STUCK [Chapter 8-10]

0
0
Deskripsi

“I'm confused between love and friendship”

Kita terjebak dalam lingkaran bernama ‘persahabatan’ yang kita buat sendiri.

CHAPTER 8 – UNDER PROTECTION

“MASA sih dia suka sama gue? Aneh nggak sih menurut lo?” tanya Sera suatu hari.

Sudah hampir sebulan semenjak Marshal mengumumkan hubungannya dengan Prily kepada Sera. Selama sebulan itu juga mereka jadi jarang bertemu. Meskipun masih tetap berkomunikasi lewat chat, dikarenakan kesibukan mereka masing-masing. Kalau Sera sih alasan kesibukannya murni karena kegiatan kampus. Lain lagi dengan Marshal. Sera yakin alasan kesibukan cowok itu nggak jauh-jauh dari Prily.

Oh ya, Sera sempat dibuat takjub pada cowok itu. Mengingat kali ini adalah rekor terlama yang ia punya dalam menjalin hubungan. Sera salut pada Prily yang bisa membuat cowok itu bertekuk lutut. Dan tobat dari menjadi playboy tentunya.

Kali ini, Marshal menyempatkan diri menemui Sera di kampusnya. Mereka sedang makan siang di kantin kampus. Hanya berdua, karena keempat teman mereka sudah pamit lebih dulu. Suci dan Dea ada kerja kelompok. Sementara, Harris dan Doni ada keperluan di gedung student center.

Sedari tadi mereka saling bertukar cerita. Marshal terus menerus menceritakan dan membanggakan pacarnya. Sama halnya dengan Sera. Ia bercerita bahwa ada teman satu angkatannya yang sedang mendekati dia.

Awalnya, ia tidak percaya karena hal tersebut hanya asumsi dari seorang temannya yang menyatakan bahwa Bara menyukai dia. Tapi, begitu cowok itu mulai berani mendekati dia secara terang-terangan, Sera mulai percaya. Bahkan, sepertinya gadis itu memiliki ketertarikan yang sama.

“Wajar kali cowok suka sama lo. Lo itu loveable. Gampang buat jatuh cinta sama lo.” jawab Marshal sambil mengunyah keripik yang ia beli.

Sera mengangguk meskipun ia tak yakin. Pasalnya, kalau ia gampang membuat cowok jatuh cinta, terus kenapa teman-teman perempuannya memanfaatkan dia?

“Kalo cowok gampang suka sama gue, kenapa temen-temen gue yang cewek pada manfaatin gue?” ujar Sera menanyakan apa yang ada dalam pikirannya.

“Itu mah mereka aja yang bego. Punya temen baik malah dimanfaatin buat hal yang nggak baik.” Marshal memasukkan kembali keripik ke mulutnya dan mengunyahnya, “Lo harus bisa jauhin orang kayak gitu, Ra.”

“Iya, gue udah jauhin mereka kok. Ngomong sama mereka kalo ada perlu aja.”

Sera mengedarkan pandangannya ke seisi kantin. Matanya tak sengaja menangkap siluet seseorang yang akhir-akhir ini sedang dekat dengannya.

“Shal, itu tuh cowok yang gue ceritain tadi.” Ujar Sera sambil menepuk-nepuk lengan Marshal. Memintanya memfokuskan perhatian pada objek yang sedang ia amati.

“Siapa, sih?” tanya Marshal seraya matanya menelusuri isi kantin.

“Itu Bara. Cowok yang suka sama gue. Yang gue ceritain barusan. Arah jam sebelas.”

Marshal akhirnya menemukan cowok yang Sera maksud. Sedetik kemudian ia menaikkan sebelah alisnya.

“Gimana menurut lo? Oke nggak?”

Marshal memindai penampilan Bara dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Biasa aja. Gantengan juga gue.”

Sera tak terima. Ia memukul bahu Marshal. “Ish, ganteng gitu kok.”

Menurut Sera, Bara memang tampan. Mukanya ala-ala cowok timur tengah. Sebelas dua belas lah sama Zayn Malik.

Marshal hanya menanggapi dengan mengedikkan bahunya. Dan melanjutkan makan keripiknya yang belum habis. Respon dia seakan tidak peduli.

Padahal keesokan harinya, Marshal diam-diam mengawasi Bara. Tiap cowok itu mendekati Sera, selalu dihalangi oleh Marshal. Bukan tanpa maksud. Menurutnya, Sera itu polos. Nanti kalau dia dimanfaatin juga sama cowok itu gimana? Udah cukup deh Sera dimanfaatin sama teman sekelasnya waktu itu.

Padahal sih kalau dilihat-lihat Bara orang yang baik. Ia sepertinya memang tulus menyukai Sera.

Sera sedang duduk di atas bangku yang disediakan oleh pihak kampus di area taman ditemani oleh Bara. Mereka duduk berhadapan dipisahkan oleh sebuah meja. Beberapa hari mengenal Bara membuat Sera tahu bahwa Bara tipe cowok humoris. Sera jadi sedikit tertarik pada cowok itu. Bahkan terkadang Sera ikut menimpali guyonannya.

Mereka sedang asyik mengobrol membicarakan banyak hal saat tiba-tiba Marshal menghampiri dari kejauhan.

Sorry,” ucapan Marshal membuat kedua orang itu menoleh

“Hai, Shal.” Sapa Sera tersenyum manis.

“Sera ada perlu sama gue.” Saat Marshal mengatakan itu, ia menatap datar Bara. Tak mempedulikan sapaan Sera barusan.

“Ayo, Ra,” lanjutnya. Marshal menarik tangan Sera pelan, memintanya ikut dengannya.

“Nanti dulu,” tahan Sera. “Mau ngapain?”

“Gue ada perlu sama lo.”

“Emangnya kita ada janji sebelumnya?” tanya Sera bingung.

“Ada.” Marshal mendecak. Sementara Sera mengingat-ingat. Seingatnya ia tidak ada janji dengan Marshal hari itu.

“Udah cepet ikut. Gue butuh lo.” ujar Marshal tak sabar, dengan penekanan pada setiap katanya. Ia kembali menarik tangan Sera.

Sebelum beranjak, Sera sempat berpamitan pada Bara. Dengan setengah hati, cowok itu merelakan gebetannya pergi.

Dari tempatnya duduk, Bara masih menatap kepergian Sera sampai mereka menjauh. Dalam hati ia berkata, ternyata memang benar gosip yang beredar, bahwa Sera ada pawangnya. Dan orang itu adalah cowok yang seenaknya menarik Sera tadi.

Bara mendesah. Ternyata memang sulit mendekati Sera.

***

Sera menarik paksa genggaman tangan Marshal pada tangannya. Ia sadar bahwa Marshal tidak bermaksud mengajaknya kemana-mana. Ingatannya masih bagus. Ia memang tidak ada janji dengan cowok itu hari ini.

Sahabatnya itu sedang berusaha menjauhkan dia dari calon pacarnya. Lagi. Setelah kejadian si ketua BEM, Arka, tidak juga berhasil mendekati dirinya.

Sera merasa dia tidak juga punya pacar karena tiap cowok yang berusaha mendekatinya pasti akan diganggu sama Marshal. Mereka akan takut lalu lari terbirit-birit. Sera tidak tahu apa saja yang sudah Marshal perbuat pada Bara. Tapi, ia bisa menebak pasti setelah ini Bara tidak lagi menghubunginya.

“Apaan?” Marshal menghentikan langkahnya saat ia merasakan Sera menarik paksa tangannya dari genggamannya. Mereka saat ini berada di pinggir danau yang masih berada di dalam area kampus.

“Apa apa,” ujar Sera ketus, “Lo ngapain sih ganggu aja? Sana urusin tuh monyet lo.”

Monyet?”

“Cewek baru lo!”

“Kenapa jadi bawa-bawa cewek gue?”

“Lo tuh jangan deket-deket gue kalo lagi di-pedekate-in cowok. Mereka jadi mundur teratur tau nggak.” Omel Sera sambil mencebikkan bibirnya.

“Itu sih mereka aja yang cemen. Kalo emang mereka beneran niat tulus sama lo, mereka akan perjuangin lo, apapun rintangannya. Harusnya lo bersyukur gue kayak gini. Cowok-cowok yang mau jahatin lo jadi mikir seribu kali.”

“Ya terus gimana gue mau punya pacar kalo gitu caranya?! Nggak semua cowok jahat ya, Shal!” Sera masih mengomel, kali ini dengan nada sedikit meninggi.

Marshal menaikkan sebelah alisnya, meremehkan, “Oh ya?”

“Iyalah. Bara baik. Dia keliatan serius sama gue.”

“Itu cuma luarnya aja, Ra. Nggak ada yang tau kan aslinya kayak apa. Lagian nggak usah sok-sokan punya pacar lo. Masih kecil.” Ujar Marshal sambil menoel-noel pipi Sera – yang sedikit tembam akhir-akhir ini -- dengan telunjuknya, yang langsung ditepis oleh cewek itu dengan kesal.

“Justru gue harus punya pacar. Biar kalo lo lagi sama cewek lo, gue bisa ajak jalan pacar gue. Gue juga bisa pamer ke elo. Emangnya lo doang yang bisa pacaran.”

“Nggak perlu pacar kali kalo mau ajak jalan doang mah. Ajak aja tuh si Suci sama Dea.”

Sera memutar bola matanya, “Ya beda kali jalan bareng sahabat sama jalan bareng pacar. Kenapa sih lo larang gue pacaran terus? Emangnya lo doang yang boleh pacaran, ha?”

“Iya, emang gue doang yang boleh pacaran. Kenapa? Kalo lo punya pacar tuh ribet ngurusnya. Belum tentu mereka bisa tahan sama kelakuan lo. Cuma gue yang tau kelakuan asli lo kayak apa.”

“Emangnya gue kenapa? Nggak ada yang salah dari gue.”

Sera sedikit keki saat Marshal memandangnya datar. Tidak ada jawaban apapun dari cowok itu hingga beberapa detik.

Hingga cowok itu mengibaskan tangannya dan berkata, “Ya, pokoknya gitu deh. Udah lo dengerin aja apa kata gue.”

Sera memandang Marshal sambil mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti sebenarnya sahabatnya ini kenapa sih? Kurang belaian kali ya dari ceweknya?

Sera mendecak. Ini Marshal beneran udah kayak orang tuanya deh, yang ngatur ini-itu. Orang tuanya sendiri aja nggak pernah ngatur Sera harus dekat sama siapa, termasuk cowok yang lagi deketin dia. Mereka percaya Sera sudah dewasa dan bisa menjaga diri.

Lah, ini si Marshal ngapain coba?

“Tau, ah.” Gumam Sera tak acuh lalu melengos pergi. Belum sempat langkahnya menjauh, tangannya sudah ditahan lebih dulu oleh cowok itu.

“Mau kemana lo?”

“Gue males sama lo!” seru Sera sarkas tepat di depan muka Marshal. Ia mendengus keras ke arah cowok itu membuat Marshal reflek memundurkan sedikit kepalanya karena terkena helaan napas Sera.

Semoga nggak campur sama upil.

“Temenin gue makan. Please, ya?” ujar Marshal dengan menangkupkan tangan depan wajahnya, memohon.

Sera baru akan menerima tawaran itu–karena memang dia juga merasa lapar–namun urung saat mendengar perkataan Marshal selanjutnya.

“Prily lagi sibuk. Jadi nggak bisa makan bareng. Lo temenin gue, ya?” pinta Marshal memelas.

Tuh kan bener dugaan Sera! Marshal kurang belaian. Dan dia jadi sasarannya.

“Makan sana sendiri!” ujar Sera ketus dan langsung beranjak pergi.

Sera berjalan dengan menghentakkan kakinya dan tidak menyahuti panggilan Marshal di belakangnya.

Kalo kurang belaian dari pacar, jangan terus cari pelampiasan dong. Pake gangguin orang lagi pedekate segala.

“Ra!” panggil Marshal sambil mengejar sahabatnya.

Marshal menarik tangan Sera membuat tubuh cewek itu ikut tertarik ke arahnya. Ia lalu melingkarkan tangannya ke leher Sera dan mendekap cewek itu sambil terus berjalan. Meskipun Sera sedang meronta sekarang, Marshal yakin itu cuma sebentar. Nanti juga Sera balik lagi kayak biasa.

CHAPTER 9 – NIGHT AT SINGAPORE

LIBUR semester tiba. Para mahasiswa biasanya mendapat jatah libur yang lebih panjang daripada sewaktu mereka menjadi siswa sekolah. Jatah liburan semester mereka biasanya sekitar satu bulan bahkan sampai dua bulan lamanya.

Dalam waktu yang panjang tersebut menjadi kesempatan bagi mereka untuk menghabiskan waktu bebas mereka yang tidak dapat mereka lakukan saat minggu-minggu perkuliahan. Ada yang mengisinya dengan mengasah kreativitas, menambah pengalaman, mencari uang saku tambahan, atau berlibur.

Opsi yang terakhir sepertinya menjadi pilihan bagi Marshal, Harris, dan Doni. Mereka bertiga memiliki rencana berlibur ke luar negeri, tepatnya Singapore. Liburan ini sudah direncanakan lama oleh tiga pemuda itu. Tidak hanya mereka bertiga saja. Mereka bahkan mengajak Sera and the genk. Masing-masing dari mereka bahkan sudah mengumpulkan uang dari jauh-jauh hari.

Namun, saat beberapa hari menjelang keberangkatan mereka tiba, Suci dan Dea mendadak batal pergi karena ada urusan penting yang tidak bisa ditinggalkan tepat saat jadwal liburan mereka.

Karena tidak terbiasa jika berlibur hanya dirinya sendiri yang seorang perempuan, Sera berniat membatalkan kepergian juga. Tapi, niatnya tersebut langsung dicegah oleh Marshal. Lelaki itu tahu bahwa liburan mereka kali ini sangat ditunggu-tunggu oleh Sera yang telah lama memimpikan liburan ke Singapore. Lagipula tidak mudah mencari waktu dan kesempatan lain.

Akhirnya, setelah pertimbangan panjang, Sera bisa ikut berlibur dengan syarat mengajak satu orang perempuan bersama mereka. Dan mereka menjatuhkan pilihan pada Prily, kekasih Marshal. Meskipun Sera sedikit tidak yakin karena ia tidak begitu akrab dengan perempuan itu.

Dan memang benar tepat sekali dengan dugaan Sera. Ia saat ini sudah duduk di bangku pesawat dalam perjalanan menuju Singapore. Dan sialnya, ia duduk tepat di samping Prily. Tidak ada percakapan sama sekali selama perjalanan. Hanya sekedar sapaan singkat dan senyuman dari bibir masing-masing saat mereka akan duduk tadi.

Sera pikir Prily akan duduk bersebelahan dengan Marshal, yang notabene adalah pacarnya. Setidaknya jika begitu ia tidak perlu canggung berdekatan dengan perempuan itu. Lebih baik ia duduk disamping Doni atau Harris yang sudah ia kenal.

Untungnya, Sera membawa serta novel favoritnya sehingga perjalanan tidak terasa membosankan.

Kalian pasti bertanya kenapa Sera tidak mengajak ngobrol Prily saja. Sera juga sempat berpikir begitu. Ia berniat memulai suatu obrolan dengan Prily. Namun, rasanya agak sedikit susah mencari bahan obrolan. Sera bukan tipe yang mampu berbasa-basi dengan orang lain. Sera itu pendiam dan hanya bisa terbuka dan banyak berbicara dengan orang-orang yang memang sudah akrab dengannya.

“Ekhem!” dehem Prily. Agaknya perempuan itu memiliki kecanggungan yang sama dengan yang Sera rasakan. “Baca buku apa, Ra?” tanyanya pelan.

Sera sedikit terkesiap saat mendengar suara Prily. “Oh, ini. Gue lagi baca novel,” jawab Sera sedikit tergagap.

“Suka baca novel?”

“Ya,” balas Sera disertai senyuman.

Hening kembali. Mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing tentang apa yang harus dilakukan.

Karena tak kunjung mendapat bahan obrolan lanjutan, Sera kembali sibuk dengan bukunya. Namun, sebelum buku itu sempat terbaca, perhatian Sera teralihkan oleh suara Prily.

“Ra,” panggilnya, “Gue boleh nanya sama lo?”

Sera menoleh, “Boleh.”

“Lo udah lama ya temenan sama Marshal?”

“Hm, ya. Lumayan.”

Prily hanya menganggukkan kepalanya. Sera melihat perempuan itu beberapa kali membuka mulutnya seperti ingin berbicara namun diurungkan.

“Ada yang mau lo tanyain tentang Marshal?” Sera berinisiatif bertanya.

“Eh?” Prily menoleh terkejut dengan pertanyaan Sera. Perempuan itu lalu meringis merasa tertangkap basah. “Kalau boleh,”

Sera mengangguk. Ia menutup bukunya untuk memusatkan perhatian pada Prily, “Tanya aja,”

“Marshal itu orangnya kayak gimana?”

Di tempatnya duduk, Sera mengernyit, “Kenapa tanya itu? Kalian udah pacaran beberapa bulan, kan?”

“Gue pengen tau dia lebih detil, terutama dari orang terdekatnya.”

Sera tampak berpikir, “Marshal itu kalau dari luar emang keliatan kalem. Cool gitu. Tapi aslinya ancur. Kalo udah kenal deket, dia bisa sebelas dua belas sama kelakuannya Doni.” Sera terkikik geli. Prily sedikit terperangah. Hal yang belum ia ketahui dari diri pacarnya.

“Dia udah berapa kali pacaran sebelum sama gue?” tanya Prily lagi, membuat Sera heran apakah Marshal tidak menceritakan tentang mantannya pada kekasihnya. Sedetik kemudian Sera berpikir, mungkin saja Marshal tidak mau membaginya karena menurut cowok itu bukan suatu hal yang penting untuk diketahui oleh kekasihnya saat ini.

“Udah beberapa kali sih sebelum sama lo. Dia kalo pacaran nggak pernah awet. Kadang gue kesel sendiri sama kelakuannya. Dasar playboy.” Cibir Sera. Prily lagi-lagi terkejut. Dan itu disadari oleh Sera. Perempuan itu buru-buru menjelaskan sebelum pacar sahabatnya ini salah paham.

“Eh, tapi lo jangan khawatir. Meskipun kesannya dia playboy, tapi dia bukan cowok yang suka mainin cewek. Dia putusin mantan-mantannya itu pasti ada alesannya. Dia liat dari kepribadiannya si cewek banget. Kalo dia nggak suka dan nggak ngerasa cocok sama kepribadiannya, ya langsung diputusin. Tapi kalo sama lo, gue liatnya beda. Dia beneran serius sama lo. Dan gue rasa, lo bisa ngimbangin apa maunya Marshal. Makanya lo dipertahanin sampe sekarang.” jelas Sera panjang lebar.

Prily tak bisa menahan diri untuk tersenyum. Namun, ia terdiam saat satu pemikiran terlintas dibenaknya, membuat ia tidak berpikir dua kali untuk segera bertanya.

“Kalian beneran cuma sahabatan, kan?” tanya Prily penasaran.

Sera tertawa geli. Pertanyaan yang sudah biasa ditanyakan banyak orang mengenai hubungannya dengan Marshal. Dia sih biasa saja dengan pertanyaan itu. Mungkin orang-orang masih menyangsikan hubungan pertemanan antara laki-laki dan perempuan bila tidak ada bumbu cinta di dalamnya. Banyak kok pertemanan antara laki-laki dan perempuan di luaran sana. Dan mungkin mereka juga ditanyakan hal yang sama.

“Lo jangan kemakan sama omongan orang. Jangan khawatir, Pril. Gue sama dia murni sahabatan. Gue jamin.” ujarnya mantap penuh keyakinan.

Prily tersenyum lega mendengarnya. Pasalnya, ia sering sekali mendengar teman-temannya berkata bahwa ada sesuatu antara Marshal dengan Sera. Ia bahkan sempat termakan omongan mereka. Tapi, ia tidak perlu khawatir lagi. Melihat interaksi antara kekasihnya dan Sera ketika mereka masih di Jakarta tadi membuat ia yakin kalau mereka memang murni sahabat seperti yang dikatakan Sera.

“Jangan canggung sama gue ya, Ra.” ujar Prily mengutarakan isi hatinya dengan tulus, “Mudah-mudahan kita bisa deket, ya. Gue juga pengen deket sama sahabat pacar gue.”

Sera melihat Prily ini ternyata orang yang baik. Pantas saja sahabatnya itu betah pacaran dengannya. Dan mungkin mereka juga bisa menjadi dekat. Apalagi mereka sesama perempuan. Untuk itu, tanpa ragu Sera menganggukkan kepalanya, mengiyakan.

***

Sesampainya di bandara Changi, mereka menuju hotel dengan menaiki MRT. Di hotel, mereka hanya melakukan check-in dan menaruh tas mereka. Dikarenakan mereka ingin memburu waktu untuk lanjut ke Universal Studios mengingat waktu liburan mereka memang tidak banyak. Sengaja mereka berlibur hanya tiga hari agar tidak terlalu banyak menguras isi dompet mereka.

Mereka sampai di Universal Studios pukul dua belas siang. Sebenarnya cukup disayangkan mengingat mereka harus mengantre panjang untuk membeli tiket yang pastinya akan membuat mereka tidak bisa berlama-lama bermain di dalam sana.

Namun, hal itu tidak membuat mereka tidak bisa menikmati wahana permainan. Terutama Sera yang terlihat antusias hingga membuat Marshal beberapa kali menggelengkan kepala.

Beberapa permainan mereka jajali, seperti wahana Transformers Ride, Enchanted Airways, Canopy Flyers, dan lainnya. Dan tak lupa berfoto di depan bola dunia Universal yang merupakan spot wajib bagi siapa saja yang berkunjung kesana. Tanpa terasa hari sudah menjelang sore dan mereka harus segera kembali ke hotel.

Sera terbangun dua jam kemudian. Rupanya ia sangat letih bermain di Universal Studio dan tertidur begitu sampai di hotel. Apalagi dengan perut kenyang serta tubuh yang segar sehabis mandi membuat rasa kantuknya semakin menjadi.

Sera terduduk di tempat tidur seraya mengucek matanya, masih berusaha menyesuaikan dirinya dengan tempatnya berada kini. Ia melirik ke kasur disamping tempat tidurnya, milik Prily.

Kosong.

Ia lalu menoleh ke sekitar ruangan. Namun, hanya sepi yang ia dapati.

Kemana perempuan itu?

Sera kemudian berpikir mungkin Prily sedang berada di luar bersama Marshal.

Sera mengambil ponselnya dan menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Ia melirik jam yang tertera di ponselnya.

Pukul sepuluh malam waktu Singapore.

Ingin melanjutkan tidurnya lagi, namun rasa kantuknya sudah hilang. Berdiam diri di dalam kamar saja rasanya bosan. Belum terlalu malam sebenarnya untuk sekadar berjalan-jalan. Tapi tidak enak jika berjalan sendirian. Apalagi ia belum mengenal kota ini dengan baik. Coba saja kedua sahabatnya ikut. Ia pasti tidak akan bingung seperti ini.

Setelah sekian detik berkutat dengan pikirannya, akhirnya Sera memutuskan untuk keluar kamar sekedar berjalan di sekitar hotel. Siapa tahu ada yang menarik di hotel itu.

Ia mengenakan celana pendek selutut dan hanya melapisi kausnya dengan kardigan untuk menghalau dinginnya malam. Rambutnya ia ikat gulung tinggi membentuk cepolan yang memperlihatkan leher putihnya.

Sera menelusuri bagian luar hotel yang terdapat kolam renang. Terdapat beberapa bangku di pinggirnya untuk berjemur di siang hari. Juga sedikit sentuhan taman dan pepohonan kecil di sekelilingnya.

Sera berdiri di pinggir kolam renang. Seraya memasukkan kedua tangan ke saku kardigannya, Sera menengadahkan kepalanya ke atas, melihat langit kota Singapore pada malam hari. Dirinya jadi menyesal kenapa saat di kamarnya tadi ia tidak mengintip ke luar jendela untuk melihat pemandangan kota ini. Kota Singapore pada malam hari pasti sangat indah.

Matanya juga menelusuri lingkungan hotel yang ia singgahi. Lampu-lampu kecil yang mengelilingi taman menjadikan suasana begitu tenang dan romantis.

Mata Sera berhenti pada dua sosok yang ia kenali. Meskipun penerangan minim, ia sangat mengenali kedua sosok itu. Agak jauh dari tempatnya berdiri, namun masih dapat tertangkap jelas karena di ruang terbuka, Marshal dan Prily duduk berdekatan pada satu bangku di pinggir kolam renang.

Keduanya terlihat cukup mesra dengan kepala Prily yang sedang bersandar pada bahu Marshal serta tangannya yang bergelayut posesif di lengan lelaki itu. Sesekali mereka tertawa bersama.

Benar kan dugaannya. Itulah sebabnya sewaktu terbangun tadi Sera tidak panik Prily tidak ada di kamar malam-malam. Ia pasti akan bersama pacarnya.

Sudah beberapa detik berlalu namun Sera tidak juga melepaskan pandangannya dari kedua sejoli itu. Lagi pula, mereka juga sepertinya tidak menyadari keberadaannya. Wajarlah. Kalau sedang pacaran pasti lupa akan sekitar.

Sera tersenyum tipis melihat Marshal yang tersenyum bahagia. Ternyata Prily memang benar-benar bisa membuat seorang Marshal takluk.

Tapi, tunggu. Kenapa dadanya terasa sesak, ya?

Sera mengernyit. Ia menekan-nekan daerah sekitar dadanya.

Apa karena lapar? Tapi tadi dia sudah makan. Lagi pula, kalau lapar lambungnya yang sakit bukan bagian dada.

Apa karena ia terlalu lama di luar? Sepertinya begitu.

Sera memutuskan kembali ke dalam kamar. Mungkin saja ia terlalu lama berada di luar. Udara Singapore sepertinya kurang cocok untuknya.

Baru saja membalikkan tubuhnya, Sera langsung terpekik kaget mendapati seseorang berada tepat di hadapannya.

“Aaarghh!”

“Lo kenapa? Kenapa megangin dada gitu?” tanya orang itu penuh kekhawatiran.

“Ya Tuhan. Lo bikin gue kaget tau nggak, Ris. Lo udah lama di sini?”

Sorry,” ujar Harris meringis, “Gue dateng pas liat lo megangin dada. Kenapa? Ada yang sakit?”

“Nggak tau,” Sera berdehem, “Kayaknya kelamaan di luar deh.”

“Lagian lo ngapain disini malem-malem?” tanya Harris.

“Lo sendiri ngapain malem-malem keluyuran?”

“Yee... ditanya malah balik nanya.” Harris mengacak puncak kepala Sera lembut. Sera hanya membalas dengan cengiran. Dia tadi sedang berjalan-jalan mencari makanan karena merasa lapar. Saat melewati area kolam renang, Harris mendapati Sera yang berdiri diam sambil memegangi dadanya. Karena khawatir dengan perempuan itu, Harris segera menghampiri.

“Gue bosen di kamar. Mau keluar nggak ada temen, nggak tau jalan juga. Jadi ya udah deh gue keliling hotel aja.”

“Kenapa nggak bilang gue? Tadi gue habis cari makan di luar.”

“Yaah... tau gitu gue ikut.” Sera mengerucutkan bibir.

“Mau ke luar? Tadi katanya lo sakit.”

Sera merasakan nyeri di dadanya yang tadi sempat datang, namun sekarang sudah tidak terasa. “Nggak kok, udah nggak sakit.”

“Beneran? Kalau sakit mendingan nggak usah, Ra.”

“Nggak apa-apa. Gue pengen jalan ke luar. Lagian gue juga laper.” Sera terkekeh. Hal itu membuat Harris gemas dan sekali lagi mendaratkan tangannya di puncak kepala gadis itu.

Dari kejauhan, Marshal melihatnya. Saat mendengar suara pekikan tadi, ia langsung menoleh mencari sumber suara. Dan saat itu, netranya menangkap dua sahabatnya sedang berdiri berhadapan. Ekspresinya datar saat melihat dua kali Harris mendaratkan tangannya di puncak kepala Sera. Dirinya tidak tahu kalau Harris dan Sera sudah seakrab itu.

“Sayang, menurut kamu mereka pacaran nggak?” tanya Prily di sampingnya. Mata perempuan itu masih setia memandangi Sera dan Harris yang berdiri berhadapan di dekat kolam renang. Seperti yang dilakukan Marshal.

“Ya nggaklah.” Ujar Marshal meninggikan suaranya tanpa sadar, membuat Prily seketika menoleh. Tidak ingin kekasihnya salah paham, buru-buru ia menambahkan, “Maksud aku mereka kan baru kenal.”

“Sayang banget. Padahal mereka cocok.” Prily menghela napas. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di otaknya, “Gimana kalo kita jodohin mereka aja? Mereka sama-sama jomblo, kan? Lagipula aku liat kayaknya Harris suka deh sama Sera.”

Belum sempat membalas ucapan Prily, tiba-tiba netranya melihat tubuh Sera yang terpeleset. Marshal panik. Otaknya secara otomatis menyuruhnya untuk buru-buru bangkit dari duduknya. Baru saja ia ingin berlari menolong gadis itu, namun terhenti saat tubuh Sera sudah ditarik oleh Harris.

Ia masih berdiam diri di tempatnya. Melihat secara jelas bagaimana Harris menopang tubuh sahabatnya agar tak terjatuh ke kolam renang. Bagaimana mata cowok itu menatap panik sahabatnya, sama seperti dirinya. Dan bagaimana keduanya masih dalam posisi berdekatan saling menatap satu sama lain.

Seperti ada yang nyeri di bagian ulu hatinya.

 

CHAPTER 10 – KATAKAN CINTA

YA udah kalo gitu kita jalan sekarang aja. Keburu malem,” ajak Harris.

Sera lalu mengiyakan ajakan itu. Mereka berjalan beriringan di pinggir kolam renang. Karena sembari sesekali bercanda, Sera tidak menyadari bahwa ia berdiri terlalu dekat dengan kolam renang. Sampai ia menginjak pinggir kolam yang agak licin.

Sera yang terkejut tidak mampu mengendalikan keseimbangannya. Tangannya sibuk menggapai-gapai sesuatu untuk dijadikan pegangan namun tidak ada yang bisa ia raih. Ia hanya bisa memekik kencang.

“Arrrggghh...”

“Sera!!” teriak Harris di dekatnya.

Beruntung, lelaki itu menyadari keadaan Sera. Ia segera saja menarik tangan dan pinggang gadis itu agar tidak terjatuh dan tercebur ke dalam kolam renang.

Sera memejamkan matanya. Sepersekian detik dirinya sempat pasrah tubuhnya akan terjatuh dan tercebur ke dalam kolam renang yang pastinya akan sangat dingin di malam hari seperti ini. Namun, beberapa detik selanjutnya apa yang ia pikirkan itu tidak terjadi. Ia tidak merasakan air di sekelilingnya.

“Ra,” bisik Harris. “Buka mata.”

Sera membuka matanya perlahan. Hal pertama yang ia lihat adalah dada bidang lelaki di depannya. Tubuh Harris yang tinggi membuat Sera hanya setinggi bahu cowok itu.

Ia lalu mendongak, menatap mata Harris yang kini juga menatap matanya dalam. Posisi mereka saat ini terlihat cukup intim. Lengan Harris yang berada di sekitar pinggangnya, mencengkeram kuat agar tubuhnya tidak terjatuh. Serta kedua lengan Sera yang berada di dada lelaki itu.

Beberapa detik berlalu tanpa ada yang berusaha memutuskan kontak mata. Harris terlalu terhanyut dalam mata Sera yang begitu indah dalam jarak sedekat ini. Sementara, Sera yang tidak bisa mencegah jantungnya untuk berdetak kencang karena ini merupakan momen intim pertamanya dengan lawan jenis.

Kecelakaan kecil yang berakhir begitu romantis.

Harris menarik diri pertama kali. Bagaimanapun harus ada yang menghentikan, meskipun sebenarnya ia tak ingin.

“Lo nggak apa-apa?” tanyanya masih sarat akan kekhawatiran.

“Nggak apa-apa. Makasih, Ris.” ujar Sera sambil tersenyum lembut.

Dibalas oleh Harris tak kalah lembut, “Hati-hati.”

Sera mengangguk. Gadis itu masih terus menatap Harris, membuat laki-laki itu menggaruk tengkuknya salah tingkah.

“Kita kayaknya balik ke kamar aja. Khawatir kemaleman kalau tetep mau ke luar. Gimana?” tanya Harris meminta persetujuan Sera. Dirinya tidak yakin berduaan dengan Sera dalam keadaan jantungnya yang berdegup kencang dan tidak mau berhenti ini. Lagi pula, ia harus menetralkan suhu tubuhnya yang memanas akibat terlalu dekat dengan gadis manis itu.

Sera segera menyetujui. Dirinya ingin mengatur kerja jantungnya yang tiba-tiba bekerja begitu cepat. “Ya.”

“Ya udah kalau gitu gue anter. Sekalian gue juga mau ke kamar.”

Sebelum melangkah, Sera menyempatkan diri melirik ke arah di mana ia melihat Marshal dan Prily tadi. Entah kenapa ia ingin melakukannya.

Dirinya seketika membeku saat melihat Marshal berdiri diam. Lelaki itu menatap ke arahnya dengan tatapan yang tidak bisa ia artikan sama sekali. Ia lalu melirik ke sebelah Marshal di mana ada Prily yang juga sama sedang menatapnya.

Sera berpikir, jangan-jangan mereka melihat apa yang barusan terjadi saat Harris menolongnya.

Sera langsung menundukkan wajahnya. Ia bergegas berlari menyusul Harris yang sudah berjalan menjauh.

Jangan sampai mereka berdua melihat wajahnya yang merona karena malu.

***

TING TONG

Kegiatan Sera yang sedang membalurkan losion ke seluruh tubuhnya selepas mandi pagi, harus terhenti kala mendengar bel di kamar hotelnya berbunyi. Ia membereskan peralatan kecantikannya, lalu bergegas menuju pintu ketika mendengar suara bel berbunyi sekali lagi.

Begitu Sera membuka pintu, ia mendapati Marshal berdiri tegap seraya memasukkan sebelah tangan ke kantung celana.

Cih, sok keren!, cibirnya dalam hati.

Morning,” sapa Sera, tak lupa senyuman manis di bibirnya secerah pagi hari itu.

Sera menelengkan kepala ketika tak mendapat respon dari cowok yang berdiri di depannya. Marshal hanya berdiri sambil mengamatinya dalam diam.

“Cari Prily, ya? Prily masih mandi.” lanjutnya, karena tak juga mendapat respon dari cowok itu.

Marshal berdehem, “Nggak. Gue cuma mau ngingetin buat sarapan.”

“Oke. Nanti gue sama Prily bareng ke bawah.” ujar Sera.

Karena merasa sudah tidak ada yang ingin Marshal katakan lagi, Sera berniat berbalik memasuki kamar. Namun, niatnya itu urung dilakukan ketika mendapati Marshal masih berdiri di tempatnya dengan mata yang terus tertuju padanya. Ekspresi cowok itu datar membuat Sera tidak mengerti.

Sera menaikkan sebelah alisnya, bertanya.

“Ada lagi?” tanyanya.

“Mau kemana, Ra? Wangi banget. Kita ke Merlion-nya nggak pagi-pagi.” ujar cowok itu datar.

“Mau sarapan, kan?” balas Sera polos.

“Sarapan aja wangi banget. Mau gaet cowok Singapore?” tanya Marshal sarkas.

“Kenapa emangnya kalau gue wangi? Lagian nggak masalah kalau sampai ada cowok Singapore yang naksir gue. Iseng-iseng berhadiah.” balas Sera tak kalah sengit. Mulut Marshal memang pedas. Jadi dia harus membalasnya dengan tak kalah pedas. Sudah biasa.

Jawaban Sera seketika membuat Marshal mencebik. Ia ingin membalasnya namun terhenti kala melihat Sera yang tersenyum sangat manis. Namun, sayangnya bukan padanya. Melainkan pada sesuatu di belakangnya.

“Pagi, Ra,” sapaan Harris dari arah belakangnya membuat Marshal seketika menoleh. Cowok itu baru saja ke luar dari kamarnya yang berada tepat di seberang kamar Sera.

“Pagi,” balas Sera.

“Mau sarapan?”

Sera mengangguk, “Ya,”

“Bareng aja kalo gitu.” ajak Harris.

“Duluan aja. Gue bareng Prily.”

“Oke. Ketemu di bawah, ya?” ujar Harris tersenyum. Sera mengangguk.

Harris menepuk bahu Marshal, “Yuk, Shal.”

Marshal yang sedari tadi hanya diam mengamati interaksi dua orang di depannya, hanya membalas Harris dengan gumaman. Ia melirik malas pada Sera—yang masih menyunggingkan senyum manisnya sambil menatap punggung tegap Harris—sebelum pergi berlalu menuju restoran hotel.

***

Siangnya, mereka melanjutkan destinasi menuju Marina Bay, ingin melihat dan berfoto di depan patung Merlion. Sengaja mereka kesana siang hari, agar malamnya mereka bisa menikmati suasana malam di Gardens by the Bay yang kata orang lebih enak.

Setelah menaiki MRT, mereka berjalan dari Stasiun Bayfront menuju Marina Bay. Selama perjalanan mereka disuguhkan pemandangan yang cantik berupa taman kota di sepanjang jalan.

Mereka berjalan beriringan. Marshal yang dengan setia menggandeng tangan kekasihnya. Sebuah kamera sudah menggantung di lehernya. Di depannya ada Harris dan Sera yang berjalan berdampingan sambil mengobrol. Sementara, Doni berada di tengah-tengah mereka seorang diri.

Sedang berjalan tiba-tiba terdengar celetukan Doni, “Iya, iya. Kalian berempat pacaran aja terus. Gue nggak apa-apa.”

Sera dan Harris kompak menoleh. Mereka menertawakan Doni yang sekarang memasang wajah pura-pura memelas.

“Kalian pacaran?” seru Prily pada Sera dan Harris, “Asyik dong, kita bisa double date.”

“Eh,” Sera dan Harris spontan saling lirik. Sedetik kemudian keduanya menunduk salah tingkah.

Marshal yang melihat tingkah keduanya, memicingkan matanya. Ia tidak tahu-menahu kalau Sera dan Harris pacaran. Pasalnya, kalau memang benar Sera pasti langsung bercerita padanya.

“Iya udah sana pada double date. Tinggalin aja gue di Singapore sendirian.” ujar Doni yang merasa seperti nyamuk di antara kedua pasangan itu karena tidak punya pasangan sendiri.

“Masa kita tinggalin lo sendirian di sini. Nggak ada yang mau nampung lo kalau kita tinggal.” seloroh Sera.

“Sera emang paling pengertian,” ucap Doni. Tangannya langsung terulur untuk merangkul bahu Sera, namun segera ditepis oleh Marshal yang ada di belakangnya, “Kenapa sih, Shal? Kasih kesempatan ke gue lah. Lo kan udah ada yang bisa dirangkul.”

“Rangkul aja tuh pohon. Kayak Sera mau aja dirangkul sama lo.”

“Ya mau lah. Ya kan, Sera sayang?”

Sera tidak menanggapi. Ia hanya tertawa geli. Sudah biasa juga menghadapi candaan Doni yang memang paling suka bercanda di antara teman-temannya.

Karena tidak mendapat penolakan dari Sera, Doni kembali berniat merangkul bahu gadis itu. namun lagi-lagi rencananya harus digagalkan oleh kedua temannya. Dari samping, Harris menoyor kepala lelaki itu, sementara dari belakang Marshal menendang tulang keringnya hingga ia mengaduh kesakitan.

“Kalian tega, ya. KDPT ini namanya. Kekerasan Dalam PerTemanan.” gerutu Doni, yang disambut tawa Sera dan Prily.

Sepanjang perjalanan mereka yang cukup jauh jadi tidak terasa karena canda tawa mereka. Hingga tidak terasa mereka sudah sampai di tempat tujuan.

Siang itu, Marina Bay tidak terlalu banyak pengunjung, tidak seperti biasanya. Hal itu menjadi keberuntungan bagi mereka berlima untuk bebas mengambil foto sesuka hati. Terutama Sera yang terlihat begitu antusias berfoto di dekat patung berbentuk kepala singa yang menjadi icon kota Singapore. Beberapa kali ia mengarahkan kamera ponselnya untuk berselfie dengan patung itu.

Harris yang sedari tadi mengamatinya dari jauh, menghampiri, “Ra, mau gue fotoin?”

“Boleh,” Sera mengangguk antusias.

“Abis itu kita foto bareng, ya?” pinta Harris yang langsung disanggupi oleh Sera.

Harris memosisikan dirinya untuk mengambil angle yang bagus untuk mengambil foto Sera bersama sang singa. Setelah beberapa kali bidikan dengan berbagai angle didapatkan, mereka berselfie berdua. Karena merasa kurang puas dengan hasilnya yang membuat sang singa tidak terlihat akibat tidak menggunakan tongsis, mereka meminta Doni untuk mengambil foto mereka.

“Elah. Tadi jadi nyamuk. Sekarang jadi tukang foto. Nasib... nasib.” keluh Doni yang membuat Sera tertawa.

“Nanti gantian deh kita fotoin lo.” tawar Sera.

“Gue foto bareng lo aja, gimana?” ujar Doni menaik-turunkan alisnya.

“Udah buruan fotoin. Lama lo,” sembur Harris sengit. Doni mendengus dibuatnya, meskipun ia tetap menurut juga.

Di sisi lain, Marshal terus membidikkan kameranya. Setelah puas berfoto dengan sang pacar, dia menyalurkan hobinya membidik setiap sudut pemandangan kota Singapore. Ia juga mengambil foto bangunan berbentuk kapal yang berada di depan patung Merlion, Marina Bay Sands. Melihat ketiga sahabatnya asyik berfoto di depan Merlion, membuatnya membidikkan kamera ke arah mereka dan mengambil beberapa gambar.

“Shal, Pril, kita foto berlima, yuk.” Terdengar seruan Sera membuatnya menurunkan kamera.

“Woy, Shal, sini. Jangan asyik pacaran aja lo.” seruan Doni tak kalah kencang. Marshal memutar bola mata. Ia mengikuti Prily yang berjalan riang menariknya untuk ikut berfoto.

Dengan meminta bantuan seorang pengunjung, mereka akhirnya bisa berfoto berlima di depan Merlion, dan membuat suatu kenangan di sana.

***

Mereka sampai Garden by the Bay dua jam kemudian. Dengan diantar menggunakan lori yang tersedia, mereka memasuki kawasan Flower Dome dan Cloud Forest. Begitu sampai di kawasan Flower Dome, mereka dibuat antusias oleh berbagai taman bunga disana.

Lagi-lagi Sera yang terlihat paling antusias. Dia begitu mengagumi bunga-bunga yang begitu indah. Meskipun ia tidak tahu apa jenisnya, tapi melihat warnanya yang indah saja membuatnya senang.

Setelah puas mengelilingi Flower Dome, mereka menuju Cloud Forest yang berupa kubah kaca raksasa. Terdapat gunung buatan setinggi 35 meter di dalamnya. Mereka juga menuju Supertrees—yaitu taman vertikal setinggi 9-16 lantai mirip dengan yang pohon yang ada di film Avatar. Karena ingin melihat pemandangan malam dari atas, mereka menaiki Skyway yang menjadi penghubung antara dua Supertrees.

Sera menoleh ke belakang. Saking asyiknya melihat pemandangan di sekitar Cloud Forest, ia sampai tidak sadar kalau Marshal dan Prily sudah berpisah dari rombongan. Sementara, Harris dan Doni berada tidak jauh di depannya.

“Ra,” panggilan Harris membuatnya menoleh. Rupanya cowok itu menyadari Sera yang menghentikan langkahnya. “Jangan bengong. Nanti hilang.”

Sera hanya tersenyum menanggapi. Ia sebenarnya lumayan takut melihat sekeliling jembatan yang tinggi itu. Berada di ketinggian yang membuatnya merinding seperti ini entah kenapa membuatnya teringat pada Marshal. Sekarang cowok itu malah tidak ada.

Sera mendesah dalam hati. Marshal sudah punya pacar. Dia nggak boleh terus-terusan tergantung sama cowok itu.

Harris menyadari raut wajah Sera yang awalnya berbinar kini berubah pias.

“Kenapa? Mau turun?”

Sera mengangguk cepat. Senang Harris menyadari keadaannya tanpa harus ia katakan.

“Ya udah, yuk. Kita ke air terjun aja.”

Sampai di bawah, Sera merasa lega bukan main. Ternyata Skyway sangat tinggi. Pemandangan dari atas sana memang bagus. Tapi berada di jembatan setinggi itu membuatnya tidak ingin berlama-lama menjejakkan kaki di sana.

“Doni kemana?” tanya Sera yang menyadari ketidakberadaan Doni di sekeliling mereka berdua.

Harris mengedikkan bahu, “Nggak tau. Tadi sih dia bilang mau ke kamar kecil.”

Mereka berfoto di bawah air terjun buatan. Setelahnya, karena lelah mereka memutuskan untuk berdiam disana sambil menunggu teman-teman mereka.

Karena dirasa sudah terlalu lama menunggu, Sera merasa tidak sabar. Pasalnya, hari sudah semakin gelap. Mereka harus segera kembali ke hotel.

“Mereka kemana, ya? Lama banget. Jangan-jangan nyasar.”

“Namanya juga orang pacaran, Ra. Lupa waktu. Kayak lo nggak tau aja.”

“Belum pernah ngerasain jadi nggak tau,” ujar Sera tak acuh, “Doni juga kemana lagi.”

Mendengar pernyataan Sera yang pertama membuat Harris tertarik. “Emangnya lo belum pernah pacaran?”

Ditanya seperti itu membuat Sera kikuk. Agak canggung sebenarnya membicarakan hal itu pada orang lain. Apalagi dia memang belum pernah pacaran. Salah-salah malah dibilang kuper lagi.

Sera menggeleng lemah, “Belum.”

“Lagi ada yang deketin nggak?”

“Sekarang sih belum.”

“Masa, sih? Ini sekarang gue lagi deket sama lo.” goda Harris sambil melirik jarak di antara mereka yang memang sedang berdiri bersebelahan.

Sera memasang wajah datar sambil melirik malas ke arah Harris. Cowok itu menyengir melihatnya.

“Kalau belum ada, gue boleh dong diantrean paling depan.”

“Kalau paling depan namanya bukan antre kali. Lagian lo pikir gue apaan pake antre segala. Gue nggak jualan sembako.” canda Sera membuat keduanya tertawa bersama.

Harris mengubah raut wajahnya menjadi serius. Menatap dalam Sera yang sedang tertawa.

Sera yang menyadari hal itu dibuat salah tingkah. Ia menghentikan tawanya dan menatap balik Harris yang tak mengalihkan tatapannya sedikit pun.

“Gue serius, Ra. Gue boleh kan suka sama lo?”

Sera terkesiap. Sejenak ia mengabaikan segala aktivitas orang-orang yang ada di sekelilingnya. Perhatiannya kini hanya tertuju pada ucapan Harris barusan.

“Tapi gue belum suka sama lo.” ujar Sera seketika.

“Nggak apa-apa. Gue akan tunggu sampai lo suka sama gue.”

 bersambung ke chapter selanjutnya…

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Stuck
Selanjutnya STUCK [Chapter 11-13]
1
0
Liburan ke Singapura membuat Sera jadi lebih dekat dengan Harris daripada sebelumnya.Hari itu, Harris tiba-tiba bilang suka?!Lalu, apa jawaban Sera?Dan gimana dengan Marshal? Melihat kedekatan Sera dan Harris kenapa dia jadi uring-uringan?Chapter 11 : TerserahChapter 12 : PemberianChapter 13 : Suspicious BestfriendBeli koin lebih murah melalui web/chrome
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan