
“I'm confused between love and friendship”
Kita terjebak dalam ikatan bernama ‘persahabatan’ yang kita buat sendiri.
CHAPTER1 – SETELAH DUA TAHUN SAHABATAN
SEORANG mahasiswi bergerak-gerak gelisah di depan gedung sekretariat salah satu kampus bergengsi di Jakarta. Beberapa menit yang lalu ia baru saja selesai menghadiri rapat BEM untuk menyambut mahasiswa baru. Rapat yang berlangsung cukup lama sampai larut malam. Ia bingung bagaimana caranya untuk pulang, mengingat ia tidak menyewa satu kamar kost seperti teman-temannya yang lain.
Dia Sera Bunga Adrina. Gadis berparas manis. Seorang mahasiswi psikologi yang baik hati, kalem, dan rela membantu teman-temannya yang sedang kesulitan. Meskipun saat ia merasa kesulitan, teman-temannya itu jarang yang menampakkan diri. Bahkan terkesan cuek. Seperti saat ini.
Sera bingung bagaimana caranya pulang, sedangkan kini sudah larut malam. Angkutan umum sudah jarang terlihat. Meskipun ada, Sera takut untuk menaikinya. Larut malam begini rawan dengan kejahatan. Apalagi ini ibukota. Mau memesan ojek online pun tidak mungkin. Sedari tadi ponselnya mati total karena kehabisan daya.
“Duh, mikir mikir dong, Ra. Masa harus naik bis, sih. Takut, Mamaaa...” Sera melirik ponselnya sekali lagi. Tapi keadaannya tetap sama. Hanya layar hitam yang nampak di sana. “Hp pake lowbat lagi. Gini nih, kalau abis kumpul BEM, pasti pulang malem. Kenapa nggak dibolehin ngekost aja, sih.” gerutu Sera.
Sera mengedarkan pandangannya, melihat keadaan sekitar. Siapa tahu masih ada orang yang ia kenal yang bisa ia tumpangi atau ajak pulang bersama.
Sera menangkap sesosok yang ia kenal. Dan sepertinya orang itu juga melihatnya.
“Hai, Ra. Belum pulang?” tanya perempuan itu. Dia adalah Fira, teman satu kelas Sera, yang juga ikut kepanitiaan dalam acara orientasi mahasiswa baru nanti. Perempuan itu juga sama seperti Sera sehabis mengikuti rapat BEM.
“Belum, Fir. Lo juga belum pulang?” tanya Sera. Ada secercah harapan bahwa ia bisa pulang bersama Fira itu. Atau menumpang di mobilnya karena setahu Sera, Fira ini sering membawa mobil ke kampus.
“Iya, nih. Abis nongki-nongki dulu tadi sama anak-anak.”
Agak sungkan sebenarnya meminta tebengan pada Fira. Meskipun mereka sekelas, Sera tidak begitu dekat dengan gadis itu. Tapi, tidak ada salahnya kan dicoba. Sera tahu Fira baik, dan tidak mungkin membiarkan dia sendirian disini sampai besok.
Baru saja Sera akan membuka mulutnya, Fira sudah memotong lebih dulu, “Eh, gue udah dijemput, nih. Duluan ya, Ra.” Fira melambai seraya tersenyum pada Sera, yang hanya dibalas Sera dengan senyum miris. Sera hanya bisa menghela napas melihat Fira yang menjauh. Ternyata, perempuan itu tidak membawa mobil dan entah dijemput oleh siapa.
Gagal deh dapat tebengan. Bahkan perempuan itu tidak menawarkan Sera untuk ikut. Benar-benar.
Sera kembali melamun. Hari semakin larut. Ia kemudian berpikir untuk mencari tukang penjual pulsa. Bukan untuk membeli pulsa, tapi meminjam charger untuk mengisi ponselnya. Semoga ada yang masih buka jam segini.
Sera berjalan menelusuri pertokoan yang berjajar di sebuah gang di pinggir kampus. Beruntung tidak lama ia melihat ada toko pulsa yang masih buka. Dengan menebalkan muka, Sera meminta bantuan pada penjaga toko tersebut. Beruntungnya lagi penjaga toko itu adalah perempuan. Bukan apa-apa. Jika penjaganya laki-laki Sera takut ditanya macam-macam. Bagaimanapun dia ini perempuan dan ini sudah larut malam.
“Permisi, Mbak. Boleh pinjam charger nya? Saya mau minta temen saya jemput tapi hp saya mati.” ujar Sera sambil menunjukkan ponselnya.
“Oh, boleh, Mbak. Silahkan.”
“Makasih banyak ya, Mbak.”
Sera bersyukur dalam hati mbak-mbak itu sangat baik dan tidak bertanya macam-macam. Ia menunggu beberapa detik sampai ponselnya menyala. Setelah menyala, ia buru-buru mencari kontak temannya. Sera tidak mau berlama-lama disana, takut mengganggu. Hanya satu orang yang ia pikirkan saat ini yang bisa menjemputnya di kampus.
Marshal Ivano. Sahabat Sera sejak dua tahun lalu. Marshal kuliah di kampus yang sama dengan Sera, hanya berbeda jurusan. Marshal mengambil jurusan manajemen. Mereka sebenarnya berada dalam satu sekolah yang sama saat SMA. Hanya saja mungkin mereka baru ditakdirkan bersahabat setelah lulus SMA dan bertemu kembali di kampus yang sama.
“Halo...” ujar Sera setelah orang di seberang mengangkat teleponnya.
“Halo, Ra. Lo dimana, sih? Daritadi gue teleponin nggak diangkat. Nyokap lo bilang lo belum pulang.” Sembur Marshal di ujung sana. Tersirat nada khawatir dari ucapannya barusan.
“Pelan-pelan kali, Shal. Baru juga nyambung telponnya. Napas dulu napas.”
“Malah bercanda lagi. Gue serius ini, lo dimana?”
“Iya, sorry tadi hp gue lowbat. Buruan jemput gue, Shal. Gue masih di kampus. Gue bingung gimana pulangnya nih.”
“Udah gue bilang kemana-mana, tuh bawa charger atau power bank. Kalau kayak gini kan jadi susah ngehubungin lo.”
“Nanti aja deh, Shal, ceramahnya. Simpen buat nanti. Mendingan lo langsung berangkat jemput gue.”
Terdengar suara helaan napas dari ujung telepon. “Yaudah. Lo tunggu disana, jangan kemana-mana.”
Sambungan langsung diputus secara sepihak oleh Marshal.
Hanya butuh waktu lima belas menit menunggu, akhirnya Sera melihat motor besar Marshal dari kejauhan. Sera mendesah lega. Dan tak tahu kenapa dia sangat merasa senang melihat wajah lelaki itu saat ini.
“Akhirnya lo dateng juga. Lo emang penyelamat gue. Sumpah gue seneng banget lihat muka lo, Shal.” ujar Sera sumringah.
Sera sebenarnya anak yang kalem. Sangat kalem malah. Cenderung pendiam dan hanya bicara jika dibutuhkan. Hanya orang-orang tertentu yang pastinya sudah dekat dengannya yang bisa melihat tingkahnya yang absurd. Dan Marshal beruntung diberi kesempatan untuk itu. Eh, nggak tau deh beruntung atau nggak. Pasalnya, Marshal jadi kena imbas tingkah manja Sera seperti sekarang ini. Harus menjemput cewek itu di kampus yang letaknya cukup jauh dari rumahnya. Malam-malam pula disaat waktunya Marshal untuk mengarungi lautan mimpi di atas kasur kesayangannya.
Marshal memutar bola matanya, “BEM lagi?”
Sera mengangguk sambil mengerucutkan bibirnya lucu. Tuh, kan. Satu lagi momen langka yang hanya bisa dinikmati oleh Marshal.
“Nggak usah ikut BEM lagi lah. Kerjaannya pulang malem terus begini.” Lanjut Marshal.
“Masa iya gue nggak ikut rapat.”
“Ngundurin diri aja kalau gitu.”
“Nggak bisa seenaknya gitu lah. Mana mau ospek lagi. Masa tiba-tiba gue ngundurin diri.”
“Nggak baik cewek pulang malem terus, Ra. Nyokap lo khawatir di rumah.”
“Kayak lo nggak sering pulang malem aja. Lagian nyokap gue tau kok gue bukan keluyuran tapi ada organisasi.” jawab Sera sewot.
“Kalau dibilangin tuh, dengerin.” Marshal menjepit hidung Sera gemas. Gadis itu meringis dan langsung menepis tangan Marshal. “Gue kan cowok. Masih lebih aman kalau malem-malem sendirian di luar.”
“Mulai deh, bawa-bawa gender. Cewek juga bisa jaga diri kali.”
“Alaah... lo takut kan tadi di kampus sendirian. Gue tebak pasti lo mau nangis.”
“Ih, nggak ya. Gue nggak nangis, cuma hampir aja. Hehe.” cengir Sera. Marshal tak tahan untuk mengacak rambut gadis itu.
“Udah buruan naik.”
Sera naik ke bangku penumpang motor Marshal. Karena motornya yang besar dan tinggi itu, Sera sedikit kesulitan. Marshal mengulurkan tangannya untuk menjadi tumpuan gadis itu, dan disambut dengan baik olehnya. Setelah memastikan Sera sudah duduk dengan benar, Marshal mengulurkan helmnya.
“Pegangan.” ujar Marshal memperingati.
Dengan tidak canggung, Sera melingkarkan tangannya pada pinggang lelaki itu. Hal ini sudah biasa ia lakukan saat menumpang motor Marshal. Toh, Marshal juga tidak keberatan jika dia melakukannya.
Bukan mencari kesempatan memeluk laki-laki itu, tapi bentuk motornya yang besar membuat Sera takut terjatuh. Apalagi Marshal sering memacu kendaraannya dengan cepat saat di jalan raya.
“Lo pasti ngebut ya tadi.” ujar Sera saat Marshal sudah memacu kendaraannya membelah jalanan ibukota. Sera bisa menebak Marshal pasti mengebut saat dalam perjalanan menjemputnya tadi. Rumah Marshal dan kampus cukup jauh. Dan laki-laki itu hanya butuh lima belas menit untuk sampai. Padahal butuh waktu empat puluh lima menit dalam kecepatan normal.
“Biar lo nggak kelamaan nunggu, dan keburu nangis karena gue nggak nyampe-nyampe.” jawab Marshal asal. Sedetik kemudian ia merasakan cubitan kecil di perutnya.
“Sialan.” desis Sera. Marshal pun terkekeh di balik helmnya.
“Nyokap lo nggak papa lo jemput gue gini malem-malem?”
“Nggak papa. Dia pasti ngerti, kan dia kenal sama lo. Santai aja.”
Marshal belum pernah melakukan ini sebelumnya. Bahkan pada mantan-mantan pacarnya pun dia tidak sampai rela menjemput mereka malam-malam begini. Marshal lebih suka bergelung bersama guling kesayangannya.
Tapi, lain cerita kalau Sera yang meminta. Lelaki itu pasti tidak bisa menolak. Mau jemput gadis itu sampai ke kutub utara, atau bahkan ke hutan belantara pun akan ia lakukan. Ia tidak akan memaafkan dirinya jika terjadi sesuatu pada Sera. Sahabatnya yang tersayang. Sahabat yang.... ah sudahlah. Tidak perlu dibahas sekarang. Marshal cukup bahagia dengan status mereka saat ini. Selama dia berada di dekat Sera, dia bahagia.
CHAPTER 2 – LO YANG BELI INI SENDIRI?
DI suatu pagi yang cerah, di sebuah istana yang cukup megah, hiduplah seorang putri kerajaan yang dikenal baik hatinya juga rupanya. Setiap hari ia mematut diri di cermin kebanggaannya tidak ada yang berubah dari dirinya. Selalu cantik seperti biasa.
Seperti kali ini. Sang putri mematut diri di cermin, merapikan dandanannya. Sebentar lagi pangeran akan datang menjemputnya, dengan kuda putih kesayangannya. Mendengar sang pangeran datang menjemputnya, ia berlari dengan sumringah, melihat bayangan sang pangeran dari balik jendela kamarnya.
PRAANNGG
Sayangnya, ini bukan negeri dongeng. Hanya ada gadis bernama Sera Bunga Adrina yang melongokkan kepalanya di jendela kamar. Melihat seorang pemuda memasuki rumahnya.
Bukan pangeran berkuda. Apalagi berkuda putih. Cuma ada Marshal Ivano dengan motor besarnya seperti biasa.
Sera kembali mematut diri di cermin, merapikan penampilannya. Akhir pekan itu Marshal mengajaknya jalan. Hanya sekedar nonton dan makan, seperti biasa.
Pintu kamar Sera terbuka. Menampilkan sosok wanita paruh baya yang masih cantik di usia senjanya.
“Marshal udah datang tuh, Ra.”
“Iya, Ma. Sera lihat tadi.” Sera memoleskan liptint sebagai sentuhan terakhir.
“Cantik amat sih, anak Mama.”
Sera pun tersenyum, “Iya dong, Ma. Kan mamanya cantik.”
Sebenarnya sih kalau cuma jalan sama Marshal, biasanya Sera nggak perlu dandan yang heboh. Paling cuma bb cream dan liptint.
“Kamu pacaran ya, sama Marshal?”
Sera melihat pantulan dirinya yang mengerutkan kening dibalik cermin, “Nggak.”
“Terus kok sering banget jalan berdua.”
“Jalan berdua temen emang nggak boleh? Marshal udah punya cewek kali, Ma.”
”Kalau udah punya cewek, ngapain ngajaknya kamu?” tanya mamanya heran.
Sera mengedikkan bahu, “Nggak tau.”
“Ya udah cepetan tuh, Marshal nungguin. Dia lagi ngobrol sama papamu.”
“Pasti ngomongin bola lagi, deh.”
“Laki-laki kalau udah ketemu apalagi yang diomongin selain otomotif dan bola.”
Sera berjalan keluar kamar setelah mengambil sling bag serta flat shoes nya. Ia menghampiri Marshal dan kedua orang tuanya yang asyik berbincang di ruang keluarga. Marshal memang sudah akrab dengan kedua orang tua Sera. Dua tahun bersahabat membuatnya sering main ke rumah Sera. Sama halnya dengan Sera yang mengenal baik keluarga Marshal. Mereka sudah tidak canggung lagi dengan keluarga masing-masing.
Seperti saat ini, Marshal kalau ketemu papanya Sera pasti langsung ngobrol seputar bola. Atau tentang mobil papanya dan motor besar Marshal.
“Mobil Om sudah lama banget tuh dikandangin. Mau dijual aja kayaknya.”
“Kenapa dijual Om? Nggak sayang?”
“Sayang sih sebenernya. Tapi jarang dipake. Om kan udah pensiun. Udah jarang keluar, lebih sering di rumah. Jadinya mobil parkir terus di garasi. Daripada jadi rusak karena nggak dipake lebih baik dijual aja.”
“Kenapa nggak dipake sama Sera aja, Om?”
“Om juga mikirnya gitu, sih. Tapi Sera belum bisa bawa mobil.”
“Boro-boro bisa bawa mobil.” Tiba-tiba Mama Sera nyeletuk. “Setiap libur malah dipake tidur. Bukannya belajar nyetir.” ujar Mama Sera yang diiringi tawa papanya dan Marshal.
“Yuk, Shal, jalan.” Kalau begini satu-satunya jalan adalah kabur. Nggak mungkin, kan, Sera ngelawan kata-kata orang tuanya. Takut dosa.
“Marshal permisi ya, Om, Tante.” Marshal menyalami tangan kedua orang tua Sera.
“Hati-hati, ya.”
“Mau kemana kita?” tanya Sera saat mereka di dekat motor Marshal, di luar rumah Sera.
“Nonton aja, ya. Tapi temenin gue cari sepatu futsal dulu.”
“Tumben amat lo inget sama gue. Malem minggu nih. Biasanya lo sama cewek lo.”
“Kangen nonton bareng lo.” cengir Marshal.
“Cuih.” cibir Sera sambil menunjukkan ekspresi pura-pura muntah. Sementara Marshal terkekeh.
“Serius gue. Cewek lo nggak marah nih cowoknya malah malem minggu bareng cewek lain?”
Marshal mengibaskan tangannya, “Tenang aja, nggak bakal marah.”
“Cewek lo kenapa? Lagi ada acara keluarga, jadi nggak bisa nemenin lo?”
“Gue udah putus.”
Sera membelalak, “Ha? Putus lagi? Kalian baru dua minggu pacaran.”
“Orang udah nggak cocok ngapain dilanjutin.” jawab Marshal tak acuh.
“Semena-mena banget sih lo sama cewek. Jangan gitu, Shal. Ntar kena karma lo.”
“Daripada gue malah selingkuh, mendingan gue jujur aja terus gue putusin kan. Gue nggak bakal dapet karma karena emang dia juga mau putus.”
Sera menggeleng-gelengkan kepala sambil bersidekap, “Ckck...harusnya gue curiga. Lo ngajak gue keluar pasti ada yang aneh.”
“Aneh apaan?”
“Kalau lo masih sama cewek lo, nggak mungkin ngajak gue jalan.”
“Gue nggak setega itu, Ra. Gue masih inget elo, kok.”
“Hellooww, siapa ya yang tiap malem minggu nyuekin chat gue terus.”
“Ututu... jangan ngambek, dong.” Marshal tergelak, lalu mencubit pipi Sera.
Sera menyingkirkan tangan Marshal yang ada di pipinya dengan kasar, “Lo nggak ada temen yang bisa dikenalin ke gue gitu?”
“Buat apa?”
“Kalau gue dicuekin sama lo yang lagi asyik pacaran, gue kan jadi ada temennya buat diajak jalan.”
Marshal tak menjawab. Ia melengos, menaiki motornya, “Udah buruan naik. Nanti kesorean.”
***
Beberapa jam kemudian, setelah mereka menjelajahi beberapa toko sepatu untuk mencari sepatu futsal untuk Marshal, yang entah kenapa berkali-kali dirasa Marshal tidak cocok padahal bagi Sera sepatu futsal modelnya begitu-begitu saja beda sama sepatu perempuan yang modelnya macam-macam, dan nonton film, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang setelah makan malam.
Saat mereka sedang berjalan, masih di area dalam mal, tiba-tiba Sera merasakan kram di perut bagian bawahnya. Ia sampai meringis sambil memegangi perutnya. Ia berjalan sangat pelan, bahkan sudah tertinggal di belakang Marshal.
Marshal yang menyadari Sera tidak berjalan di sampingnya, menengok ke belakang. Ia kaget melihat Sera yang meringis sambil memegangi perutnya.
“Ra, lo kenapa?” tanya Marshal saat ia sudah berada di dekat Sera.
“Berhenti dulu, Shal. Perut gue sakit banget.”
“Kenapa? Lo salah makan?”
“Kayaknya gue dapet deh.”
“Dapet? Dapet apa?”
Sera mendecak, “Dateng bulan.”
“Kenapa lo nggak bilang kalau lagi dapet?”
“Ya mana gue tau. Ini hari pertama.”
Sera memang sudah tidak canggung lagi membicarakan hal pribadi seperti ini pada Marshal. Mungkin karena persahabatan mereka yang sudah lama jadi Sera menganggapnya biasa saja. Marshal pun begitu.
Marshal membimbing Sera duduk di bangku di selasar mal. “Lo tunggu di sini. Jangan kemana-mana.”
Usai berkata demikian, belum sempat Sera bertanya, Marshal sudah lebih dulu pergi entah kemana. Beberapa menit kemudian, laki-laki itu kembali. Sera melihat ada satu bungkus plastik di tangan Marshal.
Laki-laki itu langsung menghampiri Sera dan duduk di sebelahnya. Dia mengulurkan kantong plastik itu pada Sera. Tanpa diminta, Sera langsung melihat isi kantong plastik tersebut. Ternyata, tadi Marshal pergi untuk membelikannya minyak kayu putih dan pembalut.
“Lo yang beli ini sendiri?” Sera bertanya dengan heran. Pasalnya, ia tahu cowok pasti tidak mau diminta membeli barang cewek seperti itu. Apalagi Marshal si cowok cool. Pasti gengsinya lebih tinggi.
“Iyalah.”
“Lo nggak malu gitu beli ginian?”
“Ya malu lah. Menurut ngana?”
“Terus... gimana bisa?”
“Gue nggak mau jok motor gue kena noda darah. Udah cepet sana ke toilet.”
Sera mengerucutkan bibirnya.
Sialan, gue kira dia perhatian.
CHAPTER 3 – DIMANFAATIN
SERA memasuki area perpustakaan fakultas psikologi. Begitu sampai di dalam, ia membuka laptopnya setelah mendapatkan bangku kosong. Hari ini ia dan teman-temannya berencana mengerjakan tugas kelompok mata kuliah psikologi kepribadian.
Dosen pada mata kuliah tersebut memberi tugas presentasi pada beberapa kelompok di kelas Sera dengan masing-masing kelompok mempresentasikan materi yang berbeda-beda. Kebetulan, kelompok Sera mendapat materi tentang Self-Regulation.
Untungnya, Sera satu kelompok dengan dua teman akrabnya di kelas. Sehingga Sera berpikir pasti akan lebih mudah mengerjakannya dan juga mereka bisa menyelesaikannya dengan cepat.
Sedang asyik mengotak-atik laptopnya, perhatian Sera teralihkan dengan getaran dari ponselnya.
MaBro : Ra, ngantin yuk
Ternyata dari Marshal yang mengajaknya makan di kantin bersama. Karena Sera harus mengerjakan tugas, dengan berat hati ia menolak.
Me : gw mau ngerjain tgs shal
MaBro : di perpus?
Me : yap
MaBro : Gue temenin?
Me : ga usah. Gue kerja kelompok
MaBro : ok. Bljr yg bener
Me : iye bawel
Sera menutup ponselnya. Ia melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir lima belas menit dari waktu yang dijanjikan tapi teman-temannya belum datang juga. Sera memutuskan untuk mengirim pesan pada mereka. Karena mereka sudah akrab di kelas, mereka memiliki grup chat sendiri di aplikasi perpesanan.
Girls Squad (3)
Me : giiirrlllss
Me : kalian dmn
Me : gw udh di perpus nih
Pesan Sera tidak langsung dibalas. Baru beberapa menit kemudian mereka membalasnya.
RantiM. : sorry ra
RantiM. : gue ada latihan teater
PutriJelita : gw hrs nemenin ponakan imunisasi. Kaka gw msh dikantor
Me : knp ga blg drtd L
RantiM. : sorry ra baru ngabarin
PutriJelita : dibagi tgs aja. Nnti kita kumpulin jd satu
Me : ok, nnti gw ksh tau materinya ya
Sera menghela napas. Mau tidak mau ia mengerjakan tugas kelompok itu sendiri. Sera berjalan ke rak buku dengan langkah gontai. Mengambil beberapa buku yang terkait dengan materi presentasi.
***
Kantin fakultas psikologi penuh sesak dengan para mahasiswa. Jam-jam makan siang seperti itu memang menjadikan kantin sebagai tempat yang paling dicari para mahasiswa. Untuk mengisi perut mereka yang kelaparan dan berkumpul bersama teman-teman. Yang pasti kantin dijadikan sebagai tempat untuk rehat sejenak seusai menghadapi mata kuliah yang begitu rumit.
Diantara mereka, di salah satu meja, ada Sera dan teman-temannya, Ranti dan Putri. Mereka telah selesai melakukan presentasi pada mata kuliah psikologi kepribadian sebelumnya. Lamanya mata kuliah tersebut, yaitu tiga jam, membuat perut mereka kelaparan. Untuk itu, setelah perkuliahan selesai, mereka bergegas menuju kantin. Dan disinilah mereka sekarang.
Biasanya, jam istirahat seperti ini Sera habiskan dengan kedua sahabatnya sejak SMA, Suci dan Dea. Namun, karena mereka berbeda fakultas, dan saat ini kedua sahabatnya itu masih disibukkan dengan perkuliahan masing-masing, membuat Sera tidak bisa makan siang bersama mereka.
Seperti mahasiswa lainnya, disana Sera, Ranti, dan Putri tidak hanya sekedar makan siang saja. Mereka juga membicarakan berbagai macam hal. Biasalah. Namanya juga perempuan. Yang diomongin pasti tidak jauh-jauh dari urusan kosmetik sampai urusan cowok.
Putri bahkan menanyakan perihal Marshal. Apakah laki-laki itu sudah memiliki pacar atau belum? Yang hanya dijawab Sera sambil lalu karena Sera tahu Putri hanya bertanya sekedar basa-basi mengingat perempuan itu sudah memiliki kekasih.
Yang dibicarakan tiba-tiba datang dan langsung duduk di sebelah Sera. Tanpa menyapa kedua teman Sera, dengan tampang cool nya, yang lebih terlihat sok cool dimata Sera, ia langsung mengambil gelas es teh manis milik Sera dan meminumnya tanpa canggung.
Tanpa disangka kedua teman Sera tiba-tiba pamit untuk meninggalkan kantin lebih dahulu. Padahal baru beberapa menit lalu mereka semangat menanyakan Marshal. Mungkin karena tampang Marshal yang datar kayak jalan tol, mereka jadi segan berdekatan dengan cowok itu.
Marshal memang dikenal sebagai cowok cool. Dia hanya akan beramah-tamah pada orang-orang terdekatnya saja. Ini berlaku juga untuk perempuan. Meskipun dia memiliki banyak mantan, jangan dikira dia akan tebar pesona dengan mudah pada perempuan. Dia hanya akan ramah pada perempuan yang memang menurutnya menarik untuk diajak ngobrol.
Mungkin kedua teman Sera ini termasuk perempuan yang kurang menarik di matanya. Pasalnya, setiap Marshal bertemu mereka berdua, cowok itu akan memasang wajah datar cenderung tidak ramah seperti saat ini.
“Ra, gue duluan ya.” ujar Ranti sambil merapikan tasnya.
“Mau kemana, Ran?”
“Gue baru inget ada latihan teater.”
Tiba-tiba Putri nyeletuk, “Gue ikut ya, Ran?”
“Ya udah, yuk. Ra, bisa minta tolong bayarin dulu nggak makanan gue? Gue buru-buru banget nih. Tenang aja nanti gue ganti.”
“Ok. Makanan lo juga sekalian, Put?”
“Iya, Ra. Tolong ya.” ujar Putri dengan memelas.
Sera mengangguk. Setelah itu mereka pergi keluar dari area kantin.
“Kenapa nggak bayar sendiri aja sih?” gumam Marshal. “Kenapa harus lo yang bayarin sih, Ra? Mereka kan bisa bayar dulu sebelum pergi.”
“Mungkin mereka lagi buru-buru, Shal.”
“Gue dateng kenapa langsung kabur. Baru gue pelototin dikit aja langsung takut.”
“Serem kali lihat tampang lo. Lagian lo ramah dikit kek sama mereka.”
“Ngapain. Buang-buang waktu ramah sama orang kayak begitu.” Marshal mengambil makanan pesanannya yang baru saja diantar oleh pelayan kantin.
“Kenapa sih lo sentimen amat sama dua temen gue itu? Mereka baik kok.” Sera menyendok lontong dari piring Marshal. Rupanya dia masih lapar.
“Ra, mendingan lo jauh-jauh deh dari mereka. Sebelum lo nyesel.”
“Mereka temen deket gue di kelas. Kemana-mana juga bareng kok.”
“Pokoknya lo harus jauhin mereka. Titik.”
“Gue nggak mau. Titik.”
“Ngeyel banget sih jadi orang.”
“Kenapa gue harus jauhin mereka? Alesannya apa? Menurut lo mereka nggak baik gitu? Jangan sok tau.” Sera mendorong pipi Marshal pelan. “Gue udah kenal mereka dari jaman maba. Fine-fine aja tuh sampe sekarang.”
“Orang yang dilihat dari luar baik, belum tentu aslinya baik juga.”
“Lo tenang aja. Gue jamin mereka nggak kayak yang lo pikir.”
“Pokoknya hati-hati aja.” ujar Marshal kali ini lebih serius.
***
“Ra, masih dikampus? Balik bareng nggak?” tanya Marshal dari seberang telepon. Sera yang baru saja keluar kelas langsung mendapat telepon dari Marshal.
“Iya, Shal. Ini gue baru kelar. Gue ke toilet dulu bentar.”
“OK. Gue otw.”
“Sip.”
KLIK.
Sera berjalan di sepanjang koridor lantai empat gedung fakultasnya menuju toilet di ujung koridor. Kampus sudah lumayan sepi. Mungkin karena hari sudah semakin sore dan sebentar lagi gelap, sudah sedikit yang menjalankan perkuliahan pada jam-jam tersebut.
Begitu sampai di depan pintu toilet, Sera mengurungkan niatnya untuk masuk. Pasalnya, ia mendengar suara seseorang yang menyebut-nyebut namanya.
“Waktu kita mau kerja kelompok di perpus itu lo beneran nemenin ponakan lo emangnya?”
“Kagak. Gue males kerja kelompok bareng dia. Bodo amat. Mendingan gue kerjain sendiri di rumah.”
“Anjir. Kacau banget lo. Pake segala bilang ponakan imunisasi lagi.”
“Gue nggak boong kok. Ponakan gue emang lagi imunisasi. Cuma yang nganter nyokap gue. Neneknya, bukan gue. Hahaha. Lo sendiri juga kabur. Lo kira gue nggak tau teater itu cuma akal-akalan lo doang.”
“Eh, gue sih beneran latihan teater pas itu. Gue jadiin aja alesan abisnya males kerja kelompok. Biarin Sera aja yang ngerjain. Eh, lo malah sok ide bagi tugas.”
“Biar dia nggak curiga kali. Nggak papalah. Itung-itung biaya print out dibayarin sama dia. Kita nggak perlu keluar duit. Ya kan?” Terdengar suara tawa dari kedua orang itu.
“Bener juga. Udah gitu makan di kantin dibayarin lagi. Makmur lah hidup gue kalau temenan sama Sera.”
“Lo udah ganti belum duit makan di kantin?”
“Ya belomlah. Sera juga nggak nagih. Jadi gue diem-diem aja.”
“Eh tapi gue serem deh sama temennya dia tuh yang kemana-mana bareng. Tampangnya serem banget kalau ketemu kita gue perhatiin. Makanya gue langsung ikut lo keluar kantin.”
“Sama gue juga. Makanya kan gue langsung kabur. Gue rasa dia curiga sama kita.”
“Ah, udah lah. Bodo amat. Nggak kenal juga.”
Di luar, Sera menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Matanya memanas namun tidak mengeluarkan air mata. Hatinya remuk mendengar pembicaraan kedua orang di dalam sana. Sera sangat mengenal suara mereka. Dua orang yang Sera percayai dan sudah ia anggap sahabat selama berkuliah di fakultas psikologi. Teman sekelas sejak masih sama-sama menjadi mahasiswa baru. Ranti dan Putri.
Dia tidak menyangka kedua orang yang sangat ia percaya menusuknya dari belakang. Orang-orang yang ia kira tulus ternyata hanya memanfaatkan kebaikan hati Sera selama ini.
Pembicaraan kedua orang di dalam terus berlanjut. Sera tidak dapat lagi mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan karena sibuk dengan hatinya yang terlanjur kecewa.
Tiba-tiba, Sera merasakan dua tangan besar menutup kedua telinganya dari belakang. Dengan sigap, Sera membalikkan tubuhnya. Dari manik matanya, ia menangkap sosok Marshal berdiri disana.
Masih dengan kedua tangan menutupi telinga Sera, Marshal memberikan senyuman. Bermaksud menenangkan sahabatnya bahwa semua akan baik-baik saja.
Ternyata, sedari tadi Marshal juga berada disana. Mendengar percakapan kedua orang di dalam toilet itu. Sesampainya di gedung fakultas psikologi, Marshal memutuskan untuk langsung menemui Sera. Dan ia menangkap sosok Sera sedang berdiri diam di depan toilet saat itu.
Marshal mendekat. Ia dapat mendengar dua orang di dalam sana sedang membicarakan Sera. Dasar perempuan bodoh. Gosipin orang tapi dengan suara kencang seperti itu.
Awalnya ia ingin menghampiri kedua orang itu dan melabraknya. Namun, niatnya itu ia urungkan. Ia ingin Sera mendengar sendiri bahwa kedua temannya itu sangat bermuka dua. Ya. Marshal sudah mengetahui bahwa kedua teman Sera itu bukan orang baik. Ia sudah beberapa kali memperingati Sera seperti di kantin waktu itu. Namun, Sera tidak mau mendengar. Perempuan itu masih meyakini bahwa kedua temannya tidak seperti yang Marshal duga.
Dasarnya Sera memang orang yang terlalu baik. Dia terlalu berpikir positif pada perilaku orang lain terhadapnya, sampai-sampai ia tak sadar bahwa dirinya sedang dimanfaatkan.
“Pulang yuk.” Marshal mengajak Sera pergi dari sana. Ia sedikit memapah Sera menuju parkiran motor karena tubuh Sera yang masih shock akibat mendengar penuturan kedua temannya tadi.
Tidak ada tangis sama sekali. Sera hanya bengong seperti orang linglung. Sampai motor Marshal melaju. Saat Sera bersandar pada punggung tegap sahabatnya itu barulah tangisnya keluar.
“Gue udah anggep mereka sahabat gue, Shal. Kenapa mereka jahat sama gue?” raung Sera dari balik punggung tegap Marshal.
“Lain kali lo harus berani nolak, Ra. Mereka minta bantuan lo itu bukan karena percaya sama lo. Tapi mereka anggep lo kacung yang nggak penting. Gue tau lo orangnya nggak enakan kalau nolak permintaan orang lain. Tapi, lo harus tau Ra, mana yang beneran tulus sama lo, mana yang cuma manfaatin lo doang. Lain kali nggak usah nggak enakan sama orang kayak gitu.” Jelas Marshal dari balik helmnya.
“Gue udah curiga dari awal kalau mereka cuma mau manfaatin lo doang. Gue tau mereka bukan temen yang baik buat lo.” lanjutnya. “Nggak ada sahabat yang ngomongin sahabatnya yang lain di belakang. Mereka itu bukan sahabat. Mereka itu temen yang baru dateng disaat butuh. Setelah lo nggak dibutuhin, mereka pergi gitu aja. Terus nanti tiba-tiba dateng lagi kalau butuh lagi. Intinya, lo harus hati-hati kalau bertemen sama orang.”
“Maaf udah nggak dengerin omongan lo waktu itu.” ujar Sera sendu.
“Hm. Lo cuma harus tau satu hal.” Marshal diam sejenak, kemudian dengan suara beratnya berkata, “Gue nggak bakal nyakitin lo kayak mereka.”
bersambung ke chapter selanjutnya…
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
