Tuan & Nona: Thenayu

9
1
Deskripsi

Bab Spoiler

Menangis adalah hal terakhir yang ingin kulakukan. Apalagi pulang, ke apartemen. Dih, enak banget dia! Habis ngusir aku, sekarang dengan sukarela aku datang padanya? Enggak banget. Aku harus buktiin kalau aku bisa berdiri sendiri. Sejak awal aku memang mengusahakan itu. Dulu dia setengah mati menghindariku setelah melewati malam panjang yang tidak pernah kuproyeksikan akan terjadi, di kantornya, dalam ruangannya. Sampai aku tahu aku berbadan dua, aku berusaha mencari waktunya, perhatiannya. Tapi dia menghindariku begitu hebat. Sampai mau resign pun, aku tidak bertemu dia. Sejak itu, aku berpaling. Aku pulang, putus harapan, dan mulai memutuskan untuk menatap masa depan.

Di saat sudah ada lelaki serius, yang tahu keadaanku, dan sukarela mau menikahiku—dia datang. Membawa pinangan. Tepat setelah aku mulai berhasil menata hidup.

Dan hari ini, Mas Abi menghancurkannya lagi. Meninggalkanku di pinggir jalan, persis seperti sampah. Dan dia mengharapkan aku datang ke apartemennya dengan segera? Tidak akan.

Ibu Kota mungkin luas. Dan itu yang aku suka. Aku bebas menghilang ke mana saja. Mas Abi tidak akan dengan mudah menemukan jejakku.

Bersyukur aku bawa tas, bisa jajan di jalan. Entah sudah berapa kilo aku jalan. Yang jelas ini sudah sore. Di pemukiman kumuh warga, banyak jajanan. Tentu saja aku makan. Untuk apa memusingkan masalah? Hah! Kalau Mas Abi ada, dia pasti sudah mengomel kenapa aku makan ini—itu—dan banyak lagi. Perhatiannya, itu—palsu. Dan aku tidak butuh.

“Siomaynya yang pakai kubis, Mas. Dua puluh ribu. Terus campur sama yang pare,” aku menunjuk-nunjuk sesuai mauku.

“Pedes apa enggak?”

“Pedes boleh, sama kecapnya banyakin,” setelah mendapatkan apa yang aku mau, aku duduk di pinggir jalan, di bangku kayu sederhana, memandang gunung sampah yang sama sekali tidak mengganggu selera makanku. Malah, aku senang melihat anak-anak bermain bola di bawahnya. Tidak tahu kenapa, di tengah-tengah kota, di antara gedung-gedung tinggi yang saling berlomba mencakar langit, jembatan layang, jalanan lebar, ada pemukiman kumuh seperti ini yang—berbeda. Seperti sisi gelap Dubai di tengah gempuran tata letak kota yang memanjakan mata dunia, ibu kota juga punya itu. Sisi gelapnya. Orang yang hidup bergantung pada sampah masyarakat. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan sederhana, bermain tanpa kenal gadget. Bahkan, ponsel-ponsel keluaran dulu sekali masih kutemukan dipakai di sini.

Ini, hidup yang mau kukeluhkan? Aku bahkan masih bisa tidur di kasur selembut awan, punya kamar mandi bersih yang tidak beratapkan terpal bocor, dinding-dindingnya kokoh tidak seringkih kardus. Kurang apa lagi sih?

Bersyukur.

Masalahku tidaklah seberapa dengan mereka yang setiap harinya mencari uang hanya untuk membayar utang. Belum untuk makan. Mereka yang tidak berpikir jauh ke masa depan, melainkan fokus pada apa yang sedang dihadapi. Aku mungkin masih sempat berpikir kepingin beli ini beli itu besok bahkan sebelum aku memulai hari, tapi di sini, mungkin memikirkan mau makan apa nanti malam saja repot.

Sesederhana itu harusnya kita bersyukur. Yang biasanya melihat ke atas terus, tentang siapa yang paling dan saling bersaing—sekarang ketika menunduk, ternyata ada banyak yang juga mendongak padaku. Aku bukan satu-satunya yang menyedihkan. Ada banyak. Yang jauh lebih miris.

Ponselku bergetar, menyedot bayangan penuh kesyahduan itu ke alam lain yang membuatku kembali fokus pada kondisiku. Aku tidak menghindar, begitu menemukan nama Mas Abi di layar, langsung saja kusambar. “Apa?”

“Kamu di mana?” Suaranya sudah lebih tenang.

“Gak tahu,”

“Kirim lokasi, aku jemput sekarang,”

Dih? Gampang banget dia!

Aku tersenyum miring. “Gak usah repot-repot, Mas,”

“Kanaya, saya tidak bercanda,”

Bodo amat!

“Tadi saya marah,” dia menambahkan.

“Angin juga tahu kamu marah, Mas,” ujarku.

“Di mana kamu sekarang?”

“Gak tahu,” aku mengunyah lamat-lamat.

“Kanaya, ini sudah mau maghrib, tidak baik kamu berkeliaran di luar,”

“Kamu yang nurunin aku,” santai … santai. Jangan terpancing emosi, Ay. Kendalikan dirimu.

“Iya, makanya saya mau datang menjemput,”

Bagus sekali. “Gampang ya, Mas. Kamu mainin perasaan aku,”

“Kanaya saya tidak punya waktu berdebat, nyalakan lokasi kamu sekarang,”

Jadi dia mau melacakku? Dih, aku tidak senaif itu. “Udah lah Mas. Kenapa sih, tadi kamu yang berapi-api banget pengin aku turun dari mobil kamu, sekarang kamu lagi yang mau jemput. Apa sih, mau kamu?”

Dia menghela berat. Sudah kuduga pasti dia sambil mengusap wajah. Kebiasaan. “Ay, ini sudah mau maghrib. Bertengkarnya di rumah saja, ya? Sekarang bilang kamu di mana, saya jemput,”

“Aku gak tahu aku di mana,”

“Lokasinya, Kanaya. Kamu bisa buka maps,”

“Iya, nanti,”

“Ay!”

“Apa sih? Males banget aku ngadepin kamu, Mas! Lagian, kalau aku kenapa-napa, urusannya dengan kamu juga apa?”

“Keras kepala,”

“Iya emang? Terus kenapa? Gak usah ngatur-ngatur, Mas. Pokoknya kalau bayi ini lahir,” aku mengambil napas banyak-banyak, dengan suara sedikit bergetar aku mengucapkannya, “Kita cerai aja,”

“Jangan melantur,” Mas Abi terdengar mendesis.  “Saya sudah di tempat tadi, kamu jalan ke arah mana?”

“Kita bahkan gak cocok berdebat, Mas,” hal sekecil itu, aku mempermasalahkannya. Tidak lagi kunikmati siomay yang ada di mangkuk. Kalau ini mangkukku, sudah kulempar dari tadi karena tersulut marah.

“Ibu hamil memang emosian,”

“Tahu apa kamu soal ibu hamil?” Aku mengangkat dagu. “Ouh, kamu teringat mendiang istri kamu, Mas? Dia emosian juga pas hamil anak kamu?”

Kali ini Mas Abi tidak diam, dia membalas, “Ay, kamu makan di pinggir jalan?”

Aku melotot, sontak aku menengok ke seluruh arah, dan di situlah dia. Di dalam mobil, memandangku dengan ponsel menempel di kuping. Secepat itu? Dia terbang? Kerja sama dengan jin?

Aku berdiri, mematikan ponsel, memasukkannya ke dalam tas. Gejolak amarah membakar ku di dalam jiwa. Langkahku lebar menuju gerobak Mas-Mas tadi. Sekitar dua langkah lagi, dan satu hentakan kuat membuat mangkuk di tanganku benar-benar jatuh ke tanah. Bahuku sakit, dan aku langsung berteriak. “Copeeet!”

Tasku! Tidak menunggu siapa-siapa, aku langsung lari mengejar anak laki-laki yang berlari membawa tasku. Di situ ada dompetku. Cincin kawin yang tadi karena emosi kulepas, juga ponselku yang bahkan masih hangat karena baru kupakai menelpon.

“Copet Pak! Copeeet!” Pokoknya, semua yang kulewati, kuabsen.

“Bu! Copet Bu!”

Dan semuanya cuman diam liatin aku.

Well, ya. Namaku Kanaya, dan temanku masalah.

***

Full story ada di versi pdf-nya ya. Sudah tersedia dan bisa dibeli langsung di Karyakarsa Searth. 100 Kakoin (10K).
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Tuan Dan Nona
Selanjutnya Tuan & Nona (Thenayu) PDF
7
2
Kalau ada manusia paling dusta di dunia ini, mungkin sudah Abimanyu Setia Bagus orangnya. Yang dari kejauhan paling kelihatan tidak tertarik—tahu-tahu sudah lama melirik. Dan tidak mungkin kan, lelaki itu berani mengetuk pintu rumahnya kalau bukan membawa pinangan? Buat apa juga Abi jauh-jauh dari kota ke desa hanya untuk menyusul mantan pegawainya yang mendadak berhenti kerja dengan alasan mau fokus mencari pasangan?Tentulah Abi tidak mau ada saingan, apalagi keduluan. Jadi, tanpa embel-embel sekuntum bunga mawar dan lamaran manis, langsung saja ia duduk menawarkan janji kepada Bapak sang gadis. “Hari ini saya kedatangan dua pinangan,” Irawan menyeruput kopinya ala bapak-bapak. Ada seninya. “Yang satu, menjanjikan kebahagiaan. Yang satu, menjanjikan tanggung jawab,” Bapak melipat tangan di depan dada, kemudian melempar pandangannya dengan berani ke arah Abi. “Kalau kamu jadi Ayah, pilihan mana yang paling menggiurkan untuk menjadi jaminan putrimu?”Kanaya melongo. Ia dan ibunya tengah mengintip di balik tirai, sama-sama menguping omongan kedua pria beda generasi itu. Kehadiran Abi malam-malam begini saja sudah membuatnya goyah. Di satu sisi, dia seperti bermimpi. Di sisi lain, dia juga ragu. Apa pria itu sebercanda itu?Kemarin, menjauh sejauh matahari. Sekarang, mengejar-ngejar. Apa begitu ya, strateginya? Harus pergi dulu untuk melihat siapa yang sebenarnya benar-benar membutuhkan kita? Hal paling seru dari menghilang adalah keberadaan kita dipertanyakan. Iya, bukan?“Saya akan memilih yang bertanggung jawab,” Abi menjawab mantap. “Saya tidak menjamin putri Bapak akan bahagia selalu dalam pernikahan kami, karena menikah bukan hanya soal bahagia. Menjadikan itu prioritas, kita bisa tidak perduli akan hal-hal lain yang mungkin bersinggungan dengan kebahagiaan itu. Tapi bertanggung jawab,” Abi menjeda. Matanya dilarikan ke arah Kanaya, ia sudah menyadari keberadaan wanita itu di sana. Tatapannya dingin—penuh perhitungan. “Adalah sebuah upaya. Saya bertanggung jawab, atas rasa senang, susah, sedih, bahagia—segala bentuk perasaan, perbuatan, kejadian, yang kedepannya akan terjadi kepada putri Bapak. Saya bertanggung jawab atas dia,”Tidak heran kenapa usaha FnB seorang Abimanyu amat meroket di pasaran dengan cabang hampir di seluruh kota di pulau Jawa. Namanya saja sudah Abimanyu Setia Bagus, omongannya bagus. Bagaimana mungkin omongannya tidak membuat orang tercengang?Hanya Kanaya yang paham, yang bisa memicingkan mata mencurigai muslihat pria itu.“Oleh sebab itu, Pak. Saya, Abimanyu—meminta putri Bapak, Sriayu Kanaya Baskara, untuk menjadi pendamping saya. Saya tidak menjanjikan kebahagiaan, saya mengusahakannya. Saya datang malam ini, apa adanya, murni untuk Kanaya dan juga sebagian dari diri saya yang dia bawa,”Andai, andai Bapak tahu apa yang terjadi di antara mereka, mungkin Abi tidak akan bisa duduk  setenang ini meski diliputi ketegangan. Sudah dipastikan pria itu babak belur dipukuli.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan