8 : perasaan Arata :

1
0
Deskripsi

“Pokoknya gue nggak mau lagi suka sama Arata! Mulai hari ini gue benci Arata!”

CHAPTER 8 – Perasaan Arata

 

 

November 2014

Arata duduk di kantin bersama teman-temannya. Dengan tangan menumpu kepala dan mulut yang sibuk menyedot es teh manis yang sudah tersisa sedikit bersama sisa es batu yang sebagian sudah mencair, matanya terpaku pada Moses yang sedang bersama Yara. Cowok itu mengantar Yara yang ingin kembali ke kelas sampai pintu kantin.

Arata sontak mencibir saat kedua sejoli yang baru beberapa hari berpacaran itu tidak mau saling melepas genggaman tangan.

“Ya elah, pakai dianterin segala. Nanti pulang sekolah juga ketemu lagi,” cibirnya.

Moses yang hendak kembali duduk—dan akhirnya bisa menyelesaikan acara pegang-pegangan tangan bersama pacar baru—pun tertawa, “Lo bakal tau rasanya kalau punya pacar. Makanya, punya pacar dong lu. Jomblo mulu!” Moses balik meledek.

Noah ikut tertawa.

Arata menegak, lalu melengos malas, “Nanti kalau gue udah ketemu sama cewek pencinta kucing,” ucapnya asal. Dia menoleh pada Adrie yang tak acuh dan lebih memilih asyik bermain game di ponsel. Lalu, Arata merangkul cowok berkacamata itu, “Adrie kan suka kucing. Sama gue aja yuk, Drie.”

Adrie yang akhirnya beralih dari game melemparkan tatapan jijik, “Idih! Gue masih waras!” dengusnya sembari melempar tangan Arata dari bahunya.

“Yaelah. Itu sih, gampang. Banyak kok, cewek yang suka kucing,” celetuk Hanan yang sibuk nyemilin kerupuk kulit, “Si Raras suka kucing, noh,” katanya, membuat Arata menoleh padanya.

“Raras siapa?” tanya Arata.

“Itu lho yang suka bareng sama Yara,” timpal Moses. Lalu, melirik Hanan, “Lo kenal Raras?”

Hanan mengangguk, “Hooh. Temen kecil gue.”

Noah tiba-tiba bertepuk tangan di depan wajah Arata, “Tuh, minta comblangin Hanan. Kali aja lo terbebas dari jomlo ngenes.” Dia terbahak-bahak.

“Setan!” umpat Arata sambil menyingkirkan tangan Noah, “Gue nggak mau kalau dia cuma gemes-gemes aja sama kucing. Tapi, yang bener-bener suka sampai mau ngerawat.”

 

***

 

Bel sebentar lagi berbunyi. Sementara, teman-temannya masuk kelas, Arata malah berbelok ke arah yang berlawanan. Biarlah dia terlambat sebentar. Tinggal bilang dari toilet pada guru yang mengajar nanti.

Tujuannya adalah belakang sekolah. Sudah seminggu dia rajin ke tempat ini di mana banyak makhluk-makhluk gemas, kucing-kucing liar yang tidak sengaja dia temukan saat dihukum oleh Pak Guru untuk menyapu dan membuang sampah ke belakang sekolah. Sudah seminggu pula Arata rajin memberi empat kucing itu makan.

Arata menyukai kucing sejak kecil. Waktu itu dia main ke rumah sepupunya dan ada kucing lucu sekali. Bulunya yang putih lebat dan halus. Ukurannya besar, tapi sangat jinak. Sayangnya, Mami nggak mengizinkannya untuk memelihara. Meski dia memohon sampai meraung-raung, satu pun tidak diizinkan. Katanya kucing suka mencuri.

Padahal kan lucu.

Saking sukanya, dia sampai bercita-cita seandainya punya pacar, harus menyukai kucing juga sama seperti dirinya, lalu mereka memelihara bersama. Pasti gemes banget.

Sambil berjalan, Arata bersiul-siul di area paling sepi di sekolah itu. Hampir sampai di tempat kucing-kucing gemas itu berada, Arata menghentikan langkah. Siulannya juga jadi terhenti saat dia melihat di sana ada seorang cewek bermain bersama Putih—nama yang dia berikan untuk kucing yang paling besar.

Itu manusia atau bukan? Soalnya semenjak dia ke sini dia nggak pernah lihat orang satu pun.

Apa karena dia siul-siul ya, makanya jadi muncul makhluk halus?

Tapi, makhluk itu memakai seragam sekolah Bina Bangsa, sama seperti dirinya, dan bicara sama Putih.

Oh, dia lagi melakukan sesuatu sama salah satu kaki Putih.

“Sabar ya, Bolu, sedikit lagi. Nanti aku kasih makan, kok,” ucap cewek berkacamata itu sembari dengan telaten melapisi kaki Putih dengan plester, “Udah selesai!” Dia tersenyum girang, padahal tidak ada yang lucu, “Uuh, pelan-pelan dong makannya. Kamu laper banget ya, Bolu. Hihi. Gemesnyaa!” kikiknya sembari mengelus-elus kepala Putih. Anak-anak si Putih juga tidak lupa dia beri makan.

Tanpa sadar Arata tersenyum melihatnya.

“Oh, ternyata ada yang jagain Putih. Pantesan kalau gue kasih makan suka nolak. Udah kenyang ya, Putih.” Arata menghampiri.

Cewek itu, Raras, tahu ada orang lain dia menegak. Ah, dia cowok ganteng yang waktu itu.

Tubuhnya seketika membeku dengan mata membola memandangi Arata yang berjongkok di sebelahnya mengelus-elus kepala Bolu.

“Kamu punya babu lain ya, Putih.”

“Putih?” Raras sontak merapatkan bibir begitu sadar dia main bicara saja.

Arata jadi menoleh padanya, “Hm. Kucing ini namanya Putih. Gue yang namain.”

“Bolu. Namanya Bolu.” Raras mengoreksi.

“Kok Bolu? Warnanya putih, kok. Emangnya ada bolu warna putih?” Arata tertawa geli.

“Karena bulunya halus kayak bolu.”

Entah kenapa Arata tertawa kencang. Padahal, Raras tidak sedang melucu. Benar kan, bolu itu halus teksturnya.

Btw, lo habis ngapain barusan?” tanya Arata setelah tidak lagi tertawa.

“O-oh.” Raras mengerjap. Tanpa sadar memandangi wajah Arata, “Gue habis ngobatin Bolu. Nggak tau kenapa kakinya luka.”

“Ya ampun, Putih. Kamu dari mana?” ucap Arata cemas sambil mengelus kepala Putih.

“Perlu dibawa ke dokter nggak, ya? Gue cuma bisa ngobatin kayak gini. Kayaknya nggak cukup.”

Arata jadi menoleh. Untuk sesaat memandangi Raras lekat. Sampai kemudian senyumnya terbit, “Nanti pulang sekolah kita bawa Putih ke dokter.”

Memiringkan kepala, Raras mengerjap bingung, “Kita?”

“Iyalah. Lo mau bawa dia sendiri?”

Pulang sekolah, mereka benar-benar membawa Bolu ke dokter hewan yang sebelumnya sudah Arata cari tahu di klinik yang kebetulan tidak terlalu jauh dari sekolah. Tidak butuh waktu lama untuk Bolu diobati karena lukanya tidak serius.

“Gue harus balik ke sekolah lagi buat pulangin Putih,” ucap Arata yang menggendong Putih, “Lo pulang sendiri nggak apa-apa? Tau jalan, kan?”

Raras mengangguk cepat, “Tau, kok.” Matanya masih melirik-lirik ke arah Arata. Tidak menyangka dia akan bersama dan bicara dengan cowok ganteng pujaannya. Meski hanya sebentar, Raras senang.

“Oh, iya. Nama lo siapa?”

“Ha?”

“Dari tadi gue belum tanya nama lo. Lo anak sekolah gue, kan?” Arata mengulurkan tangan, “Gue Arata. 10 IPA 1.”

Raras berdehem. Dengan canggung, dia balas jabatan tangan itu, “Gue Raras. 10 IPA 2.”

Arata menghentikan langkah tiba-tiba, “Raras?” Dia pernah mendengar nama itu, “Temennya... Yara?” tanyanya agak ragu.

Sambil tersenyum kecil, Raras mengangguk.

Arata tertawa, “Ya ampun. Kenal sama Hanan juga, kan?”

Raras menoleh terkejut, “Kok tau? Soalnya nggak ada yang tau gue kenal sama Hanan.”

“Hanan cerita.”

“Oh.” Mereka kembali melangkah menuju halte bus yang sudah dekat. Rasanya Raras ingin halte busnya lebih jauh sedikit saja. “Gue boleh bawa Bolu pulang?”

“Nanti anak-anaknya nyariin.”

“Iya, sih. Tapi tadi kata dokter perbannya harus diganti sesekali. Satu malam aja. Besok gue bawa lagi ke sekolah. Lo juga jadi nggak perlu balik ke sekolah lagi.”

“Oke. Bisa kan bawanya?”

Raras mengangguk yakin, lalu mengambil alih Bolu dari tangan Arata.

“Makasih, ya, Arata. Udah bantuin bawa Bolu ke dokter,” ucap Raras kemudian.

“Kok makasih? Kan dia peliharaan gue juga.”

“Oh... Iya, sih.” Sambil menyengir, Raras menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Tapi, gue tetep makasih soalnya kalau nggak ada lo gue nggak akan bisa bawa Bolu sendirian.” Raras tersenyum lebar.

Melihat itu, entah kenapa Arata ikut tersenyum. Dia pernah bilang kan, dia menyukai cewek penyayang kucing. Dan cewek ini begitu. Raras terlihat tulus, apalagi saat mengobati Putih dan memperhatikan Putih yang sedang ditangani dokter.

Benar kata Hanan. Raras menyukai kucing. Bukan hanya suka, tapi menyayanginya.

 

 

 

Desember 2014

Guys, jalan dulu, yuk,” ajak Noah.

Arata menatap cowok yang banyak senyum itu, “Skuy aja gue mah,” balasnya.

“Gaass!” timpal Hanan.

“Boleh,” jawab Adrie kalem.

Noah tersenyum senang, “Itu yang pacaran gimana?” tanyanya saat melirik Moses juga Yara yang hanya diam. “Ikut nggak? Apa mau pacaran?”

Moses dan Yara kembali saling lirik, bertanya lewat tatapan.

“Ayo, deh. Nggak apa-apa.”

Karena ada Yara, Arata jadi mengarahkan matanya pada cewek berkacamata yang hanya diam dengan canggung. “Terus, temen lo gimana, Yara?” katanya.

“Eh. Mm... m-mau ke mana?” tanya Raras tergagap.

“Oh, iya. Mau ke mana, No?” Arata melirik Noah.

“Ke mana, ya? Nonton?”

“Males, ah. Lagi nggak ada yang seru.” Hanan menolak.

“Karaokean?”

“Kuuy!” seru Arata semangat.

“Yee, semangat banget,” cibir Adrie.

Arata tersenyum lebar. Dalam hati bersorak. Dia bisa menunjukkan salah satu keahliannya kepada Raras. Menyanyi. Keluarga besar Mami-Papi kalau lagi kumpul pasti menyempatkan karaoke. Bahkan, Eyang Arata adalah penyanyi sewaktu muda. Mungkin bakatnya menurun pada Arata. Tapi, Arata hanya menjadikannya hobi. Dan kini bisa dia gunakan sebagai cara untuk menarik perhatian Raras. Hehe.

“Gimana, Ras? Mau ikut nggak?” tanya Hanan yang akhirnya ingat keberadaannya.

“.... Boleh, deh.”

“Serius?”

Kenapa Hanan berwajah serius begitu? Tumben banget. Memangnya kenapa kalau Raras ikut? Ada yang marah?

Arata mengangkat bahu tak acuh. Toh, Raras sendiri setuju ikut. “Sip. Berangkaat!” Arata mengacungkan lengannya ke atas.

Tapi, tunggu. Mereka semua kan naik motor. Kalau Raras ikut, dia sama siapa? Raras pasti canggung sekali di antara orang-orang yang tidak akrab dengannya ini.

Maka saat mereka bertatapan mata, Arata menggerakkan kepalanya meminta Raras ikut dengannya. Untungnya Raras mengerti dengan kodenya.

Arata sudah senyum-senyum membayangkan akan dekat dengan Raras. Nanti di jalan ngobrol apa, ya? Ah, dia bisa mengangkat topik soal Putih, atau Bolu kalau Raras menyebutnya.

Arata sudah kepalang senang. Namun, sayang, khayalannya harus hancur. Seorang cewek berambut sebahu, Tere, sahabatnya. tiba-tiba datang dan merangkul lehernya. Arata berusaha melepas tangan cewek itu, tapi Tere kembali melakukan hal yang sama. Lalu, tanpa permisi Tere langsung duduk di jok belakang motornya.

Mata Arata sudah membola. Please, jangan sekarang!

Diberikan kode, sayangnya Tere tidak peka. Arata berdecak.

Hah... Gagal deh dia dekat sama Raras.

Arata menoleh. Ingin meminta maaf pada Raras. Namun, cewek itu rupanya sudah mendekat ke motor milik Adrie.

“Lo rese banget, sih!” omel Arata.

Tere yang mendadak disemprot begitu jadi melongo, “Ha?”

“Gara-gara lo gue gagal pedekate!”

Pedekate sama siapa?” Tere meneleng bingung. Dan tiba-tiba dia melotot, “Oh. Cewek kucing?!” serunya. Arata sudah cerita padanya dia sudah menemukan tipe idealnya—cewek pencinta kucing. “Yang mana orangnya?”

“Au, ah. Bodo amat!”

 

***

 

Turun dari mobil Papi, Arata berlari-lari di area stasiun. Gara-gara bangun kesiangan dia jadi nyaris terlambat dan tertinggal rombongan sekolahnya. Hari ini sekolah mengadakan outing untuk seluruh murid kelas sepuluh.

Begitu masuk ke peron, Arata melihat Adrie dan menepuk bahunya. “Telat juga lu?” tanyanya.

Adrie hanya mengangguk. Dan mereka berjalan bersama menuju gerbong.

Di dalam gerbong sudah penuh dengan teman-teman satu sekolah mereka. Arata berjalan lebih dulu menerobos siswa-siswi yang riuh dengan tergopoh-gopoh karena tas ransel besar di punggungnya.

“Oi, telat lu?”

Akhirnya dia menemukan kursi teman-temannya.

“Kesiangan gue,” ucapnya dengan napas terengah-engah. Dia lalu terdiam di tengah-tengah sambil menengok kanan dan kiri, mencari tempat duduk yang kosong.

Dan saat itu dia melihat Raras. Duduk dekat jendela. Kursi sebelahnya sepertinya masih kosong. Kalau dia duduk di samping Raras, cewek itu keberatan nggak, ya? Mereka akan menghabiskan perjalanan selama 15 jam. Waktu yang lama. Kalau Arata sih nggak masalah. Tapi, kalau Raras merasa nggak nyaman gimana?

Tiba-tiba Raras menoleh ke arahnya. Untuk beberapa saat mereka saling terpaku. Arata seolah mendapat sinyal saat Raras tidak juga mengalihkan pandangan.

Arata sudah tersenyum senang seraya melangkah menuju Raras dengan percaya diri. Namun, seseorang menariknya dari belakang.

“Minggir!” Adrie mendorongnya ke samping dan ingin melewatinya.

Eh. Adrie mau ke mana?

Dia mau ke sebelah Raras? Nggak mungkin!

Cepat-cepat Arata menarik balik cowok itu.

“Apaan, sih!”

“Lo yang apaan!”

“Gue mau duduk.”

“Kan gue duluan yang jalan! Gantian, dong! Sempit tau!”

“Lo ngapain ke sini? Itu sebelah Tere kosong.” Adrie mengedikkan dagu pada bangku di sisi lain.

Arata menoleh dan mendapati Tere duduk sendiri menyengir padanya, “Lo aja di sana. Kenapa ngatur gue?”

“Lah, lo kan temennya. Gue nggak akrab sama Tere.”

“Ya emang lo akrab sama Raras?” sindir Arata.

“Iya.”

Arata tercekat. Mereka sudah akrab? Benarkah? Sejak kapan?

Jangan-jangan semenjak boncengan bareng ke karaoke itu.

“Memangnya kalau deket harus barengan?” Tak acuh, Arata kembali berjalan. Namun, lagi-lagi ditarik Adrie, “Apaan sih lu!” kesalnya.

“Suit, deh. Yang menang bebas nentuin mau di mana,” usul Adrie sepihak.

“Aish! Ngapain sih suit segala. Gue duluan ya yang tadi nyampe.”

“Permisi.” Dari belakang mereka seorang cewek menunggu ingin lewat. Di belakangnya lagi ada seorang guru yang sudah memasang tampang galak.

“Udah buruan! Kita ngehalangin jalan, nih,” desak Adrie.

Arata mendelik, “Kan elu yang bikin lama!”

Kalau saja Adrie nggak menarik dia, dia sekarang sudah duduk di samping Raras. Dengan malas, dia menuruti Adrie untuk bersuten.

Arata melongo memandangi ibu jarinya yang teracung. Dia harus kalah dengan jari kelingking milik Adrie.

Dengan sebal, dia membiarkan Adrie melewatinya. Dan dia sendiri terpaksa menuju kursi samping Tere. Dia bahkan tak ada tenaga untuk melawan ledekan Tere yang sekarang menertawakan kekalahannya.

Arata melirik ke belakang. Mendapati Raras berbincang dengan Adrie, seketika dia berdecak. Andai dia nggak bangun kesiangan. Andai dia datang lebih cepat dari Adrie. Andai dia tadi nggak ragu untuk langsung duduk di samping Raras, pasti sekarang dia yang Raras ajak bicara.

 

***

 

“Ar, samperin Tere, gih! Dia tiba-tiba nangis di kamar.”

Saat malam, di waktu makan malam, Arata mendapat kabar dari salah satu teman Tere bahwa Tere menangis di kamarnya. Arata yang sudah berada di ruang makan tanpa bicara langsung berlari cepat menghampiri.

Tere itu memiliki anger issues akibat dari gangguan bipolar yang dideritanya.

Tidak ada yang tahu soal ini, maka dari itu Arata tidak ingin Tere tiba-tiba membuat keributan, hingga akhirnya semua orang tahu masalahnya.

Di perjalanan, Arata berpapasan dengan Raras dan Yara. Seketika larinya melambat. Padahal, dia sudah sengaja buru-buru ke ruang makan karena ingin bertemu Raras lantaran ingin mengajaknya ngobrol setelah gagal duduk bersama cewek itu di kereta. Sayangnya, dia harus mengabaikan cewek itu.

 

***

 

Usai menenangkan Tere, akhirnya Arata bisa kembali ke ruang makan tempat semua siswa berkumpul untuk makan malam. Dia menuju meja teman-temannya. Ada Raras juga di sana. Dan saat itu dia mendapati sebelah Raras masih kosong.

Arata seketika tersenyum. Akhirnya ada kesempatan juga untuknya.

Arata langsung saja menghampiri dan duduk bersila di sebelah Raras sebelum tempat ini diambil orang lain.

Membayangkan memang mudah. Tapi, begitu dekat kenapa bibir Arata jadi kelu. Topik yang dia rencanakan untuk bicara dengan Raras seketika buyar. Otaknya mendadak kosong. Alhasil, Arata hanya menunduk seperti tenggelam dalam piring makannya.

Sambil melahap makanannya, Arata menenangkan diri dan mulai menyusun lagi keberaniannya. Dia akan mengajak Raras bicara setelah makanannya habis.

Namun, rencana tinggal rencana. Lagi-lagi pengganggu datang. Tere muncul dan tanpa dosa langsung duduk menyempil di antara dia dan Raras.

Arata menatapnya mendelik, “Ngapain sih lo? Ini depan gue kosong, kenapa harus di situ?!” geramnya.

“Ck. Diem ah. Gue pusing.” Lalu, Tere malah menaruh kepalanya di bahu Arata, “Lapeer. Ambilin makan, dong.”

Arata tak menghiraukan. Sudah kepalang sebal upayanya bicara dengan Raras gagal lagi.

“Bodo amat! Males!”

 

 

 

Juli 2015

Di kelas sebelas ini Arata senang banget. Akhirnya, dia sekelas sama Raras. Begitu tahu pengumumannya dan melihat Raras memasuki kelas yang sama dengan kelasnya, mood Arata langsung naik. Semesta memang mendukungnya untuk dekat dengan Raras setelah beberapa kali gagal.

Dia sudah percaya diri bisa lebih akrab dengan Raras, lebih dari sekadar memberi makan Putih atau mengantar Putih ke dokter.

Namun, dia bingung gimana cara mendekati Raras. Tiap ada kesempatan ngobrol dia malah berakhir meledek cewek itu.

Anehnya, respons Raras juga lucu. Manyun-manyun gitu dengan pipi yang memerah. Arata jadi ketagihan menjailinya dan jadi berpikir dengan dia bersikap begitu dia bisa menarik perhatian Raras.

Dan terbukti, upayanya berhasil saat suatu hari Raras memberikannya surat. Surat berwarna merah muda yang dia bisa tebak apa isinya.

Arata sudah senang sampai dia harus mati-matian menahan senyum dengan menggigit bibir. Dia tidak pernah merasa sebahagia ini sampai rasanya jantungnya mau copot saking kencang debarannya. Ini pertama kalinya dia mendapat pernyataan cinta dari cewek. Udah gitu dari cewek yang dia suka.

Namun, sayang, saking gugupnya dia melakukan kesalahan. Karena teman-temannya melihat dan mulai meledek, Arata yang malu dan bingung harus berbuat apa malah ikut meledek Raras.

Tatapannya kosong saat Raras berlari pergi dengan membawa kembali surat merah muda itu.

 

 

 

Desember 2015

Arata tidak sadar dia sudah kelewatan. Apa yang dia lakukan lama-lama menyinggung Raras. Dan saat itu sudah terlanjur, Raras sudah kadung membencinya. Dia sadar hal itu ketika Raras membalas ledekannya dengan ketus. Tidak lagi merona seperti biasanya.

“Nggak semua orang pinter Matematika kayak lo!”

Wajah Raras memerah bukan lagi karena malu, tapi karena marah. Matanya berkaca-kaca sebelum pergi, membuat hati Arata seakan tertonjok. Perasaan bersalah menyelimuti.

“Pokoknya gue nggak mau lagi suka sama Arata. Mulai hari ini gue benci Arata!”

Saat Raras berkata membencinya dan ingin berhenti menyukainya, Arata yang saat itu melintas tak sengaja mendengarnya. Dia mematung seketika. Kakinya yang tadi melangkah percaya diri jadi terasa lemah sampai dia harus bersandar di tembok demi menopang tubuhnya sendiri agar tidak terjatuh di tempat.

Arata merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Dengan pedih, dia memandangi surat merah muda di tangannya, surat yang ingin Raras berikan padanya, yang sempat Raras buang ke tong sampah karena dia ejek, namun Arata pungut dan dia simpan. Dia baca terus setiap malam sampai bentuknya jadi agak kusut.

Arata ingin mengembalikan surat ini sekaligus meminta maaf dengan tulus. Kalau bisa, dia ingin menyatakan perasaan.

Namun sayang, sebelum itu terjadi Raras tidak lagi menyukainya. Dengan kesalahannya sendiri dia membuat Raras membencinya.

 

 

 

Februari 2016

Arata berjalan lunglai. Mulut terkatup rapat, tidak seperti biasanya yang terus merepet tiada henti. Padahal, dia habis bertemu Putih dan anak-anaknya. Tadinya dia ingin mengajak Raras ke belakang sekolah, tapi hari ini gadis itu absen. Padahal, Arata ingin bicara lagi dengannya setelah kemarin tidak sempat mengucapkan selamat dengan benar atas kemenangan gadis itu. Sekaligus juga ingin menyatakan perasaannya. Tapi, Raras malah tidak ke sekolah. Ia malah ditemani Adrie yang saat itu baru keluar dari toilet akhirnya mengikutinya. Makanya, sepanjang hari ini Arata tak bersemangat.

Saat itu, Arata melihat Yara di depan kelas mereka. Di balkon lantai dua sekolah itu Yara bicara dengan seseorang di balik ponsel.

“Raraaas. Lo jahat banget. Gue kesepian, nih.”

Mendengarnya, Arata yang sedang melintas ditemani Adrie mendadak menghentikan langkah.

“Iya. Ya udah, deh. Gue kan nggak bisa maksa lo juga. Masa lo tinggal sendirian di sini,” kata Yara, “Lo baik-baik di Jepang, ya, Ras. Jangan lupain gue sama Hanan. Eh, Hanan terserah, sih. Yang penting lo nggak boleh lupain gue. Oke? Hmm... Bye.”

Kalimat Yara menyita perhatian Arata. Dia tidak salah dengar kan kalau tadi Yara menyebut-nyebut nama Raras. Dengan cepat dia menarik lengan Yara, “Maksudnya apa? Siapa yang ke Jepang?”

Yara sendiri melongo kebingungan, tidak sadar ada Arata dan Adrie di belakangnya.

“Cepet bilang siapa yang ke Jepang?!” desak Arata tak sabar.

“Raras pindah ke Jepang sama bundanya,” jawab Yara masih setengah bingung.

“Maksudnya?”

“Ya maksudnya pindah. Raras ke Jepang pagi ini dan nggak bakal balik lagi.”

“Kenapa?”

Yara mengangkat bahu, “Katanya sih bundanya mau kuliah di sana.”

Saat itu, Arata seperti merasakan petir menggelegar di kepalanya. Dunianya seakan runtuh. Dia bahkan tidak bisa bergerak saking kagetnya.

“Lo bohong kan, Yara?”

“Ngapain gue bohong. Hanan juga tau, kok. Lo tanya aja sama dia kalau nggak percaya.”

“Kenapa harus Jepang?! Kenapa Raras harus ikut?!”

“Ya mana gue tau.” Alis tebal Yara berkerut dalam. Arata kenapa, sih? Kenapa dia terkejut banget, seakan nyawanya direnggut paksa, “Bukannya harusnya lo seneng ya, cewek yang suka gangguin lo sekarang udah nggak ada? Selama ini lo anggap Raras pengganggu kan, karena pernah nyatain cinta ke lo?” Yara mencibir. Namun, lantas dia tersentak saat Arata mendadak tersungkur berlutut di depannya dengan tatapan kosong. Dan menatap bingung Adrie yang berlari pergi.

Arata yang saat itu tangannya tengah menggenggam sebuah surat, sontak tangannya lemas di sisi tubuh. Surat yang tadinya ingin Arata berikan kemarin saat dia menghampiri Raras yang baru saja menang kompetisi menggambar. Tadinya dia ingin memberikan selamat pada gadis itu atas kemenangannya, sekaligus memberikan surat ini. Padahal, belakangan dia sudah berusaha berbuat baik di depan Raras. Sayangnya, saat itu yang keluar dari mulutnya lagi-lagi adalah ledekan.

“Selamat ya, bodoh. Ternyata gambar-gambar nggak jelas lo itu berguna juga.”

Dan Raras berdecak kesal, “Kalau mau muji, muji aja. Nggak usah kayak gitu.”

“Iya, selamat ya, Raras. Gambar lo bagus. Keren.” Arata tersenyum manis.

“Lo kenapa, sih? Tiba-tiba rese, tiba-tiba baik. Lo.... sebenernya suka sama gue nggak, sih?”

Arata tidak sadar kalimat itu Raras ucapkan karena berusaha membuatnya jujur akan perasaannya. Namun, dengan bodohnya ia malah menjawab dengan candaan.

Dan Arata hanya bisa menggenggam surat ini dengan tangan terkulai lemas. Arata menyesal. Jika dia tahu Raras akan pergi jauh, dia akan memperlakukan Raras dengan lebih baik, dan menyatakan perasaannya dengan lantang kemarin itu.

Bukan Raras yang bodoh. Tapi, dirinya.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Merekat Retak
Selanjutnya 9 : kesempatan yang datang tidak boleh disia-siakan :
2
0
“Raras, akhirnya setelah berputar jauh, nyatanya waktu menuntun kita untuk bertemu juga.”Mungkin inilah kesempatan bagi mereka untuk memulai kembali sesuatu yang sempat tertunda.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan