Be My Plus One | Chapter 23

0
0
Deskripsi

post-image-66cdbdc80d374.jpg

 

PART 23

Caramel menarik napas, lalu membuangnya. Terus begitu sejak tiga puluh menit yang lalu. Semua rekan kerjanya di ruangan ini pergi untuk makan siang. Tapi, tidak dengannya.

Dia sengaja memilih menyendiri. Pikirannya harus ditata dulu agar orang-orang tidak ada yang tahu dia sedang ada masalah. Masih untung mereka tidak ada yang tahu soal insiden penyekapan itu. Hanya kabar yang beredar, tapi tidak ada yang tahu bahwa korbannya adalah dirinya sebab Caramel selalu menolak diwawancara media. Caramel harus tetap membuatnya seperti itu.

Bukan hanya perasaan Caramel saja kan, kalau belakangan Adelio menunjukkan perhatiannya. Hubungan mereka sudah baik. Mereka sudah dekat bahkan jauh sebelum insiden penyekapan itu. Tapi, kenapa tiba-tiba Adelio bersikap dingin lagi?

“Aneh. Dia tiba-tiba berubah,” gumam Caramel, sambil menatap kosong layar komputer.

Apa memang benar-benar karena Adelio tidak punya perasaan padanya seperti yang dia kira?

Jadi, Caramel cuma baper?

Caramel baru sadar, dia tidak sepenuhnya mengenal Adelio. Adelio sulit ditebak banget, sih.

“ARGHH!”

Caramel menggerutu tertahan, seraya menenggelamkan kepalanya di atas meja kerja.

“Kak Amel.”

Panggilan itu membuat Caramel menengadah. Dengan perut yang terlihat semakin buncit, Annchi menghampirinya pelan. Lalu, menarik kursi kerjanya untuk lebih dekat dengan Caramel. Saat itu, Annchi melihat bungkus gelas plastik berisi kopi di atas meja Caramel. Belum lagi dua gelas plastik bekas lainnya di dalam tempat sampah yang terletak tidak jauh dari meja kerja Caramel.

“Kak Amel nggak makan? Kok cuma minum kopi aja?”

“Iya, soalnya aku suka caramel macchiato.”

Bukan itu maksud Annchi, “Tapi, nggak sampai tiga gelas juga, dong. Aku perhatiin dari tadi Kak Amel minum itu doang. Mau aku pesenin makanan?”

“Eh, nggak usah. Aku masih kuat, kok.” Caramel tersenyum simpul.

Annchi tak percaya. Dia bisa merasakan Caramel berbohong. Tapi, dia memutuskan tidak memaksa. “Aku udah dengar beritanya. Kak Amel baik-baik aja?” tanyanya cemas.

Annchi menghampiri karena memperhatikan Caramel yang kusut dan banyak melamun. Khawatir psikisnya masih belum pulih paska insiden penculikan. Annchi sudah mendengarnya dari Mada. Sengaja juga mencari waktu menanyakan ini saat rekan kerja mereka yang lain tidak ada.

“Maaf ya, Kak. Aku nggak jenguk waktu Kak Amel di rumah sakit.” Tangan Annchi mengelus perutnya yang buncit, “Baby rewel banget, jadi aku harus bed rest.”

Caramel malah melamun, dan tercenung. Ah, iya, Annchi. Apa Adelio bersikap dingin karena dia masih mencintai Annchi? Sengaja membuat jarak karena sadar dia masih belum melupakan wanita ini, makanya tidak mau menjalin hubungan percintaan—dengannya atau bahkan wanita manapun?

Karena Caramel diam saja, Annchi jadi meneleng menatapnya bingung, “Kak?”

“Oh...” Caramel tersadar, “Nggak apa-apa kok, Ann. Aku baik-baik aja sekarang.”

Dan sekarang, dia malah semakin membuat Annchi khawatir, “Beneran nggak apa-apa?”

Caramel mengangguk pasti sambil tersenyum yang dia buat selebar mungkin.

“Kenapa bisa gitu, sih? Kok ada ya, orang sejahat itu?” Annchi membicarakan Erich.

“Ada. Dan sebelnya, dia itu mantanku.” Caramel mencebik.

“Dan dia kakaknya Adelio. Wah, kenapa bisa kebetulan banget gitu?” Caramel hanya bisa tersenyum tipis menanggapi Annchi yang tidak tahu banyak. “Tapi, untunglah Kak Amel udah nggak berhubungan lagi sama orang itu. Meskipun mereka kakak-adik, mereka jelas beda banget. Mungkin Kak Amel udah tau, Adelio nggak pernah dianggap di keluarganya. Karena itu, dia jadi kuat. Syukurlah, Kak Amel dapet pengganti yang lebih baik.” Annchi tersenyum manis, “Apalagi Adelio udah nolong Kakak.”

Ah. Annchi belum tahu soal hubungannya dengan Adelio.

“Kamu salah paham. Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Adelio.” Caramel memutuskan menjelaskan. Toh, dia dan Adelio sudah tidak ada lagi kemungkinan menjadi lebih dekat juga.

“Eh? Tapi, kan Adelio udah nolong Kak Amel.”

“Cuma nolong aja. Kalau ada orang kesulitan, kamu pasti akan melakukan hal yang sama, kan. Dan kebetulan juga Adelio tau pelakunya. Kebetulan lagi pelakunya adalah kakaknya.”

“Nggak. Nggak. Maksudku bukan gitu,” sela Annchi, “Aku kenal banget Adelio. Dia nggak akan segitunya kalau dia nggak peduli. Dan menurutku, apa yang Adelio lakuin kemarin lebih dari itu. Waktu tau Kak Amel hilang, dia kelihatan panik banget, sampai minta tolong teman-temannya, termasuk suamiku, buat bantu cari Kak Amel. Dia juga minta tolong langsung sama mamanya Kak Amel, dan bertemu ayah Kak Amel buat minta bantuan beliau. Aku tau dari suamiku.”

Caramel terperangah. Dia baru tahu hal ini. Mama tidak pernah cerita apa-apa soal ini.

“Aku pikir Adelio masih cinta sama kamu,” gumam Caramel tanpa sadar.

“Aku?” Annchi mengerjap bingung, “Ah. Kak Amel tau, ya?” gumamnya meringis, merasa malu. Meski begitu... “Cinta?” Annchi meneleng, “Lio memang pernah bilang begitu, tapi aku rasa perasaan dia untuk aku nggak sedalam itu. Lio nggak pernah melakukan hal yang dia lakukan ke Kakak untuk aku. Dia nggak pernah sampai mati-matian mencari pas aku hilang. Minta bantuan semua orang buat mencari aku sampai nggak tidur.” Annchi menggeleng pasti.

Dan itu semakin membuat Caramel terperangah.

“Aku nggak tau tepat atau nggak bilang ini sekarang, tapi sebenarnya yang ngejar duluan itu aku.” Annchi tertawa kecil mengingat masa lalu, “Kalau memang Lio cinta sama aku, kita pasti udah pacaran dari lama. Kenyataannya dia memilih menjauh. Sikap Lio nggak bikin aku yakin dia beneran cinta sama aku. Sampai aku mengenal suamiku yang jelas perhatiannya jauh dari yang dilakuin Adelio untuk aku.” Mengingat Mada membuat Annchi tersenyum.

Lalu, dia genggam tangan Caramel, “Kak, mungkin Lio cuma nggak bisa ungkapin perasaannya. Tapi, aku jamin perlakuan dia ke Kak Amel jauh berbeda dengan perlakuan dia ke aku. Yang jelas lebih baik. Dan menurutku, itu menunjukkan semuanya.”

Lalu, kenapa dia menjauh?

 

***

 

Dengan bibir mengerucut, Caramel menyandarkan sebelah pipinya ke bantal. Di luar matahari sudah tinggi, tapi dia masih betah berbaring di atas tempat tidur. Permasalahan hati yang terjadi padanya membuat Caramel jadi malas melakukan apapun, bahkan untuk sekadar keluar kamar.

Ucapan Annchi terus terngiang di kepalanya. Semalam, Caramel bahkan jadi susah tidur karenanya. Sikap peduli Adelio padanya sangat berbanding terbalik dengan yang Annchi dapatkan, padahal pria itu menyukainya. Itu artinya Adelio lebih menyukai Caramel, begitu?

Kalau memang benar begitu, lalu kenapa Adelio berubah dingin lagi sih, sama dia? Seakan-akan dia sengaja membuat Caramel menjauh.

Apa Adelio punya masalah?

Tapi, masalah apa yang membuat Adelio sampai mengubah sikapnya pada Caramel? Memangnya apa hubungannya sama Caramel?

Caramel melepaskan napas kasar. Dua kakak-beradik itu sama saja. Sama-sama membuatnya pusing.

“AMEL CARAMEEL!”

Ketukan pintu dari luar membuat Caramel yang hampir saja memejamkan mata jadi tersentak. Dia tidak menyahuti dan hanya membalik kepala ke arah lain dengan malas. Yang berteriak seperti di hutan itu bukan mamanya, jadi tidak perlu dia sahuti.

“AMEL CARAMEL! BANGUN, WOI!” Sayangnya, orang itu tidak menyerah, “Perawan jangan bangun kesiangan, nanti jodohnya dipatok cewek lain.”

Caramel mendengus. Pria itu. Bicaranya sudah seperti ibu-ibu cerewet saja.

“Mel, gue buka pintunya, yee.”

Caramel terlambat memberi penolakan karena pintu kamarnya sudah menjeblak duluan. Danesh, yang pagi-pagi sudah membuat onar di kamarnya itu masuk tanpa diizinkan. Kenapa mamanya mengizinkan Danesh masuk rumah di saat dia nggak mau diganggu, sih?

“Apaan sih lo, berisik banget! Keluar sana! Nggak tau sopan santun banget masuk ke rumah orang sembarangan,” omel Caramel.

“Tante lagi belanja di warung sayur Mpok Udin, jadi dia nitipin anak perawannya ke gue.”

Caramel mencibir, “Bisa-bisanya Mama nitipin anaknya yang cantik ini ke kadal muara. Kalau diapa-apain gimana?”

Danesh melotot, tak terima dikatai, “Yee, gue cowok baik-baik, makanya Mama lo percaya.”

“Keluar sana! Gue mau tidur.” Sekali lagi, Caramel mendorong Danesh.

Tapi, Danesh menampiknya, “Dih, tidur. Udah siang ini,” semburnya, “Keluar aja yuk, Mel!”

“Nggak mau!” Kali ini Caramel menyembunyikan kepala di bawah bantal.

“Ayo, doong! Kita udah lama nggak nge-date.” Tidak habis akal, Danesh menarik tangan Caramel.

Caramel memberontak sambil mengerang, “Aish! Naura kapan balik ke Jakarta, sih?!” Karena kalau Naura di Jakarta, Danesh akan fokus sama pacarnya itu dan melupakan Caramel. Kalau hari biasa Caramel akan kesal karena dicuekin, tapi sekarang Caramel malah berharap Danesh melakukan itu.

“Lo kenapa, sih?” Danesh tidak lagi memaksa. Dia juga sama sekali tidak tertawa dengan gerutuan Caramel barusan. Danesh justru merasa ada yang aneh. Caramel tidak seperti biasanya.

“Nggak apa-apa. Gue lagi males aja,” kata Caramel yang kembali rebahan. Tidak ada tenaga untuk menceritakan kegalauannya kepada Danesh.

“Bohong! Terakhir lo kayak gini waktu diputusin sama si penculik itu.” Danesh mencibir. Malas sekali dia menyebut nama penculik itu. Pria brengsek. Bukan hanya pengkhianat, dia juga psikopat.

Saat tahu Caramel disekap dan pelakunya adalah Erich, Danesh marah luar biasa. Kalau saja dia tahu lebih awal dan ikut menyelamatkan Caramel, Erich sudah mati babak belur di tangannya. Sayangnya, tidak ada yang memberitahunya. Dia baru tahu setelah Caramel dirawat di rumah sakit. Karenanya, Danesh sempat mencak-mencak di depan Caramel, bahkan di depan Sherly, saat dia bertemu Caramel di rumah sakit.

Caramel bilang Adelio sudah mewakilinya melakukan hal itu pada Erich. Tapi, tetap saja Danesh gatal ingin melakukannya langsung.

Makanya sekarang dia datang untuk menghibur Caramel. Rupanya keputusannya benar karena Caramel memang lagi bad mood.

“Gue benci sama mereka. Benci, benci! Nggak kakak, nggak adek sama aja!” gerutu Caramel.

Karena Caramel bicara sambil menelungkupkan kepalanya di bantal, Danesh jadi sulit memahami. “Apa, sih? Ngomong yang jelas.”

“Adeliooo,” rengek Caramel setelah menengadah, “Kata orang, cewek susah dimengerti. Menurut gue nggak gitu. Cowok juga susah dimengerti.” Caramel mengubah posisinya menjadi duduk menghadap Danesh, “Lo tau kan, Adelio yang nolong gue?”

“Heem.”

“Kalau dari kacamata cowok, menurut lo kenapa dia kayak gitu?”

Danesh merapatkan bibir. Matanya ke atas, berpikir, “Dia suka sama lo... Lo mau gue ngomong gitu, kan?” Danesh tertawa terbahak-bahak.

Caramel pun jadi kesal. Dia lemparkan bantal ke wajah sahabatnya yang menyebalkan itu. Padahal, dia sudah senang karena merasa perasaannya bukan sekadar baper seperti yang dia kira.

“Sialan! Gue seriuus!” omel Caramel, “Dia khawatir banget waktu gue diculik dan...” Caramel agak berbisik, “... Dia juga udah cium gue, dua kali.”

Tawa Danesh seketika terhenti. Berganti dengan matanya yang melotot, “Wah, itu sih nggak bener! Fix itu fix!” ucapnya berseru heboh, “First kiss gue sama Naura juga waktu kita belum jadian.”

“Kenapa lo begitu sama Naura?”

“Ya karena gue sukalah. Ngapain gue nempelin bibir gue yang berharga ini sama sembarang cewek.”

“Ya kaan!” seru Caramel, senang akhirnya ada yang berpikiran sama, “Dia juga kayak gitu dong, harusnya.”

“Kecuali kalau Adelio suka sembarangan cium cewek,” timpal Danesh.

Caramel langsung membantah dengan yakin, “Nggak. Adelio nggak kayak gitu.” Tapi, lalu meneleng. Tidak yakin sendiri.

“Iya, sih. Waktu lo deketin aja dia kabur terus, ya.” Danesh tertawa.

Caramel mencebik. Tapi, tidak bisa membalas karena ucapan Danesh benar.

“Terus, sekarang Adelio kenapa? Dia ngejauh setelah baperin lo?” tanya Danesh yang bisa menebak dengan akurat.

Caramel mengangguk lemah.

“Dahlah, Mel. Lo nggak beruntung dalam percintaan,” ledek Danesh yang berlagak prihatin dengan menepuk-nepuk pundak Caramel.

Kesal, lagi-lagi Caramel memukulinya dengan bantal, “Lo nggak kasih solusi sama sekali. Pulang sana!”

Danesh terbahak, “Seenggaknya gue bisa ajak lo healing. Yuk, jalan!” Danesh sudah beranjak, tapi Caramel masih bergeming.

Caramel mencibir, “Halah. Paling nonton. Gue males, ah.”

“Gue mau ajak lo ke tempat yang bikin adrenalin lo terpacu. Gue jamin dopamin lo bakal naik deh, nggak bakal galau-galau lagi,” janji Danesh.

Namun, yang terjadi nyatanya tidak sehebat itu.

“Apanya yang bikin adrenalin terpacu?!” protes Caramel mencebik. “Lo cuma ajak gue ke arcade.” Caramel pikir Danesh akan mengajaknya naik roller-coaster atau wahana semacamnya yang memacu adrenalin seperti yang laki-laki itu bilang. Rupanya cuma arkade di dalam mal.

Danesh tertawa, “Tapi, lo seneng, kan?”

Yah, Caramel akui dia cukup senang bisa melepaskan stress-nya. Tadi dia bahkan bermain tembak-tembakan berkali-kali sambil membayangkan targetnya adalah si menyebalkan Adelio.

Lalu, sekarang setelah lelah mereka berdiam di kafe yang juga di dalam mal tersebut.

Sembari menikmati espresso pesanannya, Danesh menyapu pandangan. Dia lantas menyadari ada seorang pria yang terus menatap ke arah mereka. Kepala Danesh meneleng. Sepertinya dia tidak asing dengan wajah pria itu.

Ah! Itu cowok yang dekat sama Caramel, kan?

Adelio.

Danesh sadar tatap mata Adelio tertuju ke arah Caramel dengan tatapan menyelidik. Dia pun menyeringai saat sisi jailnya muncul di dalam kepala.

Danesh berdehem. Perlahan, dia condongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Caramel. Tangannya terulur membelai rambut panjang sahabatnya itu. Caramel yang sama sekali tak mengetahui rencananya itu pun jadi risi.

“Apaan, sih?” protes Caramel terganggu. Matanya mendelik menatap aneh sahabatnya. Nggak ada angin nggak ada hujan Danesh mengelus lembut kepalanya. Sambil senyum-senyum lagi. Jangan-jangan, Danesh punya rencana jahat, “Kenapa lu? Mau minjem duit?”

Dalam hati, Danesh berdecak. Kalau saja dia lagi nggak punya maksud tertentu, dia pasti sudah menjitak kepala sahabatnya ini. Mati-matian Danesh mempertahankan senyum manisnya, “Nggak usah sedih ya, Mel. Cowok nggak cuma satu.”

Yang tadinya merasa bingung, kini Caramel menatap Danesh penuh haru. Laki-laki itu memang selalu bisa diandalkan untuk menghiburnya. Bibirnya mengerucut, “Tapi, gue sebel. Apa gue terlalu cepet suka sama orang, ya?”

“Iya, lo polos banget.” Danesh mengangguk-angguk prihatin.

“Rese!”

Tangan Caramel sudah melayang ingin memukul Danesh. Namun, Danesh menahannya dengan cepat. Anehnya, Danesh tak langsung melepaskan. Alih-alih dia malah menggenggamnya erat.

“Apaan, sih, lo dari tadi aneh banget. Ada masalah sama Naura? Atau beneran mau pinjem duit?” ucap Caramel curiga.

“Nggak. Kami baik. Baiik banget. Dan lo tau sendiri gue nggak pernah ngutang, apalagi sama lo.”

“Ya teruus?”

“Lo yang nggak baik.”

“Lo takut gue jadi gila? Bangke!”

Caramel sudah menyentak lengannya dari genggaman Danesh dan ingin memukul pria itu, namun urung saat indra pendengarannya mendengar kalimat yang membuatnya mematung.

“Adelioo. Kamu kok diem aja, sih. Ngomong, doong.”

Caramel mendengar itu dengan jelas. Kalimat yang diucapkan dengan suara manja terasa tak jauh darinya. Sempat mengira salah dengar, nama yang disebutkan itu tak dipungkiri membuat Caramel refleks mencari sumber suara. Pandangannya mengedar, dan tepat saat itu, di arah jam tiga dari tempatnya duduk, benar dia melihat Adelio. Pria itu tidak sendiri. Di hadapannya duduk seorang wanita yang sempat mereka temui di restoran, yang katanya sempat dekat dengan Adelio.

Kenapa mereka bersama?

Mereka menjalin hubungan sekarang?

Lalu, sekelebat dia ingat lagi ucapan Danesh soal wajarnya seseorang tidak akan mencium sembarang orang, kecuali orang yang dia cintai. Dan wanita itu pernah berciuman dengan Adelio, padahal Adelio mengaku mereka tidak ada hubungan apa-apa.

Itu artinya Adelio juga menganggap dia sama seperti wanita itu, dong? Cuma sembarang cewek yang dia temui.

Saat matanya dan Adelio bertemu, Caramel terdiam. Tak lama karena dengan cepat dia alihkan. Tidak sanggup menatapnya. Kekesalannya semakin menumpuk.

Helaan napas Caramel terlepas lelah, “Udahlah, Dan. Gue memang bukan tipenya dia,” lirihnya lemah.

Caramel merasa bodoh karena masih terus berharap. Annchi salah. Jelas-jelas Adelio tidak peduli padanya. Tiba-tiba menghilang, tiba-tiba muncul.

Tuh, lihat. Sekarang, dia bahkan sudah punya gandengan baru.

Di sisi lain, Danesh juga bingung. Kenapa Adelio bersama wanita tapi matanya terus terpaku ke arah Caramel?

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Be My Plus One
Selanjutnya Extra Part 3 [LDR Never Get Bored Cause I'm With You]
0
0
Langkah sepasang kaki berbalut sepatu pantofel hitam berjalan di depannya. Tidak seperti hari-hari biasanya yang terlihat gagah, langkah itu terseret lunglai. Bahunya yang tegap juga terlihat terkulai.Di belakang, sambil memegangi jas pria itu, Kyra hanya bisa menghela napas berat. Dia jadi ikut sedih. Tapi, tidak bisa berbuat apa-apa. Ini sudah menjadi keputusannya. Angan-angannya. Impiannya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan