Be My Plus One | Prolog - Chapter 1

1
0
Deskripsi

Caramel Zania Amaro mengalami patah hati terdalam dan perdana seumur hidupnya setelah diputusi oleh mantan kekasihnya yang sudah dia pacari 9 tahun lamanya. Udah diputusin, batal nikah, mantan kekasihnya malah nikah duluan.

Dengan tidak tahu diri Erich, mantan kekasihnya, mengundangnya ke acara pernikahan lelaki itu. Kalau tidak, Amel, begitu dia biasa dipanggil, dianggap tidak laku olehnya. Tengsin dong Amel kalah dari mantannya.

Masalahnya, Amel belum punya gandengan baru. Lalu, siapa dong yang bersedia menjadi plus one-nya?

PROLOG

Mantan. Satu kata yang terdengar biasa dan memiliki banyak makna, namun menyebalkan jika menyangkut perasaan.

Apalagi mantan yang berselingkuh dari kamu.

Apalagi mantan itu bersikap menyebalkan dengan memamerkan pernikahannya dengan selingkuhan. Belum lagi dia mengolok-oloknya yang belum punya pasangan baru dan mengklaim belum move on kalau nggak berani datang ke pesta pernikahannya.

Dan itu semua dialami Caramel.

Sialan. Caramel kan, belum punya pacar baru untuk ditunjukkan sebagai tanda dia sudah move on. Terus, harus gimana?

Sementara, Caramel sangat ingin balas dendam. Nggak terima kalau dibilang belum move on, apalagi cinta mati sama buaya buntung itu. Cuih.

Di tengah carut-marut pikirannya, dia dipertemukan dengan seorang karakter manhwa. Ah, bukan. Dia manusia, tapi ketampanannya serupa tokoh manhwa yang sering Caramel baca. Pria itu seolah keluar dari dunia maya menuju dunia nyata dan menghampirinya yang sedang gundah gulana. Meski jelas ini bukan cerita isekai di mana seseorang berpindah ke dalam dunia fiksi setelah tak sengaja membacanya semalam.

Caramel masih memijak bumi, kok. Dan semalam, dia tidak habis membaca novel atau pun manhwa favoritnya. Yang ada dia menghadiri acara pertunangan si mantan berengsek.

Apakah pria itu adalah pangeran yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkannya?

“Mas Ganteng, kamu mau nggak jadi plus one aku?”

.

.

.

PART 1

Begitu turun dari ojek yang ditumpanginya, Caramel, wanita berambut hitam panjang yang hari ini dia ikat satu itu, berdiri di depan sebuah rumah berpagar putih dengan bahu terkulai. Langkahnya terasa berat untuk memasuki bangunan itu.

Bukan si pemilik rumah yang membuatnya malas, karena perempuan yang adalah sepupunya, anak dari pemilik rumah ini, menyambutnya dengan baik begitu membukakan pintu. Tapi, mengingat siapa saja yang nanti akan datang di acara inilah yang membuatnya tak bersemangat.

Di dalam rumah, sudah banyak sekali keluarganya yang datang; eyang uti dan eyang kakung, om dan tante, sepupu dekat, maupun kerabat yang jauh. Hari ini salah satu tantenya, Tante Widya, pemilik rumah ini, berulang tahun. Tantenya yang paling ramah itu memang senang mengadakan pesta.

Caramel memindai mereka satu persatu dan menghela napas lega saat tidak menemukan orang yang membuatnya malas datang ke sini. Syukurlah orang itu belum datang. Atau lebih bagus kalau tidak datang saja.

“Selamat ulang tahun ya, Tante,” ucap Caramel menghampiri pemilik rumah sekaligus alasan acara ini diadakan, Tante Widya. “Ini ada titipan dari Mama. Maaf dia nggak bisa datang karena nggak bisa ninggalin pekerjaannya.” Caramel memberikan satu paper bag berisi kotak kue. Lalu, satu paper bag lainnya yang berisi kado darinya, “Dan ini ada sedikit dari aku.”

“Ya ampun, Amel, nggak usah repot-repot.” Meski begitu, Tante Widya menerima pemberiannya dengan sukacita. Lalu, tatapan hangat yang selalu Caramel terima dari wanita itu pun terlihat, “Amel datang aja Tante udah senang, kok. Makasih ya, Amel,” ucap Tante Widya tulus seraya mengelus lembut sebelah pipinya.

Caramel tersenyum simpul. Dalam hati meringis sambil bergumam, dia juga tidak repot sama sekali. Dia hanya membelikan tas tangan seharga tidak sampai dua ratus ribu rupiah sebagai hadiah. Bukan apa-apa. Tidak sampai menguras gajinya yang pas-pasan itu. Meski dia harus mencari-cari apa hadiah yang sekiranya tidak terlalu terlihat murahan. Beruntung dia ahli dalam hal itu.

“Mama kamu tuh, ya. Padahal, udah Tante suruh libur biar restoran diurus sama yang lain, tapi masih kerja aja.”

Tante Widya adalah adik pertama Mama. Satu-satunya keluarga Mama yang masih bersikap baik pada Mama dan juga dirinya setelah prahara yang menimpa kehidupan mereka. Saat mereka terpuruk, Tante Widya yang suaminya memiliki restoran, mengajak Mama bekerja di sana.

Tante Widya sangat mengerti keadaannya. Itulah kenapa wanita itu tak enak hati menerima pemberian Caramel dan Mama, yang padahal sekarang sudah tidak terlalu sulit seperti dulu karena Caramel sudah memiliki pekerjaan sendiri, dan kehidupan Mama sudah lebih stabil.

“Haiii, semuanyaaa.”

Suara dari arah pintu utama mengalihkan semuanya, termasuk Caramel. Senyum Caramel lantas pudar saat tahu siapa itu.

Akhirnya orang itu datang. Si pembuat onar. Orang yang membuatnya sejak tadi was-was jika bertemu.

“Kak Widya, selamat ulang tahun.” Wanita dengan banyak perhiasan di tubuhnya itu menghampiri Tante Widya dan langsung mengajaknya cipika-cipiki dengan heboh, “Maaf ya, aku cuma bawa ini untuk Kakak. Kemarin aku ke Bangkok, baru ingat Kakak ulang tahun. Jadi, aku cuma beli ini.”

Ya memang sih, dari luar negeri. Tapi, hanya tas kanvas biasa yang jika dirupiahkan tidak lebih mahal daripada tas tangan pemberian Caramel. Apa itu bisa dibilang sebagai hadiah ulang tahun? Tak menghargai sekali.

Yah, jangan heran kalau orang itu Tante Silvi. Istri dari adik laki-laki Mama yang paling bungsu, Om Bagas, itu memang sudah dikenal sombong di keluarganya. Suka pamer sana-sini memamerkan kekayaannya. Mentang-mentang Om Bagas yang paling sukses di antara anak-anak Eyang.

“Makasih, ya.”

Tuh, lihat saja. Tante Widya menerimanya dengan wajah kecut meski dia samarkan dengan senyuman.

“Hai, Amel. Apa kabar? Udah lama ya, nggak ketemu.”

Oh, Caramel lupa dengan satu orang lagi. Dia Meva. Sepupunya. Anak dari Tante Silvi.

Seperti Tante Silvi, Meva sangat menyebalkan. Bukan hanya untuknya, tapi juga bagi sepupunya yang lain. sikap Meva yang bermuka dua dan suka pamer dikenal memuakkan.

Dan bukan itu bagian terparahnya.

“Haha. Iya,” balas Caramel dengan senyum palsunya.

Sial. Sudah terbayang bagaimana lelahnya dia harus menghadapi dua wanita iblis ini.

Seharusnya dia tidak datang. Memuakkan sekali.

Yah, walaupun memang kemungkinan besar mereka akan datang, sih. Caramel saja yang salah. Ini semua karena Mama yang memaksanya datang sebagai ganti dia yang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya di restoran. Dan Caramel yang tidak bisa menolak karena yang berulang tahun adalah tantenya yang paling baik.

“Kamu baik-baik aja kan, Mel? Aku khawatir, lho, kita nggak pernah ketemu,” ucap Meva mendayu-dayu.

Dalam hati Caramel mencibir. Kalimat macam apa itu? Dari tatanan katanya saja sudah aneh. Meva dan ‘khawatir’ tidak bisa disatukan. Apalagi mengkhawatirkannya.

“Sibuk kerja aja,” jawab Caramel singkat. Dia kembali membuang muka. Lebih baik bicara dengan sepupunya yang lain yang lebih baik.

Tapi, Caramel tidak bisa melarikan diri dengan mudah dari dua wanita itu, ketika Tante Silvi menyambar,

“Amel, mana pacarnya?”

Wajah Caramel seketika mengeras. Oh, sudah dimulaikah?

Sudah dia tebak, topik itu pasti akan dibahas.

Jangan salah sangka. Caramel begini bukan karena dia seperti orang-orang yang malas mendapat pertanyaan ‘kapan nikah?’ ketika menghadiri acara keluarga. Dendam Caramel pada dua wanita iblis itu tidak sesederhana itu.

Tante Silvi bukan orang yang akan melontarkan pertanyaan hanya sekadar berbasa-basi. Dia memiliki maksud tertentu yang akan membuat lawan bicaranya tersudut, sekaligus geram ingin memakinya.

Mari kita lihat.

“Udah 25, lho. Cepetan nikah!” lanjut Tante Silvi. Tidak menunggu jawaban Caramel karena memang sebenarnya dia tidak terlalu ingin tahu, “Meva lho, udah dilamar sama pacarnya. Coba, Meva, kasih lihat cincin berliannya.”

See? Langsung terlihat, kan, alasan kenapa Tante Silvi perhatian sekali mengurusi urusan pribadinya.

Alasan pertama, pamer.

“Ma, jangan gitu, ah. Malu. Cuma kayak gini aja, kok. Cincin biasa.”

Dan Meva tidak jauh berbeda. Sikapnya pura-pura sungkan, padahal sebenarnya sama ingin pamer. Lihat saja, dia terlihat enggan, tapi sebelah tangannya yang tersemat sebuah cincin dengan mata berkilauan di jari manisnya dia tunjukkan dengan anggun ke hadapan semua orang.

“Pacarnya Meva ini royal banget sama Meva. Maklum, anak hakim terkenal. Itu lho, Salman Agnibrata. Tau, kan? Waktu ngelamar Meva aja kasih berlian, ya. Nggak hanya ini sih, sebenarnya. Cuma kan nggak harus kita bawa semua kan, ya. Nggak enaklah nanti jadi omongan.” Tante Silvi terkikik.

Kalau tidak mau jadi bahan omongan ya sejak awal tidak usah dibahas.

Semua orang diam. Tidak ada yang menanggapi. Bahkan sibuk dengan urusan masing-masing.

“Lamaran resminya belum. Nanti datang, ya, Amel.”

Kenapa hanya Caramel saja? Di sini kan ada banyak orang.

“Amel lagi sibuk apa?”

“Kerja, Tante.”

Tante Silvi tidak dengar ya, tadi Caramel sudah menjawab?

Oh, tentu tidak mungkin Tante Silvi tidak tahu. Wanita itu hanya sedang bersiap untuk serangan lainnya.

“Masih kerja sama penyintas narkoba itu? Aduh, nggak capek, tuh?” cibirnya, “Meva sih, udah nggak perlu kerja lagi nanti kalau udah nikah. Erich yang ngelarang. Katanya nggak mau Meva capek, ya. Orang kaya mah bisa ya seperti itu.” Kikikannya terdengar lagi. “Saran Tante, Amel kerja di tempat lain, deh. Biar ketemu cowok mapan gitu kayak Meva. Umur seperti Amel harus giat cari pacar, lho. Hati-hati nanti jadi perawan tua.”

Alasan kedua, mencela.

“Eh, Tante nggak nyumpahin lho, ya. Justru Tante khawatir.” Tante Silvi mendekat, “Kalau bisa yang kaya. Biar Amel nggak capek kerja kayak Mamanya,” bisiknya, tapi dengan suara yang sengaja dia keraskan.

Kalau saja tidak ada Eyang, kepalan tangan Caramel sudah mendarat di wajahnya yang penuh suntik botoks itu.

“Tunangannya Meva namanya Erich ya, Tante?” Wening, sepupu Caramel yang lain, anak Tante Widya, menyahut.

“Iya. Kok kamu tau?” Tante Silvi antusias, “Erich juga hakim seperti ayahnya. Wajar sih, kalau kamu kenal dia.”

“Nggak, sih. Setau aku Erich itu mantan pacarnya Amel,” balas Wening, menyeringai.

“Pernah dibawa ke sini juga, Tante. Memangnya Tante nggak ingat?” sahut Bening, saudara kembar Wening.

Caramel tersenyum simpul kepada kedua sepupunya itu. Mereka pasti bermaksud sarkas karena tahu apa yang terjadi.

“Oh, ya? Terus, kenapa putus sama Amel dan malah sama Meva, ya?” tanya Tante Silvi sok polos. “Duh, makanya kalau punya pacar itu diperhatiin dong, Mel. Mungkin Meva lebih perhatian kali, ya, makanya Erich lebih sayang sama Meva. Lihat kan, Meva lebih manis.”

Senyum miring Meva membuat Caramel muak.

Alasan ketiga, menjatuhkannya dengan mengangkat sang anak.

Caramel yakin sebenarnya Tante Silvi hanya berpura-pura tidak tahu bahwa tunangan Meva adalah mantan kekasih Caramel.

Ini pula yang membuat Caramel malas bertemu mereka. Alasan terparah dari alasan-alasan kenapa dia begitu membenci Meva. Meva sudah merebut kekasihnya dengan tidak tahu diri.

“Ma, jangan gitu, dong. Tapi kan, Caramel lebih cantik.”

“Buat apa cantik kalau nggak memuaskan?”

Caramel terperangah. “Wow. Erich pasti puas banget, ya, sama Meva. Udah ngapain aja?”

Caramel menyeringai saat Meva langsung membuang muka. Meva pasti ingat apa yang pernah dia katakan padanya dulu.

Caramel beralih menatap Tante Silvi yang wajahnya sudah merah padam. “Mohon maaf banget ya, Tante. Saya memang nggak bisa memuaskan mantan pacar saya kayak yang Meva lakukan. Soalnya saya nggak murahan.”

Wajah Tante Silvi semakin kecut. Tapi, berlagak tenang dengan mengalihkan, “Nanti kalau menikah, katanya Erich mau kasih Meva rumah, lho.”

Caramel langsung teringat hal yang sama yang Erich janjikan padanya.

“Sial. Gue nggak rela banget kalah dari dia,” batin Caramel, semakin membenci Meva.

Ini semua karena satu tahun lalu.

 

***

 

Satu tahun yang lalu

Sudah lama sekali Caramel tidak mendapat kabar baik. Dan ini menjadi salah satu hari membahagiakan dalam hidupnya.

Dosen pembimbingnya mengabari bahwa Caramel mendapat tawaran bekerja di salah satu yayasan pulih untuk penyintas narkoba. Caramel bisa langsung mendapat pekerjaan setelah dia lulus kuliah. Dengan begitu, dia bisa membantu Mama. Dan kebetulan juga yayasan itu adalah tempat kerja yang didambakannya.

Caramel pun menceritakan kabar baik ini kepada Erich, kekasihnya, saat kencan mereka.

“Wah, bagus, dong,’ kata Erich ikut senang.

Tapi, tiba-tiba saja wajah Erich berubah serius.

“Mel, gimana kalau kita... menikah?”

Ice cream cone yang baru ingin Caramel santap harus kembali dia jauhkan. “Tapi, kan, aku masih belum kerja.”

Ini pembicaraan pertama mereka soal hal serius itu. Tentu Caramel senang. Jantungnya sempat berdetak kencang. Tapi, Caramel berusaha menyadarkan diri.

Erich menggenggam tangannya, “Kalau kamu menikah sama aku, kamu nggak perlu kerja lagi, Mel. Aku udah lulus jadi hakim. Ya, walaupun masih pemula, tapi penghasilanku sangat bisa memenuhi kebutuhan kamu dan kita nantinya. Aku juga udah beli rumah buat kita,” ucapnya penuh percaya diri, “See? Hidup kamu terjamin kalau menikah sama aku.”

Caramel dan Erich sudah berpacaran 9 tahun. Memang terhitung lama. Tapi, bukan berarti itu membuat Caramel jadi ingin menikah cepat-cepat. Dia masih ingin lebih dulu mengejar karirnya. Dan Erich cukup tahu akan hal itu.

“Kamu tau bukan itu yang aku mau, Rich. Aku juga harus bantu Mama.”

“Kalau kita menikah, aku nggak larang kamu untuk bantu Mama kamu, kok.”

“Kamu nggak keberatan kalau Mama tinggal bareng kita?”

Erich terdiam. Tangannya yang menggenggam tangan Caramel terlepas seiring dia menjauh, “Harus kayak gitu?” Terlihat sekali dia keberatan, dan Caramel sudah menduganya, “Mama kamu nggak harus ikut sama kita, kan?”

“Aku nggak bisa ninggalin Mama sendirian.” Ini sudah prinsipnya sejak lama. “Lagi pula, aku nggak bisa hanya jadi ibu rumah tangga. Aku harus punya karir yang bagus supaya terlihat baik di mata ibu kamu, kan? Keluargaku bukan keluarga yang baik. Setidaknya aku harus terlihat baik dengan karir aku, kan?”

“Tapi, aku nggak masalah, Mel.”

“Memangnya kamu nggak malu punya istri miskin, nggak bisa apa-apa pula? Ibu kamu aja bilang gitu, kok.” Caramel tidak bermaksud menyindir. Dia hanya mengulang apa yang pernah dikatakan ibunda Erich padanya.

“Ibuku kan ibu rumah tangga juga.”

“Tapi, Ibu kamu bukan dari keluarga miskin yang tinggalnya di rumah kontrakan kumuh kayak aku,” balas Caramel, yang lalu terlihat sedih, “Dan bermasalah kayak Mama aku.”

Terdengar helaan napas panjang Erich. “Oke. Gimana kalau kita tunangan dulu?” tawarnya, sambil kembali menggenggam tangan Caramel, “Aku nggak mau jauh dari kamu, Sayang. Setidaknya, aku pastiin untuk mengikat kamu dulu.”

Ucapan yang seketika menggetarkan hati Caramel.

Oh. Erich sangat pandai membuatnya luluh.

“Oke.”

Dan Erich benar melamarnya. Malam yang begitu romantis. Candle light dinner di lantai paling atas sebuah hotel bintang lima. Di sanalah Erich menyematkannya cincin yang sangat cantik, yang tak pernah berada dalam bayangan Caramel bahwa dia akan menerima lamaran manis yang selama ini hanya bisa dia lihat di film-film romantis. Sekadar membayangkannya saja Caramel merasa tak pantas.

Walaupun lamaran dilakukan hanya berdua, tapi membuat Caramel senang.

Erich bilang perlahan dia akan mengatakan keseriusan hubungan mereka ini pada kedua orang tuanya. Caramel juga akan melakukan hal yang sama pada Mama. Mereka sepakat akan melakukannya dengan perlahan.

“Yang penting kita udah resmi dulu, Sayang,” ucap Erich dengan manis. Semanis kecupan yang dia berikan pada punggung tangan Caramel.

Caramel mengunggah momen itu di media sosialnya. Komentar dari teman-temannya berdatangan. Termasuk dari Meva. Namun, dia satu-satunya orang yang memberi komentar menyebalkan.

meevv.aaa ganteng ya pacar lo. udah ngapain aja tuh?

meevv.aaa gue juga bisa kok, dapet tunangan kayak pacar lo.

Meva ini memang sepupu Caramel yang paling menyebalkan. Sukanya nyinyir. Tidak hanya ke Caramel. Sepupunya yang lain juga digituin.

Karenanya, Caramel tidak ambil pusing. Meva begitu pasti karena dia iri kan, dengan pencapaiannya.

Caramel hanya membalas seadanya.

caramelzania ya ya

Kegiatan bekerjanya sudah dimulai, langsung sesaat Caramel lulus kuliah. Caramel senang luar biasa. Meski sulit, tapi karena ini bidang pekerjaan yang dia damba Caramel jalani dengan sukacita. Setiap hari ada saja hal baru. Cerita baru yang dia dapatkan dari para penyintas.

Sayangnya, kesibukannya membuat dia jarang bertemu dengan Erich. Erich juga sama, sibuk meniti karirnya sebagai seorang hakim. Satu bulan sudah mereka tidak berkabar. Erich tidak pernah berupaya menghubunginya lebih dulu. Bahkan, pria itu jadi sulit dihubungi.

Apa pekerjaan Erich sesulit itu sampai-sampai tak ada waktu sama sekali untuk sekadar berbagi kabar dengannya?

Begitu Caramel akhirnya bisa bertemu Erich, malah kabar kurang menyenangkan yang dia terima.

“Segampang itu kamu minta putus? Kenapa? Sembilan tahun lho kita, Rich. Aku ada salah apa sama kamu? Aku minta maaf belakangan aku sibuk banget sama pekerjaan baruku. Aku udah berusaha hubungin kamu, tapi nggak ada balasan dari kamu.”

“Kamu nggak salah apa-apa, Mel.”

“Terus?”

“Maaf, Mel, ini bukan keputusanku. Ini keputusan Ibu dan Ayah. Aku udah bicara sama mereka soal rencan kita. Aku bahkan udah bujuk mereka berkali-kali. Tapi, keputusan mereka tetap sama. Mereka nggak mau aku menikah sama kamu.” Erich berdehem, “Dan mereka... mau jodohin aku.”

Caramel tersentak, “Jodohin? Menikah?”

“Iya.”

“Tiba-tiba?!”

“Aku juga nggak ngerti sama jalan pikiran mereka,” ucap Erich sendu. Beberapa kali mengecap bibirnya yang kering.

“Karena pekerjaanku nggak sebagus keluarga kamu? Atau karena keluargaku yang miskin? Udah miskin, nggak jelas ayahnya di mana. Karena itu?”

Caramel tidak pernah menutupi apapun dari Erich. Soal keluarganya sekalipun. Keluarganya yang hancur. Hanya ada dia dan Mama yang kerja serabutan. Caramel tidak emmiliki ayah. Setidaknya, dia tidak pernah benar-benar bersama pria itu sejak Caramel masih kecil. Entah di mana batang hidung pria itu sekarang.

Caramel tahu Erich tidak pernah menyembunyikan apapun dari kedua orang tuanya. Erich pasti sudah cerita soal dirinya. Caramel juga pernah bertemu mereka. Orang-orang terpandang. Wajar kalau mereka tidak bisa menerima kehidupan Caramel yang jauh dari kehidupan mereka itu.

Caramel mengerti itu.

Tapi, dia tidak mengerti pada sikap Erich yang dengan mudah menyerah akan dirinya.

Apa arti sembilan tahun mereka untuk Erich?

“Kamu kan bisa belain aku, Rich,” ucap Caramel yang begitu kecewa. “Kamu bisa pertahanin aku, kan?” Dia terdengar putus asa.

“Aku udah berusaha, Mel. Tapi, aku nggak bisa menolak keinginan orang tuaku.”

Caramel menegak. Matanya beralih menyorot tajam, “Sembilan tahun kita nggak ada artinya buat kamu sampai kamu nyerah gitu aja?” lirihnya, “Ini bukan karena kamu nggak bisa. Tapi, kamu nggak mau,” hardiknya menusuk.

Caramel pergi dengan membawa rasa kecewanya bersamanya.

Lalu, tak lama setelah itu, selang dua hari kemudian, dia melihat postingan media sosial Meva, yang sedang makan malam bersama kekasihnya di salah satu hotel bintang lima.

Awalnya, Caramel tidak peduli. Tapi, sesuatu yang tertera di foto itu menarik perhatiannya.

Dia seperti mengenali jam tangan yang dikenakan pria di samping Meva itu.

Caramel juga baru sadar Meva menyematkan akun milik pria pemilik jam tangan yang bersamanya itu—akun yang Caramel kenali benar—yang ditulis cukup besar seolah sengaja ingin menunjukkannya pada Caramel meski Meva tidak menunjukkan wajah Erich.

Ya, Erich yang itu. Mantan kekasih sembilan tahun Caramel.

Baru dua hari lalu putus dengannya, si pria pengecut itu sudah menjalin kasih dengan Meva.

Kenapa cepat sekali Erich punya gandengan baru? Apa benar baru dua hari mereka menjalin kasih?

Sudah berapa lama Caramel dibohongi?

Postingan lain Meva bagikan. Tangkapan foto di mana Meva hanya berbalut selimut di atas kasur dengan seorang pria di sampingnya. Meski hanya lengannya yang terlihat, akun Erich yang tersemat di postingan sebelumnya membuat Caramel berspekulasi pria itu adalah Erich. Apalagi momennya berdekatan.

Caramel tahu pasti Meva yang menggoda Erich duluan. Karena memang begitu kebiasaan wanita itu.

Tapi, kenapa Erich bisa terpikat? Bukannya biasanya Erich tidak merespon meski Meva kerap menggodanya?

Apa karena Meva dari keluarga terpandang, tidak seperti dirinya?

 

***

 

Caramel menceritakan semua itu kepada Wening dan Bening, jadi dua sepupu kembarnya itu cukup tahu masalahnya. Terutama Wening yang amarahnya seketika meledak, karena pernah memiliki nasib yang sama ketika Meva merebut kekasihnya dulu.

“Jangan lupa datang ke acara pertunangan gue, ya.” Masih teringat sekali bagaimana senyum menyebalkan yang Meva tunjukkan sebelum dia berlalu pergi bersama Tante Silvi.

“Ya udah, tinggal nggak usah datang.”

Caramel tersadar dari lamunannya ketika suara seseorang menghampiri gendang telinganya. Dia mengalihkan tatapnya pada pria jangkung yang tengah berbaring di atas sofa itu. Danesh, sahabatnya sejak kecil.

Caramel baru saja bercerita pada Danesh, yang juga tahu siapa Meva.

“Gue juga maunya gitu.” Caramel menghela napas panjang. Di atas sofa, tubuhnya luruh, kini menjadi setengah berbaring dengan kaki menjuntai di lantai. Orang tua Danesh sedang pergi ke acara kondangan, jadi dia bisa santai, “Tapi, kan, ini acara keluarga. Nanti apa kata Eyang gue,” gerutunya, “Lagian, kalau gue nggak datang, gue pasti terlihat kalah. Gue nggak mau ya, Meva merasa dirinya menang.” Dia mendengus.

“Makan deh tuh gengsi,” cela Danesh sebelum memasukkan keripik ke dalam mulutnya.

Caramel mencebik, “Tapi, gue kesel, Daneeesh,” erangnya. Kakinya menendang-nendang udara, seolah-olah wajah Meva maupun Erich ada di sana.

“Ya udah, pilihan ada di tangan lo mau datang atau nggak,” ucap Danesh, “Yang jelas, kalau datang lo harus pasang muka tembok. Lagian ya, menurut gue kalau lo nggak datang juga nggak akan ada yang permasalahin. Keluarga lo, sepupu-sepupu lo semua udah tau kan Meva gimana dan apa masalah kalian. Mereka pasti ngerti.”

“Ada yang nggak bisa ngerti. Eyang gue nggak ada yang tau. Dan kalau gue nggak datang, Mama yang kena. Dia pasti semakin dapat cap buruk di mata Eyang, dan gue nggak suka itu.”

Sudah Caramel putuskan, dia tetap harus datang. Demi Mama. Terlebih, dia tidak mau membuat Meva semakin besar kepala dan merasa menang darinya.

Caramel tidak bisa kalah dari wanita itu.

***

 

Amel sama Erich udah pernah disebut lho, di lapaknya Mada. Revenge Partner. Kalau Amel itu temen magang sekaligus senior Annchi di kampus. Nah, kira-kira Erich siapa? Ada yang ingat siapa tokoh yang pernah sebut nama dia?

Terus, siapa Mas Ganteng yang dimaksud Amel di prolog?

Lanjut nggak?

Vote dan komen, yaa.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Be My Plus One
Selanjutnya Be My Plus One | Chapter 2
1
0
Caramel pikir dia akan tahan menghadiri pertunangan mantan dan selingkuhannya. Ternyata dia tidak cukup kuat. Sembilan tahun bukan waktu yang sebentar untuk bisa dia lupakan.Caramel pergi, menangis memeluk sahabatnya.“Mel, lo ngapain sih, bikin malu!”Sial. Caramel salah peluk orang!!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan