STUCK [Chapter 4-7]

0
0
Deskripsi

“I'm confused between love and friendship”

Kita terjebak dalam lingkaran bernama ‘persahabatan’ yang kita buat sendiri.

CHAPTER 4 – CUMA SAHABAT

SEMENJAK ia mendengar pembicaraan kedua orang yang sudah ia anggap sahabat tapi ternyata hanya memanfaatkannya itu, akhir-akhir ini Sera lebih sering menghabiskan waktunya bersama sahabatnya sejak SMA. Suci dan Dea.

Mereka bertiga dipertemukan di kelas satu SMA. Kebetulan saat itu mereka mengikuti ekstrakurikuler yang sama. Meskipun kelas mereka berbeda, mereka sering menghabiskan waktu bersama, saat istirahat maupun pulang sekolah. Dan persahabatan mereka masih tetap terjalin hingga saat di bangku kuliah. Kebetulannya lagi mereka memilih kampus yang sama, hanya berbeda jurusan.

Walaupun mereka berbeda jurusan, bahkan beberapa kali Sera harus menunggu mereka yang masih berada di kelas, itu lebih baik daripada harus menghabiskan waktu dengan orang yang sudah jelas tidak menganggap keberadaannya.

Seperti saat ini, Sera sedang berada di warung langganan mereka yang letaknya masih berada di sekitar kampus. Dia menunggu kedua sahabatnya yang masih ada kelas.

Warung tersebut menjadi favorit para mahasiswa untuk berkumpul. Dan selalu ramai setiap harinya. Selain makanannya yang enak-enak dan ramah di kantong mahasiswa sepertinya, warung tersebut juga memiliki desain yang hits dan kekinian. Apalagi dilengkapi dengan fasilitas wi-fi gratis. Membuat orang yang menunggu seperti Sera menjadi tidak bosan.

Setelah sekitar tiga puluh menit menunggu, akhirnya Suci dan Dea datang.

Sorry, Sist. Lama ya nunggunya?” seru Dea sembari mengambil tempat duduk di depan Sera.

“Hm. It’s okay. Selama ada wi-fi.” Sera mengacungkan ponselnya.

“Terus gimana, Ra? Bener tuh, dua temen lo muka dua?” tanya Suci yang duduk disamping Dea. Sera sudah bercerita pada dua sahabatnya itu mengenai kedua teman dekatnya di kelas yang ternyata menusuknya dari belakang.

Sera mengangguk, “Ya, bener. Gue denger dari mulut mereka langsung. Kalo nggak gitu, mungkin gue nggak akan nyangka kalo mereka manfaatin gue. Lain di mulut lain di hati.”

“Ini yang gue khawatirin dari lo. Lo terlalu baik, Ra. Sebenarnya bagus. Tapi sayangnya ada aja oknum yang memanfaatkan kebaikan hati lo.” ujar Suci sendu.

“Mereka kan padahal belajar psikologi ya. Tapi kok kepribadiannya minus banget.” ketus Dea.

Sera mengedikkan bahu, “Mungkin istilah mahasiswa psikologi berobat jalan itu berlaku buat mereka.”

Pembicaraan mereka terputus untuk memesan makanan. Saat pelayan pergi Suci kembali bertanya, “Terus sekarang lo udah ngejauh kan dari mereka?”

“Ngobrol sih masih. Tapi nggak seintens biasanya. Kalo kerja kelompok juga gue lebih suka sama orang lain.”

“Duh, lo tuh ya, Ra. Masih aja baik sama orang. Kalo gue jadi lo sih, gue langsung hadepin mereka terus nanya maksudnya apa mereka bersikap kayak gitu sama gue.” Sungut Dea.

“Tapi sayangnya gue bukan lo yang berapi-api kayak gitu. Gue juga kesel lah sama mereka. Cara gue menghadapi mereka itu ya dengan cuekin mereka. Nggak usah pake otot. Tapi pake otak.”

“Gue setuju sama lo. Bales dendam dengan cara elegan. Jangan bar-bar kayak istri sah yang ngelabrak pelakor di tempat umum terus viral di medsos.”

“Kenapa jadi kesana deh, Ci? Bawa-bawa pelakor segala.” delik Dea. “Mabok sama matkul ekonomi tadi lo, ya? Jadi ngelantur gitu.”

Ucapan Dea membuat Suci mencibir cewek bermata sipit itu. Sera hanya tertawa terbahak melihat kelakuan kedua sahabatnya. Mereka memang teman Sera paling the best.

“Marshal juga nyuruh gue buat jauhin mereka, sih. Tapi ya mana bisa. Secara gue sama mereka satu kelas.”

“Oh ya, ngomong-ngomong soal Marshal, kemana dia? Tumben amat nggak ngekorin elo.” Tanya Suci sambil mendekatkan makanannya yang baru saja datang.

“Emangnya dia apaan ngekorin gue?” kekeh Sera, menuangkan sambal pada mie ayam pesanannya.

“Abisnya dimana ada lo, pasti ada dia.”

“Tadi sih dia bilang lagi ada kelas tambahan.”

Marshal dan kedua sahabat Sera itu berada di fakultas yang sama. Fakultas ekonomi. Hanya berbeda jurusan. Mereka juga sudah saling mengenal karena memang keempatnya satu almamater di SMA.

“Kok lo bisa deket banget sih sama Marshal?” tanya Dea yang tengah mencolek ayam bakarnya pada sambal.

“Dea, lo udah tanya itu berkali-kali. Nggak bosen apa?” ujar Sera.

“Ya habisnya gue heran aja. Dulu kan kalian nggak deket, eh malah sekarang sahabatan. Deket banget lagi. Sampe ortu kalian juga udah saling kenal juga.”

Sera menjadi ingat saat pertama kali ngobrol sama Marshal waktu di acara reuni. Saat itu ekstrakurikuler yang mereka ikuti mengadakan acara reuni setelah lulus SMA. Sera yang pendiam tidak terlalu mengenal Marshal saat itu. Bahkan selama sekolah Sera hanya memiliki teman laki-laki sedikit. Bisa dihitung dengan jari.

Saat itu para anggota diminta berbicara satu persatu mengenai kegiatan masing-masing setelah lulus. Tiba saat giliran Sera, Marshal tiba-tiba nyeletuk bertanya pada gadis itu. Saat itu Sera menjelaskan dimana dirinya berkuliah, dan Marshal bertanya di jurusan apa karena ia juga berkuliah di tempat yang sama.

Pertemuan selanjutnya terjadi tanpa sengaja. Saat itu Sera sedang lari pagi tiba-tiba ia menabrak Marshal hingga terjatuh dan mengakibatkan lututnya terluka. Tak disangka, dengan sigap Marshal saat itu membantunya berdiri dan mengobati lukanya.

Berikutnya, saat Sera sedang duduk di kafe sendirian secara tiba-tiba dihampiri oleh Marshal. Mungkin saat itu Marshal merasa mengenalnya dan berinisiatif untuk menyapa. Sera yang saat itu sedang sedih rupanya disadari oleh Marshal. Lelaki itu menawarkan diri untuk menjadi pendengarnya. Awalnya Sera ragu, namun karena cowok itu berkata akan menjaga rahasianya dengan baik, mengalirlah curahan hati seorang Sera. Dan lelaki itu benar-benar membuktikan bahwa dirinya bisa menjaga rahasia dan menjadi pendengar yang baik. Setelahnya, Sera jadi lebih sering bercerita pada Marshal, pun sebaliknya. Hingga mereka menjadi bersahabat sampai sekarang.

“Lo nggak ada perasaan apa gitu ke Marshal?” tanya Dea membuyarkan lamunan Sera.

“Perasaan gimana?”

“Ya kayak naksir atau ada something gitu.”

Sera berpikir sejenak, “Mm...mungkin ada. Tapi dulu.”

Karena memang Marshal ganteng. Sera rasa cuma orang nggak normal yang nggak suka dia.

Marshal itu teman cowok pertama Sera. Awal-awal dekat ada lah baper-baper sedikit. Namanya juga cewek jomblo dideketin sama cowok ganteng. Baper sedikit masih wajar kan?

“Sekarang nggak lah. Dia kan sahabat gue.” Lanjutnya.

“Sahabat emangnya nggak boleh naksir-naksiran.” Celetuk Suci.

“Sekarang mungkin belum. Siapa tau kan nanti kalian beneran naksir-naksiran.” Tambah Dea, tertawa.

Kalau boleh jujur, dulu Sera pernah naksir sama Marshal. Ya karena itu tadi. Tampang Marshal yang ganteng. Saat SMA cowok itu sebenarnya bukan termasuk cowok populer. Tapi pasti ada saja yang suka sama dia. Gimana nggak suka. Sudah ganteng, cool, dan yang pasti he is a good boy, not a bad boy. Gimana nggak klepek-klepek kan sama cowok macam Marshal.

Tapi itu dulu. Sera rasa untuk sekarang ini ia tidak mungkin memiliki perasaan itu lagi pada Marshal. Marshal pun sepertinya sama. Buktinya, selama dua tahun sahabatan mereka bisa mempertahankan pertemanan mereka tanpa embel-embel naksir-naksiran seperti yang Suci dan Dea bilang. Lagipula Marshal sering memiliki kekasih. Dan menurut Sera, dari situ saja sudah jelas bahwa laki-laki itu sama sekali tidak memperlihatkan kalau dia memiliki perasaan padanya.

Sera mengibaskan tangannya, “Kita cuma sahabat. Nggak lebih.”

 

CHAPTER 5 – SAHABAT KOK GITU?

But “just friends”

Don’t look at each other like that

-anonym-

TIN TIN.

Bunyi klakson motor Marshal menggema di depan rumah Sera. Di Minggu pagi yang cerah, mereka berencana untuk berolahraga di kawasan pusat Jakarta. Karena mereka kesiangan, dan matahari juga sudah semakin tinggi, Marshal tidak masuk ke rumah Sera. Ia menunggu di depan rumah Sera agar bisa langsung berangkat.

Tak lama, Sera keluar dari rumahnya, setelah sebelumnya pamit pada kedua orangtuanya. Di atas kemudinya, Marshal membelalak melihat penampilan sahabatnya itu. Masalahnya saat ini Sera memakai celana training panjang dipadu dengan croptee sebagai atasannya, yang memperlihatkan bagian perutnya.

“Yuk, jalan.” ujar Sera saat dirinya sudah berada disamping motor Marshal.

“Apaan tuh baju kayak gitu. Kayak kekurangan bahan.” Penuturan Marshal yang bernada dingin membuat Sera yang ingin menaiki motor mengurungkan niatnya.

“Ini namanya croptee. Norak lo.”

“Kenapa udel sampe keliatan gitu?” delik Marshal tajam.

“Ya emang modelnya begini keles.” Sera memutar bola matanya.

“Bodo amat. Ganti buruan. Nggak cocok di lo. Mending kalo badan lo bohay. Kurus begitu apanya yang mau diliat.” ujar Marshal sarkas, membuat Sera kesal.

“Ish...lo abis makan cabe ya pagi-pagi? Rese amat sih mulut lo.”

“Buruan masuk sana. Ganti baju lo.” Marshal sedikit mendorong tubuh Sera.

Dengan kesal dan wajah ditekuk mau tidak mau Sera menuruti perintah Marshal, dan masuk kembali ke rumah untuk berganti baju. Sebenarnya tadi saat memilih baju dia juga berpikir apa bajunya itu terlalu terbuka.

Hanya butuh waktu lima menit Sera berganti baju. Setelahnya ia kembali lagi ke hadapan Marshal. Kali ini ia memakai kaos putih dengan lengan sampai siku.

“Nah, gitu kek dari tadi.”

“Lo tuh nggak ngerti ya yang namanya style. FASHION! You know fashion?” cetus Sera dengan penekanan pada kata fashion.

Marshal melengos, “I don’t know. I don’t care.”

***

Olahraga mereka kali ini tidak hanya dilakukan oleh mereka berdua saja. Marshal juga mengajak kedua temannya yang berada di kelas yang sama dengannya di kampus. Mereka adalah Harris dan Doni.

Sera sebenarnya sudah diperkenalkan sebelumnya pada kedua orang itu oleh Marshal. Apalagi Doni, yang kebetulan adalah teman SMP nya, dan kebetulan juga mantan gebetan Sera dulu. Hanya saja baru kali ini Sera benar-benar menghabiskan waktu bersama mereka.

Setelah lelah berkeliling bundaran HI sebanyak lima putaran, mereka beristirahat, dan duduk-duduk di pinggiran kolam.

Sera yang memang orangnya well-prepared selalu membawa botol minum. Dia mengambil botol air minum itu dari dalam tasnya. Lalu meminumnya dengan beberapa kali tegukan. Setelahnya, tanpa aba-aba Marshal langsung mengambil botol milik Sera tersebut dan langsung meminumnya tanpa canggung.

Harris dan Doni yang melihat itu seketika melongo. Pasalnya, Marshal dan Sera ini dua orang yang berbeda jenis kelamin namun dengan tidak sungkan berbagi botol yang sama. Hal yang menurut sebagian orang, termasuk mereka, adalah sesuatu yang tidak biasa.

Tanpa memperhatikan kedua orang di sekitarnya yang tengah memasang tampang cengo, Sera pamit pergi untuk membeli makanan.

Setelah Sera pergi, Doni tidak tahan untuk bertanya, “Lo sama Sera sepupuan ya? Nggak mungkin kan adek kakak? Atau kembar? Kalian lumayan mirip sih.”

Marshal mengernyit, “Gue sama Sera bukan sepupu atau adek kakak. Apalagi kembar. Ngaco lu.”

“Terus kalo nggak, kok deket banget gitu. Atau kalian pacaran?”

“Kita sahabatan.” Doni dan Harris saling pandang. “Lo kenapa sih, Don?”

“Beneran sahabat? Tapi kok tadi lo minum dari botol punyanya Sera?”

“Emang sahabat nggak boleh kayak gitu? Kalo gue minum dari botol yang abis Sera pake terus berarti kita ciuman nggak langsung, gitu maksud lo? Kayak anak SD aja lo.” Marshal tergelak.

Doni menggaruk tengkuknya, “Aneh aja.”

“Biasa aja. Gue udah lama sahabatan sama Sera, jadi udah nggak canggung lagi.”

Doni hanya mengangguk, sementara Harris memasang wajah datar.

“Kalian kenapa bisa sahabatan?” tanya Harris datar.

“Dulu gue emang satu SMA sama dia. Tapi baru deket pas lulus. Awalnya ketemu nggak sengaja. Sampe pertemuan berikutnya kita ngobrol dan nyambung. Keterusan deh sampe sekarang.”

“Pada ngomongin apa sih? Serius banget.” Celetuk Sera yang sudah datang membawa plastik cilok di tangannya.

“Kita nanya sama Marshal. Gue sih sebenernya yang nanya. Kalian berdua beneran cuma sahabatan?” tanya Doni hati-hati.

“Gue sama Marshal? Ya iyalah. Kenapa? Keliatan kayak orang pacaran ya?” Sera terkekeh. “Udah biasa. Udah banyak yang ngomong begitu, bukan kalian doang. Ya nggak, Shal?”

Marshal hanya tersenyum miring menanggapi. Tiba-tiba pikirannya menerawang. Flashback ke kejadian dua tahun lalu saat ia bertemu Sera di acara reuni, saat olahraga, dan di kafe. Semua itu terjadi antara sengaja dan tidak. Begitu mereka ketemu ada yang mendorong Marshal untuk berusaha mendekati gadis itu.

Setelah mereka dekat dan terlibat komunikasi yang nyambung satu sama lain, Marshal merasakan ada perasaan lain yang timbul. Namun seiring timbulnya perasaan itu, muncul dilema besar. Apakah jika dirinya meneruskan perasaan itu hubungan mereka masih akan sama? Marshal sudah nyaman bersahabat dengan Sera seperti sekarang. Ia berusaha agar persahabatan mereka tidak ada embel-embel cinta di dalamnya.

Untuk itu, bisa dibilang Marshal menyibukkan diri dengan memiliki pacar, demi agar ia tidak memikirkan perasaan itu lebih jauh.

Begini lebih baik.

 

CHAPTER 6 – ICE-SKATING

MAU kemana sih? Semangat amat.” gerutu Sera yang terseok-seok mengikuti laki-laki di depannya.

“Buruan kek. Lama amat sih jalannya.”

“Lagian lo buru-buru banget sih. Emang kita mau kemana?”

“Udah ikut aja pokoknya.” Dengan tidak sabar akhirnya Marshal menarik lengan Sera agar mempercepat langkahnya.

Saat ini mereka berada di sebuah mal di bagian barat Jakarta. Sedari tadi sejak di parkiran, Marshal berjalan terburu-buru ke suatu tempat entah kemana. Bahkan Sera dipaksa bangun dari hibernasinya di hari libur setelah menjalani ujian tengah semester. Dan dengan hebohnya memintanya untuk menemani ke suatu tempat yang penting, katanya.

Sera dengan susah payah mengimbangi langkah lebar Marshal. Ia pasrah saja mau dibawa kemana oleh laki-laki itu.

Namun, begitu sampai di tempat tujuan, ekspresi Sera berubah total. Ia tidak bisa menghentikan gerak mulutnya yang menganga lebar. Di depannya terdapat sebuah ruang yang terbuka yang berisi hamparan es.

“Yippiy...sampe, Raa.” seru Marshal girang.

“Mau ngapain?”

“Kita main ice-skating.” ujar Marshal sumringah. Marshal ingin menarik lengan Sera lagi, namun buru-buru dicegah oleh gadis itu.

“Tunggu. Jadi dari tadi lo narik-narik gue cuma mau kesini?” tanya Sera tajam, sementara Marshal mengangguk-anggukan kepalanya cepat disertai senyum lebarnya.

“Lo ganggu hibernasi gue cuma mau kesini? Ini tempat yang lo bilang penting?” Kali ini nada suara Sera sudah meninggi.

Marshal hanya bisa menyengir kuda, “Ini udah rencana gue dari kapan tau, Ra. Gue pengen banget main ice-skating abis UTS. Udah lama nggak main.”

Sera mencibir, “Bodo ah. Gue balik.”

Baru berniat membalikkan tubuh, tubuh Sera sudah ditahan lebih dulu oleh Marshal, “Heh, kok lo balik sih. Temenin gue.”

“Nggak mau. Mendingan tidur di rumah.”

“Yah, Ra. Please dong temenin gue, ya? Lagian kenapa jadi lo yang sering tidur sih. Mulai ketularan gue lo, ya?”

“Otak gue perlu di refresh abis UTS, Shal. Dan caranya ya tidur.”

“Justru itu gue ajak lo kesini buat refreshing. Gue udah baik nih sama lo. Bukannya makasih.”

“Baperan amat sih lo. Kayak cewek.” Sera menjitak kepala Marshal pelan, “Ogah ah. Gue nggak bisa main ice-skating.”

“Ada gue. Nanti gue ajarin.” Marshal sekali lagi menarik lengan Sera. Dengan pasrah, mau tidak mau gadis itu menurut.

Sera masih memasang wajah malas bahkan saat mereka sudah mengambil sepatu skate yang disewa.

“Jangan cemberut.” Marshal menekan kedua pipi Sera sampai membuat bibirnya mengerucut. “Pasti lo bakal happy di dalem. Percaya sama gue.”

Sera mengambil tempat duduk untuk mengganti sepatunya dengan sepatu skate. Melihat Sera yang kesulitan memakainya, Marshal yang sudah selesai memakai sepatunya, memosisikan diri berjongkok di depan Sera untuk membantunya.

Sera yang melihat itu terkesiap sesaat. Namun, sedetik kemudian raut wajahnya kembali datar seakan sudah terbiasa dengan sikap Marshal. Marshal memang seperti itu. Selalu bersikap gentleman.

Marshal dengan sabar memakaikan sepatu di kedua kaki Sera secara bergantian. Mengundang tatapan iri orang-orang di sekitarnya. Terutama para kaum hawa. Mereka berpikir Sera sangat beruntung diperlakukan seperti putri. Tanpa tahu bahwa orang yang mereka anggap beruntung itu bersikap biasa saja.

“Udah.” ujar Marshal saat tali sepatu terakhir berhasil ia ikat. Marshal beranjak dari jongkoknya. Ia mengulurkan tangannya untuk membantu Sera berdiri.

“Seriusan nih? Gue nggak bisa mainnya lho, Shal.” Rajuk Sera masih dalam posisi duduk.

“Tugas lo cuma percaya sama gue.” Marshal kembali mengangsurkan tangannya yang terulur.

Sera sedikit menghela napas. Dengan berat hati ia beranjak dari duduknya seraya berpegangan pada tangan Marshal yang diulurkan oleh laki-laki itu tadi. Dengan sabar, Marshal membantunya berjalan menuju arena, meskipun sedikit tertatih-tatih karena belum terbiasa menggunakan sepatu itu.

Sesampainya di dalam arena, baru mencoba satu langkah, tubuh Sera tergelincir. Hampir saja tubuhnya terhuyung ke belakang kalau saja tidak dipegangi oleh Marshal. Marshal yang melihat itu mati-matian menahan tawanya, yang ternyata disadari oleh Sera.

“Jangan diketawain,” cibir Sera yang membuat Marshal seketika menyemburkan tawanya.

“Lo kocak banget sih, Ra. Sumpah gue nggak kuat.” Gelak Marshal sampai memegangi perutnya saking kencangnya tertawa.

“Rese lo. Kalo lo mau ngetawain gue doang, mendingan lo main sendiri sana.”

“Dih, ngambek.”

Sera tidak peduli. Masih dengan wajah tertekuk, gadis itu meminta Marshal menariknya menuju pinggiran arena ice-skating yang terdapat pegangan disekelilingnya.

“Lo kalo mau main sana gih. Gue disini aja.” ucap Sera sesampainya di pinggirian arena.

“Lah, masa main di pinggiran doang, Ra. Cemen lo.”

“Bodo. Gue nggak bisa main. Daripada jatuh-jatuh nanti. Mendingan disini aja, aman.”

Melihat Sera yang bersikukuh tidak mau bermain ice-skating, akhirnya Marshal menyerah. Lagipula memang dirinya yang berniat bermain. “Jangan kemana-mana lo. Nanti gue balik kesini.”

Sera hanya membalas dengan kibasan tangan, menyuruh Marshal untuk beranjak.

Sudah sangat lama sekali Marshal tidak bermain ice-skating. Terakhir kalau dia tidak salah ingat sewaktu SMP diajak oleh sepupu-sepupunya. Dan sekarang entah kenapa dia ingin bermian itu lagi. Beruntung, gerakannya tidak kaku apalagi sampai terjatuh.

Tidak terasa sudah sekitar sepuluh menit Marshal mengelilingi arena. Memang, tidak terlalu mahir seperti orang lain yang menunjukkan gerakan memutar dan lain-lain. Dia hanya berjalan pelan saja, namun cukup mampu membuatnya gembira. Refreshing otak kalau kata Sera tadi.

Marshal memutuskan untuk kembali ke tempat Sera berdiri tadi. Namun, sesampainya disana ia tidak menemukan sahabatnya itu. Padahal ia yakin kalau itu tempat yang benar saat ia meninggalkan Sera tadi.

Dengan cemas, ia melihat ke sekelilingnya. Hari itu arena cukup ramai oleh pengunjung. Membuatnya sedikit kesulitan menemukan sahabatnya di antara lautan manusia.

Ia sedikit berjalan masih dengan memperhatikan pinggiran arena. Karena laki-laki itu berpikir tidak mungkin Sera berada di tengah arena karena gadis itu tidak bisa bermain ice-skating. Namun, setelah berkeliling hasilnya tetap nihil. Batang hidung sahabatnya itu tidak terlihat sama sekali.

Marshal mengacak rambutnya frustrasi. Sedikit pikiran terlintas bahwa mungkin saja Sera berada di luar arena dan menunggunya disana. Untuk itu, ia memutuskan untuk keluar. Barangkali benar Sera ada disana.

Belum sempat berbalik, Marshal merasakan bahunya ditepuk oleh seseorang dari arah belakang.

“Shal,” panggil orang itu yang ternyata adalah Sera.

Marshal yang melihat sahabatnya ada di depan matanya menghela napas, lega bukan main.

“Darimana aja lo, Ra? Sumpah ya, gue cariin dari tadi. Bikin panik tau nggak.” semburnya.

Sera menyengir, “Hehe...sorry.”

Marshal mendelik. Ia lalu melirik orang di samping Sera. Rupanya, gadis itu tidak sendirian.

“Kok lo disini, Ris?” ujarnya.

“Eh iya, tadi gue ketemu sama Harris. Terus diajakin main.” Sera yang menjawab.

“Giliran diajakin gue aja nggak mau,” seloroh Marshal.

Sera terkekeh, “Abisnya mereka maksa.”

Menyadari kata ‘mereka’ yang Sera lontarkan, membuat Marshal mengernyit, “’Mereka’?”

“Gue kesini bareng sepupu gue. Dia lagi keliling.” jawab Harris, menyadari keheranan Marshal, yang hanya dijawab Marshal dengan anggukan ringan.

“Gue tadi diajarin sama sepupunya Harris, Shal. Dia jago banget lho mainnya. Lo harus liat.” seru Sera semangat.

“Dia emang atlet skate waktu kecil. Penari balet juga.” jelas Harris tentang sepupunya.

“Oh, ya? Waah... keren banget.” ujar Sera dengan mata berbinar penuh kekaguman.

Selanjutnya terjadi percakapan antara Sera dan Harris. Terlihat sekali Sera sangat antusias mendengar cerita tentang sepupu Harris itu. Pasalnya, belum pernah ia bertemu langsung dengan atlet skate seperti sepupu Harris itu.

Obrolan mereka sangat serius sampai mengabaikan satu orang di antara mereka yang hanya bisa menyimak sambil memasang wajah datar.

Nasib...nasib dicuekin begini. Memangnya seperti apa sih sepupu Harris itu sampai membuat Sera antusias begitu.

Marshal menghela napas berat sampai atensinya teralihkan saat manik matanya mendapati seseorang menghampiri Harris dan berdiri di sebelah cowok itu. Seorang gadis tinggi semampai, bertubuh langsing, dan rambut panjang yang digelung asal memperlihatkan leher jenjangnya. Dan jangan lupakan wajahnya yang cantik jelita.

Tinggi gadis itu hampir menyamakan tinggi Harris. Jauh dengan Sera yang tingginya hanya mencapai bahu cowok itu.

“Udah selesai?” tanya Harris pada gadis tadi, sepupunya.

“Yap. Udah puas gue,” jawab gadis itu. Dan oh, suaranya sangat merdu. “Lumayan lah ngobatin kangen gue sama skate.”

“Emangnya lo udah lama nggak main skate?” tanya Sera penasaran.

Gadis itu mengangguk, “Dulu gue emang atlet skate, tapi waktu gue masih kecil. Dan terakhir gue main umur sembilan tahun.”

“Serius? Tapi lo keliatan masih jago banget,” puji Sera.

“Biasa aja kok, Ra. Mungkin karena gue sering balet sampe sekarang.”

Sera sedikit melirik ke arah sahabatnya. Dia hampir lupa bahwa masih ada Marshal disana.

“Eh iya, kenalin nih, Sar, sahabat gue Marshal. Shal, ini Sarah, sepupunya Harris yang gue ceritain tadi.” Sera mengenalkan mereka secara bergantian.

Ucapan Sera menyentak Marshal. Rupanya, sedari tadi ia terus memperhatikan Sarah tanpa berkedip.

Sarah mengulurkan tangannya ke arah Marshal untuk memperkenalkan diri, yang langsung disambut oleh laki-laki itu.

“Sarah,”

“Marshal,”

Jabatan tangan mereka memang sudah terlepas. Namun, mata mereka masih saling terpaut. Sarah memang gadis yang cantik. Tak heran jika Marshal mengaguminya. Apalagi ketika teringat dengan cerita Sera tadi tentang Sarah yang jago bermain ice-skating. Ia jadi penasaran sehebat apa gadis itu.

Marshal memberikan senyum tipis pada Sarah. Seketika gadis itu dibuat salah tingkah. Ia menundukkan wajahnya dan menyelipkan helaian rambutnya yang tak terikat ke telinga. Senyuman maut Marshal memang bisa membuat perempuan manapun yang melihatnya terbius.

Di tempatnya, Sera memicing memperhatikan kelakuan mereka. Gadis itu melirik Marshal dan berdecih. Sera bisa menebak setelah ini pasti akan ada sesuatu diantara mereka.

Kalian bisa bertaruh sama Sera kalau tebakan Sera pasti benar. Jangan panggil dia Sera kalau tebakannya tidak jadi nyata.

 

CHAPTER 7 – JATUH CINTA MELULU

DI sebuah bangku taman yang terdapat di salah satu kampus tampak seorang gadis manis duduk seorang diri. Dengan sebuah buku di tangannya, gadis itu terlihat nyaman mengabaikan terik matahari yang menyengat siang itu. Beruntung, rimbunnya pohon di sekelilingnya dapat melindunginya dari sengatan sinar matahari langsung.

Sera baru saja menyelesaikan kelas pertamanya di pagi hari. Kelas selanjutnya baru akan dimulai sekitar setengah jam lagi. Sera lebih memilih membunuh waktu di taman kampus. Untungnya, ia membawa buku bacaan favoritnya yang bisa menjadi temannya.

Sedang fokus dengan buku yang ia baca, tiba-tiba bangku yang ia duduki sedikit bergoyang tanda ada seseorang yang mendudukinya. Sera tidak perlu repot-repot melirik siapa orang yang baru saja duduk disampingnya. Ia sudah mengenali dari parfum khas lelaki itu. Lagipula sebelumnya laki-laki itu sudah mengabarinya untuk bertemu di kampus.

“Ada kelas lagi?” tanya Marshal.

“Hm. Jadi latihan futsal?” tanya Sera balik masih menekuri bukunya, tanpa perlu repot menatap orang yang ia ajak bicara.

“Yep. Baru kelar.” Marshal sedikit mengangkat buku yang Sera baca hanya ingin tahu judulnya. Sera langsung menepis tangan cowok itu pelan karena merasa terganggu. “Lo kelar kuliah jam berapa?”

“Jam 2an. Nggak usah nungguin gue. Gue pulang sendiri nanti.”

“Siapa juga yang mau nunggu lo? Gue mau jemput cewek gue. Mau jalan.” Cengir Marshal.

Sera mengalihkan tatapannya dari buku untuk menoleh pada Marshal. Ia sedikit memindai penampilan sahabatnya siang itu. Terlalu rapi untuk ukuran orang yang baru selesai berolahraga.

Ketemu pacar, ya? Pantes wangi. Kayaknya cowok itu juga baru mandi. Kelihatan seger.

“Sarah?” Sera menyebut nama pacar Marshal. Nama yang sama dan juga orang yang sama dengan sepupu Harris yang mereka temui dua minggu lalu di arena ice-skating.

Yap, seperti yang sudah bisa Sera duga akan ada sesuatu diantara Marshal dan Sarah sejak pertemuan mereka di arena ice-skating dua minggu lalu.

Sera memang sudah bisa menebak kelakuan sahabatnya. Nggak bisa lihat cewek cantik dikit langsung dideketin. Dilihat dari gerak-gerik sahabatnya hari itu saja dia sudah bisa menebak kalau Marshal akan menjadikan Sarah pacarnya. Gelagat cowok itu sudah Sera hapal di luar kepala. Setiap cewek yang Sera kenalin ke Marshal, nggak lama pasti cewek itu akan dijadikannya pacar. Mungkin terkecuali untuk Suci dan Dea.

Sehari setelah pertemuan mereka dengan Sarah, Marshal langsung mengabarinya bahwa ia dan Sarah sudah jadian.

Sera kaget bukan main mendengarnya. Pasalnya, mereka baru mengenal satu hari dan langsung memutuskan pacaran.

Dasar playboy kerdus!

“Bukan lah!” protes Marshal.

Sera melotot. Apa tadi Marshal bilang? Bukan? Maksudnya pacarnya bukan Sarah, gitu?

“Bukan gimana maksudnya?”

“Gue sama Sarah udahan. Kudet banget sih lo.”

“Udahan gimana?”

“Udahan. Putus. End.” ujar Marshal sambil mengarahkan tangannya ke leher memeragakan seperti menggorok leher.

“Putus?!” Sera berseru kaget, seketika menegakkan tubuhnya. “Lo kan baru pacaran....” Sera menjeda, mengarahkan bola matanya ke atas seperti sedang menghitung dalam kepala. “Sekitar seminggu? Dua minggu?”

“Seminggu.” Jjwab Marshal santai. Seakan hal itu merupakan sesuatu yang biasa saja baginya.

Mulut Sera tidak bisa ditahan untuk terbuka. Dirinya terperangah. Tidak percaya dengan jawaban sahabatnya itu. Apalagi reaksinya yang kelewat santai.

Seorang cewek yang sempurna seperti Sarah hanya dipacari seminggu?

Ada apa dengan sahabatnya ini?

Sera tertawa pelan. Sebuah pemikiran terlintas di kepalanya. Ia mendekatkan wajahnya pada wajah Marshal. Mengamati wajah sahabatnya itu dari dekat dengan mata memicing.

Marshal yang merasakan bahwa wajah Sera semakin dekat mengerjapkan matanya dengan cepat, merasa gugup.

“Ng-ngapain sih, Ra?” ujar Marshal terbata.

“Ada yang salah.” gumam Sera.

“Apanya?” Marshal yang bingung meraba-raba wajahnya. Mengira ada sesuatu yang menempel di wajahnya. Sebelum menemui Sera dia tadi makan setelah selesai latihan futsal. Apa jangan-jangan ada nasi yang nangkring di pipinya? Atau ada cabe nyelip ya di gigi?

“Ini cuma dugaan gue aja, sih. Berhubung gue belum jadi psikolog, jadi gue nggak bisa bantu.” Sera memundurkan tubuhnya. Melihat Marshal yang kebingungan, dia melanjutkan, “Mendingan lo temuin psikolog atau psikiater deh. Konsultasi apa kek gitu. Sama dosen gue aja deh biar gampang. Nanti gue bikinin janji.”

“Psikiater?” Marshal mengingat-ingat. Sepengetahuannya psikiater itu orang yang nanganin pasien sakit jiwa gitu, ya?

Lah, sakit jiwa?

Berarti maksud Sera dia sakit jiwa gitu?

“Maksud lo gue sakit jiwa, Ra?”

“Bukan sakit jiwa yang parah-parah banget. Ya, ada kelainan aja, mungkin.” Sera mengedikkan bahu.

“Wah, lo parah banget.” Seru Marshal tak terima, “Sahabat macam apa lo? Gue sehat walafiat gini lo bilang sakit jiwa.”

“Abisnya lo aneh. Tiap gue kenalin ke cewek dikit langsung lo pacarin. Udah gitu rata-rata cuma seminggu lagi. Yang sebelumnya seminggu. Sama Sarah juga seminggu. Gue pikir lo punya kelainan sampe nggak bisa berhubungan lebih dari seminggu. Atau punya obsesi pacarin banyak cewek gitu.”

“Gue baik-baik aja, Ra. Ya Tuhan... Lo tega banget sama gue.”

“Terus kalo bukan kelainan apa coba alesan lo? Jelasin sama gue.”

“Nggak cocok.” jawab Marshal tak acuh.

“Gitu doang? Alesan lo gitu mulu. Yang sebelum-sebelumnya juga lo bilang nggak cocok. Nggak kreatif banget.”

“Ya emang nggak cocok. Nggak mungkin juga gue paksain.”

“Sarah baik. Dia sempurna. Yang kayak gitu masih dibilang nggak cocok juga?” tanya Sera tak percaya.

“Dia nggak sesempurna keliatannya. Anaknya manja. Ribet.” ujar Marshal mendengus.

Sera mengangkat sebelah alisnya. Jawaban Marshal tidak terduga sama sekali. Beberapa menit mengenal Sarah tidak terlihat ada gelagat manja di diri perempuan itu.

“Makanya kalo pacarin cewek itu jangan cuma karena cantiknya aja. Baru sehari kenal langsung dipacarin ya gini jadinya,” omel Sera menasihati.

Marshal hanya mengangguk. Sudah biasa mendengar siraman rohani kilat dari mulut Sera.

“Terus sekarang siapa lagi yang lo jadiin korban?” ucap Sera sambil melipat tangan depan dada dan kepala sedikit mendongak.

Mendengar pertanyaan Sera, Marshal jadi bersemangat. Ia sampai menghadapkan tubuhnya ke arah Sera. “Gue jamin yang kali ini bakalan cocok sama gue. Gue lagi jatuh cinta, Ra.”

Sera menaikkan sebelah alisnya, “Oh ya? Siapa?”

“Prily. Dia beda sama mantan-mantan gue yang lain,” Marshal tersenyum lebar.

Mendengar nama yang disebut Marshal membuat Sera terkejut. Prily bukan nama yang asing di telinga Sera. Bahkan mungkin satu kampus tahu dia siapa. Salah satu mahasiswi cantik dan populer dari fakultas psikologi. Bahkan, ia digadang-gadang menjadi kandidat terkuat untuk meraih gelar Putri Kampus selanjutnya, yang bahkan pendaftarannya saja belum dibuka.

Fakultas psikologi di kampusnya memang dikenal sebagai fakultas yang memiliki banyak mahasiswi cantik dan populer. Ya, salah satunya Prily itu.

Bagaimana bisa Marshal pacaran sama cewek itu? Sera nggak pernah tahu sama sekali Marshal mengenal Prily.

Ah ya, Sera ingat. Beberapa waktu lalu Marshal pernah menanyakan Prily pada Sera. Ia kira cowok itu bertanya sambil lalu, ternyata serius sampai ingin menjadikannya pacar.

“Serius lo jadian sama Prily? Prily yang satu angkatan sama gue itu?” tanya Sera bertubi-tubi, masih dalam mode terkejut. Marshal hanya membalas dengan anggukan berkali-kali disertai senyuman manisnya.

“Pantesan lo nanyain dia mulu waktu itu. Kapan pedekatenya? Kok gue nggak tau?”

Sorry, gue nggak cerita. Abisnya gue sempet pesimis bakalan diterima sama dia. Eh, ternyata diterima,” jelas Marshal, menyengir.

“Resminya kapan?”

“Baru kemarin.”

Sera berdecih, “Cih. Baru seminggu putus sama Sarah udah ada gantinya aja. Cowok macem apa lo?”

“Biarin, sih. Nikmatin masa muda,” Marshal terkekeh. Ia mengedipkan sebelah matanya pada sahabatnya, sementara Sera memutar bola matanya, jengah.

“Udah, ah. Gue mau jemput cewek gue. Mumpung abis ini dia nggak ada kelas, jadi bisa jalan. Bye.” pamit Marshal sambil menyempatkan diri mengacak pelan rambut Sera.

Sera tidak membalas. Ia hanya diam di tempatnya, memandangi punggung Marshal yang menjauh menuju gedung fakultas psikologi dengan raut tak terbaca.

 bersambung ke chapter selanjutnya….

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Stuck
Selanjutnya STUCK [Chapter 8-10]
0
0
“I'm confused between love and friendship”Kita terjebak dalam lingkaran bernama ‘persahabatan’ yang kita buat sendiri.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan