Tubuh Seorang Jalang

3
0
Deskripsi

Aku hanyalah wanita dua puluh tahun yang menggilai kenikmatan sesaat pada sesuatu yang tak seharusnya aku sentuh.

Tubuh Seorang Jalang

Jari-jari yang kekar itu kembali berjajar terikat di atas perutku. Mencengkeramku seperti hendak mengoyak sebuah manik yang tersembunyi dalam legenda perut Gumiho. Tidak. Aku bukan Gumiho. Aku bukan sosok rubah betina berekor sembilan yang suka menjelma menjadi perempuan cantik untuk menggoda laki-laki dan memakan jantungnya. Sejauh yang aku sadari, aku bukan wanita yang brutal seperti rubah. Aku hanyalah wanita dua puluh tahun yang menggilai kenikmatan sesaat pada sesuatu yang tak seharusnya aku sentuh.

Sungguh aku tidak tahu mengapa dunia ini terlalu banyak aturan. Tidak mengerti mengapa manusia suka mengikat dirinya dalam peraturan-peraturan yang menjengkelkan. Pernikahan, misalnya. 

Aku perempuan dua puluh tahun yang tidak mau ambil pusing persoalan itu. Tidak mau dicengkeram peraturan yang membuatku tercekik seperti anjing. Aku suka menjadi siapa aku yang sebenarnya. Suka menginginkan sesuatu yang hanya bisa kunikmati sekelebat saja. Laki-laki beristri, misalnya.

Namanya Luis. Ia adalah pria beristri ke tujuh yang aku kencani tahun ini. Umurnya baru tiga puluh—usia yang bagiku muda karena biasanya aku memacari pria yang minimal dua puluh tahun lebih tua dariku. Dia sudah beristri. Istrinya cantik paripurna; memiliki semua standar kecantikan tolol yang diinginkan semua wanita. Namun rupanya kecantikan tak membuat lakiknya berhenti main sama wanita-wanita jalang sepertiku. Sungguh tolol perempuan-perempuan di luar sana yang gila-gilaan mempercantik diri demi menjaga kesetiaan suami. Laki-laki setia pada dasarnya tidak membutuhkan kesempurnaan darimu. Dan laki-laki baik tidak akan membuatmu tergila-gila pada kecantikan paripurna seperti boneka-boneka di televisi. Tidak akan membuatmu terobsesi pada ketiak putih dan selangkangan mulus seperti bayi. 

Pada akhirnya, kecantikan paripurna tak akan bisa membuat laki-laki berhenti selingkuh. Begitupun uang, begitu pula kesetiaan dan kepedulian, bahkan anak. Karena DNA laki-laki tukang selingkuh sudah terkontaminasi racun yang membuatnya gatal kalau tak mencicipi vagina-vagina milik perempuan lain.

Luis bercerita, sebelum menikah dia pernah selingkuh sekali. Ia ketahuan punya wanita lain di belakang. Lalu memohon-mohon kepada calon istrinya untuk tidak meninggalkannya. Ia berjanji akan berubah. Lalu hubungan mereka membaik sampai akhirnya menikah. Usia pernikahannya sudah lima tahun. Anaknya baru berusia tujuh bulan. Dan aku bukan wanita pertama yang ia ‘cicipi’ setelah menikah. Sebelum bersamaku, ia bercerita sedang mengencani anak SMA yang tergila-gila padanya setelah dibelikan Iphone. Lalu sebulan setelah ia memerawani anak SMA itu, ia pergi lantaran mulai tergila-gila padaku.

“Apa istrimu nggak curiga kalau pulangmu malam terus?” tanyaku saat Luis sibuk memainkan pusarku menggunakan jari telunjuknya. Fantasinya memang sedikit aneh. Dia tidak begitu menyukai puting susu, tetapi pusar.

“Nggak akan. Citra lagi seneng-senengnya setelah aku beliin kalung berlian. Dia tahunya aku sibuk bekerja keras untuk membelikannya barang-barang mewah. Dia kan sukanya barang-barang yang berkilau.” Luis bercerita dengan riangnya. Sebagai direktur di perusahaan pupuk yang dibangun ayah mertuanya, ia punya banyak alasan untuk pulang malam. “Aku juga udah bilang ke istriku, aku lagi pergi dinas. Jadi malam ini kita bisa nginep di sini.”

“Apa yang kurang dari istrimu, Luis?” tanyaku. Semua pria yang pernah aku kencani sudah maklum aku tidak suka menggunakan embel-embel seperti ‘mas’ atau apa pun. Aku langsung sebut nama mereka, biarpun dikata aku tak punya tata krama. Sebab jika aku punya tata krama, aku tak akan mau mengencani bajingan yang sudah beristri.

“Tidak ada.” Luis menjawab tanpa pikir panjang. Bibirnya mulai menciumi tengkuk leherku. “Cuman pengen saja.”

Cuman pengen saja. Rasa-rasanya jalang sepertiku memang diciptakan untuk lelaki seperti Luis. Laki-laki yang suka menyodorkan kejantanannya pada wanita-wanita rapuh yang haus sesuatu. 

Aku mengakui kejalanganku. Mengakui semua sifat jalangku yang menyebabkan hancurnya rumah tangga yang dari awal memang sudah retak. Tidak ada yang melihat, betapa aku menikmati momen saat diriku menjadi pemicu pertengkaran sepasang suami istri itu. Tidak ada yang melihat, betapa aku bangga pada diriku. Diriku yang paling menderita. Diriku yang ingin orang lain ikut merasakan penderitaanku.

Malam itu menjadi malam terakhir aku bersama Luis. Aku pergi saat ia sedang lelap-lelapnya setelah kelelahan mencumbu tubuhku sampai menggeligis. Pergi membawa potret saat kami bersenggama, dengan wajahku yang terhalangi oleh lengan-lengan besarnya. Lalu keesokan pagi aku kirim gambar persetubuhan itu pada istrinya. Berharap mereka akan bertengkar hebat tanpa wanita itu mengenali siapa jalang yang telah membuat suaminya keranjingan hingga semalaman tidak pulang. Jika istrinya itu pintar dan memilih berpisah dari Luis, maka itu akan menjadi kemenangan mutlak bagiku. Sebab bajingan seperti Luis memang tidak seharusnya menjadi kepala keluarga. Tidak seharusnya dipertahankan sebagai suami. Apalagi sebagai ayah dari bayi kecil tak berdosa yang lahir dari pernikahan sahnya.

Namun aku menutup telinga. Aku tidak mau tahu dan tidak ingin mendengar kabar Luis lagi setelah itu. Aku menghilang dari hidupnya bagai tidak pernah ada. Pergi dari satu kota ke kota lain untuk mencari laki-laki seperti Luis. Ada dendam yang masih membara dalam tubuhku, yang membuatku tak bisa berhenti. Dan aku menyukai semua yang aku lakukan. Menyukai saat-saat aku dikuasai dendamku. Menikmati setiap kali dendam itu membara dalam nadi seiring dengan tubuhku yang dicumbu oleh para lelaki yang menginginkanku melebihi istrinya sendiri. Mereka yang rela membodohi istrinya demi menghabiskan waktu denganku.

Kuartal terakhir tahun ini aku kembali ke kota kelahiranku. Menemui ayah yang menatapku dengan kesedihan tak terbendung. Dalam tiap kedipan matanya aku melihat rasa kecewa yang melampaui batas kemanusiaan. Tatapan itu benar-benar kelam. Bintang-bintang yang berjajar di pundaknya tak lagi bersinar. Seakan cahayanya meredup bersama kewibawaan yang ia bawa sebagai seorang jenderal.

Aku pulang bukan tanpa alasan. Aku sedang sial karena terakhir kali aku mengirim foto persetubuhanku pada seorang istri yang dikhianati, wajahku seperempat terlihat. Wanita itu berhasil menemukanku saat sedang asik belanja. Dia melempariku segebok uang yang tak berarti apa-apa bagiku. Mengancamku untuk tak lagi mendekati suaminya. Sungguh tolol. Uang bukan alasanku melakukan semua ini. Jangankan segebok. Di rumah, aku selalu melihat bergebok-gebok uang diletakkan di meja bersama sampah-sampah makanan cepat saji. Namun kali ini aku sedang sial. Wanita itu bilang akan menuntutku berdasarkan Undang-Undang Perzinaan dan Pornografi. Sebab itulah aku pulang. Aku memerlukan bantuan ayah untuk memberesi masalah ini.

Di ambang pintu ruang kerjanya, ayah menatapku kelam. Ia baru saja membaca surat tuntutan yang aku tunjukkan.

“Kamu harus berhenti melakukan ini, Sya,” ucap ayah. Masih dengan tatapannya yang penuh kecewa.

“Jangan lupa siapa yang buat aku seperti ini, Yah. Ibu bunuh diri gara-gara ayah ketahuan selingkuh lebih dari tujuh kali dalam setahun.” 

Aku berjalan melewati ayah. Masuk ke ruang kerjanya. Duduk menyilangkan kaki di sofa ruang kerja ayah. Aku melihat tiga bekas cangkir teh yang masih hangat di atas meja. Sepertinya ayah sedang menerima tamu beberapa waktu sebelum aku tiba di rumah menggunakan taksi. Di atas meja itu, aku juga melihat beberapa surat perjanjian dan materai, serta beberapa cek senilai ratusan juta.

“... Menurut Ayah, kenapa ibu lebih memilih bunuh diri alih-alih menceraikanmu?” Aku lanjut bertanya sambil kembali menatap ayah yang masih berdiri di depan pintu.

“Aku tahu kamu masih berduka soal ibumu. Apa kamu pikir cara ini bisa membuat ibumu hidup kembali? Yang ada masa depanmu akan hancur, Sasya!” Ayah mulai berbicara dengan nada suara yang tinggi.

“Kenapa masa depanku hancur? Ayah kan jenderal.”

Ayah tercekat oleh ucapanku. Terlihat kehancuran di bola mata ayah. Ya. Aku bisa membayangkan betapa hancur hati ayah melihat putri semata wayangnya hancur karena perbuatannya sendiri. Apa yang aku lakukan memang tak bisa mengembalikan ibuku yang meninggal tahun lalu. Namun aku senang bisa melihat ayahku—penyebab dari kematian ibu—hancur seperti ini. Aku putri satu-satunya. Putrinya yang paling berharga. Aku mencium bau kehancuran yang membusuk dari jantung ayah saat menyadari kegagalannya sebagai kepala keluarga. Dan aku menikmati bau busuk itu.

“Ayah gunakan pangkatmu untuk membuat jalang-jalang itu mengantre seperti anjing liar yang ingin diberi seonggok daging busuk. Sekarang, gunakan pangkatmu juga, Yah, untuk menyelamatkan masa depan putri semata wayangmu. Kalaupun ayah tidak mau, aku tidak masalah. Paling-paling di pengadilan nanti ayah juga yang tetep bayar denda untukku. Dan kalau Ayah tetap tidak mau, paling-paling aku di penjara karena perzinaan dan pornografi. Paling-paling, cuman martabatmu yang tercoreng sebagai jenderal yang gagal mendidik anak perempuannya. Ayah tahu, akhir-akhir ini jenderal polisi selalu jadi perbincangan panas.”

Terlihat bola matanya yang bergetar karena perkataanku. Ia bergeming menatapku lama. Mungkin bertanya-tanya, dari mana aku pandai berbicara seperti ini. Kemudian ia melangkah pergi untuk melakukan panggilan telepon dengan seseorang.

Pandanganku pun penyebar menelusuri ruang kerja ayah. Rupanya sudah lama aku tidak pulang. Sekitar satu tahun, sejak aku bertengkar dengan ayah gara-gara aku tidak mau meneruskan kuliah setelah ibu meninggal.

Aku melihat sebuah foto besar yang dipajang di dinding ruang kerja ayah. Yaitu foto kami bertiga: aku, ayah, dan ibuku. Dalam foto itu aku masih berusia lima belas tahun. Sedangkan ibuku terlihat begitu cantik dalam balutan baju berwarna merah jambu. Bibirnya merona merah dengan rambutnya yang disanggul. Ibu terlihat begitu bahagia dalam foto itu, tak seperti kesehariannya.

Foto itu menarikku ke sebuah momen di mana aku melihat ibu meminum obat tidur setiap kali ayah tidak pulang. Ibu tahu apa yang ayah lakukan dengan wanita-wanita muda simpanannya. Aku pun tahu. Namun ibu mencintai ayah. Ibu amat mencintai lelaki yang telah ia temani sejak masih menjadi seorang prajurit. Sedangkan wanita-wanita jalang itu datang setelah ayahku menjadi jenderal. Ibu amat mencintai ayah. Dan ibu amat menderita karena cinta itu. Cinta yang semua orang agungkan, nyatanya adalah sumur penghisap. Yang telah menghisap ibu dan nyaris menenggelamkanku ke dalamnya.

Aku tidak pernah benar-benar tidur ketika mereka bertengkar karena apa yang ayah lakukan di belakang ibu. Aku masih mengingat baik-baik setiap bentakan ayah dan tangisan ibu dari kamar tidurnya. Aku tumbuh bersama dengan itu. Tumbuh bersama semua penderitaan yang ibu rasakan karena rasa cintanya pada ayah. Ibu sangat baik. Dia selalu memaafkan perbuatan ayah. Namun hari itu ibu tidak bisa memaafkannya lagi. Ibu seperti orang gila yang meneguk obat tidur setiap malam. Hingga suatu hari ibu meninggal setelah meminum selusin obat tidur saat ayah tidak pulang lebih dari seminggu.

Melihat kembali foto ibu membuat luka kehilanganku kembali meretih. Aku pun segera beranjak berdiri. Keluar dari ruang kerja ayah. Ayah yang sudah menyelesaikan panggilan telepon itu berjalan menghampiriku.

“Ayah harap ini yang pertama dan terakhir kalinya. Kamu nggak bisa hidup seperti ini terus, Sasya.” Ayah melontarkannya dengan sangat serius, seperti sedang melontarkan ultimatum pada anak buahnya.

Aku tak menjawab titah ayahku dan langsung berjalan melewatinya. 

“... Bulan depan tolong pulang lagi. Ayah akan menikah.”

Apa yang ayah ucapkan membuatku seketika berhenti. Ada sesuatu yang meledak dalam dadaku. Dukaku karena kepergian ibu belum pulih. Belum genap setahun sejak ibu, satu-satunya manusia yang paling aku sayangi dan menyayangiku, pergi meninggalkanku karena perbuatan ayah. Namun sekarang ayah berkata akan menikah lagi. Secepat itukah ayah melupakan ibu? Atau jangan-jangan memang sudah tidak ada lagi rasa sayang ayah yang tersisa sebelum ibu mengakhiri hidupnya?

Ayah adalah alasan mengapa aku suka mengencani lelaki seperti Luis. Keputusan ayah menikah lagi di saat luka kepergian ibu belum sembuh akan aku jadikan alasan untuk terus melakukannya. Aku tidak memiliki alasan untuk berhenti. Biarkan aku terus menjadi jalang. Barangkali itu yang ayahku ingin setelah mengencani ratusan jalang sepanjang kariernya sebagai jenderal.

*

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Cerpen
Selanjutnya Casandra's Pride Part 1 (21+)
3
0
BlurbPertemuannya dengan Airuz Bamantara mengantarkan Casandra pada cinta satu malam di tempat yang begitu ia idamkan, Bamantara Palace, tempat tinggal paling prestisius di kotanya.Casandra yang memiliki obsesi pada uang dan kekuasaan, tentu tidak bisa menolak penawaran Airuz Bamantara, cucu sulung kakek terkaya negeri yang menjadi pewaris utama dari Bamantara Grub, untuk menjadi calon istrinya. Casandra menerima pernikahan itu, tanpa tahu kehidupan macam apa yang menantinya sebagai menantu dari keluarga terkaya negeri ini.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan