
Dalam dunia sastra, esai dan artikel dimasukkan dalam kategori nonfiksi, untuk membedakannya dari puisi, cerpen, novel dan drama yang dikategorikan sebagai fiksi.
Pada dasarnya, esai dan artikel itu sama, meskipun esai lebih sering digunakan untuk tulisan beropini dan lebih personal.
Artikel memiliki makna lebih luas. Dia mencakup tulisan ilmiah populer, jurnalisme sastrawi, memoir dan biografi. Esai atau opini banyak kita jumpai pada halaman-halaman koran atau majalah, kita akan menemukan banyak esai atau opini.
Tulisan-tulisan nonfiksi kreatif punya karakteristik sebagai berikut:
- OPINI: mewakili opini si penulis tentang sesuatu hal atau peristiwa.
- SUBYEKTIF: mengandung unsur subjektivitas, bahkan jika tulisan itu dimaksudkan sebagai analisis maupun pengamatan yang “objektif”.
- PERSUASIF: memiliki lebih banyak unsur imbauan si penulis ketimbang sekadar paparan “apa adanya”. Dia dimaksudkan untuk mempengaruhi pembaca agar mengadopsi sikap dan pemikiran penulis, atau bahkan bertindak sesuai yang diharapkan penulis.
Meskipun banyak, sayang sekali, tulisan-tulisan itu jarang dibaca. Dalam berbagai survei media, rubrik opini dan editorial (OP-ED) umumnya adalah rubrik yang paling sedikit pembacanya. Ada beberapa alasan:
- SERIUS dan PANJANG: orang menganggap tulisan rubrik opini terlampau serius dan berat. Para penulis sendiri juga sering terjebak pada pandangan keliru bahwa makin sulit tulisan dibaca (makin teknis, makin panjang dan makin banyak jargon, khususnya jargon bahasa Inggris) makin tinggi nilainya, bahkan makin bergengsi. Keliru! Tulisan seperti itu takkan dibaca orang banyak.
- KERING: banyak tulisan dalam rubrik opini cenderung kering, tidak “berjiwa”, karena penulis lagi-lagi punya pandangan keliru bahwa tulisan analisis haruslah bersifat dingin: obyektif, berjarak, anti-humor dan tanpa bumbu.
- MENGGURUI: banyak tulisan opini terlalu menggurui (berpidato, berceramah, berkhotbah), sepertinya penulis adalah dewa yang paling tahu.
- SEMPIT: tema spesifik umumnya ditulis oleh penulis yang ahli dalam bidangnya (mungkin seorang doktor dalam bidang yang bersangkutan). Tapi, seberapa pun pintarnya, seringkali para penulis ahli ini terlalu asik dengan bidangnya, terlalu banyak menggunakan istilah teknis, sehingga tidak mampu menarik pembaca lebih luas untuk menikmatinya.
Berbeda dengan menulis untuk jurnal ilmiah, menulis untuk koran atau majalah adalah menulis untuk hampir “semua orang”. Tulisan harus lebih renyah, mudah dikunyah, ringkas, dan menghibur (jika perlu), tanpa kehilangan kedalaman—tanpa terjatuh menjadi tulisan murahan. Bagaimana itu bisa dilakukan? Kreativitas. Dalam era kebebasan seperti sekarang, seorang penulis dituntut memiliki kreativitas lebih tinggi untuk memikat pembaca. Pembaca memiliki demikian banyak pilihan bacaan. Lebih dari itu, sebuah tulisan di koran dan majalah tak hanya bersaing dengan tulisan lain di koran/majalah lain, tapi juga dengan berbagai kesibukan yang menyita waktu pembaca: pekerjaan di kantor, menonton televisi, mendengar musik di radio, mengasuh anak dan sebagainya.
Mengingat “reputasi” esai sebagai bacaan serius, panjang dan melelahkan, tantangan para penulis esai lebih besar lagi. Dari situlah kenapa belakangan ini muncul genre atau aliran baru dalam esai, yakni nonfiksi yang ditulis secara kreatif.
Dalam nonfiksi kreatif, penulis esai mengadopsi teknik penulisan fiksi (dialog, narasi, anekdot, klimaks dan anti klimaks, serta ironi) ke dalam nonfiksi. Berbeda dengan penulisan esai yang kering dan berlagak obyektif, nonfiksi kreatif juga memungkinkan penulis lebih menonjolkan subyektivitas serta keterlibatan terhadap tema yang ditulisnya.
Karena memberi kemungkinan subyektivitas lebih banyak, esai seperti itu juga umumnya menawarkan kekhasan gaya (“style”) serta personalitas si penulis.
Di samping kreatif, kekuatan tulisan esai di koran atau majalah adalah pada keringkasannya. Tulisan itu umumnya pendek (satu halaman majalah, atau dua kolom koran), sehingga bisa ditelan sekali lahap (sekali baca tanpa interupsi).
Berbeda dengan opini/esai pada umumnya, kolom adalah esai reguler (biasanya mingguan) yang ditulis oleh penulis tertentu dan memiliki satu nama rubrik tertentu. Contoh: “Catatan Pinggir” Goenawan Mohamad di Majalah Tempo; “Asal-Usul” Mahbub Junaedi di Harian Kompas; Umar Kayam di Kedaulatan Rakyat.
Penulis Kolom Terkemuka Indonesia
“Nonfiksi kreatif” bukan genre yang sama sekali baru sebenarnya. Pada dekade 1980-an dan awal 1990-an kita memiliki banyak penulis esai/kolom yang andal, mereka yang sukses mengembangkan style dan personalitas dalam tulisannya. Tulisan mereka dikangeni karena memiliki sudut pandang orisinal dan ditulis secara kreatif, populer serta stylist.
Para penulis itu adalah beberapa diantaranya Mahbub Junaedi, Goenawan Mohamad, Umar Kayam, YB Mangunwijaya, MAW Brower, Syubah Asa, Dawam Rahardjo, Abdurrahman Wahid, Arief Budiman, Mochtar Pabottingi, Rosihan Anwar dan Emha Ainun Nadjib.
Untuk menunjukkan keluasan tema, perlu juga disebut beberapa penulis kolom lain yang menonjol pada era itu:
- Faisal Baraas (kedokteran-psikologi)
- Bondan Winarno (manajemen-bisnis)
- Sanento Yuliman (seni-budaya)
- Ahmad Tohari (agama)
- Jalaluddin Rakhmat (media dan agama)
Bukan kebetulan jika sebagian besar penulis esai-esai yang menarik itu adalah juga sastrawan. Mereka juga penyair dan cerpenis/novelis. Bondan Winarno (ahli manajemen) dan Faisal Baraas (seorang dokter) memiliki kumpulan cerpen sendiri. Dawam Rahardjo juga sesekali menulis cerpen di koran. Namun, pada dekade 1990-an kita kian kehilangan penulis seperti itu. Sebagian besar dari mereka sudah meninggal.
Pada era 1990-an ke sini, kita memang menemukan banyak penulis esai baru—namun inilah era yang didominasi oleh penulis pakar ketimbang sastrawan. Faisal dan Chatib Basri (ekonomi), Reza Sihbudi, Smith Alhadar (luar negeri, dunia Islam), Wimar Witoelar (bisnis-politik), Imam Prasodjo, Rizal dan Andi Malarangeng, Denny JA, Eep Saefulloh Fatah (politik) untuk menyebut beberapa. Namun, tanpa mengecilkan substansi isinya, banyak tulisan mereka umumnya “terlalu serius” dan kering.
Eep barangkali adalah salah satu pengecualian; tak lain karena dia juga sesekali menulis cerpen.
Sementara itu, kita juga melihat kian jarang para sastrawan muda sekarang menulis esai, apalagi esai yang kreatif. Eka Kurniawan dan Seno Gumira Ajidarma adalah pengecualian. Padahal, sekali lagi, mengingat “reputasi” esai sebagai bacaan serius (panjang dan melelahkan), tantangan kreativitas para penulis esai lebih besar lagi.
Tuntutan bagi Penulis Esai
Esai astronomi Stephen Hawking “A Brief History of Time”, observasi antropologis Oscar Lewis “Children of Sanchez” dan skripsi Soe Hok Gie tentang pemberontakan Madiun “Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan” bisa kita nikmati seperti sebuah novel. Kolom manajemen Bondan Winarno “Kiat” dan artikel kedokteran-psikologi Faisal Baraas ”Beranda Kita" bisa dinikmati seperti cerpen.
Mengapa bisa begitu?
Nonfiksi kreatif menuntut pendekatan yang spontan dan imajinatif, tapi tetap mempertahankan kebenaran, validitas maupun integritas informasi yang disampaikan. Inilah mengapa bentuk nonfiksi kreatif menjadi menarik bagi banyak orang karena berisi gagasan baru atau interpretasi yang segar terhadap konsep-konsep yang telah lama mapan dalam bidang sejarah, sains dan seni.
Hawking, Lewis, Hok Gie, Bondan dan Baraas adalah beberapa penulis “pakar” yang mampu mengangkat tema-tema spesifik menjadi bahan bacaan bagi khalayak yang lebih luas. Tak hanya mengadopsi teknik penulisan populer, mereka juga menerapkan teknik penulisan fiksi secara kreatif dalam esai-esai mereka.
Untuk mencapai keterampilan penulis semacam itu diperlukan sejumlah prasyarat dan sikap mental tertentu:
1. Keingintahuan dan Ketekunan
Sebelum memikat keingintahuan pembaca, mereka harus terlebih dulu “memelihara” keingintahuannya sendiri akan sesuatu masalah. Mereka melakukan riset, membaca referensi di perpustakaan, mengamati di lapangan, bahkan jika perlu melakukan eksperimen di laboratorium untuk bisa benar-benar menguasai tema yang akan mereka tulis. Mereka tak puas hanya mengetahui hal-hal di permukaan, mereka tekun menggali. Sebab, jika mereka tidak benar-benar paham tentang tema yang ditulis, bagaimana mereka bisa membaginya kepada pembaca?
2. Kesediaan untuk berbagi
Mereka tak puas hanya menulis untuk kalangan sendiri yang terbatas atau hanya untuk pembaca tertentu saja. Mereka akan sesedikit mungkin memakai istilah teknis atau jargon yang khas pada bidangnya; mereka menggantikannnya dengan anekdot, narasi, metafora yang bersifat lebih universal sehingga tulisannya bisa dinikmati khalayak lebih luas. Mereka tidak percaya bahwa tulisan yang “rumit” dan sulit dibaca adalah tulisan yang lebih bergengsi. Mereka cenderung memanfaatkan struktur tulisan sederhana, seringkas mungkin, untuk memudahkan pembaca menelan tulisan.
3. Kepekaan dan Keterlibatan
Bagaimana bisa menulis masalah kemiskinan jika tidak pernah bergaul lebih intens dengan kehidupan gelandangan, pengamen jalanan, nelayan dan penjual sayur di pasar?
Seorang Soe Hok Gie mungkin takkan bisa menulis skripsi yang “sastrawi” jika dia bukan seorang pendaki gunung yang akrab dengan alam dan suka merenungkan berbagai kejadian. Menulis catatan harian serta membuat sketsa dengan gambar tangan maupun tulisan seraya kita bergaul dengan alam dan lingkungan sosial yang beragam mengasah kepekaan kita. Kepekaan terhadap ironi, terhadap tragedi, humor dan berbagai aspek kemanusiaan pada umumnya.
Sastra (novel dan cerpen) kita baca bukan karena susunan katanya yang indah melainkan karena dia mengusung nilai-nilai kemanusiaan.
4. Kekayaan Bahan
Meski meminati bidang yang spesifik, penulis esai yang piawai umumnya bukan penulis yang “berkacamata kuda”. Dia membaca dan melihat apa saja? Hanya dengan itu dia bisa membawa tema tulisannya kepada pembaca yang lebih luas. Dia membaca apa saja (dari komik sampai filsafat), menonton film (dari India sampai Hollywood), mendengar musik (dari dangdut sampai klasik). Dia bukan orang yang tahu semua hal, tapi dia tak sulit harus mencari bahan yang diperlukannya: di perpustakaan mana, di buku apa, di situs internet mana.
5. Kemampuan Sang Pendongeng
Cara berkhotbah yang baik adalah tidak berkhotbah. Persuasi yang berhasil umumnya disampaikan tanpa pretensi menggurui. Pesan disampaikan melalui anekdot, alegori, metafora, narasi, dialog seperti layaknya dalam pertunjukan wayang kulit.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
