
Namaku Kanina, hobiku lari dari masalah, dan yang paling menyenangkan dari menghilang adalah keberadaan kita dipertanyakan. Aku anak pertama dari tiga bersaudara, dua adikku bernama Kalila dan Kalifa. Cita-citaku menikah dengan pilot, atau paling enggak ya dokter. Salah satu tujuanku bertualang di tanah Jawa adalah agar bisa membawa membawa pulang seorang suami yang bisa kupanggil Mas. Tapi, sayang sekali. Aku malah terjebak dengan tetangga sendiri yang merupakan seorang abdi negara. Jauh dari ekspektasi, bukan?
Bab Satu
Jadi anak pertama tuh, berat. Bukan cuman aku yang mengeluh. Seolah, kepala ini dipaksa ikut memikirkan masalah keluarga, mulai dari masalah gak penting yang menimpa Papa, Mama, sampai urusan sekolah adik-adik pun aku dipaksa untuk ikut campur. Otomatis aja, tanpa disuruh siapa-siapa. Padahal, aku tidak punya keahlian apapun selain mengeluh sama Tuhan.
Uang. Masalah semua orang. Kurang, masalah. Lebih, juga dipermasalahkan. Seolah, uang itu serba salah. Memang benar, bagusnya di dunia ini gak usah ada uang. Gimana kalau kita balik aja ke jaman barter?
Tapi, kalau dipikir-pikir, apapun itu—selalu diberi kesempatan yang sama dengan cara masing-masing untuk berperan sebagai masalah. Oke, gimana kalau kita ganti aja judul hidup ini jadi masalah?
Aku menghela gusar. Hidupku bahkan gak ada judulnya. Aku seperti orang yang tadinya terobsesi sama proposal lima tahun kedepan, kemudian setelah semuanya tercapai, aku jadi bingung mau ngapain lagi. Seolah, habis ini harus itu. Pertanyaannya, aku sebenarnya lagi ngejar apa sih? Kok gak pernah ada habisnya? Kok haus target banget? Kok? Kok?
Tuh, kan? Perkara judul aja, bisa jadi masalah hidup yang bertele-tele dan nyangkut kemana-mana. Hah!
Aku duduk termenung di trotoar. Tadinya, aku sedang jalan kaki. Tapi, setelah kupertimbangkan, kenapa aku gak stop dulu buat mikirin masalah hidup sambil melihat pergerakan kendaraan menjelang petang kayak anak senja?
Kalau aku di desa, mungkin aku bakalan ke tribun sambil memperhatikan anak-anak main bola. Kalau beruntung, aku akan menemukan bocah layangan putus atau tersangkut.
Jadi, setelah penjabaran panjang untuk mengalihkan pikiran sejenak—begini ceritanya.
Aku di-PHK. Iya, tiba-tiba aja gitu. Alasannya kayak di FTV yang sering ditonton nenekku tiap hari, non stop dari pagi sampai malam selalu ada aja programnya. Meski nenek tuli, dia tetap bisa tertawa sambil sesekali merutuki si pemeran jahat. Kadang, aku suka gemas sendiri dengerin dia marah-marahin filmnya, padahal dia gak tahu masalahnya apa. Yang ada di pikirannya, si pemeran antagonis itu mau merebut suami si baik. Udah, sesimpel itu pemahamannya. Dan kalau nenek lagi seneng banget lihat adegan, dia akan bilang, “Ha! O-ke!” Gak lupa senyum sampai lesung pipinya muncul dan giginya yang tinggal seberapa itu tersungging.
Iya, kinerja perusahaan lagi gak stabil. Mereka mesti menonaktifkan karyawan kayak aku yang gak dibutuh-butuhin banget. Padahal, kerja jadi aku tuh gak gampang. Tiap pagi, aku bakal berdiri di balik pantry, nyiapin kopi buat karyawan lain. Gak lupa ngelayanin para geng gosip yang selalu update informasi. Belum lagi, harus lari-larian naik turun tangga ngoper-ngoper dokumen dari satu divisi ke divisi lain. Bawa-bawa sampel kain dari gedung produksi ke kantor umum & administrasi. Cari dokumen lama, ngarsip, dan jangan lupa kegiatan paling wajib—fotocopy. Memang jadi asisten tuh gak mudah. Tapi aku enjoy, tapi bosku gak enjoy. Gimana dong kalau udah gitu?
Aku mesti bayar kostan. Mesti beli makan. Mesti beli pakaian. Sedangkan ini kota, gudang orang bekerja dan gudang orang pengangguran. Orang tuaku bukannya gak mampu biayain hidupku. Mampu gak mampu mereka selalu ngirim duit, takut anaknya gak bisa makan. Karena di mata mereka, aku ini tetap anak kecil yang sedang di dalam pengawasan orang tua. Tapi, aku anak pertama yang mana prinsip mandiri adalah penyakit utama.
Mau bagaimana lagi. Sore ini, aku resmi bergabung ke dalam komunitas pengangguran, suka tidak suka harus suka. Tadi pagi aku berangkat dengan semangat, sekarang aku pulang mengantongi pesangon seamplop ditambah gelar baru yang mengejek title sarjanaku.
Setelah sekian purnama mikirin masalah keluarga, sudah waktunya ternyata mikirin diri sendiri. Begitu sampai di kostan, gak ada lain yang bisa kulakukan selain rebahan seraya menatap langit-langit kamar yang sudah kuperindah dengan lampu strip warna-warni sewaktu aku ada duit. Rencananya, kalau aku pindah kost, mau kucopot. Biar gak rugi. Tidak lupa sebelumnya aku mengganti pakaian dengan daster ternyaman yang sudah robek di beberapa bagian karena terlalu sering dicuci-kering-langsung pakai. Semakin robek, semakin nyaman. Iya tidak?
Sejujurnya, itu hanya hiburan, pengalihan pikiran. Satu-satunya benda yang tidak ingin kutengok adalah ponsel. Tidak kebayang gimana rekan kerja lamaku mulai mengisi kolom chat dengan kalimat mellow yang semakin memperburuk suasana.
Perlahan, mataku melirik laci di mana dokumen-dokumen pentingku tersusun rapi. Aku tahu, seharusnya aku mulai menyiapkan segala sesuatunya untuk mencari pintu penghasilan yang lain. Tapi, sebentar deh. Aku capek. Pekerjaan yang sebelumnya saja, aku mesti mati-matian berusaha bisa lolos seleksi. Setibanya diwawancara, pertanyaannya mengada-ada. Tidak sebanding dengan pekerjaan yang ditawarkan.
Yasudahlah, namanya juga hidup. Bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian, kata lagu serial anak.
Aku kembali menghela, menutup mata. Bukannya lebih baik, bayangan-bayangan aku kelaparan dan diusir ibu kost mulai terproyeksikan dengan amat apik. Aku sampai berdecak. Bahkan, mau tidur saja susah. Dalam hati, aku mulai mewanti-wanti sisa saldo di rekening. Selama ini, aku paling malas mengecek saldo. Selagi transaksi berhasil, semuanya aman. Perkara rekening tabungan, anggap saja rekening itu tidak ada. Karena kalau kuanggap ada, bisa jadi aku kalap dan menjadikannya sasaran empuk baru, mengingat aku ini berbelanja seperti tidak ada hari besok. Lapar mata, lapar dompet.
Huft ya!
Aku kembali menutup mata. Belum ada berapa detik dalam hitunganku yang tak pasti, ponselku tiba-tiba berdering. Siapa pula yang memanggil? Tanpa melihat layar berkedip itu, kutengkurapkan ponselku dengan kejam. Aku tidak terima simpati siapapun. Itu pasti mereka, rekan kerja lama. Bukannya aku jahat, tapi kadang kita harus memberi ruang untuk seseorang bersedih dan merenungkan apa yang sudah terjadi.
Sepeuluh menit berikutnya—hitunganku tidak akurat—ponselku masih terus berdering. Kenapa sih, mereka tidak membiarkanku tidur sejenak? Dengan kesabaran yang sudah menipis, kuraih benda pipih itu dari atas nakas.
“Madre?” Aku membaca nama yang tertera di layar. Mama. Itu Mama.
Aku berdehem, mengatur suara yang tadinya lenyap dimakan kecewa. “Halo, Ma? Ada apa?”
Pertanyaanku disambut suara tangis dan gaduh di seberang sana. Tiba-tiba aku terduduk, merasakan jantungku mencelus seperti hampir terpeleset ke jurang. Sebelum Mama menjawab, kepalaku sudah memproyeksikan kemungkinan-kemungkinan buruk yang hendak terjadi.
“Nina ….” Kudengar Mama menangis, semakin menambah kepanikanku. Aku sudah bersiap membanting ponselku dan menutup telinga rapat-rapat, menolak mendengar berita buruk apapun— ketika kemudian Mama menambahkan. “Nenekmu, Nina ….”
Cukup. Aku tidak mau dengar lagi.
***
Mereka pasti mengira aku gila. Ya, pasti. Dengan daster seadanya, aku membawa dompet berisi kartu identitas diri, kartu rekening, dan beberapa kartu lain— dan ponsel sebagai teman kalau ada apa-apa di jalan. Aku tidak bisa berpikir jernih. Penerbangan pulang ke Kendari sudah tidak ada. Ini sudah terlalu larut ketika aku sampai ke bandara dan mengamuk sana sini menjadi pusat perhatian yang siap diviralkan di sosial media sebelum diamankan petugas.
Sekarang, aku duduk termenung. Orang-orang yang berbicara denganku seperti angin lalu, suara mereka masuk telinga kanan, keluar telinga kiri, tanpa ada yang tersangkut sama sekali.
Aku bahkan tidak memakai sandal. Entah aku memakainya dan melepasnya di mana, ataukah aku memang tidak memakainya dari kostan. Bahkan, mengunci kamar pun aku tidak ingat. Air mataku tidak begitu deras, aku seketika lupa mau berekspresi seperti apa.
Wanita, yang sedari kecil selalu bersamaku, membelaku dari marahnya Mama dan Papa, menyayangiku, memanjakanku, yang kulit keriputnya selalu kucubit hanya untuk melihatnya mengkerut seperti squishy, yang pipinya selalu kucium sebelum pergi, yang bau tubuhnya khas minyak-minyakan kayu yang selalu menjadi candu, yang meski susah selalu memberiku selembar uang biru tiap kali pulang kampung, yang selalu memelukku dan bilang rindu, yang selalu menanyakanku kalau tidak pulang menjenguk, yang—yang! Yang! Yang! Yang!
Dia itu wanita kesayanganku. Bentengku, rumahku. Aku mungkin gengsi mengungkapkan sayangku pada Mama, tapi dengan Nenek, aku selalu menemukan kata-kata cinta untuknya tanpa malu-malu seperti wanita musim semi.
Dan hari ini, dia pergi. Tanpa pamit. Padahal, aku selalu membayangkan mendorongnya di kursi roda sambil mengelilingi rumah Allah. Menunjukkan betapa indah dan tenangnya berada di tanah suci, sambil sesekali menceritakan sejarah yang ada di sana dengan bahasa daerah, karena ia tidak bisa berbahasa Indonesia.
“Nenek,” aku sesak, tapi tidak bisa menangis. Mataku hanya merah dan perih.
“Ada penerbangan jam tiga pagi di Bandara YIA. Kalau Mbak mau, saya booking-kan,” hanya kalimat itu yang sayup-sayup terdengar di telinga, seolah memanggil perhatianku.
Aku mendongak layu, celingukan mencari si petugas atau siapapun pemilik suara itu. “Iya, saya mau,”
“Tapi harganya tiga ju—
“Berapapun!” Aku mengangguk. Isi tabunganku masih berguna, belum akan habis hanya untuk membeli tiket pulang.
“Baik, saya minta KTP-nya, Mbak,” bapak-bapak berseragam itu berjongkok di sebelahku, meletakkan ponselnya di atas bangku.
Aku membuka dompet, mengeluarkan semua kartu yang kupunya. Otakku sudah buntu untuk mendeteksi mana kartu identitas. Petugas itu sampai terbengong-bengong.
“Saya harus naik apa ke Yogja?” Aku menyuarakan kerisauan yang baru-baru ini bertengger menumpuk kersauan-kerisauan yang lain.
“Mbak bisa naik taksi dari sini ke stasiun Solo Balapan. Dari sana, Mbak naik KRL sekitar satu setengah jam dan berhenti di stasiun Tugu. Dari stasiun Tugu, Mbak naik kereta YIA ke bandara YIA sekitar setengah jam. Saya sudah lihat jadwal kereta, Mbak harus segera bergegas karena waktu tidak banyak, Mbak bisa ketinggalan pesawat kalau telat,”
Aku mengangguk, kepalaku merekam dengan baik arahan si bapak. Setelah membeli tiket pesawat, aku dicarikan taksi, tidak lupa diberikan sandal karet dari mushalla karena mungkin miris melihatku nyeker di tengah bandara. Meski dalam keadaan mabuk masalah, aku menyelipkan uang yang tidak seberapa ke tangan si bapak, berterima kasih banyak. Aku lihat dia hendak menolak, tapi aku sudah berhambur ke taksi duluan. Aku tahu uang tidak selalu cukup untuk menghargai uluran tangan seseorang, tapi saat ini yang kupunya hanya itu.
Dan malam ini, aku akan lari-larian menuju pulang.
***
Dua kali transit, Jakarta dan Makassar, belum lagi delay berkepanjangan hingga aku baru tiba di bandara Haluoleo sekitar pukul delapan tiga puluh pagi waktu Indonesia Tengah. Dari Bandara, aku langsung deal dengan supir yang akan mengantarkanku ke terminal angkutan antar kabupaten. Bersihnya, aku sampai di kampung halaman hampir dzuhur. Perasaanku hancur lebur, tenda biru terpasang beberapa lokal di depan rumah. Beberapa pohon ditebang, termasuk pohon nangka dan pohon kelapa hibrida yang tidak pernah berbuah bagus. Ramai orang-orang duduk di kursi plastik menghadap rumah. Dan yang paling membuatku ingin jatuh terduduk hilang tenaga adalah ketika mataku menangkap keranda mayat terparkir manis di depan teras. Lengkap dengan kain hijau yang entah apa namanya sebagai atap keranda.
Dari sisi yang lain, mengintiplah tikar daun agel yang sering dianyam Nenek, juga kain kafan putih bersih yang membuatku jatuh lemas di tanah. Aku menangis dalam diam, hatiku sesak bukan main. Tanganku menggenggam kerikil pasir lalu dilemparkan dengan lemah ke arah depan, bak anak kecil yang mainannya diambil dan merengek meminta dikembalikan.
“Kanina,” kurasakan bisikan itu begitu nyata. Seseorang berjongkok di depanku, memegang kedua bahuku, kemudian memelukku.
“Kamu pulang,” dia tidak bertanya, tapi aku mengangguk membenarkan.
Selanjutnya, aku tidak begitu mengingat. Yang kutahu, dia seorang wanita bergamis hitam, sisanya aku tidak memperhatikan. Wanita itu merengkuh pinggangku, membimbingku membelah banyaknya orang-orang yang ikut berbela sungkawa, sampai titik lututku semakin lemas dan tidak bisa berdiri lagi. Aku kembali terduduk, di depan keranda mayat dengan air mata yang mengering. Kudengar suara histeris Mama, kesiap Papa, panggilan adik-adikku, juga namaku yang terus digumamkan banyak orang.
Aku, Kanina. Duduk di tanah di depan Nenek yang sudah terbaring kaku siap dikebumikan, dengan hanya mengenakan daster yang robek sana-sini, sandal karet jepit berwarna hijau legendaris, juga dompet dan ponsel yang bermandi pasir di tangan kiriku, aku merenung. Kehilangan kewarasan untuk beberapa saat.
Kematian, tidak mengenal kata permisi mau lewat. Jadi, persiapkan saja dirimu kalau-kalau dia melintas, barangkali kamu masuk dalam daftar pulang.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
