. Membiarkan oksigen mengisi paru-parunya yang tadi sulit bercengkrama dengan si oksigen. Mata cowok itu menatap ke depan, menerawang jauh. Tadi Ares sempat berpikir kalau ada yang salah pada dirinya. Namun, mungkin itu hanya sebuah pikiran negatif yang lewat karena panik. Ya ... begitu.
[]
Chapter 2
Setengah jam lalu Ares menapakkan kaki di rumah. Masih sore, jadi tak ada Adrian yang menyambut. Ia segera berlari ke kamar dan mengunci pintu, berjaga-jaga kalau sang ayah tiba-tiba pulang. Ares kelimpungan bukan main. Kedua kakaknya masih di kampus sampai waktu yang Ares tak bisa tentukan, ia tak tahu harus berlindung pada siapa lagi.
Ares memutar otak. Diam saja selama sisa waktu berharga ini akan mendatangkan petaka. Cowok itu berjalan mondar-mandir. Entah sudah berapa kali berputar, hingga ia berhenti. Dengan gerakan tergera, ia mengambil ponsel, kemudian menelpon Genta. Meminta pertolongan omnya mungkin akan menjadi jalan keluar terbaik.
"Om Ta!" ucap Ares sesaat setelah telponnya diangkat.
"Wassup?"
"Om, gawat! Gawat!" ujar Ares sengaja melebih-lebihkan.
"Apa yang gawat? Kamu jadi macem ibu-ibu gitu kenapa, sih. Lebay."
Decakan kecil muncul dari Ares. Suara keramaian yang terdengar dari seberang sana memberi isyarat kalau Genta masih ada di tempat kerja. Well, sebagai seorang aktor sukses, pria itu memang memiliki jadwal yang cukup padat. Sebuah keberuntungan telepon Ares tadi langsung dijawab tanpa harus menunggu jeda lama.
"Astaghfirullah. Om jangan solimi, ya!"
Genta merotasikan bola mata. Lelaki itu memejamkan mata sejenak sambil membiarkan penata riasnya memperbaiki make-up. "Jadi kamu ngapain nelpon? Om sibuk banget, nih."
"Aduh, Om. Seriusan ini tuh urgent, gawat!" ujar Ares. Bodohnya, cowok itu berjalan berkeliling kamar sebagai bentuk ekspresif dari apa yang ia rasakan.
"Ya iya, apa?!"
"Aku dapat surat panggilan--"
Belum sempat Ares menyelesaikan kalimat yang hendak ia ucap, Genta langsung menyerobot tanpa izin.
"What?! Kamu ngapain? Cari mati, hah?!"
"Om, dengerin dulu!" kesal si taruna.
"Surat panggilan apa itu?!"
"Aku kelahi."
Panggilan mereka mendadak hening. Ares diam menunggu jawaban dari Genta. Sementara, yang ditunggu tengah melongo sampai rahangnya hampir jatuh ke tanah. Benar-benar tak terpikir dalam kepala Genta kalau Ares bisa melakukan hal semacam itu juga. Ia pikir Ares hanya anak SMA yang terlalu terobsesi pada pelajaran.
Ternyata ... Ares tetaplah anak remaja pada umumnya. Kalau Genta yang jadi ayah anak itu, mungkin tak akan berefek apa pun. Namun, Genta tahu sendiri kalau Adrian itu orang yang keras. Bisa saja Ares diberi hukuman berat.
"Sinting kamu!"
"Tapi, Om, dengerin dulu. Aku cuma khilaf, sumpah! Om juga tau 'kan kalau aku ini anak baik-baik, nggak mungkin kelahi sama orang tanpa alasan?"
"Ya tetep aja itu kamu kelahi! Mana dapet surat panggilan pula," ujar Genta agak ketus. Sengaja. Ia memang menaruh porsi sayang yang sedikit lebih banyak pada Ares, tetapi hal itu tak membuat ia buta akan kesalahan yang telah diperbuat olehnya.
"Ya ... itu 'kan anu ..." Jemari Ares ribut memilin kaos panjang yang ia kenakan. Bingung harus menjawab apa. Ia tahu di sini posisinya sebagai orang bersalah. Jadi, tak banyak pembelaan yang bisa ia berikan.
"Kalau kamu mau minta tolong sama Om, nggak akan Om kasih. Bye!"
"Loh, Om-- Om Ta!"
Ares mengerang kesal ketika sambungan mereka diputus sepihak oleh Genta. Ia ingin sekali berteriak sekeras mungkin. Tahu kalau akan begini, Ares akan memanfaatkan momen ketika Genta lupa menjemput dan menyebabkan Ares ketahuan oleh sang ayah. Sayang sekali kesempatan itu tak datang.
Pemuda itu lantas duduk di pinggiran ranjang. Genta yang memiliki potensi besar untuk menjadi penyelamat Ares malah menolak mentah-mentah. Mau tak mau Ares harus kembali berpikir siapa yang bisa membantunya.
Lima detik ia terdiam, kemudan segera beranjak dengan semangat yang mendadak membara. Ia menggaet amplop berwarna putih dengan logo sekolahnya dan dinas pendidikan itu. Hanya butuh beberapa detik saja sampai ia tiba di kamar Camelia--si anak tengah Maheswara. Beberapa menitu ia mendengar ada suara si dara tersebut. Satu-satunya anak gadis yang ada di rumah.
"Kak Mel!" panggil Ares. Ia berhenti di ambang pintu. Benar ternyata, Camelia sudah pulang.
Gadis beraut tegas itu fokus pada laptop. Entah mengerjakan apa. Ia sama sekali tak tertarik dengan kedatangan sang adik. "Hm?"
"Tolongin gue!"
"Apa, sih? Gue sibuk. Keluar sana!" usir Camelia tanpa banyak bicara. Sebuah kernyitan muncul di dahinya sebagai tanda kalau ia tak menyukai kehadiran Ares di sini.
"Kak!" pekik Ares. Terkesan seperti merengek di telinga Camelia.
"Apa, sih, Dek?! Gue lempar sendal juga lo." Camelia langsung ancang-ancang melepas sendal bulu yang ia pakai. Mata rubah itu menyorot Ares tajam. Sembari memberi isyarat untuk segera pergi.
"Ih maneh teh galak pisan," ujar si adik merengut.
"Keluar!"
"Tolonguin gue dulu, please!" Bukan Ares namanya kalau sekali diperintah akan langsung jalan. Kini pemuda itu malah bersimpuh di lantai seperti adegan ala-ala melodrama di televisi. Wajahnya dibuat semelas mungkin agar bisa membuat goyah kekerasan hati Camelia.
"Nggak, gue sibuk!" Sayang seribu sayang, Ares agaknya dimusuhi oleh Dewi Fortuna. Sudah dua orang yang menolak untuk membantu. Ares mendesah pelan.
"Keluar!" desak Camelia garang.
Daripada menimbulkan sebuah perkelahian lagi, Ares terpaksa mengalah. Dengan langkah lunglai ia keluar. Kalau begini terus Ares lama-lama pasrah saja. Paling parah mungkin ia hanya akan diusir dari rumah atau dicoret dari Kartu Keluarga.
Namun, harapan Ares kembali timbul ketika melihat siluet Endra datang dari lantai bawah. Ia memekik antusias dalam hati. Secepat kilat ia berlari menghampiri si sulung. Lantas mengganteng tangannya hingga membuat Endra bingung sendiri.
Ares menyeret Endra masuk ke kamar Camelia dan langsung menutup pintu. Biasanya kalau pulang cepat, Adrian sudah sampai rumah jam begini. Ia berjaga-jaga.
"Ngapain balik lagi?!" Camelia menyemprot cowok itu hanya dalam hitungan detik. Ia melotot persis seperti peran antagonis yang hendak mengintimidasi si protagonis nan lugu.
Ares berdecak. "Hih, diem dulu!"
"Kenapa, Dek?" tanya Endra bingung.
Ia baru saja hendak bermesraan dengan kasurnya. Guna melepas segala penat yang mengganggu setelah seharian bergulat di kampus sebagai maba ganteng dengan banyak penggemar.
"Ayah udah pulang belum, Kak?" tanya Ares. Ia menatap was-was ke pintu kamar Camelia yang ia tutup rapat.
"Belum. Mobilnya nggak ada tadi Kakak masuk."
"Syukur deh," ujar cowok itu sembari mengehela napas lelah. Ia kemudian melihat kembali surat yang masih berada digenggaman.
"Oiya. Aku mau kasih sesuatu."
"Apa?" Endra mengernyit. Semakin bingung. Sebuah benda berwarna putih yang diulurkan adiknya itu kemudian membuat ia mendelik kaget. Ia menatap Ares tak percaya. "Surat panggilan?!"
"Eh, bocah, lo ngapain?!" Camelia beranjak berdiri. Penasaran dengan apa yang ada digenggaman sang kakak.
Sepasang manik kembar Camelia juga ikut melotot setelah membaca kalimat yang tertera pada kertas itu. Ia menutup mulutnya kaget. Lantas melirik ke Ares dan melayangkan sebuah jitakan sayang untuk si bungsu.
"Jangan dijitak, dong!" Protes Ares.
"Lo bego banget. Ngapain sekolah pake gelut segala? Mau jadi preman?"
"Itu khilaf. Suer!"
Kepala Ares tertunduk dalam. Ia tahu tak ada pembelaan lain lagi yang bisa diberikan. Ares mendadak lesu. Keterkejutan Endra dan Camelia saja sudah begini, bagaimana dengan Adrian nanti?
***
Brak!
Sepasang anak kembar tak identik yang sama-sama mendiamkan Ares itu berjengit. Sementara, Ares hampir terjungkal dari kursi belajar Camelia. Baru saja pintu kamar Camelia dibuka dengan begitu kasar sampai daun pintunya membentur dinding amat kencang. Ketiga anak manusia itu mematung melihat siapa yang datang.
Di ambang pintu sana, Adrian berdiri dengan raut sarat akan emosi. Netra tegas itu menyalak ke Ares. Langkah panjangnya kemudian bergerak. Ares segera berdiri tegap sambil terus menunduk. Ia memejam, tak berani melihat apa yang akan terjadi di detik berikutnya.
Plak!
Selama beberapa detik, Ares seolah kehilangan napas. Rasa panas membakar itu menjalari pipinya. Adrian tak banyak bicara, tetapi langsung memberikan hantaman keras. Meremukkan sesuatu dalam dada Ares. Mengubahnya menjadi kepingan kecil juga debu-debu yang mudah terbawa angin.
Sakit. Bukan hanya pipinya saja. Namun, hatinya juga. Enam belas tahun menjadi putra seorang Adrian Maheswara ia tak pernah diberi kekerasan fisik, meski sang ayah terkenal sebagai orang yang keras. Ia pikir Adrian hanya keras di luar saja, tetapi hari ini menunjukkan kalau Adrian ternyata memang sosok yang berwatak keras. Pria mudah sekali mengangkat tangan pada anaknya sendiri. Tanpa berpikir bagaimana dampak yang akan didapat.
Di sisi lain, Endra dan Camelia membeku. Sesungguhnya, hati mereka meronta untuk bergerak dan menarik Ares dari sana. Si bungsu itu masih rapuh dan mudah tersakiti. Adrian yang tiba-tiba saja bermain tangan mungkin sudah membuat cowok itu hancur tak karuan.
"Saya menyekolahkan kamu bukan untuk jadi preman, Arestya. Saya tidak suka kamu berlaku seperti itu di sekolah. Apa lagi sampai membuat saudara kamu sendiri celaka." Adrian berbicara dengan nada tegas tepat di wajah Ares yang pucat. Ia menatap bengis wajah lesu itu. Sama sekali tak ada simpati yang terbesit. Hanya sisa amarah membara. "Tamparan yang saya kasih ini bukan apa-apa. Saya bisa beri yang lebih kalau kamu mau. Saya nggak akan segan. Kamu itu laki-laki. Kalau saya enggak tegas, kamu bisa jadi makin liar."
Surat yang ada di genggaman Ares diambil dengan kasar oleh Adrian. Ia memperlihatkan surat itu di depan mata Ares. "Lihat. Kalau sekali lagi saya dapat seperti ini, saya pastikan kamu akan menyesal seumur hidup."
"Sebagai balasan karena sudah membuat nama saya tercoreng. Saya akan blokir semua kartu kredit kamu. Saya nggak akan berikan uang jajan untuk kamu selama satu bulan ke depan. Dan kamu harus selalu berada di dekat Fagan sebagai penjaganya. Jangan sampai kamu buat dia terluka lagi."
"Juga jangan sekali-kali hubungi ibu kamu. Kalau ketahuan akan saya tambah," pungkas Adrian.
Pria itu tak pernah main-main. Ares tidak yakin ia masih sadar sampai Adrian selesai memberitahu pasal hukuman yang akan ia dapat. Raganya memang masih di sana, tetapi jiwanya seperti sudah melayang ke awang-awang.
Beberapa detik sebelum pergi, Adrian terus menatap wajah Ares. Kemudian terdengar menggumamkan sesuatu yang amat menyakitkan untuk didengar oleh telinga cowok itu. Pijakan Ares langsung goyah. Beruntung di belakang cowok itu ada meja yang masih bisa menjadi penahan.
Pecundang. Tadi Adrian menggumam begitu. Bagaimana bisa Ares baik-baik saja seusai mendengar kalimat itu?
"Dek ..." Endra mendekat. Hendak menggapai tubuh kurus yang kehilangan daya tersebut. Namun, si empunya malah mengangkat tangan ke udara sebagai isyarat bagi Endra untuk tak melangkah lebih jauh.
Ares menggeleng. Pemuda itu menarik napas dalam-dalam. Tidak, ia akan semakin dibilang pecundang kalau menangis. Secepat mungkin Ares beranjak dari sana meninggalkan mereka. Membiarkan Endra dan Camelia terperangkap dengan rasa khawatir tanpa ujung yang pasti. Terus mengawang tanpa titik terang.
Kaki Ares sebenarnya sudah tak sanggup untuk menopang tubuh kurusnya. Namun, ia tetap memaksa. Ada amarah yang membuat ia seperti mendapat tenaga dari antah berantah untuk tetap kuat berjalan sampai ke dalam kamar dengan selamat.
Lantas begitu sampai, tubuh itu langsung rebah di atas ranjang. Ares memejam kuat sembari mencengkeram sprai. Kini segala rasa sakit tengah mengepung Ares dari tiap penjuru. Meski begitu, air mata yang sejak tadi terus menerus menggenang berusaha Ares tahan. Tak peduli sesak dalam dada semakin menggila.
Ares tak ingin menangis, sungguh.
Pemuda pucat itu memejam kuat. Dengan sisa tenaga yang tersisa. Ares menggapai ponsel di nakas. Tangan kurus itu gemetaran sembari menyentuh layar ponsel.
You
|Bunda
|Kangen
Isakan kecil mulai terdengar. Ares gagal menahan liquid itu di pelupuk mata. Bersamaan dengan pesan itu yang terkirim dan tanda centang biru yang terbentuk amat cepat, Ares mencoba bangkit.
Bunda💙
|Iya, Dek. Bunda juga. Adek sehat, 'kan? Yang nurut sama Ayah, ya?
You
|Mau peluk Bunda...
Bunda💙
|Nanti, ya. Kalau Ayah sudah bolehin Adek ketemu Bunda.
|Adek nangis aja, nggak pa-pa
|Bunda tau anak Bunda kuat
|Air mata nggak akan bikin kuatnya kamu luntur, Dek.
|Kamu hebat. Adek hebat. Menangis bukan berarti kamu orang gagal atau lemah.
Tangisan Ares mengencang. Tak kuasa sudah ia menahan semua itu ketika sudah mengantongi izin dari Evelyn. Wanita itu sering melarang Ares menangis, kalau ia sudah memberi izin begini berarti Ares memang butuh menangis. Bundanya sangat peka, bahkan Ares belum bercerita pun wanita itu sudah berhasil membuat beban Ares terangkat sedikit demi sedikit.
You
|Adek sayang Bunda
Bunda💙
|Bunda lebih sayang Adek💙
|Sehat terus, ya, Sayang. Jangan nakal sama kakak-kakakmu.
Puas menangis sambil mendambakan peluk dari sang bunda, mata Ares perlahan memberat. Ia mengantuk dan terlalu lelah menangis sampai mata cowok itu seperti terkena pukulan. Luka bekas pukulan asli saja masih bisa terlihat jika diteliti. Lebam itu bisa tersamarkan dan lama-lama hilang. Karena lebam itu hanya melekat pada fisik.
Namun, untuk apa yang sudah Adrian torehkan hari ini, entah kapan bisa hilang. Karena luka itu melekat pada hati Ares yang rapuh. Menggores amat dalam hingga sulit untuk digapai.
[]
Chapter 3
Sinar dari sang surya yang jatuh menimpa bumi, sampai ke kamar Ares melalui gorden di jendela. Lantas hal pertama yang cowok itu lihat ketika membuka mata adalah wajah lelap sang kakak. Ares mengernyit sejenak, sebelum akhirnya menyingkirkan tangan besar Endra dari atas tubuh. Ia menguap lebar sambil meregangkan badan.
Tatapannya kembali jatuh pada sosok jangkung yang masih tertidur pulas tersebut. Ia menggoyangkan lengan Endra pelan. "Kak, bangun."
Si jangkung mengeliat selama beberapa detik. Lalu setelahnya ia duduk tegap sambil memerhatikan wajah bantal Ares dengan saksama. "Tadi malam tidurnya nyenyak?"
"Iya. Aku nggak inget semalam mimpi atau enggak."
Endra tersenyum lega. Kehadirannya di sini bertujuan untuk memastikan bahwa sang adik tidur dengan mimpi buruk yang menghantui. Karena jika sedang di bawah tekanan, Ares kerap kali dihampiri mimpi buruk. Endra tahu hari Ares sudah buruk, jangan lagi ditambah dengan mimpi tak mengenakkan yang kadang memang sangat mengganggu.
"Nanti lukanya diobatin sama Mel, ya, Dek," kata Endra. Ia fokus pada lebam yang hari ini terlihat lebih jelas melekat di wajah Ares.
Ares menggeleng, "Gak mau. Kak Mel galak banget tau kalau sama aku."
Bibir pemuda itu mengerucut sempurna selepas mengucap kalimat tersebut. Sementara Endra hanya bisa terkekeh. Ia tak bisa menyangkal karena memang sifat Camelia sudah begitu adanya sejak mereka lahir.
"Ya udah. Kamu sekarang mandi dulu. Terus ke bawah, sarapan."
"Aku nanti siang aja makannya."
Alis tebal Endra saling bertaut. Tampak tak senang dengan jawaban yang taruna kurus itu lontarkan. Ia berucap tegas, "Dek."
"Aku nggak mau ketemu Ayah, Kak. Cukup kemarin aja aku dimarahin sama dia habis-habisan. Pagi ini biar dia berangkat kerja dengan tenang. Aku juga nggak sudi liat muka ibu dan anak yang kayak ular itu," kesal Ares. Ia menautkan jari sambil meremasnya gemas. Menjadikan mereka sebagai tempat pelampiasan.
"Ares," tegur Endra pelan.
Di rumah ini Ares merupakan satu-satunya manusia yang kontra dengan Fana serta sang ibu. Ia menjadi manusia yang paling menolak keras pernikahan antara Adrian
dan Fanya beberapa tahun silam. Namun, Ares tak bisa berlaku banyak. Adrian bukan tipikal ayah pecinta anak yang mau menggugurkan niatnya hanya karena sang anak yang meminta.
Hampir tiga tahun bersanding di bawah atap yang sama tak membuat pandangan Ares terhadap ibu juga saudara tirinya itu berubah. Mereka terlalu pandai mengambil hati Adrian, bahkan kakak kembarnya juga. Hingga menyisakan Ares seorang diri bersama opininya yang tak pernah mau didengar.
Sempat terjadi keheningan nan mencekam, dan terpecah sebab kedatangan seseorang ke dalam kamar Ares. Gadis dengan tampang galak itu masuk diiringi gaya angkuh yang tak pernah ketinggalan. Di tangannya ada sebuah, Ares yakin kalau itu berisi benda-benda yang berhubungan dengan medis.
Tanpa aba-aba, punggung tangan Camelia mendarat di kening Ares. Bertahan selama beberapa detik. "Lo pusing, Dek?" tanya gadis itu disertai nada agak mengintimidasi.
"Dikit," ujar Ares jujur.
"Habis ini mandi, terus sarapan. Kalau nanti siang suhu badan lo naik terus tambah pusing, langsung minum obat. Gue taruh di kotak ini. Ambil sendiri. Jangan manja. Ngerti?"
"Iya. Ngerti." Ares menjawab seadanya. Toh, ia sudah terbiasa mandiri. Kedua kakaknya itu terlalu sibuk untuk sekedar mengurusi Ares.
"Dia demam, Mel?" tanya Endra ikut nimbrung.
"Enggak. Adek kamu ini kan emang alay, dikit aja disentil langsung jadi letoy."
Ares sontak mendecak mendengar pernyataan Camelia. Tentu saja tak setuju dengan apa yang terucap dari lisan gadis itu. "Si Fagan tuh, dia gak disentil aja udah mau ambruk. Aku kasih sentilan dikit langsung begitu. Dia yang kayak rempeyek, tapi aku terus yang disalahin. Badan gede, tinggi, tapi letoy kayak cewek."
Dumelan pemuda kurus itu malah dibalas kekehan rendah dari Endra. Lelaki itu menggeleng heran. "Kamu ini kalau iri sama tinggi badannya, ya bilang aja, Dek."
"Hih, nggak gitu, Kak!" seru Ares gemas. Bisa-bisanya Endra berucap demikian. Sungguh tak berdasar.
"Fagan itu memang imun tubuhnya lemah, Dek. Lo harusnya bisa ngerti. Gak bisa lo samain dia sama orang lain yang imunnya lebih kuat, kayak lo. Kalo lo mah dari kecil juga sakit paling mentok 3 kali setaun."
"Terserah lo aja dah, Bu Dokter. Saya gak peduli, intinya itu anak letoy banget kayak yupi."
Tak ada argumen yang bisa Ares lontarkan untuk mendebat Camelia. Fakta bahwa ia memang jarang sakit sejak menginjak bangku SD menjadi hal yang sulit untuk ditentang saat dijadikan tameng oleh sang kakak agar lebih bisa mengerti keadaan Fagan. Ini bukan pertama kali ia mendapat ceramah seperti itu. Sudah berkali-kali dan dari mulut yang juga berbeda.
Sepasang anak kembar itu lantas diusir secara paksa oleh Ares karena membuat suasana hatinya hancur. Kemudian ia melesat ke kamar mandi melakukan perintah Camelia tadi. Berendam di pagi hangat ini mungkin akan membawa warna cerah untuk hari Ares.
***
Kalau Ares berpikir bahwa akan ada sedikit warna cerah, maka ia salah kaprah. Pukul 10 ia keluar dari kamar dengan niat mengisi perut yang sudah keroncongan bukan main. Namun, ia tak mendapati secuilpun makanan selain roti tawar. Ares tentu saja tak akan kenyang kalau hanya makan itu. Apa lagi ia adalah orang yang kuat makan.
Karena di tempat menyimpan makanan tak ada apa pun, Ares bergeser ke kulkas. Dan di sana kosong tanpa diisi penduduk sama sekali. Rasanya Ares ingin menangis sambil berteriak keras. Bagaimana bisa di rumah orang kaya seperti Adrian tidak ada bahan makanan yang bisa diolah? Atau mungkin semua ini sudah direncanakan?
Sialan. Kalau begini Ares jadi ingin kabur dari rumah. Siapa tahu dengan begitu Adrian akan luluh dan mulai berbaik hati. Ya, mungkin hal itu akan terjadi. Hanya saja dalam mimpi liar milik Arestya Maheswara. Tak mungkin Adrian akan luluh dengan cara begitu.
"Kamu mau makan, Nak?"
Sebuah suara familiar yang sontak membuat Ares langsung menoleh menyeruak mengisi kekosongan di sekitar. Sosok wanita 40 tahunan itu berdiri congkak di ambang pintu dapur. Melihat Ares dengan tatapan remeh yang amat menyebalkan.
"Nggak," ujar Ares cepat. Ia segera menjauh dari kulkas yang masih terbuka.
"Saya bisa masakan makanan kalau kamu mau." Wanita menawarkan diri. Berlagak sok murah hati di depan Ares.
"Nggak. Saya nggak sudi makan makanan kamu."
Ares bukannya jual mahal. Ia memang tak sudi memakan makanan yang berasal dari tangan wanita itu. Bisa saja nanti ia malah diracun. Hal seperti itu bisa saja terjadi. Dan Ares tak mau mengalaminya.
"Kamu pasti lapar, 'kan?" ujar Fanya tak putus asa.
Ares melengos. Ia bergerak menjauh dari hadapan Fanya. Keluar dari dapur. "Saya lebih baik kelaparan."
"Ah iya, mulai hari ini ART diliburkan. Jadi, saya dan kamu akan berbagi pekerjaan rumah. Saya hanya akan memasak. Kamu yang bersihkan rumah. Mengerti 'kan harus mulai dari mana?" Suara lantang Fanya membuat Ares berhenti mendadak. Pemuda itu membulatkan mata. "Dan soal belanja bulanan, nanti sore baru saya akan keluar."
Dalam hati Ares menjerit kesal. Tak lama dari itu, Ares membuka ponsel yang sejak tadi ia kantongi. Ia membisukan chat dari sang ayah dan ternyata ada banyak pesan masuk dari sana. Salah satunya adalah deretan perintah untuk menjadi bahu hari ini. Wah, sepertinya Adrian benar-benar ingin membuat Ares jera.
Mau tak mau Ares harus menurut. Dengan perut keroncongan ia ke belakang. Ia diam menatap dua mobil Alphard milik sang ayah yang dalam keadaan kotor. Untuk sejenak Ares berpikir untuk membawanya ke tempat cuci mobil saja. Namun, ia baru ingat kalau ia tidak memegang uang sepeser pun. Tidak mungkin ia berutang di tempat cuci mobil.
Kurang lebih dalam waktu dua jam, Ares selesai mencuci dua buah mobil tersebut. Memakan waktu cukup lama karena ini kali pertama Ares mencuci mobil sendiri. Dan itu di bawah terik matahari pula. Dengan kaos hitam polos yang menyerap sinar panas dari sang surya. Sungguh penderitaan yang totalitas. Ares jadi makin sayang pada Adrian.
Langkah lunglai si kurus itu kemudian sampai di lorong menuju tangga ke lantai atas. Ada sosok tak asing yang tertangkap netranya. Ia langsung berhenti di tempat.
"Loh, Om?" Ares menatap bingung pada Genta yang berdiri sambil membawa dua buah kantong plastik di tangan. Pasti makanan ringan dan minuman dingin. Dari pakaian yang dikenakan lelaki itu, agaknya sehabis dari lokasi syuting. Apa lagi dengan masker yang bertengger manis di wajah tampan Genta.
"Wah, udah selesai? Kamu rajin banget sekarang nyuci mobil segala. Kesambet atau gimana?"
Perkataan yang barusan terucap dari bibir Genta itu adalah sebuah sarkasme. Genta sudah tahu kalau ia diperintahkan begini oleh ayahnya sebagai sebuah hukuman. Niat sekali lelaki itu kemari hanya untuk mengejek keadaan Ares.
"Diem dulu, Om." Ares menukas pelan. Ia sudah lelah. Lantas mempercepat langkahnya untuk naik ke lantai atas menuju kamarnya. "Minta minum." Cowok itu mengulurkan tangan ke Genta. Di kantong plastik yang sebelah kiri tadi ia melihat beberapa minuman dingin.
Genta terkekeh. Kemudian memberikan sebotol minuman dingin pada sang keponakan. Setelah sebelumnya ia buka segelnya terlebih dahulu. "Kasian banget. Itu pasti hukuman, 'kan?"
"Om bisa diem dulu gak?" ketus Ares. Ia memejam sejenak sambil menegak minuman itu perlahan.
Napas cowok itu terengah-engah. Sejak tadi sebenarnya, tetapi baru terdengar jelas sekarang. Dan hal itu memicu sebuah tautan bingung di alis tebal Genta. Wajah itu memang agak pucat kalau dilihat lebih saksama, dengan bekas lebam yang juga tak bisa dibilang samar. Mengerikan.
"Kenapa, sih? Kamu ini jangan lebay," kata Genta.
Ares tak menjawab. Ia segera duduk bersimpuh di lantai seraya bersandar ke ranjang. Ia meraup oksigen sebanyak yang ia bisa. Namun, yang ia dapati hanya sesak dalam dada. Seperti kemarin saat bersama Rengga, tetapi kali ini ada nyeri samar yang lama-lama menjadi pekat. Ia meraba dadanya, agak menekan. Ares melirih, "Ah ... kok gini lagi, sih."
"Ares?" panggil Genta.
Alis lelaki itu menulik semakin tajam. Skeptis dengan sang keponakan yang tampak sedang kesulitan untuk sekedar menarik napas. "Res? Bercanda kamu?"
Tak ada balasan spontan dari Ares seperti biasanya. Cowok itu tetap terdiam di tempat dengan tangan bertengger di dada. Ada ringisan tipis yang bisa Genta tangkap dari jauh. Hal ini lantas memunculkan geletar khawatir dalam relung hati Genta dalam sepersekian detik saja.
"Ares, kamu bercandanya gak lucu. Kamu bercanda pasti ini, 'kan? Bohongan, 'kan? Biar Om mau bantuin kamu."
Kekehan Ares terlepas setelah beberapa menit bergelut seorang diri. Cowok itu kembali menegak minuman yang sudah tak sedingin tadi. Ia memejam sejenak. Lalu memandang Genta yang tampak bertanya-tanya. "Iya, aku barusan bercanda. Cosplay jadi ikan mas yang terdampar di gurun pasir."
"Ares, serius!" sentak Genta.
"Om ada mata sama telinga, 'kan? Nilai sendiri tadi aku ngapain dan kenapa," ketus cowok itu. Ares kini menandaskan minuman tersebut. Napasnya sudah bisa dihela lebih mudah ketimbang beberapa menit lalu.
Genta mendekat ke Ares. Ikut bersimpuh di lantai sambil memberikan tatapan tajam dan menyelidik. "Kamu jangan main-main, ya. Kalau sakit itu bilang sakit, jangan bohong."
Sebuah gelengan menjadi respon dari Ares. Ia mengusap-usap dada. "Aku nggak ngerti kenapa tiba-tiba ngerasain gelaja aneh kayak gini."
"Ares, kamu serius?"
"Ck! Nggak tau lah, Om!" Kekesalan Ares kembali bangkit. Genta masih saya menanyakan hal yang sama setelah melihat dan mendengar semua. Benar-benar, Ares ingin menggorok kepalanya!
Selama beberapa detik Genta terdiam. Bergelut dengan pikirannya sendiri. Lantas sebuah tatapan khawatir tertuju dari lelaki itu pada Ares.
"Res ... jangan bikin Om takut, ya. Om menolak lupa dulu kamu itu gimana. Om nggak mau kamu sakit. Jangan sampai apa yang Om pikirin itu bener." Kalimat itu dilontarkan oleh Genta dengan nada sungguh-sungguh. Lelaki itu bahkan sampai menggengam kedua tangan Ares yang mendingin.
"Jangan bikin aku takut!"
"Res, Om serius."
Kalau begini bagaimana bisa Ares terus teguh pada pemikirannya kemarin?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
