07 || Saling Berbenturan

25
6
Deskripsi

Selamat membaca!

"Fan, Pak Nug kenapa makin ke sini makin mirip sama kamu ya?" Sadam berbisik pada Naufan yang duduk di sebelahnya. Kini kelas mereka sedang berlangsung pelajaran fisika. Daripada memperhatikan Nugraha yang sedang menjelaskan, ia malah sibuk mengamati paras guru itu. "Eh, maksudnya kamu deng yang mirip sama Pak Nug."

Naufan sudah kenyang dengan ucapan seperti itu. Bukan hanya Sadam, tapi beberapa temannya yang lain pun sering memirip-miripkannya dengan Nugraha. Bukannya tidak suka, tapi ia malu dan tak enak hati jika guyonan itu sampai di telinga guru itu.

"Tuh kan, ketawanya juga mirip. Apa Pak Nug itu sebenernya kerabatmu, Fan? Kalian deket juga, kan?" Sadam menoleh pada Naufan, tapi teman sebangkunya itu sejak tadi memang hanya fokus mencatat. Sejak pagi, Naufan layaknya manusia kekurangan energi. Tak seperti biasanya yang suka sekali mengobrol bahkan saat pelajaran berlangsung.

"Bukan kerabat, Dam," jawab Naufan sekenanya. Ia menutup mulut dengan lengan untuk meredam suara batuk. Hari ini, ia sangat kesal karena batuknya memburuk disertai gejala flu. Dua kondisi itu adalah salah satu musuh terbesar bagi penderita asma sepertinya. Ia yakin teman sekelasnya mulai terganggu oleh suara batuknya yang tak seperti batuk orang normal. Berat, sering, dan menyakitkan untuk didengar.

"Udah minum obat belum kamu? Nggak usah ditahan batuknya, ntar malah kesiksa." Sadam mengambilkan botol air minum milik Naufan dan meminta temannya itu untuk meminumnya.

Naufan menunggu hingga Nugraha mengakhiri pelajaran, sebab guru itu sudah bersiap untuk menutup pertemuan. Usai sang guru mengucap salam, Naufan membuka botol minum dan meneguknya sedikit demi sedikit. Namun sesaat kemudian, ia dibuat bingung sebab Nugraha memanggil dirinya. Naufan langsung bangkit dan mendekati pria itu ke depan kelas.

"Ada apa ya, Pak?"

Nugraha mengajak Naufan keluar ruangan. Sesampainya di teras, ia tak lekas menyampaikan tujuan utama memanggil anak itu. Wajah pucat dan hidung memerah Naufan cukup menyita perhatian, bahkan sejak masih di dalam kelas tadi. "Kamu lagi sakit, ya, Nak?"

Naufan tersenyum, kemudian menggeleng kecil. "Batuk pilek aja, Pak. Emang lagi musimnya kan sekarang?"

"Udah minum obat? Kalau belum biar Bapak carikan."

"Eh, nggak usah, Pak. Saya bawa obat kok, udah minum juga tadi."

Nugraha mengangguk, meski dalam tatapannya terpancar kekhawatiran. Teringat kembali akan tujuannya, ia pun lekas menyampaikan itu. "Oh iya, Na, Bapak udah carikan kamu partner untuk lomba. Setelah mempertimbangkan dengan pembina lain juga, kamu bisa satu tim sama Radit dari kelas 11-1. Mau ikut Bapak buat ketemu dia nggak sekarang?"

"Oke, Pak, boleh." Naufan berjalan bersisian dengan Nugraha menyusuri koridor. Mereka berbelok menuju tangga yang terhubung dengan gedung kelas 11.

"Naufan sebelumnya udah kenal Radit?"

"Udah, Pak, kenal Mas Radit dari pertama ikut ekskul KIR. Oh iya, nanti pulang sekolah udah mulai latihan belum, Pak?"

"Boleh, sekalian kita bikin timeline kegiatan biar kita ada target per pertemuannya. Tapi, Naufan betulan nggak papa? Kalau sakit biar besok aja latihannya."

"Nggak papa banget, Pak."

Nugraha menghentikan langkah di tengah tangga, membuat Naufan melakukan hal yang sama. Ia tatap anak itu, lantas satu tangannya terulur mengecek suhu kening Naufan. Tidak terlalu panas, tapi wajah pucat anak itu benar-benar membuatnya khawatir. "Tapi muka kamu pucat, jadinya Bapak nggak percaya sama jawaban kamu tadi."

Naufan tersenyum lebar, berusaha meyakinkan Nugraha. "Muka saya emang warnanya pucat gini, Pak, bawaan lahir keknya. Tapi beneran nggak papa, saya mah strong ... hatchi."

Nugraha tertawa kecil ketika tubuh Naufan bereaksi berlawanan dengan ucapan anak itu. "Nanti sebentar aja latihannya deh, kamu beneran sakit itu," ucapnya sebelum mengajak Naufan untuk melanjutkan perjalanan.

Naufan merutuk dalam hati seraya mengusap-usap hidung yang gatal. Ia dapat merasakan bahwa bencana segera datang menghampirinya. Ia hanya berharap penyakitnya itu tidak merusak rencana-rencana yang telah ia susun. Akan sangat menyedihkan sebab ia sudah ngotot sekali untuk meyakinkan ayahnya bahwa ia bisa melakukan itu semua.

***

Nugraha telah selesai membimbing tiga tim yang akan mewakili sekolah dalam lomba KTI. Ia sengaja mengakhirinya lebih cepat karena selain memang agenda mereka hanya membuat timeline dan penyamaan persepsi, ia juga khawatir dengan Naufan yang sejak tadi tampak memaksakan diri untuk terlihat baik. Setelah forum ia bubarkan, ia mengantar Naufan menuju area penjemputan.

"Nanti kalau belum dijemput langsung Bapak antar aja, ya?" tanya Nugraha selagi merangkul pundak Naufan dan berjalan bersisian menyusuri koridor. Sekolah telah sepi sebab jam pelajaran berakhir sejak hampir satu jam lalu.

"Kayaknya udah sih, Pak." Naufan tidak menduga jika kondisinya memburuk dengan cepat. Suhu tubuhnya naik drastis dan ia merasa begitu lemas. Belum lagi batuk pilek juga tak henti mengganggu. Kini suaranya benar-benar terdengar seperti orang sakit.

Ketika sampai di area penjemputan, Naufan cukup terkejut karena yang menjemputnya adalah Dipta. Ayahnya yang semula berdiri di dekat mobil, kini ia lihat sedang berjalan cepat menghampirinya.

Nugraha sebisa mungkin mengontrol diri, meski entah kenapa melihat figur Dipta membuat amarahnya tersulut. Teringat ia akan kebenaran yang selama ini tersimpan dalam-dalam tentang anaknya. Jika ia bisa, ingin sekali ia mengatakan langsung pada Naufan jika ia adalah ayah kandung anak itu. Namun, tentu Nugraha tak akan bertindak gegabah yang malah akan semakin menjauhkan Naufan dari jangkauannya.

"Kok Ayah yang jemput? Perasaan tadi Nana chat-nya ke Pak Edi."

Dipta tak banyak bicara, tapi tangannya dengan gesit menarik putranya dari rangkulan Nugraha. Dan saat ia sentuh lengan anak itu, ia sadari suhu panas yang menyengat. Tangannya berpindah mengecek kening dan leher Naufan. "Kenapa nggak pulang dari tadi aja? Demam begini loh kamu, Na."

"Maaf, Pak, kelalaian saya yang tidak tanggap dengan kondisi Naufan. Seharusnya saya---"

"Harusnya Anda tidak biarkan anak saya ikut kegiatan tambahan. Saya rasa Anda cukup pintar untuk tahu kalau Naufan sedang sakit, bahkan dari melihat muka dan mendengar suaranya saja Anda harusnya tahu."

"Ayah ...." Naufan merasa tak enak sebab ucapan ayahnya terdengar sangat ketus dan menusuk. "Nana yang emang maksa buat ikut, bukan salahnya Pak Nug."

Nugraha tak gentar meski tatapan dingin Dipta seolah sedang berusaha menciutkan nyalinya. Ia pun mengakui kesalahannya karena dari awal harusnya ia memang lebih tanggap pada kondisi Naufan. "Sekali lagi saya mohon maaf. Saya---"

"Kami permisi." Dipta kembali memotong pembicaraan dan mengambil tas Naufan yang masih dalam genggaman Nugraha. Tak akan ia biarkan obrolan itu berlangsung panjang dan meninggalkan lebih banyak kecurigaan di hati Naufan. Sebab kini, ia sudah kepayahan untuk mengatur emosinya sendiri.

Naufan mengikuti langkah ayahnya setelah berpamitan dengan Nugraha. Sesekali ia menoleh ke belakang dengan raut wajah menyimpan rasa bersalah. Namun, Nugraha masih tersenyum hangat padanya dan memintanya untuk tersenyum pula. Perlahan kedua sudut bibirnya pun terangkat dan ia menganggukan kepala sebagai rasa hormat pada gurunya.

Dipta membawa Naufan duduk di kursi penumpang depan, lantas memasangkan seatbelt pada anak itu. Kemudian ia beralih untuk duduk di kursi kemudi, menyimpan tas Naufan di belakang, lantas mulai mengendarai mobilnya meninggalkan gedung sekolah. Ia lirik anaknya dan ia tahu Naufan tidak suka dengan sikapnya tadi. Ia pun sedikit menyesal karena kalimatnya tadi terlalu kasar untuk anaknya dengar.

"Percuma Ayah selalu ngajarin Nana sopan santun, tapi ke gurunya Nana aja Ayah bicaranya kayak tadi," sindir Naufan tanpa menatap ayahnya.

"Ayah cuma kelewat marah karena kamu sakit tapi tetep diharusin ikut kegiatan. Harusnya kan guru kamu itu bisa lebih peka, Na."

"Nana cuma batuk pilek, Ayah."

"Kalau buat kamu, batuk pilek itu nggak bisa dibilang 'cuma'. Badan kamu juga panas banget begitu loh, Na."

"Emang Nana aja yang tadi maksa buat ikut. Pak Nug udah sempet larang Nana kok, jadi jangan sepenuhnya nyalahin Pak Nug." Naufan menutup mulut, kemudian terbatuk beberapa kali. Ia jadi malas untuk bicara karena tubuhnya lemas dan kepalanya bertambah pusing.

Dipta juga memilih diam, sebab ia tak akan menang melawan Naufan. Pun ia ingin membiarkan anak itu istirahat agar kondisinya tidak memburuk. Hening menyelimuti suasana. Hanya suara batuk yang sesekali terdengar, disertai bunyi napas berat yang memang akan selalu begitu setiap kali Naufan dilanda batuk.

Perjalanan jadi sedikit lebih lama sebab jalanan Kota Semarang sore itu terbilang cukup padat. Mobil Dipta berhenti kala lampu lalu lintas menyala merah. Ia menoleh pada Naufan yang tampaknya sudah tertidur. Tangan pria itu menyingkap rambut Naufan yang menutupi kening, bertambah cemas karena suhu tubuh anak itu benar-benar panas.

Setelah bermenit-menit perjalanan, akhirnya mobil Dipta sampai di halaman rumah megahnya. Ia turun dengan pelan dan segera membukakan pintu untuk Naufan. Ia lepas seatbelt anak itu, juga sepatu yang masih Naufan kenakan. Kemudian ia meraih tubuh anaknya dengan hati-hati. Lenguhan kecil terdengar saat Dipta memosisikan tubuh ringan anak itu di punggungnya. Ia gendong anaknya menuju rumah dan kehadirannya disambut oleh sang istri.

"Siapin kompresan atau plester penurun panas ya, Bun. Nana demam, badannya panas banget," ucap Dipta selagi berjalan menuju kamar anaknya.

Farah segera mematuhi pinta suaminya. Ia berjalan cepat menuju kotak P3K dan mengambil obat juga plester penurun demam. Kemudian, ia menyusul ke atas dengan membawa pula segelas air minum.

"Perasaan tadi pagi nggak demam loh, Yah. Habis ngapain aja dia di sekolah?" Farah meletakkan barang yang dibawanya di atas nakas sebelah ranjang.

Dipta masih sibuk menanyakan keadaan Naufan sebab anak itu terbangun. "Sesak nggak, Na? Mau Ayah pakaiin oksigen?"

Naufan menggeleng, tapi setelahnya ia terbatuk keras dan sulit berhenti. Tenggorokannya sampai terasa sakit. "Mau dibikinin jahe anget aja."

"Habis ngapain sih kamu, Na? Kan Bunda udah sering bilang jangan berlebihan kalau main di sekolah. Ikut olahraga ya tadi? Atau minum es?" tuduh Farah sebab ia paham betul jika Naufan tidak bisa diam. Kalau kondisinya sudah seperti ini barulah anak itu menyesal.

"Enggak, Bunda."

"Jujur aja, nggak usah ditutup-tutupi gitu. Kebiasaan nakal kamu ini."

Dipta menatap istrinya yang mulai terkesan marah-marah. Selalu seperti itu dan ia sangat tidak suka. "Nggak perlu kamu nuduh-nuduh Nana kayak gitu. Cuaca sekarang emang lagi nggak bagus buat Nana, harusnya kamu paham. Jadi ibunya Nana bukan setahun dua tahun loh, tapi begini aja masih suka nyalah-nyalahin anaknya. Kalau boleh milih Nana juga nggak mau sakit, Bun."

"Bukannya gitu, Yah. Tapi Nana emang suka nakal, dibilangin nggak pernah nurut. Kalau sakit begini kan semua orang jadi repot."

"Kalau kamu merasa repot ya udah keluar aja. Kalau nggak mau bantu harusnya bilang langsung ke aku dari tadi. Aku bisa kok ngurus Nana sendiri. Keluar aja kalau nggak mau direpotin anaknya, aku nggak maksa kamu tetep di sini."

Dipta memang tidak bicara dengan nada tinggi, tapi kalimat yang pria itu ucapkan cukup membuat Farah tersinggung. Akhirnya ia pun keluar dari kamar Naufan, sebab tak ingin suaminya semakin mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hatinya.

Dipta hanya bisa menggeleng kecil. Perdebatan seperti ini bukan kali pertama terjadi. Ia memilih menuju lemari untuk mengambil peralatan nebulisasi. Lantas kembali mendekati Naufan yang ia sadari anak itu sedang menangis dalam diam. Ia pun panik dan segera duduk di sebelah putranya.

"Kenapa, Na? Sesak banget, ya? Ayah siapin obat nebu dulu ya, biar dahaknya encer nanti napasnya jadi lebih lega. Jangan tiduran yuk, biar nggak terlalu sesak." Dipta hendak membantu Naufan untuk duduk, tapi lengannya ditahan oleh anak itu.

"Ayah jangan marahin Bunda kayak tadi," ucap Naufan dengan suara pelan. Ia tak pernah suka melihat kedua orang tuanya berdebat karena dirinya. "Nana nggak papa, kok."

Dipta terdiam sesaat, kemudian memberi anggukan. "Maafin Ayah, ya?" Hanya itu yang ia ucapkan sebelum mengusap cairan bening di sudut mata sang putra. Lantas ia meraih satu bungkus plester penurun demam untuk ia pasang di kening Naufan. Setelahnya menyiapkan obat nebu agar batuk Naufan tidak terlalu terdengar menyakitkan. Ia merawat anak itu tanpa banyak mengeluh ataupun menghakimi.

***

Nolan baru saja ke dapur untuk mengambil minum. Ia urung menuju lantai atas ketika sebuah panggilan menepi ke telinga. Lelaki itu mendekati Pak Fahmi, satpam rumahnya. Dilihatnya pria itu menenteng paperbag yang entah berisi apa.

"Ada apa, Pak?"

"Ini, Mas, tadi ada gojek antar barang. Katanya buat Dek Nana," ucap Pak Fahmi seraya menyerahkan paperbag di tangannya.

Meski ragu, Nolan menerima barang itu. Mungkin adiknya memang memesan sesuatu dari luar. Setelah memastikan jika itu memang untuk Naufan, ia pun melanjutkan langkah menuju lantai atas. Nolan memasuki kamar adiknya dan melihat anak itu sedang tiduran. Ada ayah mereka pula yang juga sedang tiduran di sebelah Naufan, tak biasanya sekali punya waktu santai seperti itu.

"Nana habis pesan sesuatu? Ini barangnya tadi diantar gojek kata Pak Fahmi."

Naufan mengernyit bingung. Ia kemudian duduk dan menerima barang yang Nolan sodorkan. Anak itu masih terlihat sakit, tapi lebih baik dari sore tadi. Naufan mengamati paperbag di tangannya sebelum membuka benda itu. Ada beberapa barang di dalam sana, tapi Naufan lebih tertarik pada secarik kertas. Ia buka kertas itu dan menemukan beberapa kalimat yang tertulis.

Cepat sembuh ya, Naufan. Maaf karena tadi Bapak nggak cepat sadar kalau kamu sakit. Besok sekolahnya izin dulu aja, biar sehat dulu badannya. Bapak tau Naufan semangat banget buat selesaiin KTI-nya, tapi jangan lupakan kesehatan tubuh ya? Barang yang Bapak kasih semoga bisa bantu Naufan sembuh, dan maaf karena Bapak nggak tau Naufan sukanya apa.

Bukan hal sulit bagi Naufan untuk menebak siapa pengirim barang itu, dan dugaannya benar ketika ia membaca nama Nugraha sebagai pengirimnya. Naufan beralih menilik isi paperbag dan menemukan cukup banyak barang seperti madu, vitamin, aromaterapi, juga beberapa makanan kecil. Sebuah senyum terbit di wajah Naufan, sebab ia tak menyangka Nugraha akan seperhatian ini padanya.

"Dari Pak Nugraha, Na? Emang apa isinya?" tanya Nolan usai membaca isi kertas yang sempat ia ambil. Lelaki itu turut mengamati isi paperbag.

Sementara itu, Dipta duduk dengan pikiran yang melayang kemana-mana. Ia tidak tahu jika Nugraha akan berani bertindak seterbuka ini, meski ia yakin pria itu belum tahu kebenaran tentang siapa Naufan sebenarnya. "Nana punya nomornya Pak Nugraha nggak? Coba Ayah minta."

Naufan memandang ayahnya dengan tatapan tak yakin. "Mau ngapain emangnya, Yah?"

"Ya mau bilang terima kasih, sama minta maaf juga soal yang tadi di sekolah. Sini Ayah minta."

Meski cukup ragu, Naufan berusaha mempercayai ayahnya. Toh tidak mungkin ayahnya akan marah karena Nugraha mengirim barang-barang bermanfaat itu untuknya. Naufan mengambil ponsel, lantas mengirimkan nomor ponsel Nugraha pada ayahnya. "Udah, Yah."

Dipta hanya mengangguk. Ia kemudian keluar dari kamar Naufan, mencari tempat sepi untuk kemudian mencoba menghubungi nomor Nugraha. Hanya butuh dua kali percobaan hingga ia dapat mendengar suara pria itu dari seberang telepon.

"Maaf, dengan siapa ya?"

"Saya Dipta. Maksud kamu apa kirimkan anak saya barang-barang itu? Kamu pikir saya tidak bisa kasih itu buat Naufan? Jangan bersikap berlebihan, kamu cuma guru dia di sekolah."

Hening, Dipta mendapati kebungkaman Nugraha untuk beberapa saat.

"Apa salahnya seorang guru kasih perhatian ke siswanya? Saya juga guru yang membimbing Naufan dalam persiapan lomba, dan saya punya tanggung jawab untuk memastikan dia selalu baik-baik saja."

"Kamu pikir saya tidak tahu tujuan utama kamu? Kamu mau cari perhatian ke anak saya agar suatu saat bisa mengaku sebagai ayah dia kan? Sudah saya bilang berkali-kali Nugraha, Naufan bukan anak kamu! Jadi tolong bersikap sewajarnya saja!"

"Kalaupun dia bukan anak saya, saya menyayangi dia sebagai keponakan saya. Sama seperti saya juga menyayangi Nolan. Jangan terlalu membuat rumit segala hal Dipta, saya malah bisa semakin curiga kalau Naufan betulan anak saya."

"Kamu---" Dipta tak menyelesaikan ucapannya ketika sambungan telepon lebih dulu terputus secara sepihak. Ia meremas ponselnya dengan kuat, berusaha meredam emosi. Sejak awal ia sudah tahu, Nugraha memang tak akan menyerah semudah itu.

Bersambung...

Ya gimana mau nyerah, Pak, itu anaknya yang bertahun-tahun dia dambakan masih hidup😭😭😭


 

 

Clp,
28-06-2025

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya 06 || Kebohongan Yang Tersimpan
27
12
Selamat membaca!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan