Banaspati Sialan!

0
0
Deskripsi

Bagaimana sensasimu naik gunung jika diganggu oleh banaspati?

Rabu, 1 November 2023

Tanggal dimana H-2 aku akan naik gunung. Bukan naik untuk iseng-iseng saja, tapi ini untuk orientasi buat anggota baru Unit Kegiatan Mahasiswa. Ya, aku ditugaskan oleh teman-teman untuk memimpin pendakian. Sejujurnya aku bukan orang yang ahli banget dalam hal pendakian, tapi nasib yang namanya abang-abangan organisasi, mentang-mentang tahun lalu aku pernah lewat rute itu, jadi tahun ini aku yang pegang tanggung jawab.

Takut, banyak hal yang membuatku takut. Pertama, aku ini tidak bisa menangani masalah gaib, bagaimana kalau tiba-tiba ada anak yang kesurupan? Ini bukan cuma pendakian biasa, karena agendanya adalah orientasi anggota baru, jadi kita ambil rute yang tidak familiar dan jarang dilewati orang. Kedua, persiapan yang dilakukan panitia sangat singkat, hanya survei rute satu kali, itupun H-10 alias 7 hari sebelum tanggal ini. Ketiga, aku yang bertanggung jawab, kalau ada apa-apa aku yang bakalan kena duluan. Keempat, kemarin kami survei berpapasan dengan Mapala lain, waduh, bisa gawat ini kalau hari H ada Mapala lain, bisa kacau rebutan tempat 

Karena overthinking itu, aku memutuskan untuk berangkat lebih awal daripada panitia, yang harusnya Jumat, aku akan menginap dulu di tempat sana satu hari lebih awal hari Kamis. Malam hari ini aku sudah mulai packing carrier ku. Tiba-tiba aku mencium bau listrik terbakar, aku lapor ke ayah, takut kalau ternyata ada korsleting listrik. Anehnya, ayah dan ibuku tidak mencium bau listrik itu, cuma aku saja yang merasa. Tapi walaupun begitu ayah tetap cek kabel dan kelistrikan, setelah 15 menit tidak memastikan apa-apa. Clear. Tidak ada korsleting listrik.

Aku kembali ke kamarku, mengambil handphone dan menghubungi temanku yang bakalan jadi panitia juga besok.

“Lang, mau aku lagek tas mambu kabel gosong, tapi ayah ku tak omongi ga mambu i” ketikku ke Gilang ["Lang, tadi aku mencium bau kabel terbakar, tapi ayahku gak berasa bau"].

Ia langsung membalas “Anjengg. Langsung merinding aku bangsat”

Ia kembali mengetik cukup lama “Mending sesuk ndak usah budal ae” ["Mending besok tidak usah berangkat saja"]. Ia salah satu orang yang tahu kalau besok aku akan pergi

“Lah, nyapo?” tanyaku ["lah kenapa?"]

“Feelingku gak enak, gak iling pas kejadian survei ta awakmu?” ["Feelingku tidak enak, apa gak ingat kejadian waktu survei?]"

*

Kita flashback sebentar waktu aku dan rombongan survei, kami berangkat dari Kampus siang hari, sampai lokasi sore hari, jadi kita harus mendaki malam hari. Sepi, tidak ada siapapun, hanya ada kami ber-6 di perjalanan itu, gak ada yang bawa sound lagi. Jadi aku hanya diam berjalan sambil memperhatikan sekitar, senter berada di tangan kananku, rokok di tangan kiri.

Karena bosan aku memainkan senter untuk menyenter daerah atas pohon-pohon.

“Kak, ojok nyenter sembarangan. Saru” Salah satu adik tingkatku memperingatkanku ["Jangan senter sembarangan. Tidak baik"]

“Onok opo sih? Wedi jumpscare a?” jawabku dengan bercanda ["Ada apa, takut jumpscare kah?"]

Aku asal menjawab saja, karakterku memang slengekan, tapi kalau ketemu langsung jumpscare kayanya aku juga lari, deh. Nah, di pendakian itu aku mengamati ada beberapa kali ‘tikungan’, dan di tikungan itu aku melihat ada pohon pisang yang daunnya melambai-lambai, padahal tidak ada angin. Ingat, satu doang, daun lainnya tetap diam. Aku mengamati, mataku fokus kesana tapi tidak memberitahu teman-teman.

