Beating Again – 01

13
5
Deskripsi

Kilas balik menyakitkan itu ternyata nyata dan sekarang Ezar diberi kesempatan kedua. Kesempatan untuk melakukan semuanya dengan lebih baik. Kalau bisa ia akan berusaha untuk menghindari berbagai kemalangan yang terjadi. Namun, semua itu pasti tidak akan mudah. Bisakah Ezar melakukannya?

"Maretha, please, jangan ikut ke dalam. Kita nggak tau ada apa di dalam. Gue nggak mau sampai lo kenapa-napa. Okay?"

"I'll be okay"

"Tha, I'm sorry. Sorry ... for being ... this weak."

"Sorry ... for the ... promise that ... I can't keep ...."

Suara-suara itu memenuhi isi kepala Ezar sampai sebuah tepukan pelan di pundaknya bak sentakan hebat yang mampu membuat Ezar langsung terbelalak dengan napas tersengal-sengal. Kepala lelaki itu pening seketika. Ia memejam kembali sambil meringis dan memegangi kepala. Kemudian disusul dengan suara batuk akibat sesak yang ikut menyerang. Perpaduan itu lantas membuat Ezar merintih seraya berusaha untuk mencari pertolongan. Ia bisa merasakan ada kehadiran orang lain di sekitarnya. Namun, ia masih dibiarkan dalam posisi berbaring dan yang terdengar hanya suara penuh kepanikan.

Detik selanjutnya tubuh Ezar diangkat dan disandarkan pada kepala sofa. Serta ada suara familiar yang terus memanggil-manggil namanya, bercampur dengan teriakan yang tak begitu jelas. Ezar berusaha mengumpulkan kembali nyawanya. Ia berusaha melawan segala sensasi tak nyaman yang hinggap, hingga akhirnya berhasil membuka mata kembali. Wajah khawatir Harith adalah hal pertama yang ia lihat.

"Dek, you okay? What happened?" Harith jelas panik bukan kepalang saat sang adik malah terbangun dengan menahan sakit seperti itu. Padahal niatnya membangunkan Ezar adalah supaya lelaki tersebut bisa tidur dengan posisi yang lebih nyaman, bukan hanya beralaskan sofa yang keras.

Harith buntu dalam sekejap. Biasanya ia paling bisa menemukan solusi jika mendadak muncul masalah. Namun, kali ini ia seperti orang bodoh dan hanya berteriak supaya orang di luar memanggil ayahnya. Jujur saja Harith ketakutan sekaligus kaget. Saat datang kemari tadi Ezar tidak menunjukkan tanda-tanda sedang sakit atau sejenisnya. Menurutnya sangat aneh jika tiba-tiba mendapat serangan. Harith sungguh tidak bisa berpikir jernih.

"Mas ... Mas Harith?" Ezar meraba lengan kokoh Harith. Sementara sebelah tangannya masih menekan dada. "Ini Mas Harith?"

Harith mengangguk cepat. "Iya, ini Mas. Kenapa? Ada apa?"

Butuh beberapa saat bagi Ezar untuk meyakinkan diri sendiri bahwa yang ada di hadapannya adalah Harith. Pria itu kelihatan sangat khawatir. Sayangnya bahkan saat sudah menyadari ada Harith, Ezar masih belum bisa mengerti situasi yang sedang ia hadapi. Ia yakin kalau ia sedang berada di lokasi penculikan Haira. Ia merasa sangat mengantuk karena sakit yang terus menghunjam tanpa henti. Kata-kata terakhir yang ia ucapkan sebelum menutup mata pun masih ia ingat jelas. Lantas sekarang ini apa? Mengapa tiba-tiba ia berada di ruangan Harith?

Kepala Ezar makin sakit saat mencoba memikirkan apa yang sedang terjadi. Ia pun berakhir menyandarkan tubuh ke Harith sambil berusaha menetralkan sesak. Tubuh kokoh sang kakak terasa sangat nyata, ia yakin sekarang ia berada dalam kenyataan. Suara dan hangatnya Harith tak berubah sedikit pun.

"Kenapa ini, Mas? Kok ada adikmu di sini?" Dewa masuk dengan tergopoh-gopoh. Hatinya dibuat mencelos ketika melihat putra keduanya bersandar lemas pada si sulung. Wajah pucat yang selalu dibenci Dewa itu membuat rasa khawatirnya langsung membuncah. "Kenapa dia? Kenapa lagi sakit malah ada di sini?"

"Enggak, Pa. Aku juga nggak tau kenapa dia tiba-tiba kayak gini. Tadi dia datang ke sini karena aku minta tolong buat bawain berkas yang ketinggalan di rumah. Terus dia bilang Mama suruh dia buat jempur Haira, tapi dia malas jadi aku inisiatif supaya aku aja yang jemput. Kasian juga dia bolak-balik." Cerita versi Harith akhirnya mengalir. Ezar mendengarkan dalam diam sambil berusaha mencerna. "Pas aku balik ke sini ternyata dia udah tidur di sofa. Aku niatnya mau bangunin karena posisinya kurang enak, dia tidur nggak pake alas dan kakinya ditekuk. Tapi waktu aku bangunin dia kaget dan jadi kayak gini."

"Kamu banguninnya gimana? Adek kamu, kan, nggak bisa dikagetin!"

"Aku pelan, Pa. Nggak mungkin aku teriak-teriak bangunin Adek."

Terlepas dari Ezar yang tidak bisa dibangunkan dengan cara brutal, mereka sekeluarga memang terbiasa membangunkan orang lain dengan lembut dan perlahan. Mereka membiasakan diri supaya tidak membahayakan Ezar. Maka dari itu tidak mungkin cara membangunkan Harith membuat Ezar jadi begini.

"Tolong hubungi supir saya untuk siapkan mobil. Kita ke rumah sakit," ujar Dewa kemudian. Ia lalu mengecek suhu tubuh Ezar yang ternyata cukup hangat. Ia juga bisa merasakan bulir-bulir keringat di dahi sang putra. Namun, tangannya setelah itu diraih oleh Ezar, digenggam lemah.

Ezar menggeleng. "Nggak usah, Pa."

"Kamu sakit, Kak. Kita ke IGD aja daripada tambah parah."

"Aku nggak pa-pa."

"Jangan bohongi Papa. Semua orang juga tau kalau kamu kenapa-napa."

"Pa ..." Lirihan itu terlontar. Disusul dengan Ezar yang berusaha untuk duduk sendiri tanpa bersandar lagi pada Harith. Kepalanya masih pusing, tetapi sudah tidak begitu sesak. Ia lantas menatap Dewa dengan mata sayunya, berusaha meluluhkan Dewa dengan itu. "I'm alright. Nggak usah khawatir. Cuma pusing sedikit."

"Lebih baik Papa sama Mas jawab dulu pertanyaanku," sambung Ezar cepat. Ia menatap sang papa dan kakaknya bergantian. Seiring dengan ingatan yang makin mendesaknya untuk membuat pergerakan, Ezar mulai mencari titik terang dari situasi ini.

"Apa?"

"Sebenernya kenapa aku di sini? Haira di mana? Harusnya aku nyelametin Haira. Kalian juga. Haira dalam bahaya sekarang."

Baik Dewa maupun Harith sama-sama bingung dengan pertanyaan Ezar. Hal itu juga membuat mereka makin khawatir. Selama ini Ezar tidak pernah melantur saat sedang kambuh. Mereka jadi menerka-nerka mengenai apa yang sebenarnya terjadi.

"Maksudnya apa, sih, Kak? Bahaya apa?"

"Haira diculik."

Harith segera menyambar, "Apa, sih? Kamu mimpi apa tadi sampai pertanyaanmu gak jelas gini? Orang tadi Mas barusan jemput dia. Jangan-jangan kamu kebawa mimpi karena malas jemput dia."

"Enggak. Aku yakin banget tadi aku bukan tidur di sini." Ezar menggeleng. Enggan menerima fakta yang dibeberkan oleh sang kakak.

Dengkusan kasar kemudian terlontar dari Harith. Ia sedikit menjauh, lalu bertukar pandang dengan Dewa. Sang ayah pun terlihat sangat clueless. "Kayaknya kamu lagi butuh istirahat. Nggak usah terlalu dipikir. Maaf tadi Mas bangunin kamu makanya jadi kayak gini. Kamu diantar pulang sama pak Asep aja, ya? Biar bisa istirahat," kata Harith sebagai usaha untuk tidak mendebat Ezar lebih jauh lagi.

"Iya. Kalau kamu nggak mau ke rumah sakit, pulang ke rumah aja. Nanti Papa bilang ke Mama supaya kamu bisa istirahat di rumah." 

Ezar menggeleng, lagi. "Nggak. Jelasin dulu kenapa aku di sini. Aku tadi nggak di sini. Kenapa tiba-tiba aku di sini? Ini aku mimpi atau kenyataan?" Lelaki itu lantas segera berdiri walaupun sempoyongan.

"Ezar, nggak usah terlalu mikirin mimpi—"

"Aku nggak mungkin mimpi!"

Dalam kebingungan ini Ezar berusaha untuk mengendalikan diri. Ia berusaha untuk tetap bertingkah normal, tetapi orang-orang ini malah bilang bahwa semua itu hanya mimpi. Tidak mungkin. Pukulan dan tendangan yang ia rasakan sangatlah nyata. Bahkan saat ini tubuhnya pun masih terasa sakit. Ia tidak mungkin hanya bermimpi. Jangan lupakan juga ada Maretha di sana. Ezar tidak bisa terlalu lama membiarkan perempuan itu sendirian. Ezar yang memyeret Maretha ke dalam masalah ini, ia harus bertanggung jawab.

"Aku mau ngecek Maretha," pungkas Ezar seraya melangkahkan kaki keluar dari ruangan Harith. Sayangnya, belum sempat sepenuhnya keluar, Harith mencekal lelaki itu.

"Maretha siapa? Jangan aneh-aneh. Kamu ini beneran sakit, deh, kayaknya. Lebih baik kamu istirahat."

"Lepas, Mas." Ezar berujar lirih sambil melirik cekalan Harith. Ia bahkan enggan untuk membalas ucapan sang kakak. Ia sangat yakin pada dirinya sendiri. Perasaannya tidak tenang. Ia tidak bisa berlagak seperti tidak ada apa-apa sampai ia melihat dengan mata kepala sendiri. Bisa saja   Harith dan Dewa berlagak seperti ini hanya untuk menenangkan Ezar saja. "Tolong lepasin selagi aku mohon baik-baik. Di sana nggak cuma ada Maretha, tapi juga Haira. Haira adik kita. Dia dalam bahaya."

"Haira nggak kenapa-napa, Zar. Sadar!"

"Mas yang sadar! Mas mau menyesal karena nggak percaya perkataanku?"

"Nyesal apa, sih? Dia itu baru pulang sekolah tadi. Dia baik-baik aja. Jangan ngaco!"

Sungguh, Ezar makin geram. Ia masih kekeuh bahwa ia benar. Ia hendak membalas tuduhan sang kakak, tetapi mendadak telinganya berdenging panjang. Kepalanya bak dipukul dengan palu besar. Hingga menghadirkan sensasi pusing yang tak tertahankan. Tubuhnya limbung dan lemas dalam sesaat. Ezar lantas berusaha untuk memberitahu Harith sekali lagi, bahwa Haira dan Maretha sedang dalam bahaya. Namun, hal itu tak bisa terwujud karena pandangan Ezar langsung menghitam di detik berikutnya.

Harith yang dengan sigap menahan tibuh sang adik pun dibuat panik kembali. Kali ini Ezar malah jatuh tidak sadarkan diri. Ia sudah mengguncang tubuh itu, tetapi tak ada respon yang diberikan. Kesadaran Ezar lenyap sepenuhnya. Kemudian Harith segera mengeluarkan ponsel untuk menelpon ambulans. Jelas ada yang tidak beres dengan sang adik.

•••

Lanjut gak????

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Beating Again
Selanjutnya Beating Again (02 – 03)
7
5
Maaf, ya, Mas. Dari kemarin aku ngerepotin Mas terus sama yang lain. Makasih juga karena udah sabar menghadapi aku kemarin, ujar Ezar sedikit menyesal. Akibat pikirannya yang masih bercampur aduk dengan kejadian lalu, ia sulit berpikir jernih. Ia tahu kalau itu pasti menyulitkan Harith dan yang lain. Mereka pasti kebingungan karena Ezar seperti membicarakan omong kosong. Harith tersenyum tipis lalu menggeleng. Enggak ngerepotin sama sekali. Mas justru sedih karena nggak bisa mengantisipasi kejadian kemarin. Maaf, ya? Kamu pasti menyimpan banyak hal sendirian sampai akhirnya jadi begini. Maaf karena Mas kurang peka. Mas … apapun yang terjadi sama aku, bukan salah kalian karena kurang peka atau kurang perhatian. Aku memang sakit dan apa aja bisa terjadi. Seharusnya sebelum kalian yang memperhatikan kesehatanku, aku lebih dulu harus lebih perhatian sama diri sendiri. Yang terjadi kemarin bukan salah siapa-siapa. Mas nggak perlu merasa bersalah soal aku. Kalau Mas ngerasa kayak gitu, aku malah merasa terbebani.•••
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan