
“Kal mau ini?” Geya mengangkat cupcake yang sedang dimakannya sambil menatap putri mungilnya, ketika menyadari permainan lidah Kalea mulai terdengar berdecak dari bibirnya.
Putri kecilnya itu sedang menatapnya dengan tatapan harap, seakan memohon untuk diizinkan mencicip semprotan krim pink di cupcake yang Geya sedang makan.
Jelas Kalea kepengen, bentuknya aja udah menarik perhatian.
Geya nyengir ketika melihat Kalea masih terlihat memohon kepadanya, bahkan saat ini disertai dengan kepalan tangan sambil...
Geya selalu membenarkan ungkapan ‘perkembangan anak itu selalu nggak kerasa’.
Bahkan ketika anaknya udah ada dua ekor pun, rasanya Geya masih nggak percaya bisa melihat dua fotokopian-nya dengan Radhika berhasil dibentuk dan berkeliaran di dalam rumah. Masih cukup unbelievable buat Geya yang dulunya sempat nggak membayangkan tentang menikah lengkap dengan trauma untuk berpasangan sekian tahun yang lalu.
Sebenarnya, kedua anaknya memberi kesan tumbuh kembang yang nggak beda jauh. Mungkin yang membedakan hanya di bagian Geya yang masih bekerja ketika Aksa lagi gemas-gemasnya dengan pengetahuan parenting-nya dan Radhika yang masih seuprit, serta Geya yang memutuskan menjadi full mom ketika punya Kalea lengkap dengan pengalamannya punya Aksa beberapa tahun yang lalu.
Kalea adalah bocil yang benar-benar Geya tangani dari dia bangun tidur di pagi hari, hingga ia bangun lagi di pagi harinya.
Bukannya apa-apa, tapi di umur Kalea yang masih dibawah dua tahun, anaknya itu masih suka kebangun di pagi hari.
Geya sama sekali belum berani menerapkan sleep training seperti yang sedang dibicarakan ibu-ibu modern saat ini. Geya sama sekali nggak tega. Lebih baik Kalea masih masuk ke dalam jangkauan pengawasannya daripada ia harus menekan perasaan khawatir ketika harus meningatkan Kalea tidur sendirian di kamarnya. Apalagi Radhika nggak setiap saat ada di sampingnya. Lembur sampai pagi hari, dinas nggak pulang-pulang, bikin Geya semakin nggak yakin buat membiarkan Kalea tidur sendirian.
Dan dia yakin, kalau semua itu ada waktunya.
Kayak Aksa dulu. Si Abang yang akhirnya berani tidur sendirian di kamarnya. Apalagi setelah Radhika akhirnya merenovasi ulang kamar Aksa supaya Aksa merasa lebih nyaman berada di kamarnya. Makin nyaman lah Si Abang.
Kalea bakal kayak gitu juga suatu saat nanti. Tapi, buat sekarang, biarkan Geya bisa memeluk Kalea tiap malam sebelum tidur dan mengawasinya sepanjang malam.
Karena Geya masih nggak sanggup membayangkan ketika Kalea udah gede nanti.
Lihat Aksa pulang sekolah dengan wajah kusam aja, Geya masih suka speechless. Apalagi Kalea yang saat ini masih sanggup ia gendong kemana-mana.
Perkembangan lain yang bisa Geya rasakan dari anak-anaknya adalah tentang cara mereka makan. Terutama Kalea yang Geya tangani dan ia temani setiap hari.
Sedari Kalea berumur empat bulan, semenjak si gemas itu udah bisa duduk meskipun harus Geya pangku dan tahan pinggangnya supaya nggak mleyot, Kalea udah jadi penghuni utama meja makan setiap keluarga kecil mereka lagi sarapan, makan siang, bahkan makan malam. Belum lagi snack time Abang yang Geya atur setiap pukul sepuluh atau sebelas pagi, dan pukul empat sore, tepat setelah jadwal anak-anaknya mandi sore.
Awalnya cuma gara-gara Geya lagi sibuk makan cupcake di dekat Kalea yang lagi tummy time. Geya membiarkan Kal bermain dengan activity gym yang bergelantungan diatasnya, sementara dia rehat sebentar sambil menonton televisi dan makan cupcake. Namun kunyahannya berhenti ketika ia menangkap tatapan mata Kalea kepadanya.
“Kal mau ini?” Geya mengangkat cupcake yang sedang dimakannya sambil menatap putri mungilnya, ketika menyadari permainan lidah Kalea mulai terdengar berdecak dari bibirnya.
Putri kecilnya itu sedang menatapnya dengan tatapan harap, seakan memohon untuk diizinkan mencicip semprotan krim pink di cupcake yang Geya sedang makan.
Jelas Kalea kepengen, bentuknya aja udah menarik perhatian.
Geya nyengir ketika melihat Kalea masih terlihat memohon kepadanya, bahkan saat ini disertai dengan kepalan tangan sambil menjilat bibirnya sendiri, yang mana Geya pahami sebagai gestur Kalea ketika ingin sesuatu. “Belum boleh, Sayang. Kal baru boleh minum susu Mama. Rasain cupcake-nya dari susu aja ya?”
Kal akhirnya cuma menonton mamanya yang tetap asyik makan cupcake dengan bibir berdecak.
Bikin Geya nggak tega. Tapi Kalea masih belum boleh makan sesuatu.
Dan Geya mencoba untuk konsultasi ke dokter anak Kalea dan Aksa.
”Kalau udah ada interest sama makan, boleh diajak nimbrung-nimbrung di meja makan, but don’t try to feed anything to her.”
Iya sih, dulu Aksa juga begitu. Di umur yang sama kayak Kalea, Aksa udah mulai punya interest sama yang namanya makanan. Dan akhirnya Aksa juga jadi penghuni tetap meja makan. Katanya, membawa bayi yang otewe MPASI ke meja makan saat jam makan orangtua itu melatih motorik anak yang lagi cemerlang-cemerlangnya menyerap apapun yang ada di sekitarnya. Jadi, kemungkinan besar si bocil udah bisa menyuap sendiri makanan ke mulutnya waktu mereka udah waktunya konsumsi makanan pendukung ASI.
Seenggaknya udah taulah, kalau dia harus memasukkan makanan di mulutnya, meskipun suka melenceng.
Jadilah, selama dua bulan setelahnya, Kalea harus bisa menahan dirinya buat nggak makan—oh, enggak, Radhika dan Geya yang berusaha untuk menyabarkan Kalea yang udah keburu pengen nyomot makanan apapun di dekatnya. Matanya suka mengerjap lucu ketika dirinya berhasil duduk sendiri diatas high chair, sambil menatap orangtua dan abangnya makan. Tangannya juga suka sibuk mencoba menggapai piring-piring yang ada di dekatnya, yang mana piring Aksa, dan berujung agak ribut karena dirinya merasa terancam dengan tangan penasaran adiknya.
Radhika juga suka nyengir sendiri ketika Kalea tengah menatapnya dalam, disaat dirinya sibuk makan di dekat bocil gemasnya. Nggak jarang Radhika menjahili anaknya dengan menyodorkan makanan yang ada di tangannya, kemudian menariknya lagi ketika Kalea mencoba menggapai tangannya.
Ujungnya sih, Radhika bakal dengar teguran, “Radhika, anaknya nggak diganggu.”
Pernah suatu kali Geya kecolongan. Kecolongan Kalea kemasukkan makanan di usianya yang sudah lima bulan. Dia lagi sibuk menyiapkan sup jamur buat Radhika dan Aksa yang udah duduk anteng di meja makan, dan membiarkan Aksa ngemil brokoli rebus sambil menunggu makanannya siap. Radhika sibuk dengan iPad-nya, memastikan jadwalnya nggak ketambahan kerjaan lain supaya dia bIsa pulang tenggo. Kalea juga udah duduk di high chair-nya, tepat disamping Aksa, anteng memegang mainannya.
Tau-tau Aksa menyeletuk, “loh, Mama? Kok brokolinya habis? Perasaan tadi masih ada dua—LOH?! KAL?! KOK MAKAN BROKOLI ABANG?!”
Waktu Geya memusatkan fokusnya kepada kedua anaknya, Kalea udah sibuk mencoba memasukkan brokoli rebus Aksa ke mulutnya. Bikin Geya dan Radhika buru-buru menghampiri Kalea dan berusaha menghentikan aksi heroik Kalea.
Radhika langsung mengangkat Kalea ke gendongannya ketika Kalea berakhir menangis karena dilarang mencoba brokoli Aksa. Sementara Geya meringis merasa bersalah.
”It’s okay, Sayang. Nggak papa. Kalea penasaran.” Radhika lanjut mengusap lembut punggung istrinya yang masih terpaku merasa bersalah dengan menatap Kalea yang ada di pelukannya. “It’s okay, nothing wrong with it.”
Mendekati Kalea memasuki umur enam bulan, Radhika menemui Geya yang sibuk sendiri di kitchen island lengkap dengan pensil iPad dan iPad di hadapannya tengah malam.
”Ngapain, Yang?”
”Hm?”
”Ngapain? Udah malem, nggak mau mikir di kasur aja?” Radhika menghampiri istrinya sambil membawa botol susu bekas dipakai punya Kalea. Lalu memeluk istrinya dari belakang.
”Sebentar. Lagi ngelist komposisi makanan buat MPASI Kal nanti, sekalian ngecekin masih ada stok di rumah atau enggak.”
”Oh. Bentar lagi Kal enam bulan ya?”
”Mh-hm. Dua hari lagi. Nggak sabar lihat Kal ngemut sendok.”
Geya nyengir sendiri, memperhatikan daftar makanan yang akan dia coba untuk diberikan ke Kalea nanti. Pisang halus, alpokat halus, pir halus, pepaya halus, kentang tumbuk, bubur ASI, pokoknya semua pengen Geya cobain nanti. Dengan harapan Kal bakal cocok sama makanan yang dia sodorkan.
”Excited banget ya?”
Cengiran Geya makin mengembang. “Iya. Aku suka banget lihat anak-anak makan. Moga Kal makannya nggak pake GTM.”
”As you wish, Sayang. Kamu pasti bisa. Lagian Kal udah kelihatan banget pengen makan.” Radhika menumpukan dagunya di bahu istrinya, sambil membaca daftar makanan Kalea yang udah Geya tulis di iPad-nya.
Geya ketawa. “Kelihatan banget emang.”
”Tapi Kal emang beneran udah nggak papa buat MPASI kan?”
Geya mengangguk. “Kata DSA Kal udah boleh MPASI kok. Tinggal nunggu waktu aja. Kepalanya udah tegak dan udah bisa duduk sendiri tanpa dipangku. Aman.”
”Iya juga. Mau kasih Kal pisang halus dulu?”
”Mh-hm. Aku pengen ngasih Kal first impression makanan yang simpel tapi all in one dulu. Soalnya pisang rada kerasa manisnya. Nanti kasih ASI dikit biar lembut. Dulu Aksa juga suka banget sama pisang halus. Moga Kal juga suka.”
Geya sih emang ngarep. Tapi waktu eksekusi… enggak sih, bukannya Kalea nggak doyan. Tapi ada komposisi makanan yang lebih ia suka daripada pisang.
Proses MPASI Kalea buat yang pertama kalinya nggak terlalu mudah, tapi juga nggak terlalu susah. Fokus Kalea masih suka ambyar, jadi Geya harus memastikan sekelilingnya nggak ada distraksi yang berarti buat Kalea. Geya mendudukkan Kalea di high chair-nya, lengkap dengan bib pink yang melingkar di lehernya. Rambutnya dikucir dua, supaya nggak mengganggu Geya yang mau menyuapi Kal dan nggak bikin Kalea risih.
Di suapan pertama, Kalea masih kelihatan ragu. Mungkin karena dia terbiasa melihat bentuk segala rupa makanan orangtua dan abangnya. Jadi Kalea sempat diam sejenak sambil menatap sendok mungil yang diangsurkan kepadanya. Dan Geya dengan sabar menunggu.
”Kal mau coba?“
Mata Kalea mengerjap kearah mamanya, yang langsung Geya sambut dengan senyuman lembut.
“Mama suka juga. Kal boleh coba dulu.” Geya berucap sambil menyodorkan sendok lebih dekat ke mulut Kal hingga mengenai lidahnya yang kebetulan sedang mengecap.
Geya ketawa kecil melihat anaknya yang tersenyum kecil. Reaksi Kal cukup bikin Geya pede buat melanjutkan sesi MPASI perdana Kalea… yang nggak bertahan lama. Karena di suapan kelima, Kal mulai nggak konsentrasi dan mengalihkan kepalanya dari sendok yang Geya angsurkan.
”Kal? Masih ada nih, pisangnya.” Geya masih mencoba membuat Kalea fokus, dan di percobaan kedua, Geya menyerah. “Udah kenyang ya? Makannya udah, Nak?”
Reaksi Kalea yang udah lebih tertarik dengan mainannya bikin Geya menyelesaikan sesi MPASI mereka. Ia beralih membereskan ceceran pisang halus diatas meja Kalea, dan membiarkan Kalea mencerna dulu makanannya.
Sambil beres-beres, Geya berpikir, mungkin memang kapasitas lambung Kalea baru mampu menampung makanan cukup segitu.
Yang mana ternyata salah. Di sesi MPASI selanjutnya, Kalea mampu menghabiskan hampir setengah mangkuk alpokat halus yang Geya jadikan sebagai menu MPASI hari itu. Dan menu alpokat selalu jadi yang paling sedikit sisanya dibandingkan menu lain di MPASI-MPASI berikutnya.
Geya jadi paham, Kalea lebih suka alpokat daripada pisang.
***
Perjalanan Kalea mencicipi segala makanan tumbuk dua komponen cukup memuaskan bagi Geya. Seenggaknya Kalea jarang GTM, nggak seperti Aksa dulu. Dan Geya tahu apa makanan kesukaan Kalea sejauh ini.
Brokoli tumbuk, alpokat, pir, kentang, dan wortel adalah makanan favorit Kalea. Karenanya, Geya jadi lebih pede buat menyusun kembali komposisi menu makanan Kalea. Cukup menyenangkan buat Geya yang dulu sempat suka merasa bersalah karena Aksa suka GTM.
Dari yang cuman satu komponen campur ASI, Geya mulai menaikkan level menu Kalea jadi beragam bentuk. Mulai dari nasi tim bayi dengan campuran protein dan serat yang dihaluskan, campuran dua bahan makanan unpredictable yang Geya bikin jadi puree, bubur bayi campur ASI, dan segala bentuk produk susu.
Geya suka gemas melihat ekspresi Kalea yang mengerjap kecil ketika sedang merasakan menu baru. Harus hingga tiga suapan buat bikin Kalea akrab dengan rasanya, setelahnya… itu terserah Kalea. Entah mau dilanjut atau enggak. Dan sejauh ini, ada tiga macam menu yang Kalea tolak. Semuanya berhubungan dengan ati ayam, ati sapi, dan kacang polong.
Kayaknya Kalea nggak suka.
Terlebih waktu Geya menyajikan bubur ati ayam edamame. Kalea kelihatan nyengir masam dan setelahnya langsung menolak makan. Bikin Geya mau nggak mau membuat menu lain.
“It’s okay. Besok ati ayamnya Mama olah lagi sampe Kal suka. Sekarang Kal makan puree pisang alpokat dulu, oke?”
”Kenapa?”
”Ati ayam. She didn’t like it.”
”O—ke.”
Awalnya Kal menolak. Kelihatannya masih trust issue. Tapi setelah Geya mencoba memaksa Kal buat cicip dikit, akhirnya Kalea mau membuka mulutnya dan mulai makan tanpa drama.
Sebenarnya Kalea nggak ada drama yang berarti selama MPASI-nya sih. Dia lebih nggak banyak tingkah dan mau mencoba apapun yang disodorkan oleh mamanya. Masalah lanjut apa enggak, pikir ntar. Yang penting cicip dulu.
Hal ini bikin Geya selalu excited setiap menemani Kalea memenuhi MPASI-nya. Belum lagi Kalea kalo makan tuh, kelihatan menikmati banget. Ocehannya suka menuju kearah dia happy ketika sedang makan. Kelihatan suka. Apalagi kalo dia familiar dengan rasa makanannya dan suka banget.
Sejauh ini, Kalea suka banget sama yang namanya sup krim ayam jamur, sup jagung, sup tahu wortel, sama segala macam bubur, kecuali yang dari ati ayam (Geya masih berusaha keras supaya Kal doyan). Apalagi sup ayam kentang, itu semacam comfort food banget buat Kalea.
Selama proses MPASI Kalea, setiap ada kesempatan, Radhika selalu mengajukan diri untuk membantu Geya. Apalagi kalau Aksa lagi cranky parah—yang mana sering banget semenjak punya adik, Radhika bersedia membantu Kalea makan. Kadang pake bercanda bikin pesawat-pesawatan dari sendoknya. Yang mana selalu berhasil bikin Kalea jadi lebih excited untuk membuka mulutnya.
”Habis nggak?”
”Jelas habis. Iya kan, Kal?”
Kalea udah ketawa-ketawa sambil menatap mamanya.
Jam makan Kalea sengaja dibuat sama seperti jam makan keluarganya. Pokoknya bareng. Jadi Radhika dan Aksa nggak pernah kelewatan menyaksikan drama MPASI Kalea. Nggak jarang Aksa mengajukan diri buat menyuapi adiknya yang udah belepotan karena ulahnya sendiri.
”Ayok, Kal! Ak dulu mulutnya. Abang suapin. Aaaaaaa! Duh, kalo makan itu langsung dihap, Kalea. Jangan dikit-dikit. Kayak aku nih—huek! Mama, kok makanan Kal nggak ada rasanya?”
Geya dan Radhika nyengir. “Kal belum boleh mam yang ada rasanya kayak Abang, Abang. Masih nggak ada rasanya.”
”Kok Kal suka?”
“Seleranya Kal emang begini. Tapi nanti lama-lama bisa makan yang Abang makan kok.”
”Kayak crackers-ku?”
”Iya.”
”Ih, nggak mau.”
”Kok nggak mau?”
”Crackes-nya cuma buat aku seorang.”
Radhika nyengir. Mulai deh Aksa merasa harus one and only. Geya ikutan nyengir. “Sini sendoknya Kal. Biar Mama yang suapin.”
Sementara Kal udah kembali menyendok sendiri makanannya dan berhasil bikin wajahnya semakin belepotan karena salah sasaran.
Kebiasaan baru Kal setelah makan, ganti baju.
***
Seiring bertambahnya umur Kalea, makin variatif pula jenis makanan yang masuk ke perutnya. Tapi yang paling mencolok adalah teksturnya.
Makin kesini, tekstur makanan Kalea jadi makan kasar, dengan variasi menu yang berbeda hasil Geya coba-coba, bikin lidah Kalea jadi familiar dengan banyak rasa.
Yang mana agak berbeda dengan Aksa dulu. Geya lebih banyak berada di menu comfort food Aksa daripada memperbanyak eksplor makanan. Keterbatasan waktu dan ketidakhadirannya di sekitar Aksa untuk lebih lama sama sekali nggak mumpuni, bikin Aksa jadi agak picky makannya.
Geya jadi suka harus memutar otak supaya Aksa nggak pilih-pilih. Berbeda dengan Kalea yang mau mencoba segala rasa, bikin Geya jadi lebih berani buat eksplor makanan. Dan semakin besar Kalea, ketika udah memasuki usia lima belas bulan, Geya jadi lebih memfokuskan Kal untuk makan dengan menu yang sama seperti apa yang dia, Radhika, dan Aksa makan di meja makan.
Kalau anaknya nggak doyan, Geya bisa modifikasi dikit.
Awal Radhika tau rencana Geya, Radhika sempat mengerutkan dahi. “Nggak papa, Yang?”
”Nggak papa. Kal udah mulai nggak papa makan sama kayak yang kita makan kok. It’s okay, no need to worry.”
”Kalo kepedesan?”
”Nanti bisa di-adjust dulu bumbunya. Bikin yang nggak pedes buat Kal Aksa, baru bikin yang buat kita. Selama ini kan, kayak gitu kalo masakin Aksa juga.”
”Oh ya?”
”Iya. Kayak abang-abang nasgor gitu loh. Paham nggak?”
”Mh-hm?”
”Radhika.”
”Bentar. Aku bayangin abang-abang nasgor masak dulu.”
”Ya nggak perlu dibayangin juga.”
”Tapi aku lupa. Mau beli nasgor nggak? Biar aku inget.”
”Kita barusan udah makan, Radhika.”
”Nanti. Maleman.”
”Kamu nih, doyan banget bikin aku besok heavy workout besoknya.”
Radhika ketawa. “Iya. Aku suka lihat kamu olahraga. Seksi soalnya.”
”Radhika!”
Radhika nyengir lagi. “Terus besok mau masak apa?”
”Sup ayam dulu kayaknya. Kal suka banget sama nasi tim sup buatanku. Jadi kayaknya, besok bakal, work well.”
“Sup ayam buatanku?” Radhika memiringkan kepalanya sambil nyengir.
”Buatanmu—ah! Sup yang manjur selama aku hamil Aksa sama comfort food Aksa kalo lagi demam?”
”Iya. Aku masih terharu banget loh kalo inget masakanku jadi life savior.”
Geya ketawa kencang. “Iya, iya. Sombong banget sih.”
”That’s pretty good, right?”
”Iyaaa.“
”Besok aku masakin?”
”Kamu mau?”
”Mh-hm. Aku pengen lihat seberapa doyan Kal sama masakanku.”
”Oke, Pak Radhika. Noted.”
”Tapi diawasin ya, Yang.”
”Why?”
”Aku takut nggak sesuai takarannya Kalea. Takut kepedesan juga.”
”Iya, Pak Radhika. Bapak satu ini bener-bener.”
Dan hasil trial Radhika memberikan ‘sup ayam life savior keluarga Radhika’ berujung mulus. “She love it, Sayang.”
”Seneng?”
”Seneng banget!”
Geya nyengir sambil menatap Kalea yang sibuk menyendok kuah supnya. Bergantian dengan Radhika yang masih menatap Kalea berbinar, serta Aksa yang juga anteng menyeruput kuah supnya lewat sendok bebek.
Sup ayam buatan Radhika kayaknya memang berbahaya.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