Nah, tiba di tikungan terakhir, tiba-tiba aku merasa bulu kudukku merinding, suasana tiba-tiba menjadi dingin dan mencekam. Ditambah lagi muncul semerbak bau gosong yang sangat menyengat

“Mas, sampeyan mambu gak?” tanya yang sampingku ["Mas, kamu mencium bau tidak?"]

“Wes, gak usah dibahas, kandanono liyane pura-pura biasa wae” ["Sudah, tidak usah dibahas, bilangin ke yang lain pura-pura biasa saja"]

*

Kembali ke percakapanku dengan Gilang

“Kiro, kiro sosok e podo gak, Lang?” tanyaku ["Kira-kira sosoknya sama tidak, Lang?"]

“Nek teko ciri-cirine seh podo, mambu gosong” jawabnya ["Kalau dari ciri-cirinya sih sama, bau gosong"]

“Banaspati, ta?” tebakku

“Bangsat, disebut cok” Ia marah-marah kepadaku

“Kenapa?”

“Ojok disebut bangsat, aku merinding cok, ngko merene nak omahku” ["Jangan disebut, bangsat, aku merinding cok, nanti dia datang ke rumahku"]

Aku hanya tertawa saja, meninggalkan handphone tergeletak, kembali unpacking carier, batal berangkat malam ini. 10 menit kemudian spam whatsapp masuk

“BAYU BANGSAT, BARANG E WEDOK TERNYATA, MUNCUL NDEK OMAHKU” ["Bayu Bangsat. Setannya perempuan muncul di rumahku"]

“ayu gak?” ["cantik, gak?"]

“WELEK COK”

Jumat, 3 November 2023

Hari H keberangkatan. Kalian sudah bisa menebaknya. Ya, chaos.

Mulai dari pemberangkatan awal, kami sudah tiba di lokasi sebelum Jumatan. Kami Jumatan di Masjid dekat pemberangkatan. 

“Parah, ges. Masjid tempat jumatan e ngadakno solat istisqo” aku mengetik di grup WA panitia ["Parah. Masjid tempat jumatan mengadakan solat istisqa"]

Pada saat itu memang sedang kemarau panjang dan benar saja mendung langsung menumpuk. Takut keduluan hujan. aku langsung saja menaikkan peserta dengan cepat. Tapi lalai satu hal; menanyakan siapa yang sedang mens saat ini? Akibatnya apa? perjalanan kami terganggu, karena banyak peserta yang sedang mens, lemas, kami tidak bisa memaksakan untuk cepat-cepat. Minta pertolongan dari panitia lain? Ternyata penguat sinyal HT tidak dipasang, jadi aku tidak bisa berkomunikasi dengan panitia yang ada di bawah, posisiku sudah sedang naik ke atas.

“BANGSAT” aku hanya mengumpat dalam hati

Kami melanjutkan perjalanan secara perlahan, aku memimpin didepan, peserta ditengah dan ada sweeper dibelakang. Tiba-tiba sweeper dibelakang berteriak

“Eh, apa itu matanya hijau” teriak sweeper 

Aku langsung menoleh kebelakang, mendengarkan desas desus yang lainnya

“Ada anjing hutan, kak” panitia lain memberitahuku

“Oke, senternya dimatikan dulu, kalau bisa jalannya perlahan-lahan” ucapku kepada yang lainnya

Kami berjalan secara perlahan-lahan membentuk barikade, perempuan berada di tengah, laki-laki yang membawa parang bersiap-siap di tangan.

Sepanjang kiri-kanan perjalanan kami dilewati oleh anjing hutan, kami hanya menghindari saja dengan suara yang minim.

Guk guk

“Suaranya ada di belakang” yang belakang memberitahuku

Au, au, guk, guk

“Suaranya juga ada di depan” yang depan juga memberitahu

Aku masih tidak habis pikir, kami seperti terjebak di kawanan anjing hutan, padahal ini bukan ‘area’ mereka.

“Tetap jalan kedepan, tetap fokus” perintahku ke yang lain

Sampai juga kami ke tikungan, aku melihat tikungan kemarin, tikungan pohon pisang, masih sama, hanya ada satu daun yang secara konsisten untuk naik turun seperti ada yang memegang, padahal sedang tidak ada angin.

Pada tikungan terakhir, aku masih merasakan hawa yang tiba-tiba berubah menjadi dingin, mencekam, bau gosong! Aku tidak bilang ke rombongan, tapi aku menyemangati mereka karena sedikit lagi sampai ke subcamp istirahat. 

Syukur, perjalanan dari tikungan terakhir hingga subcamp tidak ada gangguan dari anjing liar, walaupun sempat bau-bau gosong, sampailah kami ke tempat yang cukup lapang bagi kami untuk beristirahat, tetapi kiri kanan hutan rimbun. Kami sampai sangat larut, pukul 21.30 malam. Kami membagi tugas, ada yang mendirikan tenda dan mengambil air untuk memasak.

Aku ikut mengambil air, di sela-sela rumbun pepohonan itu aku melihat ada cahaya berwarna merah oranye seperti api, seperti orang yang membawa obor. Aku masih berpositif thinking, waduh, jangan-jangan ada orang lain yang mau rebutan tempat, tapi siapa di zaman ini yang membawa obor, kalaupun ada pasti bawa senter berwarna putih atau kuning. Tiba-tiba cahaya itu berpindah-pindah dengan cepat.

Aku mematung, menelan ludah ‘jangan-jangan’

Kembali ke tempat, benar sekali. Chaos yang sebenar-benarnya chaos.

Anak-anak mendengar suara rintihan minta tolong dengan jelas, peserta perempuan panik, menangis. Aku bertanya, ada apa “Tadi, ada yang dengar suara rintihan minta tolong, suaranya kaya perempuan tua gitu”

Belum berhenti sampai situ, tiba-tiba ada anak yang berteriak setelah menyalakan senter, katanya ia melihat sosok yang memiliki mata merah. Semua orang yang berada disana langsung membuat barikade kembali. Semua orang berbisik, berkumpul menjadi satu, mematikan lampu senter, takut jika ada anjing atau babi hutan yang datang lagi. Kalau anjing atau babi hutan bisa menerobos tempat ini, berarti tempat istirahat ini sudah tidak aman.

Anak yang tadi berteriak mendekatiku dalam barikade, berbisik “Kak, yang kulihat tadi bukan hewan", aku tidak memperdulikan omongannya, hanya bilang “Banyak-banyak istighfar saja”

Saat kami membuat barikade itu, kami melihat ada satu siluet tubuh yang tidak masuk dalam barikade kami. Aku menyuruh untuk menghitung rombongan, karena tidak ada yang menyalakan senter. 

“Lengkap, mas” salah satu laporan kepadaku

Aku langsung menyadari jika bayangan itu ‘bukan dari rombongan kami’, aku tidak memperdulikan anggota yang lain, entah mungkin sudah ada yang menangis dalam diam. Aku hanya meminta rombongan untuk beristighfar. Tiba-tiba bayangan itu menjadi tinggi dua kali lipat, semua orang jerih melihatnya. Sama, aku juga. Tidak pernah terpikirkan hari ini dihadapanku terdapat bayangan yang tentu saja bukan manusia, dan aku harus bertanggung jawab terhadap semua nyawa disini yang aku bawa.

Aku tidak tahu harus melakukan apa, aku beristighfar saja sebisaku, bayangan itu juga tidak bergerak mendekati. Ada keheningan mungkin beberapa menit, tapi bagiku tadi seperti beberapa jam. Entah tiba-tiba aku menyalakan senter dan menyorot tepat di bayangan itu dan tiba-tiba saja hilang!

Aku tak percaya, tetapi sekaligus lega “Kalian tadi lihat apa yang aku lihat kan, rek?” tanyaku memvalidasi, “Iya, kak” jawab yang lain

Setelah itu yang lainnya terduduk, mengambil air minum, menenangkan pikirannya, setelah mendapatkan kepungan anjing hutan, mereka juga harus menghadapi kepungan setan alas.

Semak-semak bergerak, aku menahan napas kembali, apalagi yang harus kita dapatkan ini. Lalu muncul dua orang manusia, kali ini manusia beneran. Ternyata itu adalah panitia dari bawah, ia membawakan tenda tambahan sekaligus mengantarkan peserta yang izin terlambat. Dua orang yang baru datang itu bingung melihat semua orang disini mukanya pucat.

“Ada apa ini, kak?” panitia itu tanya kepadaku

“Eh, tidak ada apa-apa” jawabku

“Aku boleh ikut Riza nggak kak?” salah satu panitia bertanya kepadaku, Riza adalah panitia yang baru datang

“Maksudnya?” tanyaku memperjelas

“Turun” jawabnya, ia adalah sweeper yang tadi kaget melihat anjing hutan dan sosok yang bermata merah

“Yasudah, silakan” aku mempersilakan anak itu untuk turun kembali dengan Riza, sepertinya dia sudah kena mental.

Setelah dirasa tenang, aku menyuruh mereka untuk melanjutkan tugas, mengingat sudah larut malam. Aku mengambil air wudhu, sholat, wirid. Mencoba memagari mereka. Saat melakukan wirid, entah kenapa tengkuk ku terasa berat, tapi aku masih memaksakan untuk wirid, semakin berat tiba-tiba mataku gelap dan ambruk.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Laki-laki yang Tak Berani Berjudi
3
1
Sudah lima menit aku menyeruput lemon teh es yang kupesan. Sendirian. Aku masih menunggu seseorang yang tadi whatsapp, meminta untuk bertemu. Tumben, pikirku. Tidak perlu ribet, kami janjian di salah satu cafe yang sering kami datangi. “Halo, kak. Udah lama nungguin, ya? Maaf tadi lagi ada masalah sebentar”Yusnia namanya. Walaupun secara tahun lahir, dia lebih dulu dariku, tapi dia memanggilku kakak. Tanpa perlu dijelaskan, aku tahu permasalahan apa. Ya, pasti dia sedang berkonflik dengan Faisal, pacarnya.Sudah agak lama dari terakhir kali ia menghubungiku. Nantinya dia akan bercerita, dan aku secara takzim mendengarkan ceritanya. Benar-benar mendengarkan, tidak memotong ceritanya ataupun memberinya suatu saran apapun. Begitu suasana hatinya membaik, pertemuan ini dibubarkan. Mungkin karena aku bersedia untuk membagi waktunya untuk berkeluh-kesah, makanya ia memanggilku “Kakak”.Tapi seperti sebuah pepatah lama yang mengatakan kalau tidak mungkin laki- laki dan perempuan menjalin satu pertemanan tanpa ada rasa suka. Ya, aku tidak menampik hal itu. Dan itulah yang membuatku bersedia untuk meluangkan waktu mendengarkan keluh kesahnya. Sebagai seorang laki-laki paripurna yang sudah melewati masa akil baligh, aku menginginkan hubungan yang lebih dari sekedar ‘kakak dan adik’. Ah, itu hanya obsesiku saja. Aku seorang pengecut. Memegang tangannya untuk memberikan kode bahwa ‘aku memiliki perasaan padanya’ pun tak sanggup, apalagi mencoba menawarkan untuk nonton bioskop atau pergi malam minggu. Bagaimana bisa aku mendapatkan momentum yang tepat untuk mengatakan aku mencintainya?Lebih tepatnya aku takut pada asumsi dan ekspektasi. Bagaimana kalau saat aku menyatakannya lalu ia menolak? Bagaimana responnya setelah itu, apakah ia akan menjauhiku? Apakah memang ia hanya menganggap aku sebagai sosok kakak saja, tidak lebih? Aku kalah pada asumsi. Aku lebih takut akan rentetan kejadian tidak mengenakkan jika ternyata Yusnia tidak menyukaiku balik. Mungkin hubungan kami renggang, nomor whatsappku diblock olehnya. Aku kalah sebelum bertarung.Yusnia tidak tahu itu, makanya ia tetap berhubungan baik denganku. Dan aku walaupun pengecut tetapi gentleman, seburuk apapun kondisi Yusnia dengan Faisal, aku tidak sampai hati untuk mengompori mereka untuk berpisah. Maka dari itu, aku lebih memilih diam takzim tanpa harus berkomentar apa-apa.Karena ini adalah cerita tentangnya, agar kalian lebih memahami bagaimana gambaran perasaanku, izinkan aku menceritakan awal mula pertemuan kami.***** Aku dan Yusnia pertama kali bertemu karena diklat salah satu organisasi di SMA. Kami berkenalan dengan cara unik, saat itu sedang ada outbond air, baju kami basah dan kotor. Dia melemparkan pasir ke punggungku. Aku menoleh sekitar, mencari siapa yang melempar pasir. Aku melihat wajahnya yang tertawa dan tidak ada dosa, lalu menyodorkan tangannya untuk berkenalan. “Aku Yusnia, dari IPA 1”. Aku menyebutkan nama teman SMP yang sekelas dengannya dan mirip dengan namanya, apakah dia kenal. “Kami malah satu bangku”, jawab Yusnia. Akupun mengangguk dan membalas “Ya, aku asumsikan kamu tahu namaku, jadi kita tidak perlu berkenalan lagi. Kalau nggak tau, ya silahkan tanya temanmu”, aku merasa tidak mau kalah atas perkenalanku dengan berlaga sok cool. Sejak saat itulah ia memanggilku “kakak”, sebutan itu dia sematkan setelah mengetahui kalau aku memang aktif dalam ekstrakulikuler Pramuka saat SMP. Singkat cerita, aku dan Yusnia diterima dalam organisasi tersebut. Kami lebih banyak saling mengenal karena kesibukan di organisasi itu. Misalnya, saat menjaga upacara, aku kebagian pos yang sama dengan Yusnia. Begitu juga dengan jadwal piket harian, aku mendapatkan hari yang sama dengannya. Semakin aku tahu tentang Yusnia, semakin aku sadar kalau ia merupakan “bunga”. Betapa banyak laki-laki di sekolah yang menginginkannya. Sebagai gambaran, di organisasi kami, ada sekitar 12 laki-laki, hampir separuhnya menyukai Yusnia, baik secara terang-terangan ataupun malu-malu. Aku masuk bagian mana? Tidak terang-terangan, juga tidak secara malu-malu. Aku lebih memilih topeng untuk perasaanku. Tapi, justru aku adalah potensi musuh dalam senyap paling berbahaya untuk laki-laki lainnya. Dan benar, Yusnia selama tiga tahun di sekolah tidak memiliki pacar. Seolah-olah ia menunggu seseorang. Siapakah seseorang itu? Kalau boleh geer karena beberapa hal, akulah orang yang ditunggu itu. Rasional saja. Pertama, aku adalah orang yang paling dekat dengan Yusnia, mulai dari tempat duduk rapat, ia selalu memilih berada di sebelahku saat duduk rapat, saat bosan rapat di sekolah, kami keluar untuk rapat di cafe, Yusnia selalu minta gonceng aku saja, tidak mau orang lain.Ketika ia minta bantuan, selalu minta bantuan kepadaku. Misalnya ia memintaku untuk mendampinginya membikin stempel untuk usaha nasi kotak ibunya, saat laptopnya rusak, selalu minta bantuan padaku. Bahkan, ada satu momen, dimana ia menjaga acara sekolah pada malam hari pukul 11, ia keseleo, dan menelponku meminta datang untuk mengurutnya.Oke, aku sepakat ke kalian jika berpikir kalau aku kegeeran. Apalagi pada zaman sekarang sering orang dimanfaatkan dengan dalih “friendzone”. Tapi, jika aku melihat wajahnya yang teduh, aku merasa ia akan tidak tega untuk memanfaatkan seseorang.Baiklah, aku masih punya dua momen lagi yang aku merasa kalau ia seakan memberikan kode kepadaku. Aku tahu dia suka makan seblak, kami sering memesannya. Saat itu kami telah selesai piket sore, memastikan setiap ruangan kelas tidak ada barang yang tertinggal, jika ada barang tertinggal kami akan mendata dan menyimpannya dan akan diinformasikan saat upacara minggu depannya. Menjelang maghrib, sebelum pulang ke rumah, dia minta untuk beli seblak. Aku pun mengiyakan, sempat bertanya apa nggak dibawa pulang sekalian. Dia menolak, rumahnya jauh, nggak enak nanti kalau sampai rumah. Di tengah percakapan kami sambil menghabiskan seblak, ia menyeletuk “Kakak kenapa nggak cari pacar?”. Pertanyaan itu membuatku tersedak, kami canggung, ia pun mengalihkan pembicaraan. Memang sekilas tidak ada yang salah atas pertanyaan itu, toh kami juga sudah bertahun-tahun berteman. Tapi aku merasa saat itu pertanyaannya semacam memberikan kode kepadaku. Yang terakhir. Saat itu sedang SNMPTN. Ia menelponku, meminta datang ke kafe yang sama, katanya ada problem dengan akunnya. Ternyata ia tidak sendirian, ia bersama sahabatnya, yang juga temanku yang aku sebutkan di awal pertemuan kami. Segera aku bergabung di meja itu, di sebelahnya Yusnia dan berhadapan dengan teman kami. Setelah ia menjelaskan masalahnya, aku mengambil alih laptopnya. Dan, saat itu, ia menyenderkan kepalanya di bahu ku. Sepanjang kami di cafe, rasa canggung itu seakan menggelantung di langit-langit cafe. Aku menceritakan itu kepada temanku. ia hanya bilang “Kenapa memangnya kalau cuma menyenderkan bahu?” Bayangkan. Kami saat itu sedang di cafe, ranah publik. Dan ia melakukan itu di depan sahabatnya sendiri. Butuh keberanian untuk melakukan itu. Apalagi kepada orang yang bukan siapa-siapanya.Tapi, berbagai pengalaman itu, hanya sebatas asumsiku. Aku tidak mengetahui apakah Yusnia mencintaiku. Aku tidak berani menembaknya. Aku bukan seorang pejudi handal, seorang pejudi tahu akan resikonya, tapi ia juga tahu apa hadiahnya setelah mengambil resiko itu. Aku sangat mamang akibat resiko terburuk kalau aku menembaknya; Yusnia menghindariku, hanya menganggap aku sebagai sahabat yang terlalu kegeeran. Tambahkan faktor lain; ia merupakan bunga, banyak orang menyukainya, termasuk teman sekelasku. Ketika aku mengetahui temanku juga menyukai Yusnia, aku semakin mengurungkan niat untuk menembaknya. Karena diterima atau ditolak, beritanya akan segera menyebar seluruh sekolah dan aku tidak ingin pertemananku hancur karena perempuan. Jadi, aku tidak mengambil resiko itu. Hanya kupendam perasaanku.Bahkan ketika wisuda, aku tidak berani untuk meminta foto berdua, mencari teman untuk foto bareng-bareng dengan dia. Tidak seperti lazimnya cerita cinta. Cerita ini harus ditutup karena sang laki- laki sangat pengecut dan tidak berani mengungkapkan perasaannya. Tidak, tidak ada keajaiban misalnya sang perempuan menembak saat acara wisuda. Setelah wisuda kami sudah jarang berkomunikasi, semi lost contact. Tapi aku masih melihat Instagramnya, setelah lulus ia bekerja dan memiliki pacar yang bernama Faisal.*** Kembali ke Cafe. Kami masih sering bertemu untuk saling mengenang masa sekolah. Tapi akhir-akhir ini ia sering minta bertemu ketika sedang ada masalah dengan Faisal. Termasuk saat ini. Tapi kali ini berbeda. Jika biasanya ia hanya bercerita dan diakhiri dengan menghela nafas panjang, kali ini ia menangis sesenggukan, seolah ia sudah tidak kuat lagi menanggung beban beran dan siap untuk ditumpahkan “Aku udah nggak kuat, kak. Seminggu lalu aku baru tahu kalau Faisal itu selingkuh. Tahu yang lucu apa? Dia chattingan di aplikasi GoJek. Kami akhirnya putus baik-baik” “Ah, keputusan yang bijak itu. Kalau penyakitnya selingkuh itu kambuhan. Dan ya, walaupun kalian putus kan masih bisa berteman, gak boleh memutus silaturahmi” jawabku sok bijak“Bukan gitu, kak. Kenapa aku bisa putus secara baik-baik, kalau dia selingkuh dari aku, sejujurnya, aku juga ‘berselingkuh’. Bener dia pacarku, tapi sejujurnya hatiku lebih sreg ke orang lain” “Memangnya siapa?” aku mengernyitkan dahi, penasaran. “Kakak”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan