23 | warm midnight

1
0
Deskripsi

“Abel… kapan sih kamu berhenti bikin saya khawatir?”

WARNING // mengandung konten kekerasan dan penyerangan yang mungkin akan sedikit mengganggu

 

 


CHAPTER 23 – Warm Midnight


Langkah kaki Abel menggema lembut di lorong apartemen. Kunci di tangannya bergetar sedikit saat ia memasukkannya ke lubang pintu. Sekejap kemudian, pintu terbuka dan kesunyian menyambutnya.

Unit yang gelap berubah terang saat Abel menyalakan lampu. Cahaya hangat menyapu ruang tamu kecil itu.

Ia meletakkan tas sembarangan di atas sofa, melepas kardigan dan sepatu, lalu berdiri di tengah ruangan. Diam. Menarik napas panjang.

Hari ini melelahkan. Memalukan, dan menyakitkan.

Tapi anehnya, untuk pertama kalinya setelah semua ini, bibirnya justru membentuk senyuman kecil. Bukan karena semua baik-baik saja. Tapi, karena ia tahu, hari ini ia akhirnya benar-benar melepaskan.

Dan mungkin di balik semua kekacauan, ada satu hal kecil yang ia genggam erat — seseorang yang membuatnya merasa didengar, dijaga, meski tanpa diminta.

Hari ini berat. Tapi, entah kenapa untuk pertama kalinya hatinya terasa sedikit lebih ringan. Hatinya masih terasa penuh, tapi tidak lagi sesak.

Senyum Abel masih menggantung saat memandang ke luar jendela. Langit malam tampak suram. Awan menggantung berat, seolah ikut menahan sesuatu.

Namun, senyum itu perlahan memudar saat tatapannya jatuh pada jendela yang terbuka lebar. Tirai tipis menari pelan ditiup angin, seolah sedang membisikkan sesuatu yang tak terdengar.

Abel mengerutkan kening. Ia menatap jendela itu lama.

Apa dia lupa menutup jendela ya saat pergi tadi?

Pagi tadi ia terburu-buru. Emosinya sudah kacau sejak bangun tidur, dan ia butuh pelepasan — menghirup udara luar dan curhat sama Kiku. Dan ia yakin — sangat yakin — tidak menyentuh jendela itu. Apalagi membuka lebar-lebar seperti sekarang.

Perlahan, tubuhnya menegang. Bukan karena angin dingin yang berembus, tapi karena rasa waspada yang mulai merayap dari ujung tengkuk.

Pelan-pelan, pandangannya mengitari ruangan. Tidak ada yang berantakan. Tidak ada tanda-tanda kekacauan. Tapi, justru itu yang membuatnya semakin tidak tenang.

“Apa gue lupa?”

Atau... ada yang masuk?

Detak jam dinding terdengar begitu nyaring kini. Abel memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri, “Tenang. Mungkin gue cuma lupa. Tempat ini aman, kok,” yakinnya pada diri sendiri.

Setelah menutup jendela, Abel akhirnya memutuskan masuk kamar. Meletakkan tasnya di atas meja rias, lalu menggantung kardigannya di belakang pintu.

Ia menunduk, ingin meraih ponselnya namun tanpa sengaja sikunya menyenggol tas yang ia letakkan tadi. Benda itu jatuh ke lantai dengan bunyi debam lembut.

Refleks, Abel membungkuk untuk mengambilnya.

Tapi, saat ia meraih tas itu... matanya menangkap sesuatu.

Ada... tangan.

Diam. Pucat. Berurat.

Menjulur dari bawah ranjang. Tak bergerak. Hanya mengintai dalam keheningan.

Jantung Abel seolah berhenti berdetak. Napasnya tercekat.

Tangan itu jelas bukan miliknya. Bukan bayangan yang terpantul cermin. Bukan pula ilusi. Itu nyata. Ada seseorang di bawah ranjangnya. Saat ini. Bersamanya. Di dalam kamarnya.

Tubuhnya membeku. Matanya masih menatap ke bawah, tapi ia tak berani bergerak lebih jauh.

Suara detak jam di ruang tamu kini bergema seperti dentuman keras di telinga.

Pelan... pelan sekali... ia mundur. Mengatur napas yang mulai tak beraturan.

Gimana, nih? Gue harus apa?’

Otak Abel seolah kosong.

Dia berdiri terpaku. ponsel masih tergenggam erat di tangan. Napas tersengal. Keringat dingin mulai membasahi pelipis, meski udara di sekitarnya dingin. Tubuhnya gemetar, tapi ia mencoba tetap berpikir jernih.

Setiap detik terasa seperti selamanya.

Apa penyusup itu tahu Abel sudah melihatnya?

Pintu kamar masih tertutup rapat. Bagaimana caranya dia keluar dengan tenang tanpa terlihat panik?

Tiba-tiba, ponselnya bergetar dan berdering. Layar menyala.

Mas Basil.

Dengan tangan yang nyaris tak bisa dikendalikan karena gemetar, ia menggeser tombol hijau.

Halo, Abel. Saya—

“Iya, Ma. Iya... Aku udah sampai apartemen, kok. Baru aja.” Wajah Abel memucat. Suaranya bergetar, tapi dia mencoba bersikap tenang, “Nggak ada apa-apa, kok. Aman.”

Dia memutuskan berpura-pura. Tidak ingin orang di bawah sana tahu bahwa dia sebenarnya sedang meminta pertolongan.

Sementara, di seberang sana Basil kebingungan, “Hah? Kamu kenapa? Saya bukan mama kamu.”

“Oh, nggak. Cuma tadi kayaknya aku nggak sengaja biarin jendela kebuka.”

“Jendela kebuka? Abel, kamu nggak apa-apa, kan? Ada masalah? Saya ke sana, ya?”

“Iya, Ma. Aku seneng kalau Mama mau mampir. Udah lama kan kita nggak ketemu.”

“Apa perlu saya telepon polisi?”

Abel menegak, “Iya!”

Dia sudah berhasil sampai pintu utama. Perlahan, Abel hendak meraih kenop pintu, membuka kuncinya. Sedikit lagi dia berhasil membukanya, lalu kabur. Tapi...

BLAK!

Tiba-tiba dari arah belakangnya seseorang mendorong pintu dan langsung menekannya kembali hingga tertutup rapat.

Abel terlonjak. Ponselnya terjatuh ke lantai, “Aaarrgghh!”

“Abel, kamu kenapa? Abel?” Basil yang masih tersambung dengan ponselnya berseru panik.

Namun, Abel tak bisa menjawab. Tubuhnya kaku. Tangan masih mencengkeram gagang pintu, tapi kini jari-jarinya kehilangan tenaga. Seketika, ia merasa seperti terjebak. Semua rencana untuk kabur runtuh dalam satu dorongan pintu.

Suara napas yang bukan miliknya, berbisik di belakangnya.

“Lo udah tau gue di sini, kan?”

Suara itu dalam, lirih, dan dekat.

Abel membeku. Matanya perlahan beralih dari pintu ke belakang tubuhnya. Perlahan ia berbalik. Tubuh menegang sepenuhnya.

Seseorang berdiri di sana. Setengah tersembunyi dalam bayang. Siluetnya samar, tapi kehadirannya nyata.

Abel menelan ludah. Wajahnya pucat. Tubuhnya menempel pada dinding mencoba menjauh sejauh mungkin.

“Siapa lo?!” teriaknya, berusaha tegar, meski suara gemetar tak bisa ia sembunyikan, “Jangan mendekat atau gue tonjok lo!”

“Tadinya gue mau mencuri barang-barang berharga di sini, tapi ternyata pemiliknya cantik juga.”

Abel bergidik, “Jangan kurang ajar! Gue bisa bela diri.”

Refleks, tangannya mengepal. Sembari melakukan gerakan kuda-kuda, matanya mencari sesuatu di sekeliling, apa saja, yang bisa digunakan untuk melawan.

Tapi, si penyusup itu berdiri di sana. Diam. Tak menjawab. Sorot matanya tak terbaca dalam bayangan.

Abel mundur setapak. Napas memburu. Detik-detik seolah menetes lambat seperti darah.

“Lo nggak perlu melawan. Gue berniat baik, kok.” Tidak seperti ucapannya, si penyusup itu menyeringai menyebalkan.

Abel tidak bisa menunggu lebih lama. Panik menumpuk di dadanya seperti gelombang pasang yang tak terbendung. Ketika pria itu lengah, Abel diam-diam mengambil payung yang tergeletak dekat pintu masuk, “Dasar otak mesum!” Dengan membabi-buta dia pukulkan payung ke badan si penyusup. Payung itu mengenai bahu dan lengan pria itu berkali-kali. Dentuman benda tumpul terdengar mengisi apartemen. Abel menyerang tanpa teknik. Hanya dorongan untuk bertahan hidup.

Melihat pria itu lengah, Abel merasa ada celah untuk kabur. Dia berbalik, berlari ke pintu depan dan dengan cepat membuka kunci yang sebelumnya nyaris berhasil ia buka.

Tapi, dalam satu tarikan kasar, tubuhnya ditahan dari belakang.

Tangan pria itu mencengkeram rambutnya kencang, menarik rambut Abel ke belakang dengan brutal.

“Woii! Jangan tarik rambut gue, brengsek!”

Dan sebelum Abel sempat melawan lebih jauh, tubuhnya dihempaskan kasar ke lantai. Tubuh Abel tersungkur menabrak lantai dingin. Rasa sakit menjalar dari bahunya ke lengan. Kepalanya nyaris terbentur meja kecil di dekat pintu. Pandangannya berputar.

Dia menggigit bibirnya sendiri, menahan air mata yang nyaris meledak.

Suara langkah pria itu mendekat perlahan. Tak terburu-buru. Seolah menikmati momen saat korbannya tak bisa berkutik.

Abel meringkuk. Tapi, matanya masih mencari. Apa pun. Apa pun yang bisa ia gunakan untuk melawan lagi.

Abel merangkak mundur. Tubuhnya gemetar hebat. Punggungnya nyaris menempel pada dinding, dan pandangannya kabur oleh rasa sakit dan ketakutan. Napasnya tersengal, seolah paru-parunya tak bisa lagi menampung oksigen.

Dia terpojok.

Langkah si penyusup semakin dekat. Bayangannya membesar, menelan cahaya lampu. Tatapan dingin pria itu membuat darah Abel membeku. Jantungnya menjerit di dalam dada.

Dan tepat ketika pria itu mengangkat tangannya—

BRAK!

Pintu terbuka keras dari luar.

“ABEL!”

Basil menerobos masuk seperti badai. Dan dalam satu gerakan cepat, ia langsung melayangkan bogem mentah ke wajah si penyusup.

Tubuh pria itu terpental ke belakang. Belum sempat berdiri, pukulan berikutnya menyusul — keras, penuh amarah yang tertahan.

“Dasar bajingan!” teriak Basil. Matanya menyala. Rahangnya mengeras. Tangannya terus menghajar tanpa ragu.

Si penyusup terhuyung, tak sempat membalas. Kepalanya terbanting ke sisi meja, membuat suara nyaring terdengar saat benda jatuh berantakan.

Abel menatap dengan mata terbelalak. Dadanya masih naik-turun. Tapi, kali ini bukan karena takut. Tapi, karena lega.

Lega karena Basil datang tepat waktu.

Karena ada seseorang yang melindunginya.

Tak lama kemudian, suara langkah cepat terdengar di lorong. Beberapa petugas sekuriti gedung berlari menuju unit Abel.

Basil mengangkat tangannya, menunjukkan dia tak bersalah, dan mundur perlahan. Sementara, dua orang sekuriti langsung menangkap si penyusup yang sudah babak belur dan memborgolnya di tempat.

Seorang petugas lain segera menghampiri Abel, memeriksa keadaannya, “Mbak nggak apa-apa? Perlu kami panggil ambulans?”

Abel masih belum bisa menjawab. Suaranya tercekat.

Matanya hanya terarah pada satu titik — Basil.

Yang kini mendekat perlahan. Wajahnya masih menyimpan amarah, tapi pandangannya penuh kekhawatiran. Dengan napas yang masih tersengal, dia berlutut di depan Abel.

“Abel... kapan sih kamu berhenti bikin saya khawatir?”

Bukan amarah, tapi rasa cemas sekaligus lega.

Dan untuk pertama kalinya malam itu, Abel membiarkan air matanya jatuh. Bukan lagi karena ketakutan, tapi karena ia tahu, ia sudah aman sekarang.


***


Setelah urusan dengan sekuriti dan kepolisian sementara diselesaikan, Basil akhirnya kembali ke unit apartemen Abel. Jaketnya sedikit kusut, kemejanya terkena noda darah dari pukulan-pukulan yang ia layangkan kepada si penyusup. Rambut gondrongnya sedikit berantakan. Tapi, ekspresi wajahnya tetap tenang, kokoh, seolah tak ada satu hal pun di dunia ini yang bisa menggeser fokusnya dari Abel.

Abel duduk di sofa dengan selimut melingkari tubuhnya. Matanya kosong menatap gelas air putih di tangan. Seorang petugas sempat mencoba menanyainya, tapi jawabannya terbata dan gemetar. Jadi, Basil yang mengambil alih.

Si penyusup ternyata sudah lama menjadi keresahan warga apartemen. Sempat ada laporan, tapi sayangnya sekuriti tidak bertindak lebih jauh — hal yang membuat Basil semakin meradang karena bisa-bisanya petugas mengabaikan laporan sepenting itu.

Dan, si penyusup memang membobol jendela unit Abel. Bukan karena Abel lupa menutupnya.

Sekarang, suasana di apartemen sudah lebih sunyi. Hanya suara jarum jam yang berdetak lambat. Tapi, Basil tidak berhenti bergerak. Dia langsung berjalan ke arah jendela, menelitinya dengan saksama. Kuncinya rusak. Ada bekas congkelan paksa. Dari situlah si penyusup masuk, diam-diam, tanpa disadari siapa pun. Entah apa yang orang itu pikirkan sampai rela naik ke balkon lantai 9 untuk mencuri.

Basil berjongkok, menyentuh pinggiran kusen, lalu berdiri dan menoleh pada Abel yang masih terdiam di sofa.

“Saya sudah hubungi orang buat benerin ini. Tukangnya akan datang besok pagi,” beritahunya.

Suara Basil terdengar hati-hati, lembut, tapi tegas. Seolah ia ingin menghindari membebani Abel, tapi juga ingin memastikan segalanya tertangani.

Abel hanya mengangguk pelan. Tatapannya baru bergeser dari lantai ke wajah Basil.

“Mas Basil kok bisa cepet banget sampai apartemen aku?” tanyanya lirih.

Matanya tak lagi kosong, namun kini mulai dipenuhi tanya. Rasa penasaran yang sejak tadi ia tahan karena tubuhnya terlalu sibuk gemetar dan pikirannya masih berkabut oleh kejadian mengerikan tadi. Pasalnya, yang dia tahu Basil sudah pergi sejak mengantarnya tadi.

Basil terdiam. Ekpresinya yang semula tegas tiba-tiba berubah kikuk. Ia yang tadinya berdiri dekat jendela, kini berbalik perlahan.

“Kebetulan saya belum jauh,” jawabnya akhirnya. Suaranya terdengar ringan, tapi sedikit gelagapan. Satu tangan menggaruk tengkuk lehernya dan senyum tipis menggantung di sudut bibirnya, seperti upaya menyembunyikan sesuatu yang tak ingin dibocorkan.

Abel hanya mengangguk. Tak mendesak lebih. Dia menatap Basil beberapa detik sebelum akhirnya kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela, pada malam yang sunyi seolah sedang mencoba mengurai kejadian tadi dalam pikirannya sendiri.

Diam-diam Basil menghela napas lega. Dia tak ingin berbohong, tapi juga tak siap jujur sepenuhnya, tentang bagaimana sebenarnya unitnya hanya beberapa lantai dari sini.

“Oh, ya. Tadi ada apa Mas Basil telepon?” tanya Abel.

“Ini,” Basil mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaketnya, lalu menaruh benda itu di atas meja di depan Abel, “TWS kamu ketinggalan di mobil saya. Mungkin terjatuh.”

Kalau saja bukan karena benda ini, mungkin Basil tidak akan tahu apa yang terjadi pada Abel... dan mungkin hal-hal yang lebih buruk akan terjadi. Basil tidak dapat membayangkannya.

Namun, bukan itu yang Abel perhatikan. Melainkan hal lain. Abel masih duduk di sofa ketika matanya tanpa sengaja menangkap sesuatu. Tangan Basil.

Ada bekas luka yang terbuka di buku-buku jarinya. Darahnya sudah mengering sebagian, tapi sisa merah gelapnya masih tampak jelas. Kontras dengan kulit Basil yang terang. Luka itu mungkin didapat ketika ia menghantam si penyusup tadi, dengan amarah yang tak terkendali karena ingin menyelamatkan Abel.

Refleks, Abel langsung bangkit, “Mas... itu tangan Mas berdarah,” ucapnya panik.

Basil sempat menyembunyikan tangannya di belakang tubuhnya. Reaksi spontan seolah luka itu tak pantas dilihat. Seolah tak ingin membuat Abel yang mungkin masih trauma jadi khawatir dan merasa bersalah.

“Nggak apa-apa. Luka kecil. Nggak usah dipikirin,” katanya cepat.

Abel menggeleng, “Nggak. Aku ambil kotak P3K dulu.”

Dia berbalik menuju lemari kecil di sudut dapur. Basil hendak menahan, tapi langkah Abel lebih cepat, dan sebelum ia sempat berkata lebih jauh, Abel sudah kembali dengan kotak putih di tangannya.

“Duduk,” ucap Abel sambil menepuk permukaan sofa di sampingnya.

Basil diam. Ragu. Tapi, ada sesuatu dalam nada suara Abel yang tak bisa ia lawan. Mungkin karena nada itu lebih dari sekadar perhatian. Ada kekuatan di baliknya, seolah Abel butuh melakukan sesuatu agar dirinya merasa berguna, terutama pada Basil yang sudah menolongnya. Bukannya malah tidak tahu diri membiarkan Basil terluka karenanya.

Dengan enggan, Basil pun duduk, patuh.

Abel membuka perban dan cairan antiseptik. Perlahan, ia membersihkan luka di tangan Basil. Suasana di sekitar mereka hening. Hangat, tapi juga getir.

Basil sesekali meringis kecil saat antiseptik menyentuh kulitnya, tapi tak banyak bicara. Tatapannya tertuju pada Abel yang begitu fokus dan hati-hati. Menatap wajah Abel lekat dari jarak dekat untuk kesekian kalinya.

“Makasih. Kalau nggak ada Mas Basil, aku nggak tau jadi apa tadi. Untung Mas Basil bisa nangkap maksud aku di telepon.”

Abel masih membalut luka di tangan Basil. Kepalanya menunduk, menyembunyikan ekspresi yang tak sepenuhnya bisa dikendalikan. Tapi, Basil bisa melihat mata Abel sendu. Wajah yang biasanya tegar dan ceria, kini tampak goyah. Bekas ketakutan masih membekas.

Basil hanya memandangi wajah itu dalam diam. Tapi, di balik diamnya, pikirannya berputar kencang. Rahangnya mengeras. Dia harus segera membuat keluhan soal keamanan gedung. Si peyusup yang belakangan menjadi keresahan memang sudah ditangkap. Tapi, ini membuktikan kalau apartemen ini tidak lagi aman.

“Terus, kamu gimana malam ini? Nggak mungkin kamu sendirian di sini setelah kejadian tadi,” ucap Basil cemas, “Atau lebih baik kamu menginap dulu di rumah teman kamu.”

Abel menggeleng. Dia menutup kotak P3K perlahan, lalu menatap tangan Basil yang kini berada di pangkuannya, “Ini udah malam. Nggak enak kalau tiba-tiba aku datang ke rumahnya,” Abel mengangkat pandangan menatap Basil, “Aku nggak apa-apa, kok. Masih bisa sendiri.”

Kotak P3K sudah kembali ke tempatnya. Lampu di ruang tamu tinggal satu yang menyala, temaram dan hangat, membingkai dua sosok yang masih setia duduk berhadapan di atas sofa.

Abel belum melepaskan genggamannya. Tangan Basil yang terluka masih berada dalam genggaman hangat Abel. Dan Basil pun sama, tak mau melepaskan tangan yang ternyata sangat mungil dalam genggaman tangan besarnya itu. Seolah keduanya lupa bahwa balutan perban seharusnya menjadi penanda akhir dari momen itu. Tapi, tak ada yang bergerak. Tak ada yang bicara. Hanya dua insan yang saling tatap. Dalam, lekat, dan sulit diartikan.

Basil menatap lekat wajah Abel. Mata yang sebelumnya panik kini terlihat tenang, meski masih berkabut. Di sana, Basil melihat kepercayaan. Sesuatu yang rapuh, namun diserahkan penuh. Dan itu membuat dadanya sesak oleh rasa bersalah, oleh rasa ingin melindungi, oleh rasa yang tak sempat ia beri nama.

Abel, di sisi lain, juga menatap Basil. Wajah itu... Sosok yang, entah kebetulan atau bukan, selalu muncul saat dia berada di titik terendah. Yang tak pernah menjanjikan apa-apa, tapi selalu ada. Selalu menjadi tempat pulang yang tak diakui, tapi nyata.

Tak ada kata. Tak ada gerakan. Hanya tangan yang masih saling menggenggam, dan jantung yang perlahan-lahan berdetak lebih cepat.

Sesaat, Basil nyaris goyah.

Namun, seperti sadar dirinya berdiri di status yang membatasi, Basil perlahan menarik tangannya, meski enggan. Hati-hati. Seolah melepaskan sesuatu yang rapuh. Tapi, sebelum bangkit sepenuhnya, ia menatap Abel sekali lagi dan berkata dengan suara yang berat namun tenang.

“Kalau ada sesuatu, sekecil apa pun, segera hubungi saya.”

Abel hanya mengangguk.

Basil ingin sekali menawarkan tempat tinggalnya untuk Abel malam ini. Tapi, nanti ketahuan di mana tempat tinggalnya.

Dan Basil pun bergerak, memunggungi kehangatan yang hampir membutakannya.

Tapi, sebelum ia sampai melintasi pintu, Basil kembali berbalik.

“Bel, saya antar kamu ke rumah orang tuamu.”

“Tapi, ini udah malam, Mas.”

“Kamu nggak mungkin di sini sendirian malam ini, Bel. Kamu masih ketakutan,” Basil menunjuk tangan Abel yang gemetar, “Setidaknya tinggal dulu di rumah orang tua kamu sampai psikis kamu membaik.”


***


Matahari hampir mencapai puncaknya ketika Abel kembali ke apartemennya. Ia baru saja kembali dari rumah orang tuanya, tempat ia menginap semalam karena Basil terlalu khawatir jika ia harus sendiri pasca kejadian malam itu.

Tas selempang tersampir di bahunya, dan langkahnya terlihat sedikit buru-buru. Ia baru ingat kemarin Basil bilang akan ada tukang yang memperbaiki jendelanya. Lagi pula, dia tidak bisa membiarkan barang-barang berharganya tanpa pengawasan, meski di dalam apartemen. Kejadian semalam masih membuatnya was-was.

Tapi, saat tiba di depan pintu, saat ia merogoh tas, kunci akses tidak ada di sana. Abel mencoba merogoh tasnya, lagi dan lagi, bahkan sampai mengeluarkan seluruh isinya. Namun, tetap saja benda yang dia cari tidak ada.

“Masa ketinggalan, sih...” gerutunya, mengerang kesal.

Abel menunduk lemas, menyentuh dahinya gusar. Ia menimbang sebentar, lalu tanpa berpikir panjang menuju meja resepsionis dengan harapan bisa dibantu membuka pintu. Dari sana, dia diarahkan bertemu manajer gedung.

Sayangnya, manajer gedung sedang agak sibuk. Pria itu tak langsung memberinya kunci, tapi berkata, “Pemilik unit biasanya simpan cadangannya, Mbak. Saya kasih nomor unitnya saja, lebih cepat. Coba Mbak ke unit ini.”

Abel merasa aneh. Pemilik unit maksudnya pemilik unit apartemennya? Masa Abel harus jauh-jauh mendatanginya.

Tapi, karena panik dan ingin bergegas, dia menurut saja. Dan ternyata, tempat tinggal pemilik unit yang manajer gedung maksud masih di dalam gedung yang sama. Hanya saja di lantai yang lebih tinggi... dan lebih mewah.

Sejenak Abel ragu saat mengetuk pintu. Sempat ingin batal, tapi akhirnya diketuk juga.

Pintu terbuka setengah.

Dan di ambang pintu, berdiri seseorang yang membuat waktu seperti berhenti berputar.

“Mas Basil?”

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya extra part 1 : restu yang tertahan :
0
0
Arata yakin Raras adalah rumah yang selama ini ia cari. Cincin sudah tersemat indah di jari manisnya. Restu sudah diminta, tapi… satu kalimat dari Mama membalikkan segalanya:“Kalian nggak bisa menikah sebelum Adara menikah.”Sial. Arata nggak bisa menunggu lama!***Extra part ini merupakan kelanjutan cerita Merekat Retak. Dan akan berisi konten dewasa. Harap bijak.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan