Baby Don't Stop 2

54
0
Deskripsi

Chapter 11-24 (gratis)

Maaf kalau dikalian spasi yaitu jarak antar paragraf nya kejauhan, di aku normal guys mungkin bug. Terimakasih selamat membaca 

12 : Kiss

Kepala Lisa terasa sakit, ia tak bisa tidur sampai pukul tiga dinihari. Lisa duduk ditepi balkon dengan kaki menggantung ke bawah, kedua tangannya memegang sisi pembatas balkon. Bukan tanpa alasan, Lisa sudah berusaha tidur tapi terbangun dibeberapa menit berikutnya dengan keringat dingin.

Kantung matanya menghitam, Lisa tidak tidur sama sekali. Hari menjelang subuh, sejak berjam-jam lalu tanggal kalender sudah berganti. Lisa tidak berhenti memikirkan Jungkook dan Serin, kadang-kadang sampai menggigit kuku ibu jari dan bergumam pelan.

"Pria dan wanita dewasa, sama-sama dewasa.." Lisa menggigit kuku, pikirannya terbang kemana-mana sampai wajahnya memucat. ".. disatukan dalam sebuah kamar, mereka pasti.." lalu menggelengkan kepalanya kuat, mencoba pura-pura tidak tau.

"Mereka bedua.. atas lalu bawah" Lisa bergumam entah sambil membayangkan apa, tatapannya kosong sementara giginya masi aktif menggigit kuku ibu jari.

Tak!

Kuku Lisa patah, darah mengalir dari sana. Lisa seperti gadis yang tak dikabari berhari-hari oleh kekasihnya dan mulai frustasi. Lisa sendiri bingung dengan dirinya, ada kesesakkan besar didada dan rasa terbakar luar biasa. Lisa tidak berdaya, Lisa tidak bisa mengendalikannya.

"Aku tidak tidur.." Lisa mendesah gelisah, berbalik dan melompat turun dari pembatas balkon. Ditubuhnya sudah terpasang piyama berbahan katun yang nyaman berwarna biru tua. Kaki telanjangnya menghampiri pintu lalu meneruskan gumaman. "Aku ingin tau.. semuanya, mereka sedang apa"

Dikendalikan oleh pikiran macam-macamnya, kakinya melangkah menuju kamar Jungkook. Tak ada seorangpun disini, lorong-lorong yang terang terlihat sepi tapi tak sedikitpun terasa menyeramkan. Tujuan Lisa ingin mengetahui mereka berdua; Jungkook dan Serin, sedang melakukan apa.

"Atas lalu bawah.." Lisa berdecak, meremas tangannya sendiri. Rasa sakit dibekas patahan kuku ibu jarinya seolah tidak terasa sebab tertutupi rasa keingintahuan.

Menatap pintu gading itu dari kejauhan, penuh keraguan Lisa mendekat. Tangannya terangkat lurus menyentuh gagang pintu, kendati ia tak menekannya ke bawah. Lisa merendahkan tubuh hingga wajahnya sejajar dengan lubang kunci yang celanya kecil sekali. Lisa tidak bisa mengintip, hanya melihat selimut saja.

Memutar akal, Lisa melihat meja. Usai menurunkan vas bunganya, Lisa naik ke meja kecil itu. Lisa ingin mengintip dari cela ventilasi, tapi sulit. Lisa berjinjit, sedikit lagi akan tergapai namun sialnya jempol kakinya terkilir. Lisa terentak kaki yang lain, hilang keseimbangnya lalu jatuh tapi tidak ke lantai.

Seseorang menangkapnya, memeluknya erat. "Kenapa memanjat? Kenapa tidak langsung masuk atau mengetuk?" Suara itu menyadarkan Lisa dari lamunannya.

Bibirnya terasa keluh, terkunci rapat. Lisa menatap lekat manik hitam milik Jungkook, matanya panas hingga berair. Jungkook terus bertanya alasan Lisa memanjat tapi Lisa tidak menjawab karena sejatinya.. Lisa juga tidak tau kenapa.

"Itu berbahaya, kau bisa jatuh ke lantai jika tidak ada aku" Jungkook mengomel cemas, Lisa terus menatapnya. Jungkook masih sibuk menjelaskan. "Kakimu bisa patah, tanganmu juga patah, pinggangmu dan yang lainnya bisa patah. Apa kau mendengarku, Lalisa?"

Jungkook membantu tubuh Lisa berdiri, gadis itu masih menatapnya. Jungkook mengernyit heran, tatapannya turun pada ibu jari tangan kiri Lisa yang meninggalkan bercak darah mengering. Jungkook meraihnya, mempertanyakan bagaimana Lisa tidak merawat lukanya sendiri.

"Lisa, ini sangat sakit.." Jungkook mengerang hampir frustasi, Lisa seperti batu. Jiwa Lisa seakan sedang terbang dan yang dihadapan Jungkook tinggal raga kosongnya saja. Jungkook berdecak tak habis pikir. "Kenapa kau sangat ceroboh? Kau terluka, ini pasti sakit kan?"

"Pasti sakit, iyakan?" Desaknya bertanya. Jungkook merasa sakit juga, merasa cemas berlebihan padahal terluka adalah Lisa tapi Jungkook yang hampir meneteskan air mata dan terus mencecar Lisa dengan pertanyaan. "Rasanya pasti sakitkan? Kenapa.. kenapa tidak berhati-hati? Kalau kukumu panjang, potonglah agar tidak patah dan melukai jarimu sendiri."

"Lisa!" Jungkook mengguncang kedua bahu gadis itu hingga dinding lamunannya pecah. "Kau mendengarkan atau tidak!?" Suaranya meninggi, daripada marah, ia justru terdengar penuh kekhawatiran.

Bibir Lisa terbuka, suara lirihnya keluar. "Kakak.."

"Ya, bagian mana yang sakit?"

Lisa menggelengkan kepala, tangannya meraih salah satu tangan Jungkook yang ada dibahunya. Lisa menggenggamnya, meremasnya erat. "Aku.. aku bermimpi buruk, mimpinya buruk sekali"

Mata Lisa berkaca-kaca, Jungkook jelas cemas. Satu tangannya refleks menangkup pipi Lisa. "Lupakan mimpinya, jika itu buruk. Jangan dingat"

"Aku tidak bisa.." Lisa menggigit bibir, air matanya jatuh. Jantungnya berdenyut, dadanya terasa ngilu dan sesak. "Aku terus memikirkannya.."

"Jangan dipikirkan, Lalisa" Jungkook melarang tegas, langkahnya maju sehingga tanpa sadar memojokkan Lisa. "Jangan pikirkan mimpi buruk itu, ada banyak hal indah lain yang bisa kau pikirkan"

"Kak Jungkook.."

"Aku disini."

Lisa berdecak jengkel. "Aku tidak bisa!"

"Akan kubantu" Jungkook tersenyum kecil. Lisa semakin mundur sehingga tanpa sadar berjinjit dan menduduki meja kecil yang dipakainya tadi.

Satu tangan Jungkook merengkuh pinggangnya, tangannya yang lain naik menyusuri pipi Lisa. Menyelipkan anak rambut yang menganggu pemandangan lantas mengusap permukaan wajah Lisa dengan lembut, kelopak mata Lisa terpejam. Jungkook mendekatkan wajahnya pada wajah Lisa, tangannya sampai pada dagu gadis itu lalu-mencium Lisa tepat dibibir.

Tadinya Jungkook pikir ini mimpi, Jungkook keluar dari kamar setelah muntah-muntah lalu merasa baikan. Perutnya terasa mual, Jungkook pergi ke dapur mencari air hangat untuk diminum. Serin tidur dikamar tamu, wanita itu meninggalkan secarik kertas dinakas bertuliskan ; Jika butuh apapun, cari aku di kamar tamu lantai bawah. Dari Serin.

Lisa memejamkan mata erat, kedua tangannya meremas kaos Jungkook. Ada sedikit rasa pahit yang tercecap oleh Lisa. Lagi-lagi ia merasa dejavu sontak mengunci rapat bibirnya namun dengan penuh kelembutan, Jungkook memberi gigitan menggoda hingga sukses membuat belah bibir Lisa terbuka memberi akses bagi lidahnya menelusup masuk; mengabsen satu persatu gigi dan segala yang ada didalam sana.

"Hmph!" Lisa mendongak, ciuman Jungkook tergesa-gesa. Tangan kanan Lisa naik ke bahu Jungkook, mencengkram erat bahu pria itu untuk menyalurkan banyak sensasi aneh yang menguar saat dicumbu oleh pria itu.

Lisa terbuai, ciuman Jungkook memabukkan sekaligus mematukan. Lisa melupakan semua kegelisahannya, kekesalan dan amarahnya berkat lumatan bibir Jungkook. Perlahan-lahan Lisa mulai terbuka, membalas Jungkook dengan lumatan-lumatan kecil walau tidak bisa mengimbangi.

Pria itu tersenyum disela-sela ciumannya, merasa dapat respon baik tanpa sadar tangan nakalnya melepas satu per satu kancing piyama Lisa, menarik tengkuk gadis itu dan melepaskan ciumannya bertepatan dengan saliva mengalir disudut bibir Lisa.

"Nghh.." Lisa melenguh, mendongakkan lehernya hingga akses Jungkook makin mudah. Merasakan hisapan kuat dilehernya, Lisa menggerang. "Kak Jungkook.."

Jungkook mengerjap dan tersadar. Dengan cepat ia membaui Lisa. Tidak ada bau alkohol dari dalam mulut gadis itu, Jungkook meneguk ludah horor dan bertanya. "Kau meminum sesuatu?"

Lisa menggeleng. "Tidak.." Nafasnya tersenggal-senggal. Matanya berkaca-kaca tapi bukan ingin menangis sebab merasa ternoda, Lisa merasa lega. Sangat lega!

"S-serius?"

Lisa mengangguk lagi.

Jungkook terperangah, bibirnya menganga. Jungkook pikir Lisa salah minum lagi atau sejenisnya. Masih tidak percaya, Jungkook menekan kedua pipi Lisa hingga bibir gadis itu mengerucut. Lisa mengernyit bingung, Jungkook mendekatkan hidungnya dan tak mencium bau alkohol yang menyengat.

Ini gila! Serius!?

"Kau tidak mabuk?" Tanya Jungkook hati-hati.

"Tidak." Jawab Lisa tegas. "Memangnya kapan aku pernah mabuk?"

Jungkook tidak menjelaskan lebih jauh, Jungkook hanya mengulum senyum tipis lalu menepuk ringan puncak kepala Lisa. "Maafkan aku, lupakan ya?" Sorot matanya memelas minta dikasihani.

Lisa menunduk, diam-diam merona dan mengulas senyum lalu mendongak dengan ekspresi yang lebih tertata namun rona merahnya masih ada.

"Aku tidak akan mengatakan apapun Ibu."

Jungkook menoleh cepat. "Sungguh?" Tanyanya tidak percaya, terlebih Lisa kelihatan seperti anak baik-baik yang akan membicarakan segalanya terhadap Hyori.

"Iya. Tidak akan"

Jungkook melebarkan senyum. "Benar ya?"

Lisa mengangguk lagi dan lagi. Jungkook memutar langkah, tak jadi memasuki kamar dan melupakan segalanya. Jungkook mendekat pada Lisa, kedua tangannya bertumpu pada sisi meja yang kosong.

"Aku akan menganggapnya sebagai ketidaksengajaan. Kak Jungkook, tidak sengaja-"

"Maka anggap juga yang ini sebagai ketidaksengajaan." Jungkook mengerling, sejurus kemudian bibirnya maju mencium bibir Lisa.

~~

Lisa mengerjap, pipinya merona disekolah. Lisa menggeleng pelan, menepuk-nepuk pipinya. Lisa menghindari Jungkook dan berangkat awal, pukul lima. Saat gerbang sekolah baru dibuka. Lisa seniat itu.

"Aku berciuman.." Lisa menyentuh bibirnya dengan ujung jari, wajahnya memanas. Ciuman Jungkook jadi terngiang-ngiang, Lisa mendaratkan kepalanya dilipatan siku. "Kakakku menciumku.. apa ini hubungan yang normal?"

"Aku tinggal melupakannya saja, kan?" Liaa terkekeh pelan, perutnya terasa hangat seperti ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan diatasnya. "Tapi bibir Kak Jungkook manis.."

Decakkan Lisa terdengar, betapa kacaunya hati gadis remaja itu. Jungkook memang sialan, dua kali ciuman langsung memabukkan Lisa. Jungkook pasti tidak tau kan? Semua pria memang menyebalkan!

Ponselnya menyala, getar yang ditimbulkan membuat Lisa terganggu dan meraih benda pipih kesayangannya itu. Lisa menatap lesu layar ponselnya, namun saat melihat pop-up yang tertera.. kantuk dan lesu Lisa mendadak sirna, matanya mengerjap sekali lagi membaca ulang tulisan yang tertera.

Kak Jungkook : Kelasmu ada dimana? Ibu khawatir padamu, kau ke sekolah dengan sepatu yang berbeda-beda.

Kak Jungkook : Ibu menyuruhku mengantarkan sepatu kepadamu. Aku harus kemana setelah melewati lapangan?

Sontak Lisa berdiri dan melihat ke bawah untuk memeriksa sepatunya, Lisa meringis mendapati sepatu berlainan jenis dan warna dikakinya. Disebelah kiri, sepatu bertali dengan warna merah sementara disebelah kanan, sepatu kets warna putih bercorak bunga sakura.

"Lisa bodoh!" Lisa merutuk, memukul dahinya sendiri lantas segera berlari mumpung sekolah masih sangat sepi.

Tak ada satupun kecuali Lisa dan Jungkook serta petugas pembersih yang bekerja ditoilet dan halaman belakang sekolah. Lantaran kebodohannya, Lisa yang harusnya menghindari Jungkook justru malah bertemu dengan pria itu. Entah bagaimana nanti Lisa berhadapan dengan Jungkook, Lisa akan gugup terutama karena ciuman semalam.

Ciuman yang dalam dan intens.

Keduanya bertemu dimasing-masing ujung koridor. Langkahnya sama-sama terhenti untuk sesaat. Diujung sana terlihat Jungkook dengan setelan formal andalannya sementara Lisa dengan seragam sekolah dan sepasang sepatu yang tidak sejalan. Sepatu yang memang bukan sepatu sekolah.

Jungkook mengulas senyum, Lisa sangat lucu sampai Jungkook ingin meremasnya kuat hingga hancur. Ups.. bercanda!

"Sepatumu.." Jungkook mengulurkan paperbag hitam pada Lisa.

Sembari menunduk, Lisa menerimanya. "Terimakasih" cicitnya. Mendengar deheman sebagai balasan, Lisa berbalik tanpa melihat Jungkook.

Lisa mengintip isi paperbagnya, Lisa lagi-lagi terperangah dikejutkan oleh sepatu yang menarik hatinya. Sepatu yang seingatnya ada dimajalah dan sekarang sepatu itu ada didalam paperbag yang digenggam oleh Lisa. Itu artinya, Jungkook membelikan sepatu semahal ini? Lisa harus berterimakasih!

Dengan cepat Lisa berbalik arah, berlari menyusul Jungkook yang telah cukup jauh tapi berhasil terkejar. Lisa meraih lengan kiri pria itu hingga berbalik lalu karena tidak terlalu sampai untuk mencium pipi, Lisa mencium telapak tangan Jungkook sebagai bentuk tanda berterimakasih.

Sayangnya, Jungkook salah mengartikan. Pria itu setelah mendapat ciuman lembut ditelapak tangan hingga hatinya menghangat, langsung memegang kedua sisi bahu Lisa dan mendorong gadis itu terpojok didinding. Lisa terkejut, ingin balas mendorong Jungkook tapi tidak bisa. Lisa tidak bisa menolak, apalagi saat pria itu menunduk lalu memberikan ciuman.

Gila! Gila! Gila!

Sialnya, Taeyong yang sedang memegangi kotak sampah kelas melihatnya. Taeyong piket pagi hari ini. Dengan perasaan baik, Taeyong datang ke sekolah pagi-pagi tapi sayangnya hanya kurang dari sepuluh menit, perasaan baiknya hancur. Hati Taeyong terluka, rahangnya mengeras. Pegangan kotak sampah yang dipegangnya retak. Taeyong sakit hati, ternyata Lisa lebih memilih Sugar Daddy.

~•~
 

 

13 : Wrong

"Aku bisa sendiri." Lisa mendengus usai menyahuti seseorang diseberang sana. Lisa baru selesai dari toko buku, tangan kanannya memegang tiga paperbag sekaligus lalu dilengan kanannya terdapat satu paperbag dan terlihat sedang memegang ponsel yang menempel ditelinga.

"Aku bisa meninggalkan segalanya untuk menjemputmu. Kakimu bisa terkilir jika berjalan dari toko ke rumah" Decakkan Jungkook terdengar diseberang sana. Pria itu mulai terlihat posesif.

Lisa terkekeh, wajahnya merona samar. Hatinya menghangat. Selalu saja seperti ini jika berbicara dengan Jungkook. Lisa selalu berdebar. Lalu saat bertemu, Jungkook akan mencium tepat dibibirnya dengan alasan kasih sayang kakak kepada adiknya.

"Aku bisa sendiri, sungguh Kak. Ada taksi yang bisa dipesan online. Kak Jungkook tetaplah dikantor.." Lisa tersenyum kecil, tidak tau sejak kapan ia akrab dengan kakak lelakinya.

Sudah satu minggu berlalu sejak kejadian hari itu. Lisa rasa, Jungkook tidak terpengaruh. Lisa yang satu-satunya terpengaruh disini dan mulai mengartikan segala hal dengan sudut pandang berbeda. Termasuk mengartikan kepedulian Jungkook terhadapnya merupakan bentuk perhatian khusus.

"Baiklah. Setidaknya katakan kau dimana sekarang?"

"Uhm.. aku.." Lisa menghentikan langkah tepat disisi jalan saat lampu penyebrangan mendadak berubah merah. Pandangannya menyebar ke sisi depan, sedikit mendongak ke atas mencari-cari papan nama yang bisa dijadikan patokan keberadaannya.

"Dimana?" Jungkook mengeluh tak sabar, meski sebetulnya selalu tau dimana posisi sang adik berada.

Jungkook tidak seceroboh itu dengan membiarkan Lisa pergi sendirian, Jungkook selalu tau karena memasang penyadap diponsel Lisa. Sehingga apa saja yang ada diponsel itu, dengan siapa Lisa berbalas pesan, bertelepon, histori pencarian internetnya dan semuanya.. termasuk lokasi keberadaan Lisa terpampang dilayar laptop Jungkook.

"Aku ada di.." Lisa masih mendongak, mencari papan nama terkenal tapi belum menemukannya. "Aku dipersimpangan!" Kekehnya.

Jungkook menghela nafas. "Lisa, ada ratusan bahkan ribuan persimpangan jalan di kota ini."

"Iya-iya, maafkan aku!" Lisa tertawa renyah. "Aku akan tanya seseorang-"

"Jangan bicara dengan orang asing!"

Bibir Lisa mengerucut. "Tapi kau memaksaku terus. Aku juga tidak tau ini disebelah mana, huh!"

"Oke. Aku tidak memaksa lagi. Kau langsung pulang setelah ini?"

"Kurasa.." Lisa menggigit bibir, wajahnya merona sempurna. Suara Jungkook terasa seperti menggelitik telinganya padahal kehangatan nafas pria tidak menerpanya secara langsung.

"Jangan main-main!"

Mendengar sentakkan Jungkook, Lisa menciut. Pandangannya mendongak menatap lampu penyebrangan sebentar lagi berganti. Lisa harus menutup panggilan dan menyebrang.

"Lisa, dengar tidak?" Tak sabaran, Jungkook menyahut lagi dari seberang sana.

"Iya, iya! Aku akan-"

Deg!

Manik cokelat terang itu membulat, pandangannya mengabur. Seseorang menahan lehernya dari belakang, sementara tangannya yang lain menekankan sapu tangan mengandung cairan bius pada mulut dan hidung Lisa.

Pelakunya tidak terlihat. Sesaat Lisa menoleh, tapi pandangannya sudah sangat kabur. Matanya berat, kepalanya pusing. Tubuhnya ditarik ke belakang. Ponselnya jatuh, tepat saat satu orang lainnya menarik paksa paperbag digenggaman lemas tangan Lisa.

Tak! 
 

 

"Ada apa?" Suara Jungkook terdengar, ponsel Lisa masih menyala namun layarnya retak parah.

"Lalisa?" Tak ada sahutan, Jungkook memandang ponselnya sendiri dan memanggil nama gadis itu lebih kencang. "Lalisa, kau masih disana?"

Manik obsidiannya jatuh pada layar monitor, koordinat titik biru yang merupakan posisi tempat Lisa belum berpindah. Jungkook terus mengamati, berdetik-detik berlalu setelah panggilan terputus dari pihak Lisa.

Jungkook memperbesar titiknya, kelopaknya berkedip lambat. Titik birunya mati, Jungkook tersentak. Pria itu dengan sigap berdiri, mendorong meja dan kursinya karena terburu-buru. Sebab, tanpa perlu diperingatkan, Jungkook tau.. Lisa dalam bahaya.

"Tuan Han!" Jimin membungkuk, baru ingin masuk tapi yang hendak didatangi justru keluar. "Tuan Han, saya ingin bicara"

"Katakan!" Sergah Jungkook sembari berjalan cepat terburu-buru, mengancingkan jasnya tergesa. Jimin mengekori mencoba sejajar.

"Seseorang tidak diketahui meninggalkan ini pada kepala kantin kantor, sebuah surat." Beritahu Jimin pada sang atasan.

Langkah cepat Jungkook terhenti, kedua tangannya masuk disaku lalu menoleh dengan kernyitan. Disituasi seperti ini, Jungkook harus bertindak tenang. Panik dan tak teratur justru berdampak buruk.

Jungkook menyeringai tipis saat mengambil alih amplop tersebut dari Jimin. Membukanya lalu membaca secarik kertas yang tertera disana. Jungkook mendecih, "Aku sudah menduga ini. Siapapun yang lakukan pasti tidak kuampuni."

"Jimin urus kerjaanku dan simpan surat ini dilaci meja. Jangan coba ikut campur!" titahnya seraya melempar surat tersebut sehingga Jimin sampai nyaris terpeleset saat menangkapnya.

Jimin menatap surat itu lalu tatapannya berpindah pada punggung Jungkook yang menghilang saat berbelok memasuki lift. "Penculikan? Aneh.. Tuan tenang sekali. Hm, jangan-jangan prakter supaya terkenal ya?"

Entahlah, Jimin tak tau. Pria itu berakhir melaksanakan titah tegas Jungkook, mengambil alih pekerjaan pria itu seperti yang dikatakannya tadi. Jimin harap, tumpukkan berkas menjulang dihadapannya segera lenyap. "Kalau begini.. lebih baik aku menjadi pelayan cafe satu hari" keluhnya.

Jungkook memang terlihat tenang. Dari langkah sampai raut wajahnya, tak akan ada yang mengira jika pria itu sedang berada dalam masalah. Ketika sampai dilobi, para pegawai membentuk jejeran penghormatan. Mempersilakan sang Tuan menginjak karpet merah dan keluar memasuki mobilnya yang sudah menunggu.

Kedua tangannya menggenggam erat setir mobil, guratan penuh kecemasan nampak jelas. Ketakutan membawanya pada foto Lisa yang disembunyikan dibalik sisi boneka kelinci disudut dashboard mobil. Jungkook menempel foto Lisa berukuran 3×4 dibaliknya.

"Sampai terluka segores saja, kupastikan para pelakunya mampir dineraka. Lihat saja."

Tatapannya melembut, telunjuknya mengusap sisi rambut foto Lisa dan tersenyum penuh kasih sayang. "Aku akan datang untukmu."

"Padahal baru saja aku mencium bibir manismu tadi pagi. Ini salah, aku tau. Sialnya, aku tak bisa berhenti." Jungkook mendengus lantas terkekeh mengembalikan boneka tersebut ke tempatnya.

Gpsnya menyala, menunjukkan lokasi terakhir koordinat keberadaan Lisa. Ujung sepatunya menginjak pedal gas, kaca mobilnya menutup naik secara otomatis lalu tanpa berlama-lama, benda metalik hitam itu melaju kencang membelah keramaian jalanan.

Seolah tidak ingin jadi korban keganasan mobil Jungkook, para pengendara lain memilih sedikit menepi dan melambatkan laju. Membiarkan mobil mahal pria itu melewatinya dengan kelajuan penuh, menandakan situasi yang dihadapi sangatlah darurat.

Tulisan-tulisan itu berputar dikepala Jungkook, mengisi setiap sudut otaknya. Menekan paksa supaya berpikir keras ditengan ketegangan ini guna dapat menduga siapa pelaku sialan yang sebenarnya. Dengan segenap hati Jungkook telah berjanji, apabila satu goresan ia temui pada tubuh Lisa maka Jungkook akan menggores balas seratus kali lipat.

Hehehe.. panik ya? 
Jangan pengecut dengan datang bersama polisi. Kalau berani, ayo sendirian. Hanya dirimu sendiri, Han Jungkook. 
Dia adikmu, 'kan? Kasihan punya kakak pengecut sepertimu. 
- A secret

 

"Sialan!" Makinya tak terkendali, menginjak pedal gas penuh kemarahan. Jungkook harus sampai dan mencari petunjuk tentang Lisa.

Sepuluh menit kemudian Jungkook baru sampai. Tergesa ia berlari turun dan menuju persimpangan seperti yang terakhir kali Lisa katakan. Disana ramai orang, anehnya mereka seakan tuli dan buta saat melihat pelaku kejahatan melakukan aksi. Jungkook mengeratkan kepalan, kepalanya menunduk menyusuri bagian tepi aspal jalan mencari keberadaan sesuatu.

Ketemu!

Ponsel Lisa tergeletak mati ditepian. Layarnya retak. Jungkook meraihnya, memandanginya lalu memasukkannya ke saku. Tawa ringan meluncur dari bibirnya mengingat ada orang sialan yang menantangnya dengan menculik Lisa-sang adik sekaligus gadis kesukaannya.

"Kau kira aku ceroboh, ya?" Gumamnya mendesis dengan kepala dimiringkan lalu merenggangkan otot bahu sebelum kembali masuk ke dalam mobil.

~~

"Gelap.." Lisa berkata dalam hati, tangannya terikat kuat pada sebuah kursi. Saat mencoba berdiri, Lisa tak mampu dan menyadari apabila kakinya diikat juga lalu mulutnya disumpal ikatan kain.

"Uh, gadis cantiknya sudah bangun" Suara bariton laki-laki muncul entah dari sisi mana. Lisa tak dapat melihat sebab gelap dan seberkas cahaya menyorot tepat pada dirinya saja.

Alarm bahaya dalam tubuhnya menyala. Lisa berontak sekuat tenaga tapi tak mampu. Gelak tawa seseorang diantara kegelapan terdengar, mendirikan seluruh bulu ditubuh Lisa. Rasa dingin menusuk permukaan kulit gadis itu, Lisa mencoba menajamkan telinga guna menerka dari sisi mana dengan seksama.

"Panik?" Pria itu mengejek, langkah sepatunya terdengar berirama mendekat pada Lisa namun figurnya belum juga nampak. "Tenanglah. Ini hanya gertakan kecil. Yang kubutuhkan hanya tanda tangan dan pengakuan dari perusahaan, Kakak tercintamu."

"Mmm!" Lisa bergumam entah apa. Lisa ingin dibebaskan.

Tangan besar terulur, mencengkram dagu kecil Lisa kuat-kuat. Lisa meringis, lalu sumpalan mulutnya ditarik ke bawah. Sosok itu menunjukkan diri, tapi wajahnya tertutup oleh topeng berbentuk monyet. Ledakkan tawa Lisa tidak tertahan, pria itu terlalu menjijikan dan konyol.

"Kau.. kau menculikku dan muncul dengan topeng menjijikkan itu?" Lisa berdesis meremehkan, mendelikkan bola matanya mengejek. "Dasar kekanakan!"

"Mulutmu itu rupanya sialan ya?" Pria itu terkekeh seram, cengkramannya semakin menguat justru ditambah satu lagi dengan mencekik leher Lisa hingga memerah dan gadis itu terbatuk.

"Kakakmu tak akan datang, berhentilah bermimpi. Jangankan kakakmu, bahkan polisi tidak bisa mendeteksi. Setelah mendengar ini, kau yakin masih bisa memandang dengan tampang mengejek begitu?"

Deg!

Lisa memalingkan wajah, selamat pada pria itu karena gertakannya Lisa jadi gemetaran. Bukan waktunya untuk takut, Lisa yakin bisa bebas dari situasi ini. Lisa hanya perlu mengulur waktu. Tiba-tiba hidungnya mengerut saat pria bertopeng monyet itu bicara. "Mulutmu bau sampah, tau!"

"Bau sampah, ya?" Tanya pria itu bermain-main.

"Katanya, topeng yang dipakai mencermikan wajah asli pemakainya lho.." Lisa terkekeh.

Plak!

Tamparan keras melayang dipipi kirinya, memar langsung tercipta. Sudut bibir Lisa robek. Tamparan tangan besar itu sangat kurang ajar. Lisa merasa amat sakit, bahkan seperti tulang pipinya akan hancur jika ditampar berulang oleh tangan yang sama. Namun Lisa harus tetap kuat, Lisa tidak boleh takut dan Lisa pasti bisa mengulur waktu sampai seseorang yang sangat ia percayai datang dan membawanya pergi dari sini.

"Kak Jungkook.." Lisa tersenyum tipis, tatapannya memandang lurus dan kosong. "Tolong cepat, ya?"

Lisa sangat berharap. Bahkan saat membayangkan kemungkinan terburuk tidak bisa keluar hidup-hidup, setidaknya satu wajah terakhir yang ingin dilihatnya sebelum mati adalah wajah Jungkook. Lisa sangat berharap, jika harapan memang masih tersisa untuknya.

Deg!

Jungkook mengerjap. Jantungnya seperti dipukul kejut oleh listrik. Tangan kanannya mendarat didada, berusaha menenangkan diri sendiri dengan mengelusnya dari luar. Merapalkan kata kalau Lisa akan baik-baik saja, Lisa bukan gadis lemah, bodoh, dan cengeng. Lisa itu adalah gadis yang keras kepala terutama saat mabuk.

Lengkungan senyum tercipta, perlahan berubah jadi seringaian kemudian tawa. Jungkook mengotak-atik ponselnya dengan gerakan cepat. Pria itu merasa senang ditengah ketegangan ini lalu menekan opsi hijau mentransfer data pada layar Gps dimobilnya.

"Dikiranya aku belikan sepatu padanya minggu lalu untuk apa, hm?" Tepat saat layar penanda transfer selesai menyala dan Gps dengan penanda warna hijau terlihat, Jungkook menukas penuh semangat. "Ya tentu untuk memasang alat pelacak tambahan agar dimanapun gadis kecilku berada, aku selalu bisa menemukannya!"


~•~
 

 

14 : Fight
 


 

Bruk! 
 


 

Lisa tersungkur jatuh sehabis didorong usai mendapat tinjuan dari pria monyet yang kesal usai dikompori melulu oleh Lisa. Itu bagus, ikatannya terlepas tapi Lisa tidak bisa kabur karena setiap inci tubuhnya serasa mau hancur. Berdiri saja Lisa kesulitan, ketika berhasil mengangkat tubuh dengan mudahnya ia terhuyung dan jatuh lagi ke lantai.
 


 

Kali ini Lisa berbalik, kedua tangannya bertumpu pada lantai. Wajahnya dipenuhi lebam dan beberapa bagian terlihat mengeluarkan darah, ada juga yang sudah mengering. Bahkan saat Lisa meludah, darah dari gusinya yang muncul. Seragam putihnya menjadi agak lusuh, semua karena pria monyet dihadapannya.
 


 

Melihat pria itu mengendurkan ikat pinggang, Lisa menebak jelas lanjutan dari aksi anarkisnya. Lisa harus tenang, sebisa mungkin harus tenang dan membuat pria itu makin kesal sebagai bentuk penguluran waktu.
 


 

"Oh! Apa seluruh jalang dikota ini tak memberikan lubangnya padamu?" Lisa berdesis dengan lengkungan senyum penuh ejekkan. "Kau terlihat menyedihkan karena hendak memakai remaja sepertiku untuk pemuas" 
 


 

"Tutup mulutmu!" Geram si pria. 
 


 

Lisa berpura-pura cemberut. "Tapi, kayaknya daritadi kau yang berisik terus. Tuh!" Sahutnya melempar balik opini. 
 


 

"Diam kau!" Gertaknya.
 


 

Sayangnya Lisa tidak ingin diam, Lisa justru malah terkekeh. "Aku tau sepertinya.." tatapan liciknya menusuk tepat ke netra si pria, Lisa tidak tau siapa orang itu. Yang terpenting, orang itu sangat emosional dalam artian pemarah. 
 


 

Harusnya lebih mudah memanfaatkan orang yang sedang marah. Biasanya mereka tertutupi kabut api membara lalu lupa segalanya, bahkan untuk berpikir dua kali dan melancarkan rencana dijamin akan hancur berantakan. Tawa sumbang Lisa menggema, ruangan ini sepertinya luas tapi kosong sehingga tak memiliki satupun benda untuk menyerap suara.
 


 

"Kau impoten, ya?" Tebak Lisa tergelak.
 


 

Pria itu berhenti melepas ikat pinggangnya. Kedua tangannya mencengkram sisi sabuk kulit itu. Amarahnya menjunjung tinggi, menarik ikat pinggangnya hingga terlepas tapi bukan ingin membuka celana melainkan melilitkannya digenggaman tangan kanan dan menjadikannya sebagai cambuk.
 


 

Bugh!
 


 

Lisa menggigit bibir, cambukkan kasar mendarat dipaha mulus sebelah kiri miliknya. Bekas merah yang terasa panas terlihat jelas disana. Lisa menahan rintihan dengan tersenyum lalu tertawa seakan cambukkan ikat pinggang bukanlah hal yang seberapa, Lisa harus menjadi lebih kuat untuk bisa bertemu lagi dengan Jungkook.
 


 

"Sialan!" Maki sang pria. "Aku berusaha sabar, gadis. Kau menghinaku terus, ya? Ingin bermain?"
 


 

"Hehe.. apa permainan semacam kejar-kejaran seperti anak kecil, malu dong.." Lisa mendecih tipis, mendongak dan menatap lurus pada penculiknya. "Kau sudah tua, lho. Ingat usia.." 
 


 

"Brengsek!" 
 


 

Bugh! 
 


 

Lisa berbalik, menyeret tubuhnya sendiri mencoba menjauh dari sana. Pecutan ikat pinggang terus mendarat dikaki mulusnya, terkadang naik sampai ke pinggang. Lisa tersenyum, bahkan disaat harusnya ia menangis dan kesakitan. Tentu, karena Lisa tau satu hal.
 


 

"Kak Jungkook, sudah datang ya?" 
 


 

~~
 


 

"Disini.." Tatapan tajam itu beralih dari layar ponsel menatap bangunan rumah mewah namun terbengkalai dihadapannya. Jungkook meninggalkan mobilnya didepan gang karena tidak muat masuk. "Ya, benar disini" gumamnya menindaklanjuti.
 


 

Jungkook kesulitan mencari tempat ini. Banyak jalan buntu sehingga harus memutar dan melalui 7 distrik lain. Ketika Jungkook sampai, langitnya mulai menggelap. Waktu berjam-jam Jungkook terbuang sia-sia mencari jalan untuk memasuki kawasan distrik lama yang telah ditutup sejak 5 tahun lalu. Distrik 18 yang terkenal akan kebrutalannya, sebab sebagian besar para pelaku kejahatan berat mengaku berasal dari sini. 
 


 

"Dasar.." decihan Jungkook terdengar begitu jijik usai menjejalkan ponselnya ke saku celana. Jungkook tidak mengira akan terjadi kejadian menyebalkan seperti ini. "Sudah sangat lama aku tidak memukul orang, sekarang berapa banyak yang harus kupukul?"
 


 

Jungkook berkacak pinggang, sesaat sebelum berjalan mendekati pagar berkarat dan mendorong pintunya perlahan hingga terbuka. Bau besi menyengat, sebab itulah Jungkook tidak mendorong dengan tangan melainkan kaki, terlalu kotor jika dipegang langsung. 
 


 

Segerombol pria berbadan besar langsung menghadang dengan tangan kosong. Mereka memutar, mengurung Jungkook ditengah-tengah. Jungkook melirik waspada, menghitung jumlah lawannya. Ada tujuh orang. 
 


 

Tanpa aba-aba, tujuh orang itu menyerang disaat yang sama dari segala sisi. Jungkook melompat sigap, membentuk putaran diudara dan lolos dengan mudah. Surainya turun menutupi dahi, dengan kuda-kuda terpasang, Jungkook menoleh dan tersenyum.
 


 

"Aku ini pemegang sabuk tertinggi dalam beladiri, tau!" Pamernya angkuh. "Menantangku, ya?"
 


 

Para pria itu saling melempar tatap, menyusun gerakan berirama sesuai dengan rencana. Namun gagal saat si calon korban lebih dulu bergerak dengan tendangan melecut, menampar satu per satu pipi kanan musuhnya dengan ujung sepatu lalu mendarat dengan mudah. 
 


 

Jungkook menoleh, kepalan tinjunya siap melayang. "Tujuh lawan satu? Siapa takut. Sini brengsek!" Titahnya.
 


 

Lagi-lagi mereka menyerang secara bersamaan, melawan Jungkook habis-habisan. Beberapa kali pipinya nyaris menjadi samsak tinju, namun karena keahliannya terutama dibidang menghindar, Jungkook selamat dan sukses menumbangkan tiga orang sekaligus. Sialnya, masih ada empat orang lainnya. 
 


 

Sementara itu dari lantai teratas, dua orang membidik sasaran mengarah pada Jungkook. Dua pistol itu siap melepaskan luncuran timah panas pelumpuh paling ampuh. 
 


 

"Jangan ditembak sekarang" Bisik salah satu dari keduanya, memperingati. "Nanti saat dia sibuk, kita lepaskan." 
 


 

Pria disebelahnya mengangguk, mereka sama-sama menggunakan penutup wajah tapi setidaknya lebih agak terkesan seram karena memakai kain penutup wajah berwarna merah muda. Toh, setidaknya mereka tidak pakai topeng monyet. 
 


 

Krak! 
 


 

"Akh!" Seorang pria meringis, pergelangan tangannya diputar hingga berbunyi oleh Jungkook lalu didorong jatuh dan tersungkur.
 


 

"Sisa kau saja?" Jungkook menyeringai, penampilannya lebih berantakan dengan kemeja yang bagian ujungnya keluar dari beberapa kancing jas formalnya putus. 
 


 

Pria itu memundurkan langkah, hampir merasa gentar tapi tak jadi. Dengan persiapan nyali, ia maju berlari lalu berniat menyerang titik vital dibagian leher. Sayangnya, kepalan tinjunya meleset. Jungkook menghindar dengan putaran, lalu disaat yang sama bunyi dua kali tembakan terdengar memekakkan telinga.
 


 

Dor! 
 


 

Dor!
 


 

Lisa tersentak, ia menoleh ke arah kiri tapi lagi-lagi gelap. Lisa merasa cemas, tangannya mengepal gemetaran. Kedua kakinya sudah sangat sakit sekarang, untuk menghindar dengan sekedar menyeret tubuh saja Lisa tak lagi mampu. 
 


 

Pria dibelakangnya tertawa puas. "Kehabisan kata-kata?" Cibirnya mengingat betapa leluasanya Lisa menghinanya terus beberapa saat lalu tapi langsung bungkam saat mendengar suara tembakkan. "Siapapun yang datang pasti sudah mati. Sekedari informasi; Aku menyewa penembak jitu sungguhan."
 


 

Bibir Lisa bergetar sembari mengeratkan kepalan ditangan. Kelopak matanya menurun pelan, bersamaan dengan setetes air mata yang jatuh. Dadanya terasa sesak, seperti ada beban terberat yang menimpa tubuh mungilnya. Telinganya memanas, mendengar cercaan terus dilontarkan sang pria monyet.
 


 

"Mengandalkan seseorang yang tidak bisa diandalkan adalah tindakan paling bodoh yang kuketahui" pria itu tertawa pelan, kakinya menendang pelan pergelangan kaki Lisa.
 


 

"Kasihan" Decaknya. "Aku sampai malu tapi lebih kasihan pada dirimu sih. Sangking kasihannya, aku sampai ingin memelukmu" lalu lengkingan tawanya terdengar." 
 


 

"Si keparat itu, memangnya dia siapa hehe?" 
 


 

Kepalan tangan Lisa semakin mengerat, kuku panjangnya menggores telapak tangan hingga terluka. Kepala yang tadinya terduduk perlahan diangkat, manik sayunya nampak sudah jengah menyaksikan semua ini. 
 


 

"Orang sialan-"
 


 

"Berisik!" Pekik Lisa marah. Entah mendapat tenaga dari mana, perlahan Lisa berdiri meski hampir terjatuh. Kakinya gemetaran, tatapan tajamnya mengarah pada pria berjarak sekitar lima langkah darinya. 
 


 

"Suaramu jelek, telingaku jadi sakit!" Lisa menyentak tanpa rasa takut, sangking nyalangnya tatapan Lisa mungkin bisa membolongi kepala orang dihadapannya. 
 


 

"Kau boleh menghinaku, kau juga menyiksaku. Tapi jika kau berani menyinggung soal kepercayaanku terhadap kakakku.." Lisa meludah, lagi-lagi darah yang keluar dan jatuh dilantai. Sembari mengusap darah yang keluar dari hidungnya, Lisa menguatkan kepalan ditangan kiri.
 


 

Lalu berlari dengan sisa tenaganya, melayangkan kepalan tangan yang mendadak terbuka. "..tidak akan kuampuni!" Sambil memekik, Lisa menancapkan kukunya-menggores leher sang pria. 
 


 

"Keparat! Jalang brengsek!" Pria itu memaki dan terjatuh ke area gelap hingga topengnya terlempar sementara Lisa terduduk menahan sakit disekujur tubuhnya. 
 


 

"Kakakku bukan pengecut sepertimu." Lisa tersenyum yakin. "Apapun yang kau katakan, bagiku hanya omong kosong. Pastikan kau sikat gigi sebelum bicara, baunya sampai ke sini. Menjijikan tau?" 
 


 

~~
 


 

"Hah, tidak mungkin!" Yuta menurunkan pistolnya dan menatap rekannya disebelah, Sion. 
 


 

Sion sama bingungnya, senjata yang ia pegang bukan pistol biasa melainkan di "Dia menghindar?" 
 


 

"Tidak. Dia bukan menghindar," Yuta meneguk ludah. 
 


 

Lelaki bernama Sion itu tertegun, setelah asap putih mengepul lenyap akibat lemparan bom asap dari rekan yang lain. Terlihat Jungkook berdiri memegang bahu salah satu pria yang tadi dilawannya, menjadikan tubuh pria itu sebagai tameng.
 


 

Jungkook tersenyum, wajahnya mendongak dan menatap tajam ke arah dua orang yang berdiri dibalkon paling atas. "Ho? Tak kena ya?" 
 


 

"Sial! Tembak lagi!" Seru Sion geram. 
 


 

Dor! Dor! Dor! 
 


 

Timah panas beruntun meluncur, dengan sigap Jungkook melepas jasnya dan mengayunkannya, menangkis peluru dan menghasilkan lingkaran robek dibeberapa bagian jasnya. Yuta dan Sion sesaat terperangah, untuk sedetik tatapan terkesima dilontarkan keduanya namun tak lama Yuta dan Sion kembali menembak dengan membabi buta sayangnya tak satupun peluru berhasil merobek permukaan kulit Jungkook.
 


 

"M-mustahil!" Sion kehabisan peluru, merogoh saku namun terlalu gugup sehingga menjatuhkan kotak peluru yang dibawanya. 
 


 

Yuta meneguk ludah, dikeningnya penuh dengan keringat dan kerutan bingung. "Jangan bergerak sialan!" Erang Yuta mulai frustasi. 
 


 

"Baiklah. Aku tidak bergerak, nih" Tantang Jungkook tak takut sedikitpun. 
 


 

Yuta menarik pelatuk. Satu tembakan meluncur, Yuta mengarahkan tepat ke kepala Jungkook. Satu tarikan senyum melengkung, namun belum sampai sedetik, senyum yang sama itu sirna saat Jungkook menggerakan kepalanya ke arah kiri. Peluru itu meluncur melewatinya begitu saja.
 


 

Deg! 
 


 

Yuta tertegun. "B-bagaimana bisa semulus itu dia mengelak? Dia bisa melihat kemana pelurunya meluncur?" 
 


 

"Dimana dia?" Sion panik, kedua tangannya bertumpu pada balkon melihat ke bawah tapi tak menemukan Jungkook. 
 


 

"Disini" Bisikan seseorang membuat Sion menoleh, tinjuan keras langsung didapat rahang bawahnya.
 


 

Bugh! 
 


 

"Brengsek!" 
 


 

~•~
 

 

15 : Survive
 


 

Lisa meneguk ludah, nafasnya terengah. Rasanya sangat sakit dan lemas, Lisa ingin pulang tapi teringat harus hidup kalau masih ingin pulang. Telapak tangannya bertumpu pada lantai dan membantu dirinya sendiri untuk berdiri.
 


 

Sementara sang pria memaki entah apa saat mendapati darah mengalir dari bekas cakaran Lisa yang menghasilkan rasa perih. Tentu itu tidak sebanding dengan penyiksaan yang didapat Lisa. Tidak sepenuhnya salah pria itu sih, Lisa juga bersalah dengan mengompori si pria lewat kata-kata. Tapi setidaknya, Lisa tidak jadi diapa-apakan. 
 


 

"Sialan!" Decaknya berlari menjauhi Lisa ketika menyadari ada pesan masuk diponselnya yang mengabari kalau pertahanan Yuta dan Sion runtuh.
 


 

"Lari, ya?" Lisa terkekeh dipenuhi rasa jijik, seringaian muncul dibibir. Padahal untuk berdiri, Lisa tidak sanggup tapi untuk menjatuhkan emosional seseorang-Lisa masih sangat sanggup. 
 


 

"Katanya pria, kenapa lari seperti dikejar polisi?" Lisa mencibir, desisan si pria terdengar diikuti suara besi berat yang ditarik menghasilkan bunyi ngilu luar biasa.
 


 

"Sama sekali tak ada niatku untuk lari, Nona" Pria itu berbicara terdengar gemas, lalu memutar sesuatu dan gas terlihat keluar dari sana.
 


 

"Ini gas karbon, jika kau menghirupnya cepat atau lambat kau akan mati. Tapi aku tidak mempermudah kematianmu, mungkin jika kau mencium ujung sepatuku, akan kuampuni sedikit." Jelasnya menyarankan pada Lisa.
 


 

"Bedebah!" Sentak Lisa disusul decihan skeptis. "Memang kau ayahku? Bahkan jika ayahku yang suruh, aku tak pernah sudi." 
 


 

"Kau sudah memilih, kukunci opsimu." Pria itu memutar gas hingga keluar dengan kencang sementara dibalik topengnya dia mengenakan masker khusus sehingga gasnya tidak akan berpengaruh. "Nikmati menit-menit terakhir kehidupanmu. Gadis manis, he-he" 
 


 

Tidak berhenti disitu, pria itu datang lagi mendekat dengan tongkat baseball dan mengangkatnya tinggi lalu dikayuhkan kuat hingga membentur punggung Lisa. Darah dimuntahkan gadis itu ke lantai, sisanya mengalir dibibir hingga turun ke leher lalu ditendang hingga tersungkur dilantai yang dingin.
 


 

Melihat tak ada pergerakan lagi dari Lisa, pria itu melepaskan topengnya dan berjalan meninggalkan ruangan gelap tersebut. Bantingan pintu menjadi penutup selesainya aksi kurang ajar yang sudah pasti tidak akan pernah diampuni oleh Jungkook. 
 


 

"K-kak Jungkook.." Bibir Lisa bergerak, kelopaknya terbuka lebar meski sayu lantaran terlalu sakit dimana-mana. 
 


 

Teringat gas karbon yang dilepaskan, cepat-cepat Lisa menahan nafas. Sisa tenaga yang ia punya dipakai untuk menggulingkan tubuh menuju pintu, Lisa sempat melihat cahaya saat pria sialan itu keluar sehingga Lisa tau dimana lokasi pintu berada.
 


 

Jangan kira jika Lisa tidak lelah, Lisa rasanya ingin mati tapi lagi-lagi saat kelopaknya tertutup.. Lisa selalu melihat Jungkook dan Hyori. Lisa tidak bisa menyerah dan hilang dari dunia meskipun apabila Lisa mati, dunia tetap akan berjalan. Maka Lisa sudah memutuskan ingin berjalan bersama dunia, Lisa ingin pulang dan memeluk Hyori.
 


 

Telapak tangannya meraba kegelapan dinding, seberkas senyum tersungging saat Lisa menepukan kayu pintu. Perlahan Lisa bangkit, meraba pintu hingga bertemu dengan gagangnya. Satu langkah lagi, Lisa akan pulang dan bertemu dengan Ibu serta Jungkook diluar sana.
 


 

Namun sayang, ekspektasi Lisa hancur. Nyaris Lisa terjatuh dari ketinggian jika tidak berpegang erat pada gagang pintu dan menarik dirinya sendiri. Lisa jatuh terduduk dengan wajah pias, dibawahnya tidak terdapat tangga. Lisa menoleh, tangga turun ada disudut tapi hanya bisa dilewati dengan cara menginjak sisi bangunan yang lebih, dan itu hanya sejengkal sementara untuk duduk saja, Lisa sudah merasa tidak sanggup.
 


 

Pelaku itu boleh tertawa sesuka hati, dia sukses mengurung Lisa dibagian menara tertinggi dirumah, ruangan yang harusnya menjadi loteng usang. Kini Lisa terjebak, tak ada jalan baginya untuk maju. Jika Lisa mencoba, pada akhirnya gagal, jatuh lalu mati.
 


 

"Hiks.. a-yah" Lisa menutup wajah, menangis merupakan jalan untuk melegakan diri sebab menangis belum tentu mengartikan seseorang lemah. "Ayah tolong aku! Hiks.." 
 


 

Sama seperti Lisa, Jungkook juga sedang berusaha. Setelah menumbangkan Yuta dan Sion, keluar banyak orang dari dalam ruangan rumah. Mereka semua memegang bermacam-macan senjata, diantaranya pisau, pistol, botol bir pecah, kawat, bahkan ada yang menggenggam samurai tajam.
 


 

Tapi Jungkook tidak bisa berhenti. Kemeja putihnya sudah lusuh, Jungkook belum terluka tapi energinya menipis sehingga bisa disebut lumayan kewalahan. Jungkook meneguk ludah dikala tenggorokannya merasa kering, dihadapannya Jungkook menghitung ada sekitar lebih dari 20 orang siap membunuhnya.
 


 

"Aku harus tenang. Pertama tumbangkan dulu dipembawa samurai, lalu menendang genggaman orang-orang sialan yang memegang pisau kemudian sisanya-"
 


 

Deg! 
 


 

Perkataan dalam hatinya terhenti, Jungkook tertegun. Tangan kanannya meraba perut sebelah kiri, belati yang dilempar menancap disana. Jungkook bodoh karena lengah, ia merunduk dengan raut menahan sakit ketika menarik benda tajam itu dan menggenggamnya. 
 


 

Tadinya Jungkook pikir bisa bermain tangan kosong tapi rupanya salah satu dari mereka menyerang dengan cara pengecut yang kuno. Wajah Jungkook perlahan terangkat, tidak menunjukkan sedikit saja raut kesakitan. Jungkook malah tersenyum, tepatnya menyeringai kemudian terbahak tawa.
 


 

"Dengan melukaiku, kalian pikir bisa menghambatku?" Jungkook berdecak-decak kasihan, sangking kasihan seperti ingin meremukkan para lawannya menjadi satu kesatuan layaknya adonan gorengan.
 


 

Air muka para pria yang beberapa diantaranya terlihat lebih besar dari Jungkook nampak berubah. Bahkan pria yang melemparkan belati pada Jungkook terlihat gemetaran karena nyatanya, luka tidak melemahkan Jungkook selagi ia masih memiliki tujuan yang harus dicapai.
 


 

--Dan tujuan itu adalah Lisa.
 


 

Mereka mulai terpecah, lima diantaranya yang masih sangat percaya diri menyerang lebih dulu. Para pria dengan pisau tajam yang siap mengoyak daging Jungkook kapan saja. Tidak gentar sedikitpun, Jungkook memasang kuda-kuda sudah siap meladeni mereka.
 


 

Yuta merengkuh Sion, daripada melanjutkan. Tanpa mengatakan apapun, Yuta memapah Sion pergi bersamanya. Yuta meski masih kuat beberapa ronte pertarungan lagi, Yuta tak yakin dengan adik sepupunya yang babak belur. Dan lagipula ada satu hal lagi yang terasa mustahil bagi Yuta.
 


 

"Dia sama sekali tidak terlihat lelah, bahkan saat sudah tertusuk dan terluka." Yuta bergumam bingung sekaligus salut, langkahnya agak pincang karena menahan bobot Sion yang hilang kesadaran. "Gadis itu sangat berharga, sepertinya.."
 


 

Gaya bertarung Jungkook memang perlu diacungi lima jempol sekaligus. Pria itu memakai gerakan yang sama sekali tidak bisa dianalisis, seperti ada perpaduan dari beberapa ilmu beladiri sekaligus, ditambah gerakan seirama dan penuh ketenangan ditengah keadaan genting sekalipun. 
 


 

Lalu satu lagi yang spesial, Jungkook bisa meruntuhkan Yuta dan Sion yang notabenenya merupakan para pria berdarah dingin, paling teratas dalam piramida kejahatan hanya dalam waktu kurang dari 5 menit.
 


 

Bibir tipis Yuta mengulum senyum, "Hebat" lalu menggumam tepat setelah keluar dari rumah itu bersama Sion.
 


 

Bugh! Bugh!
 


 

Bugh!
 


 

"Oi!" Jungkook berseru usai menumbangkan satu pria bertubuh kekar, tatapannya menyorot pada satu orang pria yang tersisa, si pemegang samurai. "Jangan berdiri plonga-plongo begitu!" 
 


 

Pria itu memundurkan langkah, seluruh rekannya tumbang dengan sekali hantam dan langsung hilang kesadaran, ada beberapa yang sukses kembali sadar tapi langsung melarikan diri.
 


 

Tentu saja, Jungkook menakutkan terlebih dengan lumuran darah disebagian bajunya. Penampilan berantakkan persis berandal yang membuat pria itu semakin tampan, sama sekali tidak jelek. Jungkook persis aktor tampan disebuah film thiller, dimana Jungkook meletakkan diri sebagai peran antagonisnya.
 


 

"S-silakan" Dengan gemetar, pria itu berlutut dan meletakkan samurainya dilantai. Tangannya dikatupkan memohon. "Silakan anda masuk saja, saya tidak mampu melawan anda" Ujarnya mengakui.
 


 

Jungkook mengendikkan bahu, berjalan melewatinya. Tapi baru dua langkah, dengan tendangan memutar. Kaki Jungkook mendarat dileher sang pria, memukulnya telak hingga tersungkur kesakitan nyaris pingsan sembari memegangi leher.
 


 

"Sampah!" Decih Jungkook lalu pergi menuju tujuan ia datang kemari.
 


 

Kepalan tangannya mengerat, langkahnya berubah jadi berlari. "Aku datang, Lalisa.." 
 


 

~~
 


 

"S-sedikit lagi.." Jari-jari Lisa mencengkram sisi tepian yang biasa ia gapai, Lisa sampai melepas sepatunya untuk menghindari licin.
 


 

Lisa meneguk ludah, keringat mengalir dipelipisnya. Kemeja sekolah yang melekat dipenuhi noda darah, pijakannya gemetaran. Rasanya seperti berjalan ditengah seutas tali, bisa jatuh kapan saja. Sesekali Lisa sempat kehilangan pegangan, diterpa angin lalu nyaris hilang keseimbangan tapi Lisa bisa bertahan, entah sampai kapan.
 


 

"Harus sampai tangga.." Lisa menutup kelopak mata, air matanya jatuh. Teringat kata-kata mendiang sang ayah, Lisa memberanikan diri modal nekat untuk mencapai tangga diujung sana.
 


 

Sisi jemarinya hanya memegangi bagian genting-genting rumah, kakinya terus berjalan perlahan-lahan menyusuri sisi lebih dari bangunan itu. Lisa menggigit bibir, kakinya menginjak batu kerikil kecil yang terasa tajam. Perih dan sakit sudah tidak Lisa hiraukan, Lisa hanya ingin sampai pada rooftop.
 


 

"Sedikit.. lagi.." Lisa mencoba mengulurkan tangan, berulang kali merapalkan kata yang sama untuk menyemangati diri sendiri. 
 


 

Hampir bisa digapai, Lisa melangkah sedikit lagi. Namun sayang, ketika Lisa menggapai sisi tangga dari besi itu, tangannya yang berkeringat justru membuat Lisa terjebak dalam kesulitan. Seperkian detik Lisa tak dapat menarik diri, Lisa terhuyung. Tangannya refleks memegang pinggiran tangga, sangat sakit dan licin.
 


 

Deg!
 


 

"Aw.." Lisa meringis, tangannya sakit. Beban tubuhnya padahal tidak terlalu berat tetapi dalam kondisi seperti ini pilihannya hanya satu yaitu, jatuh lalu tiada. 
 


 

"Lalisa!" 
 


 

Lisa mendongak, ditengah keputusasaan seseorang mengulurkan tangan, menggenggam lengan Lisa erat, tepat disaat tangan kanan Lisa kehilangan pegangan. Lisa tidak bisa berpikir jernih, melihat Jungkook membuat air mata Lisa mengucur deras.
 


 

"Bertahanlah!" Pinta Jungkook berteriak pada Lisa lalu mengarahkan satu tangannya yang lain bersiap menggapai lengan Lisa.
 


 

"K-kak Jungkook.." Lisa memanggil tanpa suara, hanya gerak bibirnya yang terbaca. Lisa tidak tau harus berterimakasih bagaimana, Lisa sangat bersyukur. Jungkook benar-benar disini.
 


 

"Wah! Penyelamatan yang hebat!" Lengkingan suara dari arah bawah menyita perhatian Jungkook, netranya menangkap sosok dengan jubah hitam berada tak jauh dari rumah itu. "Mengesankan!" Pujinya.
 


 

Lalu menimpali. "Aku sampai jatuh hati, Jungkook!"
 


 

Jungkook mengabaikan, ia fokus menarik Lisa. Tepat saat gadis itu telah berada didalam dekapannya setelah bersusah-payah, pria berjubah dibawah sana bicara lagi. Jungkook jadi tidak bisa mengabaikannya sembari mengerapkan dekapannya pada tubuh mungil Lisa. 
 


 

"Tapi, kira-kira.. yakin bisa keluar dari kobaran api sebuah kebakaran dahsyat?" Tanyanya bernada menantang, lalu mengeluarkan korek api menyala dan melemparnya.
 


 

Mata Jungkook membulat, dengan cepat api merambat. Bau bensin tercium, Jungkook ceroboh lagi. Lalu si pria tertawa, mengibaskan jubahnya dan pergi begitu saja. Jungkook langsung tau, yang barusan itu merupakan dalang yang sebenarnya.
 


 

"Meski aku menangis, semua tidak akan kembali seperti semula" Lisa mencengkram erat kemeja Jungkook, kepalanya berputar-putar sesaat setelah menyadari Jungkook terluka, darah dari lukanya malahan masih merembes. Dipenuhi rasa bersalah, Lisa menyesal. "Seandainya aku tidak menolak permintaan kakak untuk menjemput dan mengantarku, aku ti-dak akan diculik.. lalu kakak, kakak tidak harus terluka-"
 


 

"Sekarang atau nanti, penculikanmu akan tetap terjadi. Mereka hanya menunggu celah" Jungkook menyela, senyum hangatnya menyalurkan ketegaran pada Lisa. "Baik dirimu maupun diriku, tidak ada yang bersalah."
 


 

Masih dengan tatapan yang sama namun sembari merapihkan poni Lisa, menyisirinya dengan sela jari, meredakan sesenggukkan gadis itu. Jungkook berkata, "Menangis memang tidak bisa memutar balik apapun, menyelesaikan masalah, bahkan terkadang malah memperburuk keadaan" 
 


 

Isakan Lisa terhenti, fokus matanya tertuju pada Jungkook. Posisi keduanya berhimpitan dengan Lisa dipangkuan Jungkook, padahal perut pria itu terluka dan rasa sakitnya menjalar sampai ke bagian paha tapi jika demi Lisa, diminta mengambil bulan pun, Jungkook pasti berusaha.
 


 

" ...Tetapi, menangis dapat menenangkan hati sekaligus menjernihkan pikiran sehingga beban yang dimiliki sedikit berkurang dan solusi yang dibutuhkan dalam keadaan apapun pasti muncul saat pikiran telah kembali jernih. Sesekali menangis, tidak apa-apa. Selagi ada aku, semua akan selalu baik-baik saja. Mengerti?" 
 


 

Lisa mengangguk samar, kedua tangannya terulur merangkul leher Jungkook dan memeluknya erat. Jungkook pula melakukan hal yang sama dengan mengencangkan dekapannya, sesekali mengusap punggung Lisa ditengah kekacauan seperti ini, disaat api mulai menyebar dilantai satu.
 


 

"Ingatlah selalu, aku bisa diandalkan. Kau boleh mengandalkanku, Lalisa" Bisik Jungkook meniup telinga Lisa hingga memerah.
 


 

Lalu merogoh sapu tangan dari sakunya dan membersihkan wajah gadis itu. Jungkook sakit hati, Lisa terluka parah. Telapaknya mengelus pipi Lisa. Sorot matanya menunjukkan betapa Jungkook turut merasa hancur, sorot itu menggelap saat Jungkook mendapati bekas cambukkan dikedua kaki Lisa.
 


 

"Apa.." Jungkook menatap Lisa lekat dari dekat, menangkup pipi mungil itu hati-hati seolah benda rapuh yang mudah sirna. "Apa saja yang dilakukannya padamu, beritahu aku. Beritahu semuanya padaku.. kupatahkan seluruh tubuhnya, kukuliti lalu kupanggang hingga tak bisa dikenali itu bangkai manusia atau hewan. Katakan, apa yang mereka lakukan padamu?" 
 


 

Jungkook tak menyadari, ucapannya barusan membuat Lisa takut. Air mata kembali meluncur dari mata indah Lisa, Jungkook mendekap gadisnya dengan tekad pasti mencincang pelakunya. 
 


 

"Jangan menangis, aku disini Lalisa. Jangan menangis, pukul saja aku. Kau boleh melampiaskannya padaku, kau tidak perlu menangisi perbuatan orang sialan itu. Kau mendengarku?" 
 


 

Lisa menatap Jungkook sama lekatnya. Tidak, bukan menatap matanya melainkan turun menatap bibir tipis yang sudutnya terlihat berdarah sedikit dan itu karena menyelamatkan Lisa. Tapi lagi-lagi Jungkook salah paham usai menangkap mata Lisa menatap bibirnya lekat.
 


 

Tangannya mendorong lembut bahu Lisa, kelopak indahnya terpejam lalu mendekatkan wajah dan mendaratkan pangutan tepat diatas bibir ranum Lisa. Melumatnya dengan penuh kehati-hatian, mengeratkan pelukan pada Lisa yang pasrah dan mengikuti alurnya saja dengan menerima ciuman lembut dari kakak laki-lakinya ini.
 


 

---Lalu melupakan perihal nyawa yang tinggal berada diujung tanduk.
 


 

Jungkook memperdalam ciumannya, perlahan meletakkan Lisa dibawah dan memerangkapnya. Mengusap leher berkeringat milik gadis itu lalu bibirnya turun mendaratkan hisapan disana sementara Lisa memalingkan wajah dengan menyumpal bibirnya menggunakan pergelangan tangan, menahan desahan lantaran Jungkook terus menghisap lehernya lalu menjilat. 
 


 

"Kak-"
 


 

"Ssh.." Jungkook menahan bibir Lisa dengan telunjuk sebelum kembali mencumbunya dengan panas, sedikit menggigit tetapi lembut. 
 


 

Mulut Lisa terbuka dengan mudah, Lisa tidak pernah menolak sedikitpun tapi Lisa berusaha memperingatkan kalau mereka tidak didalam mobil atau dirumah. Mereka sedang dirooftop rumah yang bagian isinya mulai terbakar, kobaran api besar terlihat jelas dari cahaya oranye yang tercipta disekitar.
 


 

Tangan Jungkook naik memegang dasi biru Lisa, hendak melepas simpulnya namun tersadar dan mengerjap. Menjauhkan bibirnya dari Lisa, saliva tipis terjalin diantara keduanya. Jungkook menyugar rambutnya sendiri lalu merutuk.
 


 

"Sial! Ayo pergi dari sini!" Ajaknya pada Lisa seraya membantu gadis itu berdiri dan menggendongnya dipunggung.
 


 

"Kita lewat mana, kak?" 
 


 

"Kurasa percuma turun ke dalam, semua sudah terbakar. Kita bisa jadi daging panggang tapi sayang tak mungkin ada yang mau memakannya, jadi kita akan membuat jalan sendiri"
 


 

Lisa mengerutkan dahi. "Jalan sendiri?"
 


 

"Sebentar, turun dulu" titah Jungkook seraya melepaskan Lisa. Untuk keamanan, Jungkook melepaskan kemejanya.
 


 

Pipi Lisa merah padam, melihat punggung telanjang Jungkook. Lisa memalingkan wajah, takut salah melihat. Punggung indah milik pria itu sangat kokoh dan kekar, tercetak dengan sempurna.
 


 

"Sekarang naik lagi, cepat Lalisa!" 
 


 

"A-aku n-naik?" 
 


 

"Ya!" Tegas Jungkook.
 


 

Lisa menggigit bibir, sembari menunduk malu ia naik ke punggung Jungkook lalu pria itu mengikatkan kemejanya pada Lisa dan dirinya. Lisa sedang lemah, bahaya kalau jatuh saat Jungkook sedang turun nanti. Jungkook melihat pipa besi dibelakang bangunan rumah, pipanya kokoh dan tidak berkarat. Dan itulah jalan mereka untuk turun. 
 


 

Lisa memeluk Jungkook erat, memejamkan mata tak ingin melihat hal lain lagi. Lisa mulai merasa kembali nyaman, keringat dari tubuh Jungkook terasa wangi. Aroma khas dari tubuh pria itu dan lagi-lagi Lisa merasa dejavu. 
 


 

"Pegang erat-erat, apapun yang terjadi.. jangan pernah melepaskan peganganmu. Jika tidak kuat, katakan padaku. Kau mendengarnya, Lalisa?" 
 


 

"I-iya kak" sahut Lisa mencicit.
 


 

Jungkook tersenyum tipis, memulai berpegangan pada pipa dan memanjat turun dengan hati-hati. Jungkook belum sepenuhnya merasa lega, tapi setidaknya sekarang jantungnya bisa beristirahat. Lisa sudah berada didalam pelukannya, urusan mengenai pelaku pasti Jungkook tuntaskan segera.
 


 

"Lalisa.." Jungkook membatin, kepalanya dipenuhi Lisa sekarang. Jungkook bahagia tapi juga sedih, Jungkook ingin tertawa tapi juga ingin menangis. Jadi terasa serba salah. "Maaf, berapa kali sudah kuperingatkan.. tapi hatiku tidak mau mengerti. Hatiku menginginkanmu, Lalisa" 
 


 

~•~
 

 

16 : Bond
 


 

Merasa tidak mungkin pulang dalam keadaan sekacau ini, Jungkook menepikan mobilnya didepan sebuah klinik. Kebetulan diseberang jalan terdapat toko pakaian. Hyori bisa terkena serangan jantung kalau tau mengenai kejadian hari ini, Lisa juga sudah paham sehingga tidak bertanya apa-apa saat Jungkook turun dari mobil lalu membukakan pintu untuknya.
 


 

"Aku bisa.." Lisa menolak tangan Jungkook tanpa menatap atau menepisnya secara langsung, Lisa lebih memilih menunduk karena wajahnya mengerikan sekarang. Tidak nyaman untuk dilihat oleh orang lain, bahkan Lisa juga tidak merasa nyaman.
 


 

Jungkook mendengus. "Terakhir kali kau mengatakan hal yang sama, apa yang terjadi?" 
 


 

Ya, Jungkook menang. Lisa terpojok dengan sendirinya dan meraih tangan kosong yang pria itu ulurkan untuk membantu Lisa turun dari mobil. Gadis itu terhuyung pincang, tidak siap menahan bobot tubuhnya sendiri. Jungkook langsung khawatir, menahan bahu Lisa dari belakang.
 


 

"Kau tidak kuat berjalan, akan kugendong sampai ke dalam. Ya?" 
 


 

"Terimakasih" Lirih Lisa nyaris terdengar tanpa suara. 
 


 

Jungkook tersenyum dan menepuk lembut kepala Lisa, menaikkan gadis itu ke gendongannya lalu melangkah cepat memasuki klinik. Jungkook sangat marah saat ini, ingin ia ke kantor dan membakar seluruh gedung yang tidak ada sangkut-pautnya sebagai pelampiasan tapi Jungkook tidak bisa. Lisa berada dalam posisi lebih menyakitkan daripada dirinya, bahkan Lisa tidak menangis lagi meski terlihat masih murung. 
 


 

"Selamat datang!" Begitu pintu dibuka, Irene menyapa dengan ramah. Klinik itu merupakan klinik miliknya secara pribadi dan memperkerjakan dua orang lainnya, Jia dan Yerim. 
 


 

Gadis berambut pendek seumuran dengan Lisa langsung sigap mempersilakan Jungkook masuk membawa Lisa ke ruang pemeriksaan. Kali ini, Jungkook tidak menunggu disudut ruangan. Jungkook memberikan privasi bagi dokter untuk memeriksa pasien, sebagai gantinya, Jungkook pergi keluar membeli pakaian baru dan makanan untuk Lisa. 
 


 

Irene memakai jas dokternya, ditemani gadis bernama Jia sebagai asisten di shift malam. Irene tersenyum pada Lisa, dengan telaten menggunakan kapas dan alkohol, Irene dibantu Jia mulai membersihkan luka-luka dibagian kening, tangan, lengan, dan kaki Lisa. 
 


 

"Tahan sedikit ya, akan kuteteskan obat merah. Beruntung tak ada luka dalam sehingga tidak perlu ada jahitan. Tapi, kau akan sakit sedikit" Jia menjelaskan pada Lisa, Lisa menarik sudut bibirnya sebagai persetujuan lalu mengepalkan tangan erat saat rasa perih mengalir disetiap luka yang dioleskan obat merah.
 


 

"Akhir-akhir ini memang sering terjadi tindak kejahatan, kau harus berhati-hati" Irene berujar memecah keheningan supaya Lisa tidak tegang saat ia mencabut kerikil yang tertancap ditelapak kaki Lisa. "Orang-orang jahat semakin banyak, padahal mereka berpendidikkan. Apa negara ini semakin buruk?" 
 


 

Jia menyahuti. "Kurasa itu tergantung pemikiran masing-masing orang kak, benarkan?" Tanyanya pada Lisa yang dibalas mengerutkan dahi saja. 
 


 

"Oh! Siapa namamu?" Jia mengalihkan topik, Irene mencabut kerikil dengan kuat. Lisa memekik ringan, terkejut. Jia terkekeh, "Sakit ya?" 
 


 

Lisa menggeleng pelan. "Namaku Lisa" jawabnya atas pertanyaan yang Jia lontarkan. 
 


 

"Nama yang indah. Aku punya sesuatu untukmu!" Jia berkata lalu setelah menempelkan plester menutup luka didahi Lisa, Jia beralih pada meja disudut ruangan, menarik laci dan mengeluarkan pernak-pernik dari sana.
 


 

"Nah, selesai!" Irene berseru, selesai membalut telapak kaki Lisa dengan perban lalu menatap lebam yang dan goresan dikaki hingga ke paha Lisa. "Agak lebam ya, supaya tidak bengkak dan mengurangi rasa sakit, kuresepkan salep yang kubuat nanti" 
 


 

"T-terimakasih" Lisa tersenyum sebisanya, sudut bibirnya terangkat. 
 


 

Lalu Jia muncul dengan rangkaian kalung ditangannya, ditengah-tengahnya ada huruf bertuliskan nama "LISA" sementara pernak-perniknya, Jia memakai mutiara berukuran kecil. 
 


 

"Astaga anak ini" Irene menggeleng tak habis pikir. "Mentang-mentang kakakmu selalu bawa oleh-oleh mutiara, masih saja kau pakai untuk bermain-main. Dasar Jia"
 


 

Jia terkekeh. "Kak, jarang sekali ada pasien seumuran denganku. Lagipula biasanya hanya kuberikan pada pasien anak-anak saja, lagi pula biar saja sebagai oleh-oleh. Salahkan kakakku yang memberikan perhiasan terus, aku sampai bosan dan mengguntingnya hingga tercerai-berai untuk dimodifikasi ke kalung lain" 
 


 

"Ya, aku tau. Tapi desainya agak norak" Komentar Irene lalu menatap Lisa. "Masa gadis ini harus jadi korban gara-gara dirimu?" 
 


 

Jia menghela nafas, berniat menyimpan kembali kalungnya. "Baiklah, kubuat lagi yang baru-"
 


 

"Eh! Tidak usah!" Lisa menyela cepat, mendudukkan dirinya diranjang. "Aku suka sekali, itu indah dan tidak mencolok" 
 


 

Jia bersungut. "Kak Irene iri ya?"
 


 

Irene melotot kesal, membalas lagi karena tak mau kalah. "Enak saja! Sudah ah, aku harus meracik salep sekarang." Pamitnya lalu pergi dari ruangan itu. 
 


 

Jia duduk di tepi ranjang Lisa. "Kau kelas akhir, kan?" Tebaknya, Lisa mengangguk seraya sibuk memerhatikan rangkaian kalung buatan Jia digenggamannya. 
 


 

"Ini indah" Puji Lisa takjub, "Mutiaranya sangat indah" tambahnya.
 


 

"Tentu. Namaku Seajie Kim, terbiasa dipanggil Jia." Jia tersenyum, melipat tangannya didepan dada merasa bangga pada pemasok mutiara tersebut. "Dari kakakku, setiap dia bekerja.. pasti membawa pulang oleh-oleh. Padahal aku ingin yang sederhana, tidak perhiasan atau permata. Tapi aku mengerti, kakakku sibuk sekali" 
 


 

"Dia pasti sangat menyayangimu" Lisa menyahut, dibalas anggukkan cepat oleh Jia.
 


 

"Omong-omong.. pria yang menggendongmu terlihat tangguh, dia sangat sayang padamu, aku melihat kecemasan diwajahnya. Tadi, aku juga melihat dia pergi ke toko pakaian didepan. Aku tidak tau kalian terlibat tragedi apa, yang aku tau.. kekasihmu keren sekali!" Tukas Jia berapi-api sampai mengacungkan dua jari jempolnya pada Lisa.
 


 

Lisa meneguk ludah, pipinya merona. Ada perkataan Jia yang harus Lisa luruskan. Jungkook bukan kekasihnya, tapi untuk meralat perkataan Jia, lidah Lisa terasa kelu seakan punya pikiran sendiri dalam artian menolak keras apabila Lisa meralat kata kekasih.
 


 

"Dia juga tampan dan setia. Berapa lama kalian berpacaran?" Tanya Jia ingin tau, Lisa menunduk. Wajah Lisa semakin merah, malu.
 


 

"Se-sebenarnya-"
 


 

"Yak! Jia, pergi ambilkan tagihan. Kenapa kau menganggu pasien kita? Dasar remaja nakal, sana cepat!" 
 


 

Jia merengut bersungut tapi perkataan Irene ada benarnya. Jia melemparkan senyum pada Lisa, lalu keluar.
 


 

Irene memberikan bungkusan pada Lisa. "Salepnya bisa langsung dioleskan, mau kubantu?" 
 


 

"Aku saja!" Jungkook menyela, datang dengan cucuran keringat karena berlari hanya untuk menyebrang jalan. Memasang senyum terbaiknya, Jungkook mendekati Irene dan memberikan bungkusan paperbag. "Mungkin kau bisa membantunya berpakaian" 
 


 

"Ah, tentu" Jawab Irene lugas.
 


 

Lisa menatap Jungkook, pria itu terlihat kesakitan dibagian perut. Pakaian Jungkook sudah berbeda, pria itu memakai baju baru tapi masih dengan setelan formalnya; kemeja dan celana bahan. 
 


 

Lisa tau Jungkook pintar menyembunyikan raut wajah, tetapi bukan berarti Lisa tidak tau kalau Jungkook pasti merasa sakit akibat luka tikaman.
 


 

"Anu.. lukamu.."
 


 

"Oh, nantu kuobati dirumah. Aku sudah membungkusnya, jangan khawatir."
 


 

Wajah Lisa mengerut khawatir. "Tapi-"
 


 

"Ganti bajumu, Lalisa!" Desis Jungkook membuang pandangan dari Lisa.
 


 

Lisa tidak melawan lagi, dibantu dengan Irene. Lisa berjalan dipapah masuk ke sebuah ruangan. Jungkook yang menyaksikan hal itu melalui ekor mata mulai tersenyum hangat. Lalu tangan kanannya menyentuh luka diperut yang ia dapat, Jungkook terkekeh pelan.
 


 

"Padahal tadi tidak terasa sakit, ternyata rasa sakitnya lebih dari itu" Ujarnya berbicara pada diri sendiri, mungkin akan dapat beberapa jahitan setelah ini. Tak masalah selama yang menangani bukan dokter perempuan. 
 


 

"Hanya satu orang yang boleh menyentuhku.." Lirihnya bergumam.
 


 

Mendapat sakunya bergetar menandakan ponselnya berbunyi, Jungkook merogoh benda pipih itu. Panggilan masuk dari Serin tertera dilayar. Jungkook mengangkatnya, mendekatkan benda itu ke telinga. Suara khawatir Serin menjadi pembuka obrolan keduanya.
 


 

"Aku tidak bisa menghubungimu seharian. Aku khawatir!" 
 


 

"Semuanya baik." tutur Jungkook tak berniat menjelaskan lebih lanjut kejadian hari ini, Jungkook akan menyimpannya sebagai salah satu kenangan bersama Lisa. "Kau sendiri.. bagaimana kabarmu hari ini?" 
 


 

"Aku sangat cemas Jungkook!" Serin terdengar agak memekik, "Nanti malam aku bersama Ibu akan datang ke rumahmu, mengenai tanggal pertunangan. Dan juga, soal cincin"
 


 

Hela nafas Jungkook terdengar, kepalanya menoleh pada pintu ruangan yang Lisa masuki. Pintunya masih tertutup. "Aku harus menghadiri rapat penting malam ini. Tunda lusa saja ya?" 
 


 

"Ngg.. lusa?"
 


 

"Ah, bagaimana kalau hari minggu? Datang dipagi hari. Akan kukosongkan schedule dihari itu" Tawar Jungkook semakin mengulur waktu jadi lima hari dari sekarang. "Percayalah, aku juga ingin secepatnya tapi.." Desahan berat Jungkook terdengar.
 


 

"Ya! Kapanpun kau bisa, aku beritahu ibuku dulu ya? Pokoknya kau harus istirahat dan jaga kesehatan. Hubungi aku kalau terjadi sesuatu ya?" 
 


 

"Hm. Kututup" Pamit Jungkook memberi salam lalu mematikan ponselnya sekaligus dengan panggilan itu. Bertepatan dengan itu, Lisa keluar bersama Irene.
 


 

Balutan floral dress yang Jungkook pilih sangat cocok saat melekat ditubuh Lisa. Kulit bersih gadis itu nampaknya cocok dengan segala hal, sialnya gara-gara orang keparat itu, Lisa jadi dipenuhi luka-luka. Jungkook mengepalkan tangan lagi, tidak akan pernah Jungkook ampuni. 
 


 

"Kak, ada yang mau cabut gigi" Jia menyembulkan kepala, Irene menoleh cepat.
 


 

Kebetulan sekali, Jungkook jadi memiliki waktu berduaan dengan Lisa sebentar saat Irene dan Jia ada diruangan lain membujuk seorang anak agar gigi rusaknya mau dicabut. 
 


 

"Duduk disini" Jungkook menepuk sisi ranjang, Lisa menurut dan duduk diatas sana dengan kaki menjuntai ke bawah sementara Jungkook berjongkok dan membuka tutup salep.
 


 

"Jadi, ayo.." 
 


 

"A-ayo?" Kening Lisa sontak bergelombang tak menangkap maksud perkataan Jungkook.
 


 

Jungkook menghela nafas ringan, Lisa membuatnya gemas, sangat gemas sampai ingin meremas-lupakan. 
 


 

"Buka kakimu." 
 


 

Deg!
 


 

Lisa tertegun, lagi-lagi Lisa merasa dejavu. Seakan sebelum-sebelumnya, ada banyak yang sudah ia lakukan tapi tidak mengingatnya satupun. Dejavu Lisa terlalu sering belakangan ini, Lisa mengerjap dan menegaskan kalau Jungkook bermaksud baik. Jungkook ingin membantunya dengan mengoleskan salep.
 


 

Dengan canggung sambil membuka kaki, Lisa menyahut. "I-iya" 
 


 

Jungkook berdehem, telunjuknya mencolek salep lalu mulai mengusapkannya pada lembat dan goresan kemerahan dikaki Lisa. Lisa menggigit bibir, tangannya terkepal bertumpu sedikit dibelakang tubuh. Rasa perihnya tidak terasa, sensasi dingin yang menyejukkan muncul. Irene pandai membuat salep. 
 


 

Tangan Jungkook yang licin berkat salep semakin naik, menyentuh lutut Lisa. Sehingga tanpa sadar tubuh Lisa semakin melengkung ke belakang dan apabila dilihat seseorang dari belakang, Jungkook terlihat sedang melakukan hal yang iya-iya pada Lisa.
 


 

"Aah!" Lisa panik dan segera menutup mulut, kalau Lisa meringis, itu hanya akan membebani Jungkook.
 


 

Namun lain halnya dengan Jungkook, wajahnya semakin menunduk dengan teling memerah. Jungkook berusaha tidak memikirkan roti lapis, buah peach atau sejenisnya. Jungkook merasa tertekan, ia menyudahi dengan berdiri. Bahaya kalau sesuatu diantara kaki sampai terbangun, akan tercetak jelas dicelana bahannya.
 


 

"Sudah." Ungkapnya dengan tangan kanan terulur pada Lisa. "Ayo pulang" 
 


 

Lisa tersenyum saat membalas uluran tangan Jungkook. "Iya!" 
 


 

~~
 


 

"Ibuuu!" Lisa melepas genggaman tangannya dari Jungkook, berlari dengan langkah tertatih menghampiri Hyori yang sedang menata piring.
 


 

Kecemasan wanita itu langsung sirna ketika mendapati anaknya sudah pulang. Hyori meletakkan piring terakhir dan tersenyum, turut menghampiri. 
 


 

Poni Lisa yang terbuka saat ia berlari membuat plester didahinya terlihat jelas, ada tiga plester sekaligus lalu ditangannya juga banyak, bahkan lengan atas kirinya digulung perban. Kesakitan Lisa seolah sirna saat melihat orang yang paling ia sayang, kekhawatiran Lisa tidak akan bisa pulang seketika runtuh. Lisa tidak sabar memeluk Hyori, terlebih saat melihat mata ibunya berkaca-kaca dan berlari ke arahnya.
 


 

Tidak! Bukan ke arahnya. Saat Lisa hampir sampai, Hyori juga hampir sampai. Lisa berhenti tapi Hyori melewatinya begitu saja seakan tidak mempedulikan kehadiran Lisa dengan tubuh penuh plester. Hyori berhenti dihadapan Jungkook, memeriksa tubuh putranya itu.
 


 

"Kau kemana saja? Ibu khawatir!" 
 


 

Jungkook mengusap lembut pipi Hyori. "Semua baik-baik saja Bu, akh!" Jungkook meringis, Hyori tanpa sengaja menyenggol pinggangnya hingga getarannya terkena bagian perut yang terluka.
 


 

"Apa ini?" Hyori memekik, menarik kemeja Jungkook dan mengangkatnya. Betapa terkejutnya Hyori mendapati perban berdarah dibalik baju itu. "Kau terluka, Jungkook!"
 


 

"Ibu, aku baik-"
 


 

"Bibi Cheon!" Hyori berteriak kencang dan panik. "Bibi Cheon! Cepat kemari!" Ulangnya disusul seorang wanita parubaya berlarian dari arah belakang.
 


 

"Ya, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?" 
 


 

"Hubungi dokter, sekarang juga!" Titah Hyori dianggap berlebihan oleh Jungkook.
 


 

"Ibu, jangan cemas-" Lagi-lagi belum selesai bicara, Jungkook disela dengan cepat.
 


 

"Jungkook diam!" Hyori menunjuk wajah putranya, kemarahan sekaligus cemas serta rasa takut tercermin dari sorot matanya. "Ibu antar beristirahat dikamar sambil menunggu dokternya datang. Ini perintah!" 
 


 

Sementara itu Lisa masih berdiri ditempatnya tanpa menoleh meski ingin tau apa yang terjadi dibelakang sana. Lisa mengangkat tangannya sejajar dengan perut, membuka telapak tangannya dan tersenyum tipis menatap plester kecil berwarna-warni yang Irene tempelkan disana.
 


 

Lisa terkekeh pelan, matanya nampak sedikit memerah terbawa suasana dan karena terluka, Lisa jadi lebih mudah emosional. "Aku diabaikan, ya?" 
 


 

~•~
 

 

17 : Stop
 


 

Kening Lisa berkerut, telunjuknya menekan-nekan tombol mesin minuman otomatis dihadapannya tapi tak ada respon, satu minuman pun tidak Lisa dapatkan. Lupakan soal minuman, Lisa ingin menarik uangnya kembali.
 


 

"Ck! Uangku tertelan!" Lisa menghentakkan kaki marah, melihat ke kiri dan kanan tapi tak ada seseorang disekitarnya. Lisa berdecak, berulang kali menekan tombol yang sama.
 


 

Semua karena Jungkook memintanya untuk menunggu disini sementara sendirinya, pria itu pergi menemui Serin didalam cafe yang ada di mall. Lisa terlalu malas untuk berada ditengah-tengah mereka berdua, Lisa memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar. Toh, luka-lukanya sudah sembuh, beberapa bagian memang masih ada yang terasa sakit. 
 


 

"Mesin sialan! Kembalikan uangku!" 
 


 

Percuma, tak ada gunanya berteriak dan memencet beragam tombol. Minuman tidak dapat, uang juga tidak kembali. Lisa jadi menyesal, jika saja tadi ia mampir ke kedai minuman, pasti uangnya bisa berguna.
 


 

Lisa melipat tangan didepan dada, mendengus sebal. Lisa tidak pergi, ia masih berdiri didepan mesin dan berdecak-decak hingga Jungkook yang sejak tadi berkeliling mencari-cari keberadaan Lisa segera mendekat ketika menemukan gadis itu.
 


 

"Kau disini?" Tanyanya terlihat mencemaskan tak temukan Lisa didalam, Lisa melirik seolah bertanya balik "menurutmu?"
 


 

Jungkook mengulum senyum. "Aku kerepotan mencarimu" 
 


 

"Ya tidak usah dicari!" Lisa memalingkan wajah, memutar tubuhnya sehingga memunggungi Jungkook. "Lanjutkan saja makan siangmu!"
 


 

"Aku tidak makan" Celetuk Jungkook dengan suara merdunya, lalu menatap Lisa dari samping. Siapapun yang melihat pasti tau, tatapan itu sangat lekat dan mendamba. 
 


 

"Tidak peduli" Sahut Lisa sok acuh. 
 


 

Jungkook terkekeh pelan, menepuk-nepuk lembut mesin minuman dihadapannya. "Uangmu tertelan ya? Kau masukan berapa?" 
 


 

Sambil mendengus, Lisa menjawab. "Sepuluh ribu won" 
 


 

"Pfft.. k-kau masukan uang kertas?" Jungkook menahan tawa sampai harus memegangi perutnya, "Apa kau tau mesin ini hanya untuk uang koin? Astaga, Lalisa!" Lalu tawa bahaknya tidak tertahan.
 


 

"Ck! Jangan meledekku!" Decak Lisa merajuk, memundurkan langkah menjauhi Jungkook tapi tangannya ditarik oleh pria itu.
 


 

"Jangan pergi dulu, perhatikan sekitar"
 


 

"Hah?" Beo Lisa bingung.
 


 

Jungkook menoleh, wajahnya terlalu dekat. Lisa menegang sesaat, guratan merah menebal dipipinya. Lisa memundurkan kepala dan berpaling ke arah lain tanpa mengatakan apapun, yang Lisa dengar hanya bisikan dari Jungkook.
 


 

"Bersiaplah, Lalisa.." 
 


 

"B-bersiap?" 
 


 

Brak!
 


 

Lisa melotot, mengerjap dua kali lalu refleks menoleh ke segala arah. Lalu mengerjap lagi saat menatap Jungkook bersiap melayangkan tendangan kedua. Lisa hendak berteriak dan melarang tapi terlambat, kaki Jungkook mendarat tepat pada mesinnya. Semua tombol mesin minuman itu menyala eror, lalu seluruh minuman kaleng berjatuhan keluar.
 


 

"Ada apa?" Jungkook menegur Lisa seraya mengutip banyak minuman kaleng ditangannya kemudian dimasukan ke dalam paperbag yang Lisa bawa.
 


 

"H-hei.." Lisa tercengang, gerakan tangan Jungkook cepat sekali. 
 


 

Lalu saat tangkupan tangan kirinya sudah penuh, tangan kanannya meraih pergelangan tangan Lisa kemudian mengajak gadis itu berlari sebelum petugas keamanan mall datang untuk mengecek mesin minuman.
 


 

Demi Tuhan, Jungkook gila! Setelah cukup jauh, pria itu baru menghentikan langkah. Wajah hingga leher putih mulusnya memerah, Jungkook kelelahan. Lisa mengatur nafas yang mengap-mengap, mengipasi wajah berkeringatnya dengan tangan. 
 


 

"Kakak!" Lisa memelototi Jungkook sembari berkacak pinggang sementara yang menjadi pelaku justru terlihat santai sambil membuka salah satu kaleng soda. Lisa menyentak lagi, "Kak Jungkook!" 
 


 

Nyaris tersedak, Jungkook menyudahi aksi minum sodanya dan menatap Lisa dengan satu alis terangkat. "Apa?" 
 


 

"Aish! Kak, seseorang bisa melihat aksi bodohmu tadi!" Sungut Lisa marah-marah.
 


 

"Soda pisang, mau coba?" 
 


 

Diabaikan, Lisa menghentakkan kaki. "Kak, dengarkan aku-"
 


 

"Minum ini!" Titahnya sembari menyodorkan kaleng soda pada bibir Lisa, meminumkan soda pisangnya pada gadis itu hingga terminum, seolah tidak mempermasalahkan ciuman tidak langsung yang tercipta.
 


 

"Minumannya tak mengandung alkohol, lezat bukan?" Jungkook tersenyum usai menarik kembali kaleng soda dari hadapan Lisa, lalu ibu jarinya mengusap sisa soda yang melekat disana. 
 


 

"Oh! Disini ada lagi" lalu menjatuhkan botol soda dipegangannya, beralih memegang bahu Lisa kemudian merunduk, meraih bibir ranum gadis itu, mencecapnya lembut.
 


 

Mata Lisa terpejam rapat, paperbag digenggamannya ikut jatuh saat tubuhnya terasa mendadak lemas. Kedua tangannya mencari pegangan dengan meremas sisi bagian bawah kemeja Jungkook, merasakan kelembutan bibir pria itu saat melumat bibirnya penuh kehangatan dan basah.
 


 

Kaki kanannya maju selangkah, tubuh Lisa melengkung ke belakang, dengan sigap Jungkook merengkuh pinggang mungil Lisa. Membuat kedua tubuh itu saling berhimpitan, bersinggungan dan menempel. 
 


 

Kepala Lisa mendongak, membalas lembut tiap ciuman Jungkook. Lisa kelabakan, mendadak Jungkook memasukkan lidahnya. Lisa berjengit, masih belum terbiasa ingin melepaskan diri namun Jungkook selalu menahan tengkuk Lisa, membantu gadis itu agar terbiasa dengan decapan-decapan basah manja yang Jungkook berikan.
 


 

"Engh.." 
 


 

Lenguhan manis Lisa membuncah gairah Jungkook, entah berapa banyak orang yang memalingkan wajah saat melihat keduanya sibuk beradu bibir karena malu, Jungkook tidak peduli. Pria Han itu terlalu mabuk akan kelezatan bibir ranum milik Lisa, saat tangan gadis itu memukul pelan dadanya, barulah Jungkook melepaskan diri. Menjilat sisa saliva yang menetes disudut bibir Lisa.
 


 

"Kau selalu memberikanku celah, kalau setiap hari selalu begini.. aku jadi tidak bisa mengendalikan diri. Kau sengaja, ya?" Perkataan Jungkook membuat Lisa tertegun, maniknya bergetar saat menatap pria itu, ada rasa takut menyelimuti hatinya. 
 


 

"Apa maksud--"
 


 

"Kau tidak perlu bertanya sebab aku juga tidak perlu menjawab apapun." Nada suara Jungkook mendadak berubah, sorot kehangatan dari matanya menghilang. Jungkook dipenuhi kebimbangan, ia mengambil paperbag Lisa yang terjatuh dan dikembalikan ke tangan gadis itu.
 


 

Lisa murung karena tidak mengerti apa maksud perkataan Jungkook yang begitu ambigu. Lisa hanya bisa terus menatap pria yang sedang mengetik sesuatu dilayar ponselnya. Raut wajahnya merumit, Lisa menunduk sedih. 
 


 

"Pulanglah, kupesankan taksi" Ucapnya menunjukkan ponsel pada Lisa. "Sebentar lagi taksinya sampai, tunggulah disini" 
 


 

Mengumpulkan keberanian, meremas jemari tangannya sendiri. Lisa membuka suara dan bertanya kikuk. "K-kenapa aku tidak diantar?" 
 


 

"Serin masih menunggu didalam, aku sudah terlalu lama menunda. Kondisiku sudah pulih, kondisimu juga sama. Kau bisa menjaga dirimu sendiri, pastikan saja berada dikeramaian lalu berteriak saat ada gerak-gerik mencurigakan dari seseorang" Tutur Jungkook panjang lebar tanpa menatap Lisa sedikitpun.
 


 

Mendengar nama Serin disebutkan, Lisa tidak bisa berkomentar atau bertanya lebih jauh. Jungkook tidak sepenuhnya salah, Jungkook punya tanggung jawab besar terhadap persiapan pertunangan yang tertunda karena Lisa merupakan salah satu penyebabnya.
 


 

Tahu diri, Lisa membalas dengan anggukkan dan senyum seadanya yang bisa ia lengkungkan sekarang. Ada yang tidak bisa dijabarkan, dijelaskanpun sulit. Apa merasa tersisih dan diasingkan merupakan kondisi normal? Lisa merasakannya saat nama Serin disebut, pertanyaannya; apakah Lisa normal?
 


 

Derap suara langkah Lisa mulai menjauh, Jungkook yang sejak tadi menatap ke arah hamparan bunga baru menoleh melihat punggung kecil Lisa semakin menjauh. Jungkook tersenyum kecut, ia berbohong pada Lisa. Serin sudah pulang sejak tadi, malahan Jungkook dengan kata-kata manis tetapi mendesak Serin agar pulang dengan alibi beristirahat supaya tak lelah saat hari pertunangan tiba. 
 


 

Sulit memang. Jungkook sudah dewasa, bukan anak kecil. Bahkan anak kecil mungkin lebih tau soal perasaannya sendiri. Jungkook menggelengkan kepala, terus-menerus berusaha membatasi diri. Jungkook berbalik dan pergi, tak langsung pulang dan memilih mampir ditoko buku.
 


 

Tak ada niat untuk membeli satupun buku, namun setelah berjalan dan berkeliling melewati jejeran rak besar, ada sebuah buku bercover warna ungu sangat menarik perhatian Jungkook. Memeriksa kondisi sekitar mirip pencuri saja, setelah aman, Jungkook meraih buku itu dan mengerutkan kening saat membaca tulisan dihadapannya.
 


 

"First Night With Sister," Gumamnya membaca judul. Kebetulan bukunya tidak tersegel oleh plastik, sudah terbuka. Dengan gesit Jungkook lompat ke beberapa halaman terakhir, langsung ke ending cerita.
 


 

Seksama, Jungkook menggumamkan apa yang ia baca tanpa sadar. Fokus matanya tertuju dengan beberapa kalimat sebelum kata END tercetak jelas dibawahnya. 
 


 

"Dari sekian banyak malam bergairah bersama beragam wanita yang kuanggap merupakan cinta, ternyata aku salah. Selama ini, cinta ada didekatku, berada serumah denganku. Cintaku adalah adikku, adik tiriku yang kini resmi menjadi istriku" 
 


 

Deg! 
 


 

Terkejut, Jungkook menutup buku dan segera meletakkannya ditempat semula. Rasa canggung tak jelas mendadak menyergapnya, Jungkook memukul pelan dahinya sendiri. "Buang jauh-jauh otak bodohmu, Jungkook. Lisa adalah adikmu, Lisa adikmu yang lahir dari ibu." 
 


 

"..karena Lisa keluar dari ruangan itu, Lisa lahir dari ibu. Lisa bukan adik tiri. Kisah cinta kakak laki-laki dan adik tiri hanya fiksi, tidak nyata. Kalau pun ada, itu jarang sekali. Jaga batasanmu, jangan mulai lagi Han Jungkook!" Jengah, Jungkook membenturkam kepalanya di rak, tidak kencang dan tidak sakit. 
 


 

"Lisa... lahir dari ibu, 'kan?" Pertanyaan itu Jungkook lontarkan pada diri sendiri, sorot matanya berubah-ubah sama seperti kebimbangan dihatinya mengenai Lisa.
 


 

Jungkook yakin, ini bukan obsesi. Jungkook memang lumayan posesif, karena Jungkook ingin menjaga dan merawat Lisa. Memastikan gadis itu aman adalah tugasnya, tapi lama-kelamaan Jungkook mulai melanggar batasannya sendiri. 
 


 

Semua berawal dari malam itu, jika saja ia tak pernah meladeni Lisa yang mabuk, tidak mencium bibirnya hingga berakhir kecanduan dan tidak menyantap roti lapisnya juga, mungkin kebuasan dalam dirinya masih bisa terkendali. Sayangnya, tali yang mengikat kebuasan itu perlahan memutus. Jungkook harus bagaimana? 
 


 

~~
 


 

Ingatan Jungkook terbawa kembali ke masalalu saat ayahnya masih ada. 
 


 

"Ayah!" 
 


 

Pria itu tersenyum, kerutan diwajahnya terlihat seiring usianya bertambah padahal belum memasuki kepala lima. Usianya masih muda, rahasia. Pria itu terkekeh pelan, berjongkok dan mengusap lembut puncak kepalanya.
 


 

"Adikmu akan lahir" Ucapnya.
 


 

"A-adikku?" Jungkook membelalak, "I-ibu dimana ayah?" Tentu saja Jungkook bingung, ia dijemput dari sekolah oleh pamannya dan diajak ke rumah sakit. 
 


 

"Iya, adikmu! Dia akan lahir ke dunia!" 
 


 

Lalu langkah kecilnya berlari, mencoba melihat ke dinding yang terbuat dari kaca. Disana ibunya dikelingi para perawat dan dokter wanita sibuk berkomat-kamit, entah mengatakan apa. Tidak terdengar dan tidak kelihatan jelas. Ibunya terlihat kesakitan, Jungkook cemas dan menoleh pada sang ayah.
 


 

"Tak apa, Ibu sedang berjuang untuk adikmu. Jadi, karena itu kau harus sangat sayang pada adik dan ibumu. Ya?" 
 


 

Jungkook mengangguk patuh. Sang ayah memberi acungan jempol. "Good boy!" Pujinya.
 


 

"Sekarang pergilah ke kantin rumah sakit, makan siang dulu dengan paman chan baru kembali ke sini lagi."
 


 

Dengan polosnya Jungkook mengangguk. "Iya, ayah!" 
 


 

~•~
 


 

"Silakan diminum" Hyori tersenyum manis, menyajikan minuman dan beberapa camilan dimeja untuk hidangan kepada tamunya sore ini. 
 


 

"Anda tidak perlu serepot ini, Nyonya Han" Balas pria itu merasa sungkan.
 


 

Hyori melebarkan senyumnya lagi, mendudukkan diri diatas sofa. "Sama sekali tidak merepotkan, kau sudah datang jauh-jauh nak. Masa dibiarkan kehausan, lebih baik minum dulu" 
 


 

Pria itu terkekeh dan membalas. "Saya tidak apa-apa, sungguh. Jauh atau dekat terasa sama. Jika anda yang meminta, saya akan segera kembali" 
 


 

"Dia pulang sebentar lagi, maaf membuat Nak Taehyung menunggu. Tidak apakan?" 
 


 

Pria itu, Taehyung Kim, mengangguk dengan senyum karismatiknya. "Tidak apa-apa, saya akan menunggu dengan senang hati" 
 


 

Hyori terenyuh, dari tutur kata saja sudah dapat dinilai betapa sempurnanya sosok Taehyung Kim yang ia pilih. Hyori tidak akan pernah salah, Taehyung Kim sempurna, sama seperti Min Serin yang ia pilih untuk calon pendamping hidup Jungkook.
 


 

"Kau bisa bicara informal terhadapku, Nak" Ujar Hyori. "Aku akan menjadi ibumu jika waktunya tiba nanti, tidak buru-buru kok" 
 


 

Taehyung mengangguk seraya mengambil secangkir teh yang disajikan, meniupnya perlahan lalu menyesapnya nikmat baru menjawab. "Terimakasih telah memberikan kesempatan itu padaku, aku berjanji dihadapanmu; akan menjaga putrimu sebaik-baiknya..." 
 


 

"..Dan tidak ada seorangpun yang boleh menyentuh, apalagi mengambilnya dariku sebab dengan kedua tanganku ini.." Taehyung menyeringai kecil, ekor matanya melirik pada seseorang yang berdiri diambang pintu kemudian melanjutkan. "..akan kugenggam erat, apapun yang telah menjadi milikku." 
 


 

Deg! 
 


 

"Apa maksud orang sinting itu? Kenapa dia melirikku?" Jungkook menatap skeptis, banyak pertanyaan menyeruak dikepalanya saat mendapati sang ibu berbincang akrab dengan orang asing. "Dan kata-katanya tadi tujukan untuk siapa? Apa yang aku lewatkan, ada apa sebenarnya disini?" 
 


 

"Oh! Jungkook-ah! Kau sudah pulang, Nak?" Hyori beradu pandang dengan Jungkook, senyum hangat seorang ibu kepada anaknya tercipta jelas. 
 


 

Belum sempat Jungkook menjawab, Hyori kembali berkata. "Kemarilah, duduk disamping Ibu. Perkenalkan, ini Taehyung Kim, calon suami adikmu" 
 


 

Deg! 
 


 

~•~
 

 

18 : Limit
 


 

"Ibu bilang tidak akan buru-buru, tapi.. apa ini?" Tidak ada keramahan dalam cara bicara Jungkook, sorot mata gelapnya menunjukkan betapa tidak sukanya ia terhadap kedatangan tamu dadakan ini. 
 


 

Hyori mengangguk, benar jika ia tak ingin buru-buru. Tapi Jungkook sebentar lagi memiliki tanggung jawab atas Serin,supaya tidak merepotkan Jungkook, Hyori berpikir untuk mempercepat semuanya dengan memperkenalkan Taehyung kepada Lisa.
 


 

"Duduk dulu dan dengarkan Ibu, Jungkook" Hyori membujuk supaya keras kepala Jungkook hancur, tatapan lembut yang hangat itu membuat Jungkook tak punya pilihan dan mendaratkam bokong disofa, tepat disisi Hyori.
 


 

"Sudah ibu pertimbangkan, Taehyung yang paling cocok untuk Lisa. Lihat, dia sangat muda dan sopan. Usianya 21 tahun tetapi dia sudah sangat sukses" Jelas Hyori membanggakan calon menantu laki-lakinya.
 


 

Jungkook melirik Taehyung sebentar lalu memindahkan tatapannya ke arah lain, tidak ingin melihat wajah Taehyung lagi. "Itu akan menganggu fokus Lisa terhadap sekolah, Ujian akhirnya terhitung beberapa bulan lagi. Ibu tau seperti apa Lisa, 'kan?" 
 


 

Hyori menyentuh tangan Jungkook, mengelusnya lembut. "Ibu tau, Ibu ingin yang terbaik. Kau juga akan segera bertunangan lalu menikah, akan lebih baik kalau Lisa bisa terbiasa mulai sekarang. Kau harus mengurus Serin, tidak bisa mengurus Lisa terus." 
 


 

Mendengar perkataan panjang Hyori, Jungkook tertegun. Hyori benar, Jungkook memiliki tanggung jawab atas Serin meski belum ada cincin yang melingkar dijari manisnya. Jungkook bungkam seribu bahasa, tak dapat membalas dengan apapun hingga Taehyung dengan kebijaksanaan dan wajah sok tampan itu menyahuti.
 


 

"Yang ibu katakan benar, Lisa akan menjadi tanggung-jawabku. Ibu hanya ingin meringankan tanggung-jawabmu, kau harus mengurus banyak hal bersama Serin, yakan?" 
 


 

Jungkook menyembunyikan decakkannya, kata-kata Taehyung barusan bukanlah pertanyaan melainkan sebuah rancu peringatan yang memiliki makna terselubung. Apabila kalimat itu disederhanakan, kira-kira akan terdengar begini; "Uruslah Serin, jangan sok ikut campur mengurusi Lisa juga." 
 


 

Jungkook memaksakan senyum terbit dibibirnya dan membalas. "Kau benar, aku harus mengurus Serin. Tapi sebagai kakaknya Lisa, aku punya kewajiban lebih banyak untuk mengurusnya dibandingkan dengan kau." 
 


 

Taehyung tertangkap sedikit menyeringai, ia tak tertarik pada pernikahan atau pada Lisa, tapi karena mendengar nama Han Jungkook turut disebut-sebut, apa salahnya Taehyung mengiyakan agar bisa berinteraksi langsung dengan Jungkook dan mencari kelemahan pria itu, tepatnya.. kelemahan perusahaan Han Group yang Jungkook kelola, perusahaan yang selalu berada ditangga teratas dari perusahaan lainnya, bahkan KT Group harus terima diposisi kedua. 
 


 

"Apa karena dia tampan?" Taehyung menebak-nebak dalam hatu sembari menganalisis wajah Jungkook, selama ini ia hanya melihatnya dimajalah saham. "Tidak, aku lebih tampan." Ralatnya.
 


 

"Begini saja," Hyori menghancurkan dinding lamunan Jungkook dan Taehyung secara bersamaan. Pria yang sama-sama dewasa itu sontak menatap fokus padanya. "Lisa akan memilih, apakah dia ingin menjalin hubungan atau ingin menundanya sampai waktu yang tepat. Bagaimana?" 
 


 

Jungkook merenung sesaat, sialnya malah sakit kepala karena tidak bisa membayangkan Lisa disentuh-sentuh oleh orang lain. Bahkan saat tangan Lisa bersinggungan dengan sopir taksi kala membayar ongkos, ingin sekali Jungkook lempar sang sopir taksi ke kawah gunung berapi aktif paling berbahaya didunia. 
 


 

Dan sekarang, Lisa dijodohkan dengan pria bernama Taehyung? Yang dibalik ekspresi datarnya terdapat banyak ekspresi mengejek yang disembunyikan. Ini tidak bisa! 
 


 

Lisa akan menikah, Jungkook tidak melarangnya hanya saja.. jangan dengan Taehyung, Lisa harus menikah dengan-
 


 

"Ada apa ini?" Kemunculan Lisa ditengah-tengah mereka langsung mencuri perhatian, Taehyung menoleh, Jungkook tersentak, dan Hyori memberondong Lisa dengan pelukan hangat.
 


 

"Ibu?" Lisa kebingungan usai Hyori melepakan pelukan sepihaknya, Lisa menatap pria asing berwajah tampan yang duduk berhadapan dengan Jungkook. Atmosfer ditengah mereka berdua terlihat beku dan kaku.
 


 

Hyori menangkup pipi Lisa, mengelusnya lembut. "Ibu mengundang calon suamimu, yang disana.." sambil mengarahkan telunjuknya menunjuk tepat pada Taehyung, "Namanya Taehyung Kim"
 


 

Deg!
 


 

Dengan kasar Lisa menepis tangan Hyori dari pipinya, tatapan nyalang segera menusuk Hyori. "Aku tidak mau menikah, Bu!" Lisa berteriak marah, berbalik dan pergi berlari keluar lagi dari rumah.
 


 

Sesuai dugaan, melihat reaksi penolakan keras dari Lisa, lengkungan senyum samar terlihat dibibir Jungkook. Setidaknya, Lisa sudah menolak. Jungkook lega sekarang. Lisa tidak akan menikah dengan cecunguk bernama Taehyung. Lantas merasa tidak ada kepentingan lagi, Jungkook berdiri dan beranjak mau pergi. Sialnya, kata-kata Hyori membuat Jungkook mendadak beku ditempat.
 


 

"Maaf ya, Nak Taehyung. Lisa mungkin kelelahan, gadis itu butuh beberapa hari. Jika jawaban dari Lisa sudah tersedia, akan kuberitahukan padamu. Remaja biasanya selalu labil, anggaplah Lisa begitu" 
 


 

"Maksud ibu?" Jungkook bertanya seolah tak tau kemana arah pemikiran Hyori, sementara Taehyung mengangguk-angguk setuju saja.
 


 

Hyori menjelaskan, "Cepat atau lambat.. Lisa akan menyetujuinya, Ibu yakin itu." 
 


 

Deg! 
 


 

"K-kenapa.." Jungkook tertunduk lesu, tangannya mengepal kuat. Jungkook tidak berdaya, Hyori adalah ibunya. Jungkook tidak diperbolehkan membantah, Jungkook sangat menyayangi dan menghormati Hyori. "Bukankah ini keterlaluan, Bu?" 
 


 

"Tentu tidak, Lisa akan setuju nanti. Sekarang Lisa menolak karena belum bisa berpikir jernih, jika Lisa sejutu maka tidak ada paksaan kan?" Sahut Hyori tanpa memikirkan ada perasaan seseorang yang baru ia hancurkan.
 


 

Tidak, Jungkook tidak bisa membalas lagi. Pria itu melengos pergi menuju pintu yang terbuka, melihat gelagat tidak enak dari sang anak. Hyori berseru, "Kau mau kemana lagi Jungkook?" 
 


 

Langkah Jungkook terhenti, ia berdiam diri tepat didepan pintu. Sayangnya Jungkook terlalu kalu, dengan singkat dan dingin ia balas menyahut. "Pekerjaan." Lalu pergi.
 


 

Hati Jungkook berkecamuk, dadanya sakit dan jantungnya sesak. Menelpon Jimin lalu minta ditemani minum disebuah bar, Jungkook masih belum bisa menghilangkan beban pikiran yang semakin menumpuk dan terasa ingin membelah kepalanya. Jimin yang duduk disisinya tidak minum sama sekali, Jimin takut mabuk lalu digiring ke kamar oleh salah satu dari sekian banyak jalang yang datang ke sini. 
 


 

"Tuan, anda terlalu banyak minum." Jimin memperingatkan serta menepuk pelan bahu Jungkook. "Anda bisa mabuk," 
 


 

Meletakkan botol ditangannya, Jungkook berdecak menepis jauh tangan Jimin dari bahunya. "Biar saja, aku tidak peduli!" 
 


 

Bau alkohol menyeruak dari dalam mulutnya, dari manik sayunya, Jimin langsung tau kalau Jungkook sudah terlanjur mabuk. Jimin menahan botol yang Jungkook pegang saat hendak meminum isinya lagi. 
 


 

"Sudah cukup, Tuan. Sebaiknya kita pulang saja" Ucap Jimin seraya bersiap berdiri dan memegang kedua bahu Jungkook, memaksa atasannya itu ikut berdiri bersama. 
 


 

"Cih! Sialan!" Makinya pada Jimin yang malang dan tidak bersalah.
 


 

"Kita pulang!" Tegas Jimin, menyeret Jungkook keluar sebab itu pula yang menjadi permintaan Jungkook diawal tadi.
 


 

Jungkook bilang, kalau ia mabuk, seret saja pulang. Maka Jimin lakukan sesuai perintah, menyeret Jungkook sekuat tenaga untuk dibawa masuk ke mobil. Berhubung hari juga sudah semakin malam, Jimin bergegas naik ke kursi kemudi dan melajukan buggati kesayangan miliknya menembus jalanan malam yang sepi.
 


 

Jungkook tertawa keras, membenturkan kepalanya pada jendela mobil. Jimin kewalahan menahannya sembari menyetir, Jimin tak habis pikir kenapa Jungkook segila ini. Jimin tidak dekat dengan Jungkook selain perkara atasan dan bawahan, tapi dimata Jimin, Jungkook merupakan sosok bijaksana.. hampir mustahil Jungkook frustasi sampai mabuk begini.
 


 

"Kau pikir kau siapa ha.." Jungkook mulai meracau, menggepalkan tangan siap meninju siapa saja. Perasaannya berkecamuk, beradu menjadi satu dengan kepalanya yang terasa pening.
 


 

Ketika melihat tangan kosongnya, Jungkook bisa merasakan tangan kecil Lisa masih disana, sebelumnya ada digenggaman tapi sayangnya sebentar lagi.. Jungkook tidak akan bisa mengenggamnya, menyentuh saja tidak mungkin. Oh, tidak sampai menyentuh.. lebih buruknya saat Jungkook tak bisa melihat Lisa, ada batasan transparan yang menahannya untuk mencapai Lisa.
 


 

"KAU KIRA KAU SIAPA, HAH?" teriakan keras itu mengejutkan Jimin sampai mendadak menginjak pedal rem dan kepalanya terbentur setir mobil.
 


 

Jimin mengadu sakit lalu menatap Jungkook yang duduk dengan tenang dan pasrah, Jimin khawatir dan bertanya. "Tuan Han, ada apa sebenarnya? Anda terlihat buruk" 
 


 

"Begitu?" Jungkook terkekeh, bau alkohol menyeruak kental. "Aku buruk sekali ya? Ya, memang! Aku memang buruk!" 
 


 

"Tidak!" Jimin meralat, "Bukan seperti itu. Tuan tidak buruk sama sekali" takut pekerjaannya melayang bebas begitu saja. 
 


 

Jungkook meraih kerah Jimin, meremasnya kuat-kuat dan menarik pria itu ke arahnya hingga merasa tercekik. Dengan suara seraknya, Jungkook berkata. "Kau tidak mengerti! Kau tidak akan mengerti!" 
 


 

"B-baiklah, saya tidak mengerti. Saya diam saja" Ujar Jimin cari aman. 
 


 

Cengkraman dikerah Jimin perlahan melonggar, mata Jungkook memerah. Amarah yang berkobar disorot matanya mendadak lenyap, berganti dengan kesedihan yang amat dalam hingga genangan cairan bening itu nampak jelas. Mata Jungkook berkaca-kaca, Lisa akan diambil paksa darinya.
 


 

"Panggil dia.."
 


 

"Ah?" 
 


 

"Panggil dia, Jim.." 
 


 

"Siapa? Siapa yang harus saya panggil?" Jimin bertanya bingung, digenggamannya terdapat ponsel Jungkook. 
 


 

Jungkook mendesahkan nafas beratnya, bersandar pada bantalan kursi mobil dan mulai meneteskan air mata penuh kekacauan. "Panggilkan dia.." pintanya lagi.
 


 

"Dia? Dia yang mana? Ada banyak sekali kontak nomor anda, yang mana yang harus saya panggil?" Tanya Jimin lagi seraya menggulirkan ibu jarinya pada layar ponsel ditangannya.
 


 

"Dia.." Jungkook bergumam, "..Lalisa" 
 


 

~~
 


 

"Ibu mengundang calon suamimu, yang disana.. namanya Taehyung Kim."
 


 

Dulu, dengan mudahnya Lisa menolak seorang Lee Taeyong dengan alasan tidak bisa berpacaran karena pada akhirnya Sang ibu akan menjodohkannya dengan seseorang yang baik. Dengan mudahnya Lisa mematahkan hati Taeyong seolah menganggap pernyataan cinta pemuda itu hanya sampah daur ulang belaka.
 


 

Tetapi sekarang, ketika hari dimana Hyori menunjukkan calon suaminya sudah datang, ketika kedua matanya menangkap sosok tegap seorang pria dengan senyum karismatiknya, Lisa tidak sanggup. Seluruh tubuhnya gemetar hebat, menolak kuat-kuat.
 


 

Lisa menatap kedua tangannya, bahkan jemarinya masih gemetaran. Lisa ketakutan, Lisa tidak ingin dijodohkan dengan pria itu. Ada yang mengganjal dihati Lisa, ganjalan yang tidak bisa dijelaskan apa itu.
 


 

"M-mungkin karena aku tidak menyukainya?" Lisa menggigit bibir, menyerang diri sendiri dengan pertanyaan sangatlah sulit. Lisa tak yakin punya jawaban atas pertanyaannya sendiri, "Tidak.. aku tidak keberatan diawal, aku malah berbangga diri mengatakannya pada Taeyong" 
 


 

"L-lalu.. apa aku sedang menyukai seseorang?" Lisa menggeleng, mengelaknya. "Tidak, aku tidak menyukai siapapun.." namun tatapannya menatap lekat kedua tangannya lalu menyorot minuman kaleng ia ia susun rapih bertingkat diatas nakas.
 


 

Minuman itu dari Jungkook tadi siang. Lisa teringat akan kebersamaannya dengan pria itu, kelembutan jemarinya dan bibir tipisnya yang senang dominan saat beradu. Tidak! Lisa mengerjap, ada yang salah dengan kepalanya. Tapi memikirkan wajah Jungkook lebih membuat hati Lisa tenang, beban pikirannya berkurang.
 


 

"Kak Jungkook.." Lisa berdecak, mengacak pelan rambutnya. "Kalau aku tanya pada kak Jungkook, apa dia mau membantuku? Aku tidak ingin menikah. Kalaupun menikah aku ingin menikah dengan--
 


 

Drrtt.. drrtt..
 


 

Monolognya terhenti. Panggilan masuk dari seseorang yang baru saja Lisa bicarakan. Dengan senang hati Lisa meraih ponselnya, tanpa sadar mulai tersenyum saat menggeser simbol hijau ke atas lalu panggilan terhubung.
 


 

"Ya, halo kak--" ucapan Lisa dipotong seseorang diseberang sana, bukan suara Jungkook.
 


 

"Ini Lisa?" 
 


 

"Aku Lisa. Tapi, siapa kau? Kenapa memakai ponsel kakakku?" Lisa bertanya cepat, senyumnya memudar perlahan begitu mendengar penjelasan dari Jimin diseberang sana.
 


 

"Tuan Jungkook mabuk berat, mungkin sebentar lagi kehilangan kesadaran tapi dia menolak kuantar pulang. Dia minta supaya aku memanggilmu, bisakah kau ke sini?" 
 


 

"K-kemana?" Lisa melompat dari kasur, merampas tasnya dimeja dan memasukkan kakinya ke sandal yang nampak dimatanya. "Aku harus pergi kemana? Beritahu aku!" Ulangnya dengan nada naik satu oktaf, berlarian menuju pintu dan memutar anak kunci.
 


 

"Kukirim lewat pesan." Sahut Jimin menukas cepat saat mematikan panggilan lalu pesan masuk tertera dilayar ponsel Lisa.
 


 

"Tunggu dulu!" Lisa menghentikan dirinya sendiri, otomatis langkahnya juga terhenti. "Kak Jungkook sudah punya calon istri, kenapa aku harus peduli? Aku tinggal hubungi Serin dan beritahu alamatnya, kan?" 
 


 

"Ya, benar juga.." Lisa tersenyum getir, menyalakan layar ponselnya lalu mencari nomor Serin yang dikirim sang ibu waktu itu. Namun saat Lisa baru hendak mengirim pesan pada kontak Serin, perkataan Jimin terngiang.
 


 

"Hai, Lisa!" 
 


 

Deg!
 


 

Lisa menoleh horor, yang baru ia pikirkan muncul dihadapannya. Panjang umur sekali ada Serin dirumah ini. Wanita berambut panjang sepinggang dengan mini dress ketat berwarna merah dan sepatu hak senada itu mendekati Lisa dengan senyum ramah. Penampilan dan sikapnya sangat kontras memang, berbeda jauh. 
 


 

"Ban mobilku bocor didekat sini jadi selagi menunggu diperbaiki, aku mampir" Ucap Serin berbasa-basi, sontak Lisa membalik ponselnya dan menatap datar ke arah Serin.
 


 

"Silakan sana, lebih baik kau menginap. Sudah malam, Kak Jungkook juga tidak ada untuk mengantarmu ke rumah" Balas Lisa tanpa nada, intonasinya datar dan monoton.
 


 

Serin terkekeh manis. "Kau bisa membaca pikiran ya? Ibu memintaku menginap, kalian berdua memang baik. Bisa tunjukkan dimana kamarnya? Aku tersesat" 
 


 

Lisa menggeleng. "Tidak bisa, aku buru-buru" tolaknya. 
 


 

"Kau mau kemana malam-malam begini?" 
 


 

"Aku mau menemui Kak J-ennie" Lisa memelesetkan nama, tidak jadi ingin menyebut nama Jungkook, mendadak Lisa berubah pikiran dan egois untuk tidak memberitahu apa-apa.
 


 

"Baiklah, jaga dirimu. Berhati-hati di-"
 


 

"Aku tidak perlu kekhawatiran darimu." Lisa menyela ucapan Serin, seperkian detik tatapan tidak bersahabat itu ditangkap oleh Serin. Lisa mengerjap dan melembutkan gaya bicara, "Maaf.. aku sangat buru-buru, keperluan mendesak." Lalu pergi.
 


 

Setelah beberapa meter melewati Serin, Lisa melambatkan langkah. Membaca alamat yang Jimin kirim padanya, Lisa melirik ke samping. "Tidak! Serin tidak perlu tau! Yang kak Jungkook minta untuk datang itu aku, bukan Serin." 
 


 

"Lho? Mau kemana, Nak?" Hyori menahan bahu Lisa dari belakang, menghentikan Lisa yang baru mau menuruni anak tangga teratas.
 


 

Untung Lisa sigap membalik layar ponselnya yang masih menyala, Lisa tersenyum tipis. "Aku ingin ke rumah Sua, rumahnya didekat sini" ujar Lisa berbohong.
 


 

Hyori mengerutkan alis, "Semalam ini?" 
 


 

"Bukuku terbawa oleh Sua, besok Sua tidak sekolah karena urusan keluarga. Aku lupa dan baru ingat sekarang." Katanya tanpa menatap Hyori dan bergegas menuruni anak tangga.
 


 

"Tidak bisa diambil besok pagi saja?" 
 


 

Mendengar pertanyaan Hyori, kaki Lisa berhenti melangkah. Kepalanya menoleh lagi ke belakang dengan raut wajah sungut. "Tidak bisa." Lalu mengubah jalannya jadi setengah berlari untuk menghindari pertanyaan.
 


 

Lisa berbohong lagi, kali ini alasan berbohongnya bukan untuk menghindari Jungkook. Lisa berbohong untuk menemui Jungkook karena Lisa ingin bertemu pria itu, sangat ingin.
 


 

~•~
 

 

19 : 너를 좋아해요
 


 

"Terimakasih banyak," Lisa membungkukkan badan saat Jimin berpamitan harus segera pergi karena istrinya sudah menunggu dirumah sejak tadi. Melihat rambut Jimin yang berantakan seperti habis dijambakki, Lisa makin membungkuk. "Sekali lagi terimakasih telah menemaninya sampai saya datang"
 


 

"Ah-ya!" Jimin menyahut cepat, ia sibuk mengeluarkan ponsel dari tasnya untuk memesan taksi. Biarlah mobilnya dipakai Jungkook, pekerjaan dengan gaji mencapai 85 juta won perbulan lebih penting baginya.
 


 

Selepas kepergian Jimin bersama taksi pesanannya, Lisa mengetuk-ngetuk kaca mobil. Namun tidak ada sahutan, Lisa mengelap kaca dengan telapak tangan lalu mengintip tapi rupanya kaca mobil itu tidak tembus pandang dari luar. 
 


 

"Aku masuk?" Lisa bertanya pada dirinya sendiri, takut membuat kesalahan yang tidak Jungkook sukai. Lisa takut lancang namun tak kunjung dapat sahutan, Lisa tidak bisa terus berdiri diluar dengan tenang. 
 


 

Sekali lagi Lisa mengetuk sebelum menarik pintu dan membukanya, Lisa menyembulkan kepalanya ke dalam, tubuhnya masih ada diluar. Lisa butuh izin privasi dari Jungkook, siapa tau pria yang diceritakan sedang mabuk berat itu mendadak berubah sikap dan menjadi sensitif. 
 


 

"Itulah sebabnya aku tidak pernah mau lagi menyentuh alkohol setelah malam itu, benar-benar ya.." Lisa bergumam pelan sekali sampai-sampai ia sendiri yang mengerti ucapannya.
 


 

Lalu menyunggingkan senyum pada Jungkook yang sedang melihat ke arah luar jendela, belum sadar apabila seseorang yang ia panggil sudah datang dan sedang dimakan perlahan oleh kegugupan.
 


 

"Anu.. kak Jungkook.." Lisa memanggil merdu, suaranya mengalahkan penyanyi sopran terkenal. Suara Lisa sangat indah sampai-sampai hanya sekali panggil, si pemilik nama langsung menoleh.
 


 

"Kau?" Jungkook tersenyum manis, membenarkan posisi duduknya sedikit kesulitan lalu menepuk pahanya. "Kemari, masuk dan duduk disini" 
 


 

Dengan wajah linglung Lisa menunjuk dirinya sendiri, anggukkan sekaligus senyum dari Jungkook memberi jawaban kalau Lisa memang diminta duduk diatas kedua paha pria itu, diatas pangkuannya. 
 


 

Jantung siapa yang tidak akan berdebar? Mungkin kalau Serin yang berada diposisi Lisa, jantungnya sudah copot tergeletak dilambung. Berbekal nyali menciut, perlahan Lisa membuka pintu mobil lebih lebar tanpa menolak permintaan Jungkook. Lisa menaikkan kakinya dan masuk ke mobil dengan hati-hati, suasananya mendadak canggung begini bagi Lisa.
 


 

"Cepat ke sini, Lalisa.." Suara serak itu berujar lagi, sangat seksi dengan jakun yang naik lalu turun lalu naik dan turun lagi. 
 


 

Lisa bingung harus menatap ke mana, kalau ke atas, dada bidang Jungkook terlihat, kalau ke bawah.. pikiran Lisa melayang ke hari dimana ia melihat Jungkook telanjang termasuk sesuatu menakutkan yang menggantung diantara kedua kaki pria itu.
 


 

Fokus Lisa! Jangan biarkan pikiranmu berkeliaran dan mengacaukan segalanya! 
 


 

"Aku ingin bicara.." Kata Jungkook sudah mulai tak sabaran menunggu Lisa yang terlalu lama dalam mendekatinya. "Ayo ke sini!" Tepukkan keras mendarat dipahanya sendiri.
 


 

"Kakak.. aku tidak bisa-"
 


 

"Kenapa?" Jungkook menyela dengan raut mengejek, tawa sumbang ia lontarkan sambil menatap geram terhadap Lisa. "Oh! Aku ingat, calonmu sudah datang!" 
 


 

Kening Lisa berkerut seolah tidak setuju, Lisa tidak menginginkan pernikahan atau pertunangan atau dikenalkan dengan pemuda/pria manapun. Jadi, Lisa menggeleng dan tersenyum.
 


 

"Apa maksud kakak?" Balasnya balik bertanya lebih baik pura-pura tidak tau lalu menggapai lengan Jungkook dan menariknya. "Lihat langitnya, sudah sangat gelap dan prediksi cuaca mengatakan hujan akan turun. Kita pulang ya? Aku pesan taksi dulu" 
 


 

"Tidak!" Tolak Jungkook bersikeras, menjauhkan wajahnya dari Lisa. Bau alkohol menyeruak, anehnya Lisa merasa tidak terganggu dan tetap mempertahankan senyumnya.
 


 

Lisa membujuk Jungkook. "Kakak, ibu sangat khawatir.."
 


 

Jungkook mendengus, menepis tangan Lisa lagi dan lagi seolah keputusan penolakan darinya sudah mutlak dan tidak ada seorangpun yang bisa menganggu gugat. Lisa mulai kehilangan ide dan mendudukkan diri dikursi kemudi, seandainya Lisa bisa mengendarai benda metalik beroda empat ini, mungkin dalam sekejap bisa langsung sampang rumah.
 


 

Sekarang juga bisa sebenarnya, Lisa tinggal menginjak pedal gas lalu memutar-mutar setir mobil kemudian sampai--
 


 

--Di jembatan perbatasan dunia dan akhirat.
 


 

"Kau tersenyum?" Jungkook menatapi Lisa sedari tadi, memperhatikan rona merah manis yang ada dipipi gadis itu. Jungkook ikut tersenyum dan menunjuk dirinya sendiri, lekas bertanya. "Apa senyum itu untukku?"
 


 

Lisa menoleh, maniknya bersitatap dengan Jungkook. Sesaat Lisa terpaku, memandang dan menyadari bila manik hitam legam itu hanya terisi oleh refleksi yang dilihat pemiliknya dan dikejernihan itu, Lisa melihat pantulan wajahnya sendiri. Jantungnya semakin berdebar tremor, Lisa mulai panas dingin dan terkekeh samar.
 


 

"Me-menurutmu?" Bukan, bukan itu yang ingin ia ucapkan, Lisa kehilangan pengendalian isi kosakata dikepalanya. 
 


 

Jungkook meraih bahu Lisa, menarik gadis itu hingga tubuhnya mencondong ke arahnya. Lalu tangannya yang lain bermain disekitar rambut Lisa, merapihkan dan menyampirkannya ke sebelah kiri. Bibir tipis itu tak luput dari perhatian, terlihat bergerak lalu menilai. "Cantik!" 
 


 

"Kurasa.." Jungkook terus terkekeh, otaknya malfungsi untuk membedakan apakah Lisa benar-benar dihadapannya atau tidak. Matanya berkabut, Lisa tidak begitu jelas tapi melalui hati.. Lisa terlihat sangat-sangat jelas. "Senyummu hanya untukku. Boleh aku egois dan marah?"
 


 

"Ma-marah? Kak Jungkook marah padaku?" Lisa menyahut terbata gugup, kedua tangannya bertumpu pada bahu Jungkook membentuk sekat jarak antara dirinya dan sang kakak.
 


 

"Aku tidak suka pada semuanya, aku sangat benci pada angin yang melewatimu juga pada matahari yang bisa menjangkaumu dengan leluasa menggunakan terik sinarnya.. sedangkan aku.. kenapa aku tidak bisa?" Jungkook menggeleng lemah, memalingkan wajah sedihnya. "Aku sangat kesulitan bahkan untuk membayangkan kau menatap dan tersenyum hanya kepadaku saja."
 


 

Suara Jungkook memelan, setelah ditelan jeda panjang karena sama-sama bungkam. Jungkook berujar lagi. "Lalisa, lihat aku..tatap aku.. apa itu jelas? Apa terlihat dari mataku? Bisa kah kau melihatnya? Melihat perasaanku.. bisakah?"
 


 

"Hah?" Alis Lisa tertaut bingung, ini bukan waktunya untuk memikirkan hal yang tidak tidak, maka Lisa mengabaikan Jungkook. "Sudahlah, besok saja. Sekarang kita pulang, Kak" 
 


 

Jungkook berdecak, menepuk tangan Lisa keras hingga ponsel didalam genggaman tangannya jatuh ke bawah. Lisa merunduk ingin mengambil ponselnya yang jatuh dalam keadaan telungkup namun dengan sigap Jungkook menahan pergelangan Lisa dan menariknya. Dalam kondisi mabuk dimana sendirinya sulit membedakan yang nyata dan mimpi, Jungkook masih kuat memindahkan Lisa ke atas pangkuannya.
 


 

Sontak gadis itu terkejut, kedua matanya membulat saat begitu mudahnya bibir Jungkook mendarat tepat diatas bibirnya, memberikan lumatan singkat terkesan basah lalu mengecap bibir bawah Lisa. 
 


 

"Kenapa.. kenapa aku tidak bisa berpaling darimu?" Jungkook melontarkan pertanyaan yang selama ini mengganggunya, baru terhitung belum sebulan ia bertemu Lisa tapi rasanya sudah seperti bertahun-tahun.. Jungkook tidak tau kenapa Lisa sangat menarik, entah karena segel larangan yang menempel digadis itu dan Jungkook menyukai tantangan.
 


 

"Ah.. anu.." Satu-satunya hal yang bisa Lisa adalah menunduk. Lisa juga seorang gadis, jika tiba-tiba dicium maka reaksi alaminya pasti merona. Tapi sudah cukup, Jungkook terlalu banyak menciumnya dan selalu dibibir. "Kak Jungkook.. aku ini adikmu, terserah kau mau dengar atau tidak.." Lisa menggigit bibirnya gugup, tangannya meremas ujung baju kaosnya sendiri.
 


 

"Kau adikku, hm.. lalu?" Sahut Jungkook ringan tanpa beban, disaat Lisa kesulitan merangkai kata maka berbeda bagi Jungkook yang sibuk membelai ujung rambut Lisa diantara jemarinya.
 


 

Apalagi posisi Lisa ada diatas pangkuannya, meski terasa kaku namun Jungkook suka. Tak apa walau seperti memangku batu, selama itu Lisa maka Jungkook akan menikmatinya. Digenggamnya lembut ujung rambut panjang Lisa, diarahkan ke dekat hidung lalu menghirup dalam-dalam aroma yang menguar dari sana.
 


 

Lembut, manis, dan segar. Aroma yang dihasilkan dari hair mist yang Lisa kenakan dirambutnya. Perpaduan berries merah, bergamot, cokelat dan coumarin menghasilkan aroma menggoda yang sensual dan penuh gairah. Hair mist yang biasa digunakan umumnya oleh pengantin wanita dimalam pertama. Oh! Jungkook tau jawabannya, mungkinkah Lisa mau.. 
 


 

"Kak Jungkook, lepaskan aku.." Lisa memasang raut serba salah, entah sejak kapan tangan Jungkook merayap dipinggangnya dan mulai meraba-raba disana, membuat Lisa jadi tidak nyaman. 
 


 

"Kita tidak boleh seperti ini. Kak Jungkook sedang mabuk, Kak Serin ada dirumah. Kita pulang." 
 


 

"Nope!" Jungkook menggeleng, merapatkan tubuh Lisa dengan menambah tangannya yang satu lagi memegang sisi pinggang Lisa yang lain, menariknya hingga gesekan lembut nikmat tercipta dibawah sana, sedikit penekanan.. ugh! 
 


 

"Persetan dengan segalanya!" Jungkook marah, nyaris membentak dengan nada suara hampir mirip umpatan itu. Tangannya merambat naik, meraba dengan sangat sensual dan berakhir mencengkram dagu Lisa kuat. "Aku tau, karena kau akan menikah? Calonmu sudah tersedia, jadi kau kasar padaku?" 
 


 

"T-tidak!" Elak Lisa mengatakan yang sesungguhnya, tuduhan Jungkook yang sederhana itu bahkan membuat mata Lisa berair. "Aku peduli pada kakak, aku tidak ingin ibu marah pada kakak.."
 


 

"Apa kau suka padaku?" Tanya Jungkook langsung pada inti juga menatap Lisa lekat, tidak ingin melihat kebohongan dari Lisa.
 


 

Gugup, Lisa menyahut. "A-apa sih!" Tawa ringan keterpaksaan Lisa mengudara. "K-ak Jungkook bercandanya tidak lucu, sudah, pulang yuk?"
 


 

Lisa beranjak mau turun tapi ditahan oleh cekalan Jungkook dilengannya, pria itu menarik Lisa dan memeluknya erat-erat, takut gadis itu pergi lalu hilang.
 


 

"Ternyata tak satupun orang mengenalku, bahkan yang menyebut diri mereka sebagai keluargaku. Buktinya terpampang nyata saat kau tidak bisa membaca kejelasan yang tertera dimataku." 
 


 

Deg!
 


 

"Kak Jungkook, aku sama sekali tidak mengerti alasanmu mengatakan hal itu tapi semua orang sayang dan peduli padamu. Kak Jungkook-" Belum sempat Lisa menyelesaikan ucapannya, lebih dulu Jungkook menyela.
 


 

"Kau juga? Kau sayang padaku? Kau suka aku? Katakan!" Nada bicara Jungkook naik satu oktaf, tetapi raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan tampang marah. Jungkook menggemaskan dengan pipi dan telinganya yang memerah.
 


 

Lisa meneguk ludah, ia terkesima. Jungkook sangat tampan dan sempurna, Jungkook seksi dan lebih berkharisma daripada pria yang tadi dikatakan sebagai calon suaminya. Setiap bersama Jungkook pun, Lisa akan berdebar-debar lalu keseringan merona. Apakah mungkin Lisa-tunggu, lupakan itu! Ini tidak benar!
 


 

"Aku menyayangimu, Kak Jungkook" Lisa menjawab dengan lirihan, maniknya menghindari eyes contact dengan memandang ke arah lain sementara kedua tangannya bertengger dimasing-masing bahu Jungkook. Lisa tidak berdaya, "Aku.. aku sangat menyayangimu, j-jadi ayo kita pulang ya?" 
 


 

"Menyayangiku?" Jungkook tertawa hambar, ada amarah dan sesak dihatinya. "Hanya sebatas itu? Kau tidak merasakan yang sama seperti diriku yang sampah ini?" 
 


 

"Kak Jungkook!" Lisa bersungut menegur. "Tidak baik mengatai diri sendiri, dan lagipula.. Kak Jungkook tidak pantas disamakan dengan sampah!" Bantah Lisa berargumen.
 


 

"Lalisa lihat aku.." Jungkook mendesah berat, begitu putus asa saat Lisa berulang kali mencoba membelokkan topik. "Tolong lihat aku saja, Lalisa.." 
 


 

"Kakak.." Lisa terpaku saat kedua tangan Jungkook menangkup pipinya, menariknya mendekat hingga dahi dan dahi bersinggungan.
 


 

Dari jarak sedekat ini, jarak yang bisa dibilang tidak ada.. hati Lisa terasa hangat, darahnya berdesir cepat, jantungnya lari marathon mendahului pemain lain. Seisi netranya hanya Jungkook, Jungkook, dan Jungkook saja.
 


 

"Lihat mataku, Lalisa.." pintahan lembut dari Jungkook, Lisa turuti tanpa sadar. Lisa terkesima.
 


 

Lalu Jungkook berkata lagi, "Indahkan melihat dirimu sendiri didalam kejernihan mataku yang hanya memandangmu saja?" 
 


 

"Aku benar-benar tidak bisa.. aku tidak bisa berhenti memikirkanmu Lalisa.." Jungkook berdecak, tatapannya semakin lamat. "Kau menari-nari dikepalaku, tersenyum dan menggodaku terus.. lalu kau lengah sampai aku bisa berperan sebagai kekasih dan menciumimu setiap hari." 
 


 

Lisa terpaku mendengar semua itu, kedua tangannya perlahan turun meremas kemeja Jungkook. Jungkook terus mengoceh, mengeluarkan segala isi yang mengganjal dihatinya. Setelah membuat satu pengakuan, Jungkook kecanduan dan membongkar semuanya.. termasuk perasaan.
 


 

"Sekarang aku yang mabuk ya? Apa kau ingat dimalam aku pulang, dipesta buatan ibu.. kau mabuk berat dan menghampiriku hehehe.." Tutur Jungkook mulai bercerita, hal yang tidak seharusnya ia ungkit didepan Lisa.
 


 

"Kau memaksakan ciumanmu padaku lalu memaksa jadi kekasih, lalu kita jatuh ke ranjang.. ingat tidak? Cih! Kau mabuk sih, mustahil kau ingat" Gerutu Jungkook cemberut kesal sampai melipat tangannya didepan dada.
 


 

Deg! ~ Deg! 
 


 

Lisa tertegun, kilasan-kilasan memori malam itu terbuka. Simpul sulit tak berujung yang mengunci ingatan saat ia mabuk dengan mudahnya terbuka gara-gara Jungkook. Pria itu sibuk bercerita tentang apa saja yang terjadi, semua yang harusnya dirahasiakan justru ia bongkar sendiri. Lisa terdiam, kepalan tangannya menguat hingga pupil matanya gemetar. Lisa tidak percaya, namun Jungkook memaparkan begitu detail.
 


 

Semuanya terbuka. Hal yang tidak seharusnya terjadi malah telah Lisa lewati tanpa ia sadari. Matanya berair, Lisa marah dan malu pada dirinya sendiri. Lisa merasa jijik pada dirinya sendiri, Lisa merasa sangat memalukan dan harga dirinya sudah hancur. Lisa menganggap dirinya yang paling salah disini. 
 


 

"Aku sangat menyukaimu, Lalisa.. melihat Taehyung datang, hatiku sampai remuk rasanya. Saat memikirkan apakah hari itu segera datang.. hari dimana kau pergi mengucapkan sumpah pernikahan bersama orang lain.. aku bertanya-tanya, apakah aku sanggup menyaksikannya?" 
 


 

"Kak Jungkook.." Lisa menggigit bibir, melompat turun ke dari pangkuan Jungkook dengan rasa takut yang menyelimuti dari ujung rambut. 
 


 

Jungkook menahan pergelangan tangan Lisa, mengenggamnya erat, melarang gadis itu pergi. Lisa meneteskan air mata, menangis entah karena apa. Hatinya terasa sakit, terasa bimbang, terasa sesak.
 


 

"Kak Jungkook, lepas.." Lisa mencicit takut seolah melihat monster, bukan melihat Jungkook. 
 


 

Raut wajah Jungkook merumit, keningnya berkerut dalam. "Kau membenciku?" 
 


 

Tidak! Lisa ingin mengatakan tidak namun bibirnya terkunci, maniknya terkunci. Lisa tidak bisa mengeluarkan sepatah-katapun. Membuat Jungkook salah-paham dan menganggap Lisa membencinya saat Lisa menghindari tatapannya kala lebih memilih menunduk. 
 


 

Tangan Jungkook melempaskan Lisa, menjauh dari gadis itu dan memandang dunia luar melalui kaca mobil yang tertutup. Jungkook sakit hati, Lisa jahat sekali setelah banyak hal yang telah mereka lalui.
 


 

Lalu Jungkook menoleh dengan seringaian, menyambar cepat bibir Lisa. Dikecupi berulang kali hingga berakhir mendekat pada telinga si gadis dan berbisik, "Aku bahkan sudah pernah memakanmu.." 
 


 

Lisa menjauh tetapi Jungkook menariknya, memaksakan ciuman padanya. Kedua tangan Lisa memukul pelan dada Jungkook, nafasnya nyaris habis saat lumatan kasar itu terus-menerus menghantam bibirnya. Tengkuknya ditarik paksa, ciuman sepihak itu membuat Lisa meneteskan air mata.
 


 

Saat Jungkook melepaskan diri, Lisa menunduk dan menangis. Bahkan untuk memandang pantulan wajahnya sendiri, Lisa tak kuasa. Lisa merasa .. ini sangat salah, jadi sebelum semakin salah lagi, Lisa mengambil tasnya lalu membuka pintu mobil. Lisa akan pergi.
 


 

"Aku mencintaimu!" Jungkook berteriak frustasi, mengacak-acak rambutnya sendiri. Candu akan Lisa telah membuat sebagian otaknya gila, ini seperti ilusi. Jungkook tertawa, "Ya.. pergilah, pergilah sesukamu. Kau akan menikah nanti, maka kuungkapkan itu untuk membebanimu!" 
 


 

Dengan mengukir senyum getir, Jungkook melanjutkan masih dengan tawa seramnya. "Kau harus tau, Lalisa.. aku menyukai, sangat-sangat suka padamu." 
 


 

"Jika aku tidak bisa mendapatkanmu maka aku akan menjatuhkanmu pada rasa bersalah, seumur hidup tidak akan pernah kau lupakan malam ini.." Jungkook terkekeh tak mau peduli lagi, seluruh isi hatinya telah tercurah malam ini berkat bantuan alkohol dan Jimin. 
 


 

Lisa memejamkan mata berpura-pura tuli, Lisa tidak mau mendengar apapun lagi yang menyakiti hatinya. Dadanya terasa sesak, Lisa menahan sesenggukkannya sambil meremas baju sendiri. Lisa kacau sekali sementara Jungkook adalah penjahatnya disini, pria itu sangat egois hingga tak sadar kalau kata-katanya mengoyak hati Lisa.
 


 

"Belum, ada satu lagi.." Jungkook menyeringai, kedua tangannya mencengkram lembut bahu Lisa, Jungkook ada dibelakang gadis itu dan berbisik serak. "Aku pernah melihat seluruh tubuhmu, benar-benar bersih dan mulus tanpa sehelai benangpun."
 


 

Deg!
 


 

Lisa menjauhkan diri hingga terjatuh keluar dari mobil dalam posisi terduduk diaspal, tangisan kecewanya tak dapat dibendung. Rasa sesal karena memilih datang sendiri ke sini meluap, Lisa menangis keras dan berteriak. "Kau keterlaluan!" 
 


 

Sebelum akhirnya pergi dan tidak menoleh ke belakang sedikitpun, berjalan bersama derasnya hujan yang mendadak turun begitu saja. Lisa amat kecewa serta malu pada dirinya sendiri. 
 


 

~•~
 


 

20 : Sad
 


 

"Ibu.." Lisa memaksakan senyumnya pagi ini usai memutuskan tidak bisa pergi ke sekolah dan beralasan kurang enak badan.
 


 

"Habiskan supnya, baru bicara" Ucap Hyori sangat khawatir akan kondisi Lisa, menemukan anak gadisnya pucat pagi-pagi sekali saat mengetuk pintu kamarnya. "Kau demam? Tidak yah.." Hyori menarik tangannya dari dahi Lisa dan duduk disebelah gadis itu.
 


 

Lisa tidak bisa cerita alasan kenapa sakitnya aneh sekali, pucat tapi tidak demam dan masih bisa menopang tubuhnya sendiri. Hyori berniat memanggil dokter tapi Lisa menolak dan mengatakan kalau kondisinya baik-baik saja. 
 


 

Tertunduk lesu mengaduk-ngaduk sup tanpa gairah, Lisa tidak tidur semalaman sampai kantung matanya menghitam dan membengkak karena air mata berlebihan yang tak bisa berhenti turun dari kedua matanya.
 


 

"Selamat pagi!" Serin berseru mendatangi meja makan, wajahnya cerah dan cantik.
 


 

Serin menginap sampai pagi semalam, kebetulan hari ini Hyori telah mengundang satu toko perhiasan merek terkenal untum datang dan memberikan desain terbaik untuk cincin pertunangan. Tinggal menunggu Jungkook pulang perihal semalam Jimin mengabari kalau Jungkook mendadak berada dalam perjalanan bisnis satu malam guna menutupi kebenaran. 
 


 

"Selamat pagi, mari duduk dan makan sarapan bersama" Sambut Hyori membalas hangat sapaan Serin dan mendekatkan piring berisi roti panggang favorit wanita itu.
 


 

Lisa mendesah pelan, melirik sesaat ke arah Serin lalu membuang pandangan mata semangkuk sup yang tidak niat ia habiskan. Serin terlihat cerah dan bahagia, hanya Lisa yang terpuruk sendirian disini memikirkan kata-kata Jungkook.
 


 

Lalu saat semua orang sibuk dengan makanan masing-masing, Taehyung muncul dengan senyum kotak tak bersalahnya. Taehyung juga menginap, dompetnya tertinggal.. sialan sekali, bukan? Tentu saja, Taehyung jadi tidak bisa bermalam dihotel berbintang enam.
 


 

"Ibu!" Muncul dengan kekehan, Lisa terkejut tanpa ada yang mengetahui. Taehyung menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Hyori. "Wah! Ada sup! Aku suka sekali!" 
 


 

"Mau kutuangkan?" Tanya Hyori dijawab anggukkan oleh Taehyung.
 


 

"Sayang sekali ibuku sudah tiada sehingga aku tidak bisa makan sup buatannya" Taehyung berujar mudah sekali tanpa beban, tawa manisnya terdengar sesaat mencicipi sesendok sup buatan Hyori. "Ini enak!" Pujinya. 
 


 

"Ibumu pasti sangat bangga memiliki putra sepertimu" Sanjung Hyori kagum pada Taehyung yang pekerja keras. 
 


 

Disaat Taehyung dan Hyori sibuk melempar perbincangan ringan, Lisa sibuk menggertakkan gigi lalu menarik ibu jarinya menuju bibir dan mulai menggigit kuku. Matanya memerah seperti tak tidur seminggu, Lisa mempertimbangkan hal berat saat ini.
 


 

Suhu tubuhnya panas dingin, kakinya gemetaran. Lisa mengeratkan cengkraman pada sendok digenggaman tangan kanan. Dadanya terasa sesak bahkan saat hanya memikirkannya, belum mengatakannya. Lisa hampir tidak sanggup tetapi mengumpulkan keberanian dengan sekuat tenaga hingga akhirnya kata-kata itu keluar.. bukannya kelegaan, Lisa justru semakin sesak.
 


 

"Ibu.." 
 


 

"Ya, sayang?" Hyori menyahut. 
 


 

"Aku ingin.." Tenggorokkannya terasa mengganjal, Lisa meneguk ludah untuk membasahi kekeringan didalam sana. "A-ku.. aku ingin.." 
 


 

"Aku ingin bertunangan dengan Taehyung." Tegas Lisa seraya mengangkat kepala dan menjatuhkan tatapan pada Taehyung, tetapi fokusnya justru jatuh pada seseorang yang berdiri diambang pintu ruang makan dengan kaos putih dan celana panjangnya.
 


 

"Uhuk!" Taehyung terbatuk, tersedak roti yang dikunyah lalu dari hidungnya keluar air saat ia berusaha minum. Taehyung terbatuk mengap, matanya dan hidungnya merah. "A-apa!? Tunangan?" Ada keterkejutan dalam pekikannya seolah Taehyung tidak setuju akan keputusan Lisa.
 


 

"Secepat ini?" Hyori bertanya balik guna memastikan tidak salah dengar ucapan anak gadis bungsunya.
 


 

Sembari mengalihkan pandangan sedih dari arah Jungkook, Lisa mengangguk dan memperjelas. "Iya, Ibu. Aku ingin bertunangan secepatnya"
 


 

"Bagus!" Serin menimpali dengan acungan dua jempolnya, "Pagi nanti model cincinnya akan datang, kita bisa pilih berbarengan. Oh! Ya, bagaimana kalau hari pertunangannya sama? Sekaligus? Yakan, Bu?"
 


 

"Ibu-" Ucapan Taehyung terputus, Jungkook menyela lebih dulu.
 


 

"Ide yang bagus!" Tutur Jungkook memberikan senyum seadanya, menghampiri tempat duduk Serin dan untuk pertama kali mendaratkan usapan dipuncak kepala wanita itu.
 


 

"Benar, Jungkook setuju kan?" Hyori bertanya antusias, sangking tak sabar ia mengakhiri makan paginya dan menelpon seseorang yang akan datang membawa desain cincin pertunangan supaya lebih cepat.
 


 

Taehyung menekuk wajah, berdecak sebal sebab tak didengar oleh siapapun. Hak pengajuan suaranya ditarik paksa, bahkan Lisa tidak bertanya dulu padanya. "Tiba-tiba mengajak tunangan, bagaimana ini? Tidak, ini hanya pertunangan selama belum ada tanda-tanda pernikahan.. masih bisa dibatalkan. Tenanglah, Taehyung"
 


 

Selesai dengan teleponnya, Hyori bergabung kembali ke meja makan dengan wajah cerah dan menginterupsi semua supaya ke ruang tamu sekarang juga. "Mereka datang lebih cepat dari yang diduga, mereka sudah menunggu didepan. Ayo Jungkook, Serin, dan Taehyung bantu Lisa berjalan ya" 
 


 

"Iya Ibu" Sahut mereka bertiga secara bersamaan, tidak ada keantusiasan diwajah Jungkook, Taehyung, maupun Lisa.
 


 

Lisa tidak tau apakah keputusannya sudah benar, Lisa sadar ini tergesa-gesa tapi hanya ini cara yang bisa ia lakukan. Lisa takut kalau Jungkook akan melakukan hal itu lagi, Lisa tidak bisa membenarkan sesuatu yang salah. Dan hubungan yang Jungkook katakan semalam sangatlah salah termasuk kalimat pernyataan cinta yang tidak seharusnya didengar seorang adik dari kakaknya.
 


 

Lisa duduk disamping Taehyung dengan jarak dua jengkal sementara disudut yang lain terdapat Serin yang menempel sampai menyandar pada Jungkook, ditengah-tengah mereka terdapat Hyori yang membolak-balik halaman berisi buku, mencari-cari desain bagus yang bisa ia rekomendasikan pada calon pasangan hidup disisi kanan dan kirinya.
 


 

"Yang bentuknya spiral lebih bagus, kan?" Serin bertanya dengan wajah berbunga-bunga, Jungkook mengangguk-angguk saja tak lupa sesekali tersenyum.
 


 

"Lihat ini, bagus untuk kalian" Hyori berpaling pada Lisa dan Taehyung seraya menunjukkan model cincin yang ia rekomendasikan, berbentuk hiasan kelopak mawar dicincin perempuan. 
 


 

Lisa menggeleng pelan, wajahnya semakin pucat karena tekanan batin. Terlebih saat ia melirik dan menangkap basah Jungkook sibuk membolak-balik halaman buku bersama Serin sementara saat Lisa melirik pada Taehyung disisinya, pria itu cuek dan sibuk berbalas pesan entah dengan siapa diponselnya.
 


 

"Taehyung, letakkan dulu ponselmu. Nak" Hyori sedikit menegur saat paham Lisa sedang terkacangi sendirian, Hyori menyerahkan dua buku model lain pada Taehyung sebelum berpaling pada Jungkook dan Serin.
 


 

"Jung, lihat ini.. bagus kan? Yang besar atau yang kecil?" Tanya Serin menunjukkan cincin yang dihiasi oleh permata ruby nan cantik.
 


 

"Besar.." Jawab Jungkook tak tertarik, hatinya sangat sakit saat terbangun dan menghampiri meja makan lalu mendengar kata-kata itu meluncur dari bibir Lisa.
 


 

"Aku ingin bertunangan dengan Taehyung."
 


 

Menusuk seperti pedang, menyakitkan luar biasa tetapi itulah kenyataan saat Lisa sudah memilih dimana akan ia sandarkan hidupnya. Dibahu siapa, dengan siapa.. dan bukan Jungkook orangnya. Jungkook memalingkan wajahnya sedikit menunduk, mengusap sudut matanya yang basah lalu tersenyum saat Serin menegur, mengajukan model lain dengan antusias.
 


 

Disaat Jungkook menyibukkan diri dengan Serin, Lisa menoleh dengan sorot mata terluka. Menatap pria itu dari samping saat semua orang tidak menyadari lalu segera menunduk saat Hyori bertanya padanya.
 


 

Lalu disaat Lisa sedang menunduk membolak-balik halaman buku, giliran Jungkook yang menoleh dengan mata berairnya. Menatap gadis itu diam-diam, rasa sesak menusuk tepat dijantungnya. Jungkook menunduk dan menjatuhkan pilihan.
 


 

"Yang merah ini. Bagus" Ucapnya.
 


 

Tanpa pikir panjang, Serin setuju dan mengajukan desain model cincin yang Jungkook pilihkan. "Sudah kutemukan Bu, yang ini. Bagaimana?"
 


 

"Pilihanmu cantik." Puji Hyori terpukau atas pilihan Serin kemudian berlalu melihat Lisa yang sama sekali belum memilih.
 


 

"Lisa, kau belum memilih?" 
 


 

"Ah.. itu.." Lisa tergugup.
 


 

Tiba-tiba Taehyung menyela dan menyerahkan secara asal desain yang tampak dimatanya. "Ini. Aku dan Lisa sudah memilih" tunjuknya pada sebuah cincin berdesain rumit namun terlihat sederhana dengan kepingan permata kecil berwarna putih. 
 


 

"Ini indah.." Lengkungan senyum Hyori tercetak jelas, kepalanya mengangguk-angguk senang. 
 


 

"Ya, Desainya sudah ditentukan" Ujar Hyori pada seorang wanita yang duduk disofa yang berhadapan dengannya. 
 


 

Wanita bernama Hyejin sebagai utusan dari toko perhiasan itu tersenyum dan mengangguk, menerima kembali buku-bukunya lalu mencatat desain yang dipilih oleh dua pasangan dihadapannya.
 


 

"Cincinnya akan siap kurang dari setengah hari, setelah selesai pasti segera diantar ke sini" Hyejin berdiri, membungkuk hormat usai mengemasi barang-barangnya lalu pamit. "Terimakasih telah mempercayakan pembuatan cincin pertunangan kalian kepada kami."
 


 

Selepas kepergian Hyejin, Hyori meraih tangan Lisa dan tangan Jungkook, mengenggamnya lembut. Sambil berkaca-kava, Hyori mulai mengungkapkan perasaan kalutnya. Hyori tidak menyangka kalau Lisa mengambil keputusan secepat ini, Hyori senang.
 


 

"Ibu bangga pada kalian berdua. Ibu senang atas keputusan Lisa dan atas tanggung-jawabmu, Jungkook. Ibu harap kalian hidup berbahagia.." 
 


 

"Tentu, seperti yang Ibu inginkan." Tukas Jungkook menyahut dengan ekspresi tidak peduli sementara Lisa memilih bungkam.
 


 

"Permisi!" 
 


 

Seruan yang datang dari arah pintu dengan beberapa rombongan orang hadir dengan pakaian senada seperti berasal dari tempat yang sama sukses menyita perhatian Lisa. Termasuk koper-koper yang mereka bawa, saat mereka masuk, Lisa menatap Hyori butuh penjelasan namun saat koper-koper itu dibuka dan beragam setelan gaun serta jas ditunjukkan oleh mereka.. Lisa langsung tau, ternyata Hyori seantusias itu sampai mengundang toko butik datang ke rumah.
 


 

"Ibu, aku harus ke kamar mandi." Jungkook pamit dan berdiri, menoleh pada sang ibu dan melirik Lisa sebentar. "Aku segera kembali."
 


 

Cepat-cepat Jungkook berlari menuju kamarnya dilantai atas, membongkar tempat tidur sekaligus laci mencari-cari keberadaan ponselnya. Jungkook masih sangat baru bangun dan tidak tau bagaimana caranya pulang, untung tak ada yang menyadari kebohongan yang Jimin ciptakan.
 


 

"Apa yang terjadi semalam, semalam aku mabuk.. lalu apa!?" Decakkan kekesalan Jungkook terdengar, ia mulai membongkar sprei tapi ponselnya tak ketemu juga.
 


 

Lalu saat melihat tumpukkan pakaiannya semalam tergeletak rapih disofa, Jungkook bergegas meraih dan menggeledah kantungnya. Setelah mengacak seluruh kamar ternyata ponselnya ada disaku dalam jasnya. 
 


 

Sembari melihat ke arah pintu, Jungkook menghidupkan ponselnya tapi nihil. Baterainya habis, Jungkook berlari lagi dan membongkar laci sampai menemukan kabel charger dan kembali dalam upaya menghidupkan ponsel saat keadaanya sudah terhububg charger pengisi daya.
 


 

"Hiduplah! Cepat!" Ucapnya kedengaran seperti memaki, menampar-nampar layar ponselnya yang sedang loading menuju homescreen
 


 

"Sial!" Jemarinya naik meremas rambut, mengacak dan menjambaknya seraya mencari-cari kontak Jimin. Saat ketemu, Jungkook langsung memilih opsi panggilan.
 


 

"Astaga.." Erangan frustasi meluncur bebas dari bibir Jungkook, dijatuhkannya kepala pada bantal lalu mulai mengacak-ngacak rambutnya lagi. "Apa yang terjadi semalam.. apa yang kulakan? Demi Tuhan, siapapun.. beritahu aku!" 
 


 

"Jimin sialan!" Percobaan panggilan pertama gagal terhubung, Jungkook mencoba lagi hingga tersambung. "Kupotong gajimu jika tidak menyahut-"
 


 

"Ja-jangan!" Tepat saat itu Jimin menyahut, "Jangan kurangi gajiku, Tuan Han." 
 


 

"Jimin-ssi, jelaskan semuanya, sekarang juga." Jungkook berujar penuh penekanan, rahangnya mengeras dengan raut mengetat. 
 


 

Dengan detail Jimin menjelaskan, Jungkook menyimak segalanya dari awal. Perlahan raut wajah Jungkook berubah, ekspresi tidak terjelaskan makin tercipta. Jalinan benang kusut telah menjadi lurus, sekarang Jungkook tau alasan perubahan drastis Lisa hngga keputusan besar yang diambilnya secara mendadak. Semua karena salah Jungkook sendiri.
 


 

"Kenapa kau memintanya datang, Jimin-ssi?" Bentakkan tidak dapat terhindarkan, Jungkook merasa brengsek dan marah sekali. 
 


 

"Kau tidak mau pulang dan minta dipanggilkan gadis bernama Lalisa, anda juga memintaku menghubunginya, Tuan. Jangan bilang anda lupa.." 
 


 

Jungkook menggertakkan gigi, tanpa mengakhiri panggilan lebih dulu, Jungkook melempar ponselnya hingga menubruk dinding hingga retak saat mendarat jatuh dilantai. 
 


 

"Pasti aku mengatakan yang tidak seharusnya didengar olehnya, wajar jika dia merasa jijik. Dari awal, aku yang bersalah lalu akhirnya.. aku terluka karena ulahku sendiri" 
 


 

Perasaan Jungkook teraduk, matanya berair lagi. Begitu sesak, menyedihkan sekaligus menjijikan disaat yang sama. Jungkook menatap kedua tangannya, semua salahnya yang tidak bisa menahan diri lalu menyeret Lisa hingga nyaris merusak gadis itu.
 


 

"Kenapa kau sangat menjijikkan, Han Jungkook?" Tanyanya pada diri sendiri, "Apa wanita didunia ini sudah mati sampai-sampai kau tertarik pada adik kandungmu sendiri?" 
 


 

Ini terlalu cepat. Jungkook malahan sempat berniat membuat Lisa minum alkohol agar mabuk supaya bersama-sama bisa bersenang-senang seperti malam itu. Jungkook suka Lisa, dari ujung rambut sampai kaki.. Lisa telah menjadi candunya. Lalu saat seseorang dipaksa harus berhenti dari candunya, bagaimana.. bagaimana rasanya? Menyakitkan.
 


 

"Sekarang.." Tidak sanggup membayangkan hal yang akan terjadi berikutnya, Jungkook menutup kelopak mata bersamaan dengan bulir bening turut menetes melewati pipinya. "...aku harus menjauh darinya, s-secepat ini?" 
 


 

~•~
 

 

21 : Love & Sick
 


 

"Kemana saja kau!?" Jungkook menggertak Lisa, mengenggam erat lengan gadis itu setelah kedapatan baru kembali dari sekolah saat pukul sepuluh malam. "Kau menolak panggilan dan hanya membaca pesan dariku tanpa membalasnya, apa maksudmu Lalisa?" 
 


 

"Lepaskan aku!" Lisa meronta dari Jungkook, mengenggam kuat pergelangan tangan besar pria itu. "Aku tidak mau bicara denganmu!" 
 


 

"Kau tidak berhak membantah, Lalisa!" Alih-alih melembut, karena kalut, Jungkook justru meninggikan suara hingga tubuh Lisa gemetar terasa jelas dari tangannya.
 


 

"K-kau jahat!" Lisa mendorong dada Jungkook dengan tangan yang satu lagi namun dorongan itu seperti kapas dan tak berpengaruh pada pijakkan kaki Jungkook.
 


 

"Berhenti keras kepala dan jawab, apa yang kau lakukan sampai pulang semalam ini!?" Cecarnya pada Lisa yang terus-terusan menolak diajak bicara, meronta-ronta didepan kamar sehingga mau tak mau Jungkook dorong masuk gadis itu ke dalam daripada membangunkan orang dengan teriakannya.
 


 

"Aku sudah bilang; aku tidak mau bicara denganmu!" Pekik Lisa membalas makin keras kepala, tak mau mendengar apapun lagi. "Lepaskan aku dan pergilah..pergilah kak!" 
 


 

"Lalisa dengar.." suara Jungkook melembut, kedua tangannya mencengkram bahu kecil Lisa dan mengguncangnya. "Katakan kemana saja kau pergi sebelum aku marah dan-"
 


 

"Dan apa?" Sela gadis itu menantang balik dengan perasaan berkecamuk yang kembali lagi. "Apa yang akan kau lakukan kepadaku?" 
 


 

Jungkook terdiam. Tatapan Lisa membuat hatinya lemah. Lisa bukanlah satu-satunya gadis yang menatap ke arahnya dengan lekat tetapi dari ribuan gadis yang pernah Jungkook tatap saat berpapasan atau saat sedang presentasi rapat, tak ada satupun yang membuat jiwanya bergetar semeronta-ronta ini. 
 


 

Manakala tatapan itu terasa melucuti seluruh pakaiannya, menelanjanginya seakan bukan mata tapi laser yang menatapnya. Lisa cantik, tidak.. diluar sana banyak yang lebih cantik dari Lisa, banyak yang lebih manis, lebih seksi, lebih menggoda, dan lebih-lebih-lebih dari Lisa. Jika Jungkook mau, sekali kedip pasti 100 gadis rela ia tiduri tetapi Jungkook mau Lisa, keinginannya terhadap gadis itu sangatlah kuat. 
 


 

Dari sekian banyak, Jungkook hanya menaruh perhatian dan perasaannya pada Lisa. Dari ketertarikan, penasaran, keingintahuan, rasa suka, hingga tanpa sadar mulai berkembang ke arah yang lain dan mulai lepas kendali seolah punya pikiran sendiri. Pertanyaannya, bolehkah Jungkook memiliki Lisa? 
 


 

Jika tidak, biarkan Jungkook mati dikageti kecoa daripada melihat Lisa bersama dengan pria lain didepan matanya kepalanya sendiri.
 


 

"Kau akan melecehkanku?" Celetuk Lisa menebak gamblang.
 


 

"Ya!" Jungkook membalas tanpa rasa takut, ia bisa lakukan semaunya jika ingin. "Sekarang juga bisa kulakukan tak peduli kau menolak atau berteriak, tapi aku tidak ingin ada keterpaksaan saat kau melepaskannya untukku"
 


 

"Maka pergilah, jangan mengharapkan yang tidak mungkin. Pergilah!" Lisa berbalik membelakangi Jungkook, dadanya kembang kempis merasa sesak. Perkataannya barusan juga berdambak buruk bagi dirinya sendiri.
 


 

Jungkook menghela nafas, ia harus bersabar. Sebenarnya apapun pasti Jungkook lakukan untuk Lisa kecuali menikah. 
 


 

Dengan kasih-sayang yang ia punya, Jungkook meraih lengan Lisa selembut mungkin. Membalikkan gadis itu hingga berhadapan dengannya, menghimpitnya perlahan ke arah dinding disudut ruangan.
 


 

"Sekeras apapun aku berusaha, aku tidak ingat apa saja yang kulakukan semalam. Aku tau, aku telah melakukan kesalahan yang membuatmu marah. Dan aku yakin, kau juga tau mengenai perasaanku terhadapmu.." Ucap Jungkook lalu mengulas secercah senyum getir.
 


 

"Aku begitu menyukaimu, mungkin lebih dari yang kau kira. Ini agak memalukan, sangat menjijikkan.. pandanganmu seperti itu terhadapku, 'kan?" Jungkook terkekeh pelan, meraih satu lagi tangan Lisa untuk digenggam. "Tapi ini kenyataan, seperti itu. Aku menjijikan saat menyukai adikku sendiri. Bagaimana aku bisa menahannya saat kau selalu cela bagiku untuk masuk lebih jauh" 
 


 

Tangan Jungkook merambat naik, tepat saat sedikit lagi mengelus pipi, Lisa memalingkan wajah ke arah berlawanan. Tak apa, Jungkook malah tersenyum. Banyak yang sudah ia lewati untuk Lisa, tak apa jika Jungkook tersiksa.
 


 

"Aku akan menjauh, aku akan pergi darimu.. apapun yang kau katakan pasti kulakukan asalkan jangan bertunangan dengannya Lalisa.." Manik hitam Jungkook menatap jauh tenggelam ke dalam buai manik cokelat Lisa, perasaannya sangat besar dan nyata.
 


 

"Tolong Lalisa.. jangan lakukan itu padaku, kau menyakitiku.. aku pasti pergi, aku akan ke Amerika lagi tapi kau jangan bersama pria lain" Pinta Jungkook memohon pada Lisa, berusaha menatap gadis yang tak mau balas menatapnya.
 


 

"Kak Jungkook, sadarlah!" Sentak Lisa mendorong kuat Jungkook tapi tidak berhasil membuat langkah pria itu mundur.
 


 

"Aku sadar sekali! Aku sadar tentang perasaanku, aku sangat menyukaimu Lalisa dan kau juga menyukaiku.." 
 


 

"Itu salah! K-kau hanya keliru!" Bantah Lisa tegas.
 


 

"Maka ulangi perkataanmu sambil menatapku, kau sanggup?" Ujar Jungkook balas menantang Lisa, tepat saat gadis itu langsung memalingkan wajah. 
 


 

"Katakan Lalisa!" Desak Jungkook memaksa gadis itu, menggoyangkan bahu gadis itu kencang. "Cepat, Lalisa!" 
 


 

"Ayo katakan!" 
 


 

Deg!
 


 

Lisa menggigit bibir, mengepalkan kedua tangannya yang gemetaran. Cengkraman Jungkook berpindah menahan dagunya, menariknya hingga hidungnya bersentuhan dengan hidung Jungkook. Pria itu merunduk, mendekatkan wajahnya semakin dekat pada Lisa.
 


 

"Katakan!" Bentak Jungkook membuat Lisa terperanjat kaget. 
 


 

"Kak Jungkook.." Lisa meringis, dagunya dipegang terlalu kuat oleh Jungkook. "Aku tidak menyukaimu.."
 


 

"Yakin?" Cibir Jungkook meledek, melihat Lisa hanya mengangguk, Jungkook menjauhkan wajah dan tertawa lepas. Seperkian detik tawanya lenyap, ekspresi marahnya terlihat jelas. "Kau berbohong!" 
 


 

Tenggorokan Lisa tercekat, matanya terasa panas. Air matanya nyaris keluar, Lisa mendongak.. matanya beradu pandang dengan Jungkook. Lisa tidak bisa mengelak lebih jauh lagi, Jungkook membentaknya terlalu keras hingga kedua kakinya terasa melemas.
 


 

"T-tidak.." Lisa meneguk ludah, dahinya berkeringat dingin. Jungkook tersenyum dan mengusap dahi gadis itu, mengelap keringatnya. 
 


 

"Kau menyukaiku, Lalisa." Klaim Jungkook menekankan, tangannya perlahan naik menangkup pipi Lisa, mendekatkan bibirnya pada bibir ranum Lisa.
 


 

Jungkook menyeringai, bibir tipisnya terbuka melahap gemas bibir Lisa. Menangkup bibir ranum itu ke dalam mulutnya, membasahinya dengan saliva. Tidak berakhir disitu, Jungkook menyelipkan bibirnya diantara bibir Lisa, menyesap lembut bibir bawah lalu bibir atas gadis itu secara bergantian.
 


 

Kelopak mata Lisa terpejam, air matanya jatuh bersamaan dengan itu. Bibirnya dicumbu hingga terbuai, terbuka dengan mudahnya saat lidah kecil nan panas itu memasuki rongga mulutnya. Mengabsen satu per satu yang ada didalam sana, kening Lisa tercetak mengernyit saat lidah Jungkook bermukim dilangit-langit mulutnya.
 


 

Lalu tangan kanan Jungkook menarik tengkuk Lisa, menekannya lebih dalam. Mendapat balasan dari Lisa, Jungkook tersenyum disela-sela ciumannya. Memperdalam pangutannya pada Lisa, lumatan lembutnya berubah menjadi dalam dan menuntut. Lisa membalas tiap lumatan manis dari pria itu, dadanya menggebu panas, kedua kakinya berjinjit lalu tangannya naik meremas baju Jungkook dibagian dada.
 


 

"Nghh.." Lisa melenguh, usapan dileher baru saja ia dapatkan dari Jungkook. Lalu turun menyentuh cengkungan tulang dibawah leher jenjang Lisa. 
 


 

Decapan-decapan bibir Jungkook menggema diseisi kamar Lisa, terdengar amat menggairahkan bagi siapa saja yang mendengar. Jungkook sebagai pelaku tentu saja sedang kuat-kuatnya menahan hasrat, menahan hormon besarnya yang hendak bangkit menjelma buas. 
 


 

Tidak! Jangan sekarang! Jungkook tidak ingin melakukannnya tanpa rasa cinta, setidaknya paling sederhana.. rasa saling menyayangi. Jungkook tau, didalam lubuk hati gadis itu, ada satu tempat kecil diperuntukkan untuk Jungkook tetapi Lisa belum menyadarinya.
 


 

Ibu jarinya menyentuh bibir bawah Lisa, memberikan sapuan penekanan disana. Saat kelopak mata gadis dihadapannya makin erat terpejam, Jungkook tau Lisa sedang menahan sesuatu didalam hatinya. Jungkook tak akan memaksa, Lisa akan memilih jalan hidupnya sendiri. Hanya perlu Lisa ketahui kalau kapanpun itu, jika Lisa berlari ke arahnya, sudah jelas Jungkook menyambut balas dengan tangan terbuka.
 


 

"Kau tidak perlu mengatakan apa-apa. Aku tau yang inginkan.." Jungkook tersenyum hangat, menyapukan telapak tangannya pada pipi Lisa lalu mendaratkan kecupan ditengah dahi gadis itu. "Aku pasti lakukan apapun untukmu. Kau memintaku pergi, melupakan segalanya seolah tidak pernah terjadi apa-apa, aku mengerti." 
 


 

Lisa mengerjap, tangan Jungkook menjauhi pipinya. Lisa pikir pria itu sudah pergi namun saat membuka mata, Lisa justru menemukan Jungkook masih dihadapannya. Menumpukan kedua tangan pada dinding dibelakang Lisa. 
 


 

Masih mempertahankan senyumnya, Jungkook merunduk. Wajahnya mendekati telinga Lisa, membisikkan sesuatu menakutkan yang jelas sampai membuat raut wajah Lisa berubah.
 


 

"Akan kulakukan sesuai maumu, maka kau juga harus melakukan hal yang sama. Kita akan saling melupakan" 
 


 

Deg! 
 


 

Jungkook menarik diri. Menepuk puncak kepala Lisa dan menasehati. "Jaga dirimu, semoga keputusan yang telah kau ambil dapat memberikan kebahagiaan dimasa depan. Selamat tinggal, Lalisa.." 
 


 

Setelah mengatakan itu Jungkook pergi dari kamar Lisa. Lisa terduduk lemas dilantai, bersandar pada dinding dan menarik kakinya untuk dipeluk saat wajahnya tenggelam diantara lutut. Lisa jadi meragu atas keputusannya, tapi memaksakan diri tetap berada dijalan yang benar dengan menahan diri dan perasaan yang seharusnya tidak pernah Lisa miliki terhadap Jungkook.
 


 

~~
 


 

Siang ini Lisa memilih menjelahi toko buku. Sekolahnya pulang lebih awal sebab para guru membahas rapat pelatihan ujian yang akan segera dilaksanakan dalam waktu lima minggu ke depan. Lisa tidak ingin pulang karena saat pulang dan beradu pandang dengan Serin yang sudah tinggal dirumahnya, hati Lisa selalu berkecamuk.
 


 

Sudah tiga puluh menit lamanya Lisa berkeliling menyusuri satu per satu rak buku ditoko tersebut. Tokonya tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa orang yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Percuma, Lisa tidak memikirkannya.
 


 

Matanya tertarik pada buku bersampul ungu dirak teratas, Lisa berjinjit hendak mengapainya. Sayang, tangan seseorang lebih dulu mengambilnya. Lalu saat sadar buku yang diambil telah diincar lebih dulu oleh orang lain, gadis pirang itu meminta maaf.
 


 

"Kau bisa mengambil ini," Katanya sembari menyodorkan buku tersebut kepada Lisa. 
 


 

"Tidak.. tidak, kau saja" Lisa menolak halus, mendorong kembali buku pada gadis itu. "Sampulnya menarik jadi tadi ini, ah! Lihat, itu untukmu. Aku ambil buku i-ni..." 
 


 

Lisa tertegun, buku novel ditangannya terjun bebas ke lantai. "R-roseanne?" 
 


 

"Eh.. kita saling mengenal?" Gadis bernama Rose itu balik bertanya, fokus Lisa jatuh pada perutnya yang membuncit dibalik dress biru yang dikenakannya.
 


 

Masih terbelalak, Lisa melanjutkan. "J-jadi rumor kau dikeluarkan dari sekolah itu.."
 


 

"Benar." Rose menyahuti, "Aku dikeluarkan karena mengandung dan memutuskan berhenti sekolah lalu menikah dengan seseorang yang wajib bertanggungjawab" 
 


 

Masih dalam keterkejutannya, Lisa memundurkan langkah. Mendarat tepat disebuah kursi yang disediakan untuk duduk saat membaca, ada mejanya juga. Rose yang khawatir ikut duduk berhadapan dengan Lisa guna memastikan gadis itu baik-baik saja meski Rose tidak familiar dengan wajah Lisa namun seperti pernah lihat sebelumnya.
 


 

Sekita kurang lebih hampir genap dua tahun lalu, siswa tercerdas disekolah Lisa mendadak dikeluarkan. Rumor beredar cepat dan macam-macam, salah satu yang populer mengenai rumor kalau gadis bernama Roseanne dikeluarkan karena menjalani hubungan gelap dengan karyawan diperusahaan ayahnya sendiri hingga melewati batasan lalu mengandung. Sementara rumor-rumor lainnya, Roseanne sengaja dikeluarkan untuk menarik perhatian dari para siswa lain guna menambah kepopuleran pencarian mengenai sekolah tempat dimana Roseanne menimba ilmu.
 


 

"I-tu benar?" Lisa bertanya masih dalam ketidakpercayaannya.
 


 

Rose menyanggupi dengan anggukkan mantap. "Yang kulakukan terlihat salah dimata semua orang, tapi bagiku sama sekali tidak. Aku hanya mengalami fase jatuh cinta tetapi dunia mencoba merenggut cinta itu dariku"
 


 

Rose terkekeh. "Aku tidak ingin jadi aku melakukannya dengan bahagia. Awalnya ayahku sangat marah, aku diusir dan ditolak oleh keluarga. Tak berhenti disitu, bahkan Jimin dikeluarkan dari kantor. Semua orang menghina dan mengutuk kami hingga aku keguguran dianak pertama" 
 


 

"Ah.. maafkan aku" Lisa menunduk penuh sesal. "Kehidupanmu pasti sangat sulit"
 


 

"Ya, lalu seseorang yang baik mempekerjakan suamiku. Sekarang hidup kami lebih baik seiring berjalannya waktu" Tutur Rose tersenyum manis. "Kadang aku sering berpikir apa yang terjadi jika aku tidak pernah melakukan hal nekat? Mungkin aku masih bersekolah, masih bisa memeluk ayah dan ibuku setiap pagi sebelum berangkat.." 
 


 

"Kau menyesal?" Tanya Lisa hati-hati.
 


 

Rose menggeleng. "Sama sekali tidak. Sebaliknya, aku akan sangat menyesal jika tidak memilih pilihanku sekarang." 
 


 

"Kenapa kau menyesal jika tidak memilih jalan yang sekarang?" 
 


 

"Aku mungkin tidak akan pernah bahagia dan terus hidup didoktrin selama bertahun-tahun oleh ayahku, dipaksa menjadi yang sempurna. Tetapi Jimin mengubah pandanganku, dia memberikan banyak cinta padaku dan membawaku pada jati diri yang sebenarnya" Ujar Rose menjelaskan panjang lebar dan Lisa terlihat memperhatikan.
 


 

"Kira-kira, jika kau ada diposisi harus memilih orang tua atau pria yang kau cintai.. siapa yang kau pilih?" Mendadak Rose bertanya, Lisa gugup memilih jawaban.
 


 

Dengan kikuk dan tak yakin Lisa menyahut. "Aku tidak mencintai siapapun, aku pasti memilih orang tua" 
 


 

"Kau yakin?" 
 


 

"Ya..aku yakin, kurasa.." 
 


 

"Sesekali ditengah kehidupan biasa, cinta memberi kita dongeng indah" Balas Rose mulai menunjukkan jurus menyair andalannya.
 


 

Lalu menambahkan, "Cinta bernapas satu sama lain dengan sebuah kegilaam. Makanya, aku meninggalkan segalanya untuk hidup bersama seseorang yang sangat mencintaiku." 
 


 

"Tapi saat cinta hilang, kebahagian yang sempat datang langsung digantikan rasa sakit. Aku tidak menyukainya, itu kedengaran menyedihkan." Komentar Lisa merespon acuh tak acuh.
 


 

Rose tertawa pelan sambil menutupi mulutnya dengan tangan kanan, Lisa masih sangat polos dalam hal seperti ini. "Serahkan dirimu pada seseorang yang siap mempersembahkan rembulan dikakimu, seseorang yang biasanya mudah pergi dan tak pernah kembali saat kau telah melewatkannya." 
 


 

Kening Lisa bergelombang dalam, otaknya mencoba mencerna kata-kata Rose tapi tak sampai sangking terlalu apiknya. Lisa mendesah berat, "Aku tidak mengerti" Pasrahnya mengetahui.
 


 

"Okay, lupakan. Lumayan rumit memang," Lalu Rose mengubah topik. "Kurasa aku mengingatmu, kau gadis yang sepatunya terlepas lalu mendarat dikepala plontos guru seni yang lewat dilapangan saat pelatihan olahraga, 'kan?" 
 


 

Lisa cemberut menopang dagu. "Jahat sekali, sepatuku kebesaran waktu itu. Kakiku masih kecil jadi tidak sengaja tapi gurunya marah dan melapor pada ibuku" 
 


 

Rose menahan tawa ringan, berbincang dengan Lisa ternyata cukup menyenangkan tapi Rose punya sesuatu yang harus ia urus. "Oh! Lihat waktunya!" Seru Rose seraya menatap jam tangan yang melingkar dipergelangan tangan kirinya. "Jam makan siang sebentar lagi, pelanggan yang datang pasti banyak. Aku harus pergi" 
 


 

"Pergi?" Lisa turut berdiri saat Rose mengemasi tasnya dan berdiri dengan hati-hati karena kondisi perutnya yang sudah sangat besar.
 


 

"Ya, aku punya usaha cafe didekat sini. Mampirlah jika kau luang" Rose tersenyum saat mengeluarkan kartu diskon promosi cafe miliknya, Rose melambaikan tangan bergegas mau pergi.
 


 

Lisa mengangguk lalu menunduk, sibuk menatap kartu diskon Jirose Cafe yang sedang ia pegang. Iseng, Lisa membalikkan kartu lantas menemukan catatan yang ditulis menggunakan pena. Lisa tertegun lagi saat membacanya.
 


 

"Lebih baik kehilangan dan mencintai daripada tidak pernah mencintai sama sekali." - Rose 
 


 

~•~
 


 

22 : I want you too
 


 

Serin mengambil salah satu dari lima dress yang ia pilih untuk dipertimbangkan lagi. Dari lima potong, Serin sudah memilih satu yaitu dress berwarna hitam ketat dengan garis belahan dada ke bawah dan pendek sepaha lalu masuk ke kamar mandi untuk berganti.
 


 

Sementara Lisa kebingungan sendiri karena Hyori memintanya bertanya pada Taehyung tapi sejak tadi malah dikacangi. Taehyung sibuk sekali bersama panggilan diponselnya, alhasil Hyori yang memaklumi lantas turun tangan dan memilihkan gaun vintage dengan tali spagethi untuk Lisa coba.
 


 

"Anu.. ibu--"
 


 

"Masuk dan coba dulu. Biar Taehyung dan Ibu yang menilai" Ujar Hyori menyela, mendorong pelan Lisa masuk ke dalam kamar tamu disebelah kamar Serin.
 


 

Jungkook tak tertarik, bahkan tadi saat Serin bertanya bagus kiri atau kanan, dengan asal dan tanpa melihat, Jungkook langsung tunjuk entah ke arah mana tapi kelihatannya wanita itu sangat gembira. Mungkin karena Jungkook yang memilihkan atau pilihan Jungkook sesuai dengan keinginannya, entahlah.
 


 

"Jungkook, letakkan majalahmu dimeja. Masuk ke kamar dan coba kemejamu!" Pinta Hyori seraya melempar setelah kemeja sekaligus tuxedo hitam pada Jungkook beserta dasi berwarna hitam pula, sudah disesuaikan dengan warna dress yang akan Serin pakai.
 


 

"Iya Ibu" Jungkook memaksakan senyum dan berdiri, memeluk setelan bajunya lalu hendak masuk ke kamar Serin. Wanita itu kan berganti dikamar mandi, Jungkook bisa ganti dikamarnya. 
 


 

Tetapi Hyori menahan lengan Jungkook dengan sigap, melarangnya masuk. "Tidak boleh! Kalian belum menikah, jangan merusak kesan malam pertama" tuding Hyori mengarah ke arah lain.
 


 

Jungkook belum sempat membalas apapun saat kedua tangan Hyori mendorong punggungnya, memasukkannya ke dalam kamar yang dimasuki Lisa. Hyori pikir tidak apa-apa jika adik dan kakak berada dalam satu ruangan, toh darah mereka sama. 
 


 

"Tidak jadi kejutan kalau kau melihat baju Serin didalam" Celetuk Hyori sembari mendorong Jungkook masuk, lalu menarik pintu untuk ditutup usai Jungkook masuk ke dalamnya.
 


 

Jungkook menatap pintu bercat putih gading dihadapannya. Desahan berat meluncur dari bibirnya disusul helaan nafas. Mau tidak mau tanpa memikirkan apapun, Jungkook melepaskan satu per satu kancing kemejanya. Tak ada Lisa dikepalanya, otak dan hatinya dikuras kosong dalam semalam. Setidaknya agar bisa bersikap seperti yang ia katakan tempo hari. 
 


 

Sampai dikancing terakhir, lekukan otot perut persis replika roti sobek yang suka membuat otak travelling saat memakannya terpampang jelas disana. Meletakkan lebih dulu setelan yang harus ia pakai ditepi tempat tidur kosong sebab ruangan ini diperuntukan untuk tamu dadakan.
 


 

Jungkook mendecak pelan, resleting celananya tersangkut. Tepat saat ikat pinggangnya merosot ke lantai, pintu kamar mandi terbuka menampilkan sosok Lisa yang menunduk sambil mempertahankan tali tipis yang terus merosot dari bahunya karena ukuran pinggang atas sampai lingkaran dada gaun itu terlalu besar.
 


 

"Anu.. Ibu-eeeh, b-bukan ibu?" Lisa meneguk ludah, spontan menyilangkan tangan menutupi area dadanya yang terbuka. Memang tidak semenonjol milik Serin atau Rose yang ia lihat kemarin, tapi tetap saja benda itu berharga. 
 


 

Jungkook belum menoleh, mengabaikan Lisa dan memilih melanjutkan kegiatannya. Melepaskan celana panjangnya membiarkan boxer hitam sebatas paha itu itu terlihat. Lisa memalingkan wajah dengan rona merah dipipi, panas menjalar di area wajah sampai ke telinga hingga tubuhnya meremang.
 


 

Tidak enak hati tetap berada disini, Lisa berjalan mundur membelakangi Jungkook agar tidak melihat kegiatan pria itu saat mengganti pakaian. Meski sempat mengintip punggung telanjangnya tadi, tapi sudah Lisa lupakan. Jadi, anggap Lisa tidak lihat apapun.
 


 

Sayangnya lagi dan lagi manusia hanya diberi kesempatan untuk berencana sebab sisanya sang pencipta yang menjalankan. Mungkin telah tertulis digaris takdir saat Jungkook membungkuk untuk meraih dompetnya yang terjatuh lalu pinggulnya menyenggol keseimbangan kaki kanan Lisa.
 


 

Jatuh tak dapat Lisa hindarkan, lebih baik jika jatuh ke depan daripada.. jatuh ke belakang dan menubruk Jungkook. 
 


 

Rasa malu membuat Lisa terduduk dengan menundukkan kepala sedangkan Jungkook berhasil mempertahankan keseimbangan meski sempat nyaris jatuh. Sekarang bagian yang tidak seharusnya tersentuh padahal tidak disentuh secara langsung menjadi bereaksi, sialan sekali bagi Jungkook.
 


 

"Kau tidak apa-apa?"
 


 

Double sial! Jungkook kelepasan bertanya sampai mengulurkan tangan segala. Lisa menggigit bibir, meremas ujung gaunnya lalu mendongak usai mengumpulkan sisa keberanian yang tidak sebesar biji jeruk itu. 
 


 

Lisa menggeleng. Jungkook lega dan sedikit menarik senyum saat Lisa menerima uluran tangannya untuk dibantu berdiri. Tapi nampaknya, Jungkook dibuat kesulitan dalam sesi ini. 
 


 

Karena setelah Lisa berdiri, tali tipis itu meluncur bebas dari bahunya, sedikit menunjukkan belahan yang amat Jungkook rindukan tapi sayang Lisa segera merapihkan pakaiannya.
 


 

"Maaf.." Cicit Lisa bersuara kecil.
 


 

Jungkook mengendikkan bahu tidak masalah, Lisa melewatinya. Jungkook melemparkan kemeja ditangannya ke kasur, berbalik dan menahan tubuh Lisa dari belakang. Tangan kanannya melingkari bahu Lisa dari depan, menahan pergerakan gadis yang ia buat punggungnya sedikit melengkung ke belakang. 
 


 

"Kak-aah!" Lisa memekik ringan, satu tangan Jungkook yang tersisa menyelip masuk ke sela lengannya, menyentuh bagian yang tidak seharusnya. Malahan, meremas kuat sebelah dada kanan Lisa.
 


 

Denyutan nyeri tak bisa terelakkan, berhubung Lisa memang akan mendapatkan jadwal datang bulannya beberapa hari lagi. Tertebak dari payudaranya yang mengencang dan lebih sensitif terhadap sentuhan, sedikit saja disentuh maka rasa nyerinya tak tertahankan.
 


 

Masih menyesapi denyutan nyeri didada kanannya, tangan kiri Jungkook berpindah posisi tak lagi menahan bahu Lisa. Kini kedua tangan kurang ajar dengan masing-masing lima jari terbuka itu menyerang dada Lisa, meremasnya segemas mungkin.
 


 

Sontak bibir Lisa terkatup rapat. Raut wajahnya kacau, tergabung antara kesakitan dan merasa nikmat-eh!? 
 


 

Kaki Lisa gemetar lemas, wajahnya memucat syok sementara tangan Jungkook masih asyik bergerilya meremas-remas dada Lisa hingga garis kusut tak beraturan tercipta digaun yang gadis itu kenakan. 
 


 

Seakan tidak peduli nanti sang adik harus menjawab apa ketika ditanya alasan bagian atas bajunya kusut, Jungkook terus menekankan jemarinya. Dada gadis itu begitu mungil, tetapi sintal seperti yang pernah Jungkook lihat dan sangat pas digenggamannya. 
 


 

Lisa ditarik ke belakang, kakinya kehilangan topangan. Bobotnya menghilang, kini tubuh belakangnya bersandar pada Jungkook. Kedua tangan kecilnya berusaha menahan Jungkook dengan memegangi lengan kekar berurat itu, sayangnya tak membuahkan hasil. Nafas Lisa memburu, jantungnya sesak saat telunjuk Jungkook menekan puncak dadanya.
 


 

Tanpa berhenti meremas, jari itu berputar ditengah pusat tersensitif didada Lisa. Nipple pad yang dikenakan Lisa terasa sesak, terlalu menjadi ketat saat nipplenya menegang sempurna, tegak dan menggiurkan jika dilahap.
 


 

"K-kak Jung...kookhh!" Lisa berusaha menghentikan namun sentakkan yang keluar dari mulutnya justru membentuk desahan.
 


 

Jungkook terkesiap, gaun longgar ini memudahkannya untuk lebih nakal lagi. Seringaian tercipta saat ia menarik turun gaun itu, mengeluarkan salah satu payudara Lisa dan menjentikkan jari hingga nipple pad warna kulit itu jatuh ke lantai. Lisa tak berdaya, ia mengatupkan rapat-rapat bibirnya saat jemari Jungkook mendarat pada kekenyalan itu.
 


 

Mencubit-cubit nakal lalu menariknya, menekan dan memutarnya dengan pilinan lembut. Kaki Lisa semakin bergetar, perutnya mengencang. Kewanitaannya terasa panas dan berkedut, Lisa menunduk. Pasrah saat getaran mencapai pada dua pahanya, rasa panas itu semakin menjalar lalu saat remasan kuat berikutnya Lisa dapatkan, sesuatu merembes didalamannya, mengalir menyusuri kedua pahanya.
 


 

Nafas memburu Lisa jadi terengah. Kewanitaannya panas, Lisa menggeliat, menutup rapat kedua kakinya namun baru sadar saat tangan kanan Jungkook turun, mengangkat bagian bawah gaunnya lalu menusukkan satu jarinya disana.
 


 

"A-awhh!" Ringis Lisa memejamkan mata, masih ada sekat oleh dalaman satin yang ia kenakan sehingga jari Jungkook tidak menyentuh masuk secara langsung.
 


 

"Ouch.. cute.." Bisik Jungkook seraya mencium gemas pipi Lisa kala merasakan himpitan kuat pada satu jarinya namun segera Jungkook tarik keluar. 
 


 

Lisa terkesiap, masih perlu waktu untuk menelaah kejadian singkat yang baru saja terjadi dan kakinya saja gemetaran sampai harus menyandarkan tangannya pada dinding terdekat guna menopang tubuh tetap berdiri. 
 


 

"Kau sudah tau kebrengsekkanku, tidak bisa kututup-tutupi. Aku tidak melakukan yang seperti ini lagi nanti, ini pelecehan pertama yang kulakukan terhadapmu saat kau dalam kesadaran penuh.. dan juga pecelehan terakhirku terhadapmu. Salam perpisahan? Begitu orang Amerika menyebutnya" Jungkook terkekeh meraih kembali kemejanya dan memakainya, raut wajah tidak suka ia tunjukkan pada gaun Lisa.
 


 

Lalu tanpa izin disaat Lisa masih termangu, Jungkook membalik tubuh gadis itu. Merobek rentetan tali spagethi dibelakangnya. "Katakan pada Ibu, gaunnya malfungsi. Jangan pakai ini, cari gaun lain." 
 


 

Lisa meneguk ludah, menatap Jungkook dari bawah saat pria itu sibuk kembali merapihkan rambut Lisa yang berantakan karena ulahnya tadi. Lalu tersenyum, hati Lisa menghangat. Meski harusnya tindakan Jungkook barusan masuk dalam kategori pelecehan, anehnya Lisa tidak marah atau sedih bahkan tidak merasa kotor.
 


 

"Pakai ini, turunkan tanganmu dulu" Jungkook memerintah, memakaikan jasnya pada Lisa untuk melindungi tubuh gadis itu yang hanya boleh dilihat olehnya saja.
 


 

Lisa menggigit kuat bibir dalamnya, tangan mungilnya memegangi jas Jungkook dibahunya. Aroma khas milik pria itu menguar dari sana, Lisa menunduk kala mendapat usapan lembut dikepalanya bahkan sampai ditepuk-tepuk ringan. Lisa semakin menunduk, lalu saat Jungkook mengangkat dagunya hingga kepalanya terdongak, pria itu mendaratkan kecupan basahnya tepat dibibir Lisa.
 


 

Lisa memalingkan wajah merahnya, Jungkook terkekeh pelan melihat kejadian itu. Jungkook merunduk, menyelipkan anak rambut Lisa dibelakang telinga lalu berbisik. "Pergi keluar lebih dulu, kalau mereka tanya.. bilang kita pakai kamar mandi secara bergantian, oke?" 
 


 

Setengah linglung, Lisa mengangguk. "I-iya" lalu pergi mengikuti arahan perintah Jungkook, kedua kakinya terasa masih gemetaran sementara kewanitaannya tidak baik-baik saja.
 


 

Tetapi lagi-lagi Jungkook menahan lengan Lisa membuat gadis itu terperanjat kaget kemudian mendekatinya, berbisik lirih tepat ditelinga Lisa. "Pakai yang merah, warna itu cocok ditubuhmu." 
 


 

Pipi Lisa tersipu, nafas hangat Jungkook menggelitik telinganya. Lisa tertegun, Jungkook mengecup lembut bagian atas daun telinganya lalu mengulurkan lidah, menghisap lembut dibagian itu sampai mata Lisa melotot nyaris meloncat keluar.
 


 

Cukup! Lisa tidak membalas, menepis tangan Jungkook yang langsung terlepas lalu pergi sambil berjalan menunduk dan berharap guratan merah dikedua pipinya segera memudar. Pun, debaran jantung melonjak tak bisa Lisa hindari. Cepat-cepat Lisa menarik gagang pintu dan keluar dari sana.
 


 

Tepat saat pintu kembali tertutup ketika Lisa keluar, Jungkook mengerang seraya memijat lembut pelipisnya, ia tak marah malahan senang. Menurunkan tangan kirinya membelai sesuatu yang menggunduk diantara kedua kaki, menekannya lembut hingga leher, wajah, sampai telinganya memerah. 
 


 

Jungkook harus menyelesaikan ini. Salahnya sendiri sok menggoda Lisa, membuat gadis itu basah lalu pada akhirnya.. Jungkook tersiksa. Teringat pekikan desahan Lisa membuat kejantanannya terasa ngilu dibalik sana, sesak dan minta dibebaskan.
 


 

Dengan tergesa ia menyambar setelan yang akan dipakai, berjalan cepat dengan langkah panjang-panjang menuju kamar mandi. Masuk ke dalam menyisakkan hentakkan keras yang menggetarkan sampai ke bingkai foto didekat pintu. 
 


 

Sementara itu diluar, Lisa meremas tangannya sendiri. Tersenyum kikuk saat Hyori mendekati dan bertanya, mulai menilai penampilan Lisa. "Kau cantik, gaunnya cocok untukmu." Mendapati jas yang dipakai Jungkook sebelumnya menutupi bahu Lisa, Hyori memicing. "Kenapa malah ditutupi?"
 


 

Lisa menghela nafas, masih mempertahankan senyum. "Tapi ibu, saat mencobanya.. aku tidak sengaja merobek bagian belakang gaun dan merusaknya" 
 


 

"Kau merusaknya?" Alis Hyori terangkat satu, saat Lisa mengangguk, Hyori menghela nafas. "Ya sudah, pakai yang lain." 
 


 

Lisa mengangguk. "Iya ibu, maaf.." Sesalnya. Hyori tidak mempermasalahkan itu jadi Lisa mendekat ke sofa tempat ia meletakakkan beberapa gaun yang ia pilih, sebetulnya tak ada yang Lisa sukai, Taehyung mengambilnya asal-asal.
 


 

Bahkan Lisa tidak diajak melihat atau ditanya suka atau tidak. Lisa menghela nafas, bahunya merunduk saat tangan kanannya bertumpu menekan jas Jungkook untuk menutupi dada sementara tangan kirinya mengacak-acak tumpukkan gaun dan terdiam saat mengenggam gaun berwarna merah.
 


 

Tidak, Lisa berpaling pada gaun biru tua, meraihnya untuk ditunjukkan pada Hyori. Saat ia berbalik, Serin keluar bersamaan dengan Jungkook. Nyaris berbarengan, raut wajah Lisa berubah seketika, ingin tertekuk kesal. 
 


 

"Wow so beautifull!" Jungkook memuji pura-pura tersenyum padahal malas sekali, hanya bisa pasrah ketika ditarik Hyori dan diminta berdiri bersampingan dengan Serin.
 


 

Serin tersipu, malu-malu ia bertanya. "Bagaimana penampilanku ibu? Apakah cocok?" 
 


 

"Cocok matamu!" Lisa menggeram kesal didalam hati, tanpa sadar meremas kuat bagian gaun yang dipegangnya. "Mau bertunangan atau pamer dada, sekalian saja tidak usah pakai baju. Pahanya juga terlihat, bokongnya sengaja ditonjolnya. Menyebalkan, dasar gila!"
 


 

"Cocok sekali!" Hyori hampir memekik sangking kagumnya dengan kecantikan Serin berpadu dalam kesan seksi nan elegan. "Kau bak dewi yang turun langsung dari langit, putra-ku benar-benar beruntung!"
 


 

Jungkook menghela nafas berat, satu tangannya mendarat dibahu telanjang Serin. "Serin memang kelihatan cantik dress ini tidak cocok ibu, bukankah pesonanya akan lebih menguar jika.."
 


 

Mata Jungkook mengarah pada tumpukkan gaun disofa, saat menemukan yang tepat, Jungkook meraihnya dan menunjukkan potongan gaun setengah hitam, setengahnya lagi abu-abu. ".. memakai ini, coba kenakan!" Sambung Jungkook menitah.
 


 

Hyori tersenyum menyaksikan interaksi keduanya, waktu terasa melambat. Dua anaknya sudah besar, sudah akan menikah. Hyori jadi makin terharu membayangkan seorang cucu digendongannya nanti.
 


 

Lisa mengerjap. Sadar baru saja memaki Serin didalam hati membuat urat malunya bereaksi, memangnya Lisa siapa? Lisa bukan siapa-siapa dan tidak berhak ikut menilai penampilan Serin. Tadi Jungkook juga memuji wanita itu, Lisa mendesah pelan, mengembalikan gaun biru ditangannya ke tumpukan gaun yang lain.
 


 

Menyingkirkan beberapa potong gaun lainnya, tangan Lisa mengenggam ujung gaun berwarna merah. Lisa melirik ke arah sana, dimana Serin, Jungkook, dan Hyori sibuk berbincang entah apa lalu menyorot Taehyung yang sibuk bermain game diponselnya.
 


 

Kondisi aman, Lisa melepaskan gaun itu dari gantungan, membawanya dengan melipatnya asal hingga membentuk buntalan, ia tutupi dengan gaun berwarna biru lalu diam-diam pergi dari sana dan tak ada yang menyadari jika salah satu anggota koloni mereka pergi.
 


 

Lisa memasuki kamar. Jantungnya berdebar seolah sedang menyembunyikan kesalahan padahal tidak, punggungnya masih menempel pada pintu yang tertutup dibelakangnya. Panas dipipinya semakin menjadi-jadi, tangan kanannya mendarat pada perutnya yang bergejolak seakan banyak kupu-kupu sedang terbang memutar diatas perutnya. 
 


 

Jas Jungkook merosot dari tubuh Lisa ke lantai bersamaan dengan gaun biru yang sengaja Lisa jatuhkan. Kini gadis itu memegang gaun merah di kedua tangan, memerhatikan desain gaun yang sangat setipe dengannya. Lisa tidak ingat Taehyung memilih warna merah, tidak ada warna merah yang Taehyung ambil. 
 


 

"Apa mungkin.." Lisa tertegun, perhatiannya tersita. Gaun merah itu ia dekap, aromanya terasa manis. "Tidak mungkin!" Bantah Lisa sempat beranggapan kalau Jungkook yang memilihkan ini untuknya.
 


 

Lisa kehilangan kata-kata untuk menilai, yang Lisa tau gaun ini sangat indah dan terasa nyaman terlihat dari bahannya. Pipi Lisa tambah merona kala maniknya menangkap kertas kecil terselip digantungan merek baju yang hendak Lisa lepas.
 


 

Gaunnya tidak ada dalam pilihan calon tunanganmu yang memiliki selera pilihan gaun rendahan. Pakai ini, aku memesannya untukmu, bukan asal pilih seperti pria itu.
 


 

Tubuh Lisa menegang, kakinya lemas. Ia merosot jatuh terduduk, jantungnya berdebar kuat seperti sedang diremas lalu melompat. Lisa tidak bisa berbohong dan munafik dengan mengatakan dan mengelak kalau hatinya tidak menghangat, perutnya tidak geli dan pikirannya tidak memikirkan Jungkook.
 


 

Hampir Lisa tersenyum, namun sayang.. senyum yang belum sempat terbentuk langsung pudar saat Lisa teringat setengah perkataan Jungkook. Wajah Lisa memucat pias, dadanya seketika sesak.
 


 

"....ini pelecehan pertama yang kulakukan terhadapmu saat kau dalam kesadaran penuh.. dan juga pecelehan terakhirku terhadapmu."
 


 

Lisa telah salah, atensi Jungkook sudah merasuk terlalu jauh didalam hatinya sehingga mata Lisa dipaksa untuk terbuka dan mengakui kalau dirinya juga salah...sempat pernah memikirkan sesuatu yang lebih. Bukan salah Jungkook sepenuhnya, Lisa juga bersalah...
 


 

--Karena sempat menginginkan pria itu.
 


 

~•~
 


 


23 : To late
 


 

Jungkook menggulung lengan kemejanya agar balapan tidak terlalu kontras antara lengan jas hitamnya. Jungkook berdiri tepat didepan cermin besar yang ada dipintu lemari. Kedua tangannya berpindah naik merapihkan kerah kemeja putih yang menjadi pelapis didalam lalu ini saat terbaik dimana Jungkook menyimpan dasi hitamnya ke dalam laci dan mengambil dasi yang lain.
 


 

Dasi berwarna merah. 
 


 

Memakai dasi sendiri sudah biasa, Jungkook lakukan setiap pagi di Amerika dan setelah sampai kembali dirumah. Hanya saja kelihatan lebih baik saat berandai dasinya dipakaikan oleh seseorang, kekasih atau istri. Tepatnya, Lisa, mungkin. 
 


 

Helaan nafas terdengar berat keluar dari belah bibir tipis Jungkook, terlihat dari sorot kedua matanya, Jungkook tidak menginginkan pertunangan maupun pernikahan nantinya. Jungkook tidak bisa mendapatkan Lisa, kan?
 


 

Kepalanya menoleh sambil memicingkan mata, menatap lurus ke atas dinding saat menemukan serangga paling menakutkan sepanjang masa itu. Jungkook menatapnya geram sembari memakai dasi, giginya bergemeletuk tajam.
 


 

"Kecoa, kageti aku!" Pintanya tak digubris bahkan oleh serangga yang biasanya hobi membuat jumpscare. "Terbang dan hinggap diwajahku, buat aku mati terkejut!" Gertaknya, masih tidak diladeni.
 


 

Jungkook menyugar kasar rambutnya, menjatuhkan bokong ditepi kasur. Merasa miris terhadap dirinya sendiri, ini kali pertama Jungkook tergila-gila pada seorang gadis dan sialnya, itu adiknya. Semalaman Jungkook tak bisa tidur, ketika matanya terpejam selalu muncul kehaluan yang membuat kejantanannya terbangun, gairahnya ikut bangkit dan berakhir dikamar mandi.
 


 

"Bahkan kecoa saja kasihan melihatku.." Jungkook terkekeh, mencoba beberapa ekspresi palsu yang akan ia tampilkan didepan banyak orang. 
 


 

Matanya tersita oleh jam tangan rolex dipergelangan kiri, masih ada tiga puluh menit sebelum pesta pertunangan dimulai. Para tamu cukup ramai, pihak keluarga Serin tidak datang beralasan diluar negeri dan mengalami kondisi cuaca ekstrim. Hanya teman-teman yang Serin bawa, dan para temannya itu membawa teman dari teman dari teman dari teman dan dari temannya lagi. Maka sudah tentu, makin ramai.
 


 

"Tidak merubah keputusan? Tetap akan bersama dengan pria itu?" Jungkook berdecak, rasanya mau marah dan muntah didepan wajah Taehyung tapi tak bisa, terlalu mengotori harga diri.
 


 

Persetan! Jungkook tak peduli lagi, adik kandung atau adik tiri, anak pungut atau anak dari ayah dan ibunya sendiri, Jungkook tak mau tau! 
 


 

Jungkook berdiri, membongkar laci disamping tempat tidur dan meraih pigura berisi foto Lisa yang ia sembunyikan lalu memajangnya diatas nakas. Tak peduli mau dilihat ibunya, tetangga, kecoa, atau Lisa sendiri, Jungkook tidak bisa menghentikan cinta yang perlahan berubah menjadi obsesi gila.
 


 

"Tahan Jungkook, kau bukan monster" Jungkook mengerjap, suaranya muncul dari dalam hati. Bukan waktunya Jungkook seperti ini, ia harus bisa mengendalikan diri, tidak boleh menakuti Lisa.
 


 

Telapak tangannya semula terbuka, kini perlahan tergenggam. Seyakin itu Jungkook atas semuanya termasuk perkiraan kalau Lisa akan datang padanya didetik terakhir dan balas menyatakan perasaan lalu semua selesai sesuai yang Jungkook bayangkan.
 


 

"Sempurna, come one little one.." Jungkook menyeringai, mengelus pipi Lisa difoto itu. "Aku tidak bisa hidup tanpamu, sungguh." 
 


 

Deg!
 


 

Lisa tersentak, bahunya bergetar sampai mengejutkan Rose yang menjadi tamunya karena Jimin yang menjadi suami Rose juga Jimin yang malam itu, dipukuli Jungkook saat mabuk. Ini lucu, Rose datang dan menata rambut Lisa sambil memberi keterangan sudah izin pada Ibu gadis itu.
 


 

"Cantik." Puji Rose terhadap Lisa sekaligus hasil karya tatanan rambut yang ia buat. "Oh! Tunggu, jangan berbalik!" Rose menahan Lisa, gesturnya menarik kotak berwarna merah dan mengambil kalung bermata permata merah dari sana.
 


 

Usai memakaikannya dileher Lisa, Rose berdecak kagum. "Demi Tuhan, kau cantik sekali, Lisa!" Tukas Rose gemas sendiri terutama saat melihat Lisa berdiri dan gaun merah itu sangat cocok ditubuhnya. 
 


 

"Kau juga cantik." Sergah Lisa lumayan canggung.
 


 

Memandangi Rose dari atas ke bawah, nyatanya meski usia kandungan Rose nyaris mencapai 9 bulan, dia masih lincah terbukti merengek datang ke sini bersama Jimin. Rose menduga hal besar akan terjadi, dan hal besar itu merupakan pertemuannya dengan Lisa.
 


 

"Jadi, dia pilihanmu?" 
 


 

Lisa tertegun, sedari tadi melamun memandangi kalung yang terpasang dilehernya. Begitu ditegur Rose untuk diajak bicara, Lisa seperti domba yang sedang dikageti.
 


 

"Kau memilih pria itu?" Tanya Rose mengulang pertanyaan.
 


 

"Ah.." Kegugupan menyelimuti Lisa, kelebihannya mengalihkan topik bukan menyembunyikan perasaan. "I-iya" jawabnya diiringi seulas senyum.
 


 

Rose mengangguk-angguk, menepuk-nepuk bahu kanan Lisa. "Semoga bahagia, nikmati perjalanan cintamu selagi masih bisa. Kalau sudah menikah, bikinlah banyak anak!" Rose terkekeh tapi Lisa justru kelihatan murung.
 


 

Rose berpamitan harus ke bawah karena Jimin pasti sudah terlalu lama menunggu dibelakang pintu. Dimasa seperti ini Rose tidak boleh lelah jadi sebagai syarat mutlak apabila ingin ikut ke pesta pertunangan keluarga Han, Jimin harus menggendong Rose kemanapun. Bahkan tadi Rose sampai dikamar Lisa menggunakan jasa gendong pribadi sang suami, entahlah, Jimin overprotektif sekali.
 


 

Rose mencapai pintu, ia menoleh dengan senyum tipis, tapi tidak benar-benar menoleh langsung bertatapan dengan Lisa. Rose hanya melihat ke samping dan sedikit melirik ke arah tempat Lisa berdiri. 
 


 

"Kereta yang terlewat tak akan pernah kembali, jika kau terlambat.. waktu tidak berbaik hati untuk melambat."
 


 

Ucapan Rose membuat pikiran Lisa yang keruh semakin keruh, ibarat air yang telah berwarna kecokelatan dalam sekejap berubah menjadi hitam saat limbah buangan dituang ke atasnya. Lisa baru mengerjap, belum mengerti makna kata-kata Rose.
 


 

"Kereta? Aku tidak ke sekolah naik kereta, aku naik taksi dan biasanya.." Lisa tercenung, kepalanya tertunduk. Lisa merasa sedih, matanya memanas membayangkan nanti ia duduk dikursi belakang sementara yang duduk disisi kursi kemudi adalah wanita lain, Serin.
 


 

Air mata Lisa hampir jatuh namun gagal saat pintu kamarnya diterobos oleh seseorang, secepat kilat Lisa mengusap mata basahnya dan menangkap atensi Serin berdiri dengan wajah bersinar dan tersenyum cerah pada Lisa. 
 


 

Serin mengulurkan tangannya pada Lisa. "Ayo turun bersama, mereka sudah menunggu" Ajaknya ramah.
 


 

Lisa menatap tangan Serin, jemarinya lentik dan cantik. Jemari yang akan menelusup diantara surai lembut nan tebal milik Jungkook, jemari yang akan bertautan erat dengan jemari panjang Jungkook dan jemari yang terkadang harus melakukan hal-hal berbau dewasa pada Jungkook.
 


 

"Ada apa?" Pertanyaan Serin membuyarkan lamunan Lisa, cengiran Lisa cetak tergesa. Serin mengerutkan kening, namun menganggap Lisa hanya gugup dan memaklumi. "Ayo keluar dari sini." Ujarnya lagi seraya menyambar tangan Lisa dan membawanya jalan bersama.
 


 

Benar, didekat tangga dua orang itu sudah menanti. Keduanya sama-sama gagah terbalut setelan yang berbeda tapi tidak terlalu mencolok. Taehyung dengan setelan abu gelapnya dan Jungkook dengan setelan serba hitam kecuali kemeja dan dasinya yang berwarna merah.
 


 

Keduanya menoleh berbarengan. Serin mempercepat langkah sehingga membuat Lisa nyaris tertinggal, tetapi sepatunya terlepas dan mau tak mau langkahnya terhenti sampai ia bisa memakai kembali sepatunya dengan benar dibantu Lisa yang mengambilkan.
 


 

Lisa berdiri, ia terkejut menemukan uluran tangan didepan wajahnya. Tidak, bukan untuknya. Tangan itu bergerak ke samping, diulurkan pada Serin, bukan pada Lisa. 
 


 

Serin menerima tangan Jungkook dengan senang hati, mereka berdua berjalan lebih dahulu sementara Taehyung tak ada minat untuk menghampiri. Taehyung rasa Lisa bukan anak kecil, Lisa sudah besar dan tidak perlu dimanja. Toh sejak kecil, Taehyung tumbuh mandiri tanpa Ibu maka calon tunangannya juga harus begitu.
 


 

"Bisakah kau lebih cepat?" 
 


 

Teguran keras dari Taehyung disusul decakkan itu membuat Lisa jadi kikuk seperti orang bodoh, pada akhirnya Taehyung mengalah dan menghampiri dengan tatapan tajam memperingatkan kalau Lisa tidak boleh bersikap bodoh didepan banyak orang.
 


 

"Jangan membuatku malu." Bisik Taehyung menekankan pada Lisa yang mengangguk dan menyunggingkan senyum kecil.
 


 

Para tamu mulai berbisik, terutama mereka yang terdiri dari para anak muda. Lisa asing dengan wajah mereka, Lisa menunduk sedikit. Beberapa orang terdengar melempar penilaian kepada dua pasangan yang masih menuruni tangga itu, gadis berkacamata yang sibuk makan kue dipojokkan paling heboh.
 


 

"Wah mereka tampan ya?" Ujarnya terkagum-kagum. 
 


 

Teman bergaun pinknya berdecak. "Ya tentu, tapi bukannya seperti tidak serasi?"
 


 

"Maksudmu?" Gadis berkacamata membenarkan penglihatannya dengan mengerjap, mencoba mencari ketidakserasian yang dimaksud temannya. "Tidak ada yang tidak serasi, tuh" sambungnya.
 


 

Sambil berdecak, gadis itu bersungut. "Wanita yang bersama pria itu, yang jalannya didepan.. dia tidak cocok disitu apalagi dengan baju norak dua warna yang dia kenakan. Coba kau teliti lagi, gaun wanita itu lebih cocok dengan pria yang dibelakang lalu gadis yang bergaun merah harusnya pindah ke depan. Apa calon tunangan mereka tertukar?" 
 


 

"Hush!" Gadis berkacamata memperingati, "Sudahlah, kita makan saja. Kita bahkan tidak kenal dengan mereka, kebetulan lewat dan disuruh masukkan?" 
 


 

"Terserahlah!" Sungutnya kesal.
 


 

Sorak tepuk tangan terdengar bersamaan decakkan kagum. Jika dari pihak Serin banyak teman dan teman, maka dari pihak Taehyung ada sang ayah dan para kolega bisnis ayahnya. Adik perempuannya tidak bisa ikut, sedang ada piknik penelitian tugas musim panas dipulau Jeju, membahas potensi buatan apa yang bisa dikembangkan disana. Padahal kalau datang, pasti semakin ramai. Taehyung sedikit kecewa tapi tak begitu peduli.
 


 

Taehyung melirik Lisa lalu melempar senyum hangat pada sang ayah yang berdiri disudut ruangan dan mengangkat gelas berisi alkohol ke arahnya. Taehyung mengangguk samar, sang ayah tersenyum dan merapihkan syal merah dilehernya sebelum meneguk isi gelasnya hingga tandas.
 


 

Diujung tangga, Hyori sudah siap menyambut bersama seorang pelayan yang memegangi nampan emas yang dipesan khusus dengan bantalan empuk diatasnya. Terdapat dua kotak kecil berwarna merah diatas sana, kotak cincin untuk kedua pasangan yang bertunangan malam ini.
 


 

Masih ada waktu, Jungkook memperhatikan Lisa. Satu tanda saja seperti menatap ke arahnya, Jungkook pasti membatalkan semua ini. Sayangnya Lisa tak bergeming, Lisa serius menatap lurus tanpa mengindahkan Jungkook yang beberapa kali kedapatan mencuri pandang lalu berakhir menghela nafas kecewa. 
 


 

"Tak apa, belum waktunya." Hibur Jungkook untuk dirinya sendiri. "Dia sungguhan tidak menyukaiku?" Mirisnya terhadap diri sendiri hingga tak sadar telah sampai dipenghujung tangga.
 


 

Senyum merekah Hyori menjadi sambutan, Serin membalas dengan senyum yang cerianya hampir sama. Serin begitu senang menghadapkan diri berhadapan dengan Jungkook, mengulurkan tangannya yang langsung digenggam oleh pria itu sedangkan tangan pria itu yang satu lagi memegang cincin, telah siap menyematkan benda berbentuk lingkaran tersebut. 
 


 

Lisa menghela nafas, Taehyung menarik paksa tangannya agar prosesi ini segera berakhir. Pengamatannta telah sampai pada kesimpulan bahwa perusahaan Jungkook maupun Jungkook sendiri tidak memiliki setitik celah untuk dijadikan kelemahan, sia-sia saja usaha Taehyung sudah sampai sejauh ini tetapi belum dapat apapun. 
 


 

Cincin tersemat lebih dulu dijari Serin, riuh tepuk tangan para tamu mengisi backsound kebahagiaan wanita itu. Matanya berair, Serin sadar telah jatuh cinta sangat dalam pada pria didepannya sejak pandangan pertama, Serin siap memberikan segalanya pada Jungkook. Sekarang gilirannya menyematkan cincin pada jari manis tangan kiri Jungkook. 
 


 

Sedikit lagi, Lisa memasang cincin jari Taehyung tetapi pikirannya yang melayang kemana-mana diriingi perasaan campur aduk membuat tangannya bergetar hebat, matanya kedutan, kakinya lemas. Lisa kesulitan sendiri, bahkan saat benda lingkaran itu baru masuk diruas pertama, tangan Lisa bergetar dan menjatuhkannya.
 


 

"Astaga!" Hyori tersentak, mencoba meraih cincin yang menggelinding itu tapi malah tertendang oleh kakinya hingga menghila entah kemana.
 


 

"Cepat, pakai ini dulu!" 
 


 

Sebelum ada tamu undangan yang menyadari, Hyori melepaskan cincin ditangannya. Cincin polos itu akan digunakan sebagai pengganti cincin yang harus Lisa sematkan dijari Taehyung. Dengan gugup Lisa menerimanya, segera menyematkan cincin itu disana. Beruntung ukurannya pas karena cincin itu memang kebesaran dijari Hyori, pertunangan Taehyung dan Lisa terselamatkan.
 


 

Alunan musik biola terdengar, lampu diredupkan. Taehyung membubarkan diri, dia pergi menghampiri sang ayah. Serin terlihat dikerubungi oleh teman-temannya seperti seekor ratu semut sedangkan Jungkook-eh, kemana Jungkook?
 


 

Lisa mengerjap, Jungkook tak ada disekitar sini. Pria itu menghilang lenyap, menguap begitu saja. Padahal tadi Lisa yakin ada Jungkook disisi Serin, lalu disaat sibuk mencari keberadaan Jungkook, maniknya beradu pandang dengan Rose yang langsung mengumbar senyum. Hyori ditepi sana menerima ucapan selamat penuh kebahagiaan.
 


 

"Hanya aku yang tidak bahagia" Lisa menghela nafas, menjauh dari para tamu karena yang merupakan tokoh utama dalam pesta ini adalah Serin. 
 


 

Wanita itu tunangan Han Jungkook sekarang. Semua orang mengenal Han Jungkook, meski belum lama tinggal dikorea tapi peresmian perusahaan yang dipindah-tangankan padanya langsung menarik perhatian, terlebih mendiang sang ayah memanglah sosok terkenal yang selalu tersorot kamera. 
 


 

"Lisaa!" Jisoo melambaikan tangan, satu-satunya teman sekelas yang diundang ke sini karena kedua orang tua Jisoo adalah mitra perusahaan Jungkook.
 


 

Jisoo tergopoh membawa piring kecil berisi tumpukkan kue ditangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang gelas erat-erat, gelas berisi sirup apel yang manis dan enak. Jisoo membungkuk sebab tak bisa menyalami Lisa, setelahnya memberikan kata selamat seperti yang beberapa orang lontarkan pada Lisa.
 


 

"Tunanganmu tampan!" Puji Jisoo menyanjung berlebihan, sedikit dramatis. "Sayang sekali teman sekelas lain tidak bisa melihat dan makan kue-kue yang enak ini" 
 


 

Air muka Lisa berubah pias, sedikit pucat. "J-jangan.." tangannya memegangi lengan Jisoo sambil menggeleng kuat, "Jangan beritahu siapapun tentang ini. Kumohon" 
 


 

Jisoo mengerutkan kening, sedikit skeptis tapi tak mempermasalahkannya. "Aku pasti tutup mulut, tapi yang sebesar ini memangnya bisa tertutupi dari paparazzi?" 
 


 

Benar. Lisa meneguk saliva dan memundurkan langkah menjauhi Jisoo, masuk ke kerumunan dan berdiam diri ditengah-tengah. Cepat atau lambat publik pasti tau walau disurat undangan diberitahukan agar tidak menyebarluaskan tentang pertunangan keluarga Han yang bersifat pribadi.
 


 

"Serin cantik sekali ya? Cocok bersisian dengan Jungkook yang tampan dan kharismatik!" 
 


 

"Kau beruntung, Serin-ah" Timpal yang lainnya. "Tampan dan kaya, kurasa kau tidak perlu pernikahan resmi untuk merasakan otot kekar pria itu" 
 


 

Serin menunduk malu-malu terlihat dari pipinya yang semerah tomat. "Aish! Kalian ini.." 
 


 

"Haha sudahlah! Kau tidak perlu malu, kau sudah seringkan?" 
 


 

Serin mendengus sebal. "Jangan bahas itu!" 
 


 

Lisa memalingkan wajah dan memilih pergi dari sana, duduk sendirian dibawah tangga, jauh dari perhatian orang-orang. Ya, Lisa sempat mendengar pujian tentang wajahnya. Mereka bilang Lisa sangat cantik, sangat cocok dengan Taehyung tapi ada juga yang sedikit berkomentar kalau tunangan perempuannya tertukar, mereka tidak tau saja kalau Lisa dan Jungkook merupakan kakak-beradik.
 


 

"Kereta yang terlewat tak akan pernah kembali, jika kau terlambat.. waktu tidak berbaik hati untuk melambat."
 


 

Lisa tercenung. Kalimat yang Rose katakan kembali terngiang, Lisa meremas ujung gaunnya sendiri. Mendesahkan nafas berat menghasilkan tenggorokan yang tercekat. Membenamkan wajah diantara lipatan lutut adalah hal yang bisa Lisa lakukan saat ini. 
 


 

Setelah melihat cincin melingkar dijari manisnya, Lisa ingin menangis keras. Dadanya sesak sekali seperti dihimpit potongan beton, Lisa menekankan telapak tangannya pada bagian dada. Menghirup udara sebanyak yang ia bisa, nafasnya tersenggal. Lisa tertekan, Lisa tidak bisa bertahan lebih lama lagi. 
 


 

Ditengah lamunannya, Lisa tertegun. Mungkin Rose benar, Lisa telah melakukan kesalahan. Kini Lisa tau maknanya, arti dari perkataan Rose tentang kereta yang sudah terlewat. Lisa berdiri, memegang sisi gaun panjangnya yang menutupi kaki.
 


 

Lisa tidak bisa mengelak, kakinya mulai melangkah dengan cepat. Keluar dari balik tangga dan berlari menaikinya, lampu yang diredupkan membuat orang-orang tidak mengetahui jika ada seseorang yang naik ke atas. 
 


 

"Kak Jungkook..." Lisa menggigit bibir, melirih didalam hati. Ia berlari menyusuri tiap lorong melewati beberapa kamar kosong, kamar Hyori, melewati satu kamar lagi hingga terhenti tepat didepan pintu kamar yang terakhir. 
 


 

Ini sudah terlambat, Lisa menunduk dan menangis. Dilema mendatangi hatinya lagi, harusnya jika ingin mendatangi pria itu, Lisa bisa lakukan sebelum tersemat cincin dijarinya dan Jungkook telah menjadi milik orang lain. 
 


 

"Aku hanya akan mengintip, hanya akan melihatnya. Aku tidak akan melakukan hal lain" Lisa bermonolog dalam hati, tersenyum kecil dengan air mata mengalir menyusuri pipi hingga membasahi dagu dan lehernya.
 


 

Perlahan Lisa mendorong pintu gading dihadapannya, menyembulkan kepala mencari keberadaan Jungkook. Hati Lisa menghangat saat menemukan pria itu berdiri dibalkon sibuk menikmati sejuknya angin malam. Punggungnya yang kokoh membuat Lisa tersipu saat melihatnya, pelan-pelan Lisa menyelinap masuk dan kembali menutup pintu. 
 


 

Jantungnya berdebar, rasanya seperti saat pertama kali Lisa melihat Jungkook waktu itu, dibutik. Sejak itu, Lisa sudah menyukai Jungkook sejak itu. Lisa menyukainya, tapi sayang.. pria yang ditabraknya dibutik ternyata kakaknya yang datang kembali ke Korea setelah bertahun-tahun, namun entah kenapa Lisa tidak pernah bisa memandang pria itu sebagai kakaknya, Jungkook terasa asing. Keasingan itu pula yang membuat Lisa tidak bisa mengelak lebih lama, Lisa sangat suka Jungkook. 
 


 

Membayangkan Serin akan memeluk pria itu tiap hari menyesakkan dada Lisa, menyakiti Lisa. Lisa tau ini kesalahan, bahkan disaat ia tak bisa menepati kata-katanya dan melepaskan cincin yang tersemat dijari manis tangan kirinya, mulai berlari dengan air mata deras mengalir.
 


 

Tangannya yang terbuka menyelinap ke antara sisi lengan Jungkook, memeluk erat tubuh pria itu dari belakang. Jemarinya saling mengait terkunci, wajahnya dibenamkan pada punggung kokoh itu. Lisa mulai terisak kuat, tangisannya menyayat hati Jungkook yang semula kelabu. 
 


 

"K-kak.." Isakkan menghambat suara Lisa, nafasnya naik-turun tak beraturan. Dengan parau, Lisa berucap. "Aku.. aku sangat-sangat-sangat m-enyu-kaimu! Hiks.." 
 


 

"A-khu.. tidak b-bi..sa.." Lisa mengatur nafasnya agar tidak tersenggal, semakin mengeratkan pelukan sepihaknya terhadap Jungkook. Kemudian melanjutkan, "..melihatmu dengan wanita lain, membuat h-hatiku sakit.. sakit sekali, kak!" 
 


 

Mendadak Jungkook tertawa sumbang, melihat kedua tangan Lisa diperutnya, tawa itu berubah jadi kekehan. Jungkook melepaskan kedua tangan Lisa yang melingkari tubuhnya, sontak gadis itu memundurkan dua langkah saat Jungkook berbalik dan memandang remeh ke arahnya.
 


 

"Well, bukannya itu kalimat menjijikan yang tidak seharusnya didengar seorang kakak dari adik perempuannya?" 
 


 

~•~
 

 

24 : Just be mine 
 


 

"Well, bukannya itu kalimat menjijikan yang tidak seharusnya didengar seorang kakak laki-laki dari adik perempuannya?" 
 


 

Deg!
 


 

Lisa tersentak atas kalimat Jungkook barusan, hatinya berjengit ngilu dan senyum diwajahnya memudar. Air mata masih mengalir dari kedua pelupuk matanya, Lisa menegang ditempat ia berdiri. Sorot mata Jungkook begitu tajam seakan sedang menghakimi, dan kata-katanya barusan sangatlah menjatuhkan harga diri Lisa yang sudah susah payah bergelut dilema untuk datang dan menyatakan perasaannya.
 


 

Jungkook maju selangkah, melonggarkan dasi yang melingkar dikerahnya. Tubuhnya sedikit dicondongkan, melihat getaran dipupil mata Lisa, Jungkook melunak. Jemarinya menggapai dagu Lisa, naik perlahan mengusap lembut jejak air mata dipipi mungilnya.
 


 

"Aku sering mendengar kalimat ini," Jungkook berdecak sedikit mencoba mengingat, senyumnya terulas saat kalimat yang ia cari sudah muncul ke permukaan otaknya. "Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Aku senang kau disini, Lalisa"
 


 

"Kakak marah?" Lisa bertanya menampilkan sisi kepolosan dari tatapannya, sangat cantik seperti biasa. 
 


 

Jungkook terkekeh, tangannya meraba-raba rambut Lisa yang ditata oleh Rose, dibentuk menjadi updo hairstyle tanpa menghilangkan poni khas menutupi dahi yang merupakan gaya rambut alami favorit Lisa. Jungkook menyukainya, Lisa semakin cantik bahkan jika tidak memakai apa-apa.
 


 

"Kau tidak mabuk?" Jungkook bertanya memastikan.
 


 

Sedikit bingung namun Lisa mengangguk. "Tidak sama sekali, aku belum makan apapun sejak sore. Aku minum beberapa teguk air mineral, bukan cola atau alkohol. Aku tidak mabuk, kakak!" Jelasnya agak jengkel.
 


 

Jungkook mengangguk terlihat masih sibuk melihat wajah Lisa dari beragam sisi, lalu pandangannya membeku pada keranuman bibir sang gadis yang terbaluri lipstik merah berwarna senada dengan gaunnya. Jungkook meletakkan ibu jarinya disana, menekannya sebentar lalu membalik jarinya itu, memandangi jejak lipstik yang tertinggal disana.
 


 

Pandangannya turun lagi, kali ini keningnya mengernyit kala mendapati kalung asing bertengger dileher Lisa. Dengan gesit Jungkook meraihnya, mengenggam bandulnya penuh rasa jengkel seolah tak ada yang pantas memberikan hadiah kepada Lisa selain dirinya.
 


 

"Lepaskan ini. Aku tidak suka" Desis Jungkook. "Jangan terima apapun dari siapapun kecuali dari diriku, perlu digarisbawahi kalau aku pria dewasa yang sangat-amat posesif pada gadis yang kucinta." 
 


 

Lisa mengangguk. "Iya, aku tidak-"
 


 

Cup! 
 


 

Jungkook mengecup singkat bibir Lisa, gadis itu salah tingkah menggerakkan kepalanya menoleh ke kanan lalu ke kiri. Respon yang menggemaskan, menggelitik perut Jungkook. Tangannya memegang sisi pinggang ramping Lisa, mulai mengangkat tubuh gadis kesukaannya.
 


 

Wajah Lisa merah padam, hanya bisa menunduk saat Jungkook mengangkat tubuhnya usai melepaskan dan melempar kalung hadiah Rose keluar sana. Mungkin jatuh ditaman lalu hilang diantara rerumputan, Lisa dan Jungkook tidak peduli.
 


 

Kaki Lisa terbuka, membentuk silangan dibalik tubuh Jungkook untuk menahan bobotnya sendiri meski tau bahwa pria itu sedang menggendongnya dengan satu tangan menahan dibagian bawah bokong Lisa. 
 


 

Posisi Lisa otomatis jadi lebih tinggi, wajahnya makin panas saat menyadari sedang dipandangi oleh manik hitam milik Jungkook. Pantulan rembulan membuat manik itu mengkilap, Lisa melingkarkan tangannya disekitar leher Jungkook lalu menyembunyikan wajahnya merasa malu.
 


 

Jungkook mengulum senyum saat Lisa menyembunyikan wajah diceruk lehernya, jutaan kelegaan menghujam Jungkook saat Lisa datang. Kini giliran milyaran kebahagiaan menusuk tiap aliran darahnya saat gadis yang ia nanti-nantikan telah berada didalam rengkuhannya, menyembunyikan wajah malu-malu.
 


 

"Kakak!" Lisa memekik saat Jungkook meletakkannya duduk dipembatas balkon, Lisa takut jatuh jadi kedua tangannya bergerak cepat mempererat pelukannya pada leher pria itu.
 


 

"Aku memegangimu" Jungkook tersenyum penuh kelembutan, maju selangkah lagi sampai tubuhnya tertelan diantara kedua kaki Lisa. "Ketahuilah.. aku tidak akan pernah melepaskan hal yang sudah berada dalam genggamanku." 
 


 

Agak merinding mendengarnya, tapi Lisa tidak takut, Lisa justru suka. Berulang kali perutnya bergejolak hangat, sentuhan Jungkook pada lehernya begitu lembut. Lalu saat pria itu mendekatkan kepala, menyerukkannya pada leher jenjang Lisa dalam kondisi bibir sepenuhnya terbuka, hisapan kuat mulai terasa.
 


 

Jemari Lisa meremas ujung rambut Jungkook, mengeratkan pelukannya terhadap sang pria. Pelukan yang justru membuat Jungkook semakin terdorong, menghisap kuat-kuat permukaan kulit putih Lisa. 
 


 

"Ahh.." Desahan kecil lolos dari bibir Lisa tatkala Jungkook melepaskan hisapannya, meninggalkan bekas kebiruan yang dapat dengan mudah dikenali sebagai tanda kepemilikan, bukan lebam sembarang. 
 


 

Ibu jarinya bergerak mengusap pelipis Lisa, mengecup sekilas bibir ranum gadis itu. Lisa memejam saat bibir manis pria itu menempel pada bibirnya, kecupan yang singkat untuk memulai momen manis. 
 


 

"Aku sudah mencap-mu" Jungkook berbisik bangga, kini sibuk memeluk Lisa sepuasnya. Hal yang tidak bisa ia lakukan sebelum-sebelumnya. "Kau tau apa artinya itu?" 
 


 

Lisa mendongak, menatap wajah Jungkook dengan maniknya yang sayu. Bahkan sentuhan lengan melingkar pria itu dipinggangnya sukses membuat kedua kakinya menggantung lemas. Lisa menggeleng polos, Jungkook mengecup bibirnya lagi dan lagi.
 


 

"Tanda yang berarti; kau milikku, kurasa kau harus bersiap untuk menerima banyak tanda disekujur tubuhmu" 
 


 

Lisa meneguk saliva merasa takut. Jungkook menenangkan gadis belia itu dengan elusan dipuncak kepalanya,turun ke pipi lalu memeluknya erat. "Sangat tidak sakit, sama sekali tidak sakit" 
 


 

Lisa balas memeluk Jungkook tak kalah erat, tubuhnya menempel sempurna pada Jungkook. Dekapan yang hangat dan pas, Lisa menyukainya. Aroma tubuh Jungkook begitu wangi, bahkan mengalahkan parfum maskulin yang menguar dari pakaiannya. 
 


 

"Kak Jungkook, aku takut.." Lisa menggigit bibirnya resah, bukan tanpa alasan-Jungkook telah menjadi milik orang lain dan Lisa juga. 
 


 

"No baby." Jungkook menegaskan, menautkan jemarinya diantara jemari tangan Lisa terasa lembut nan lentik. "Sebuah cincin apabila telah dilepaskan maka hubungan yang terikat saat cincin tersemat akan hilang. Apalah arti sebuah cincin, Lalisa.. itu hanya sebuah benda." 
 


 

Jungkook melepaskan pelukannya dari Lisa, beralih memandang keindahkan yang terpahat sempurna diwajah cantik sang gadis. Jungkook menyorot teduh lewat tatapannya, memberikan ketenangan yang sama pada Lisa. 
 


 

"Ibu, aku takut pada ibu" Suara Lisa mencicit dan bergetar sarat rasa takut. "Kakak, kau telah bertunangan" sambungnya melirih terlihat tidak suka dari gestur memalingkan wajah ke arah lain.
 


 

Jungkook tertawa ringan, Lisa makin cemberut. Oh, persetan! Amat menggemaskan sampai Jungkook ingin menenggelamkan wajahnya didada mungil gadis itu. 
 


 

Tanpa beban Jungkook menyahut. "Resiko, baby.. kau lumayan terlambat tapi tak apa. Kita bisa teruskan, kita tidak akan berhenti." 
 


 

Lalu tangannya naik menyusuri punggung Lisa, menekannya lembut dan hangat. Lisa menggigit bibir, gugup saat tangan besar Jungkook mencakup tengkuk lehernya dan mengarahkan wajahnya merunduk mendekat ke wajah Jungkook.
 


 

Mata keduanya terpejam, ketika bibir satu sama lain bersentuhan tak lagi ada jarak berarti, keduanya saling memangut satu sama lain, berperang membalas lumatan satu sama lain. 
 


 

Dibawah cahaya rembulan yang menyinari, menjadi saksi bisu dimulainya perselingkuhan seorang tunangan dengan gadis lain yang notabennya merupakan adik sendiri-sekaligus dimulainya hubungan yang tidak seharusnya terjalin diantara kakak-beradik. Hubungan yang tersembunyi dan harus dirahasikan dari orang lain.
 


 

Lisa mulai sesak kehabisan nafas, lidah Jungkook bermain-main menyerang habis-habisan. Beberapa kali lidah Lisa menghindar tetapi Jungkook itu pemaksa, membelit lidah Lisa dengan lidahnya lalu memperdalam ciumannya hingga banyak aliran saliva yang menetes disudut bibir Lisa sampai ke dagu dan mengalir ke bawah leher.
 


 

Lisa meremas kuat bahu Jungkook, pria itu tak merasakan sakit tetapi kode bahwa Lisa butuh oksigen sekarang Jungkook ditangkap jelas oleh Jungkook. Maka Jungkook menggigit bibir bawah Lisa dengan gemas, menambahkan bengkak pada bibir ranum yang kini lipstiknya telah berantakan akibat keganasan Han Jungkook. 
 


 

"Sudah kuduga, gaunnya pas untukmu!" 
 


 

Pujian Jungkook semakin membuat Lisa merona, disaat Lisa sibuk mengais oksigen berbeda dengan Jungkook yang sibuk memeluk Lisa erat seolah takut gadis itu menguap hilang dalam sekejap dan semua ini hanya mimpi, hanya angan-angan belaka. Tapi Lisa tidak hilang, Lisa masih ada dan nyata didekapannya. 
 


 

Nafas Lisa masih terengah, rasa malu membuat wajahnya tenggelam dibahu Jungkook sedangkan jemarinya menyusuri surai tebal Jungkook. Halus dan lembut, jemarinya refleks meremas surai dalam genggamannya saat kecupan-kecupan didapat disekujur leher jenjangnya.
 


 

"Kakak.." Erang Lisa menahan ledakan ditubuhnya tatkalah lidah Jungkook turut ambil andil membuat Lisa, membasahi leher Lisa dengan saliva hangat yang berubah dingin kala diterpa oleh angin.
 


 

"Kau nyaris membuatku gila, Lalisa." Bisik Jungkook seduktif sembari mengecupi daun telinga Lisa berkali-kali. "Aku akan gila jika kau tidak datang, aku benar-benar akan gila.. oh! Lihat, tubuhmu sangat pas dipelukanku"
 


 

Malu mendengarnya, Lisa mempererat pelukannya pada Jungkook. Tentu dadanya jadi menempel dengan dada Jungkook, terlihat pria itu menahan lenguhan. Gundukkan kembar empuk itu seperti meledeknya, menggoda minta disentuh. Jungkook menghela nafas, wajah sampai telinganya memerah.
 


 

Jemarinya bergerak meraba letak resleting gaun Lisa, menurunkan benda itu perlahan setelah didapat. Berhenti ditengah-tengah saat gaun Lisa melorot, tidak melorot sepenuhnya, bagian dadanya melorot. Belahan menakjubkan itu terlihat, Jungkook meneguk saliva saat melihatnya. 
 


 

Menatap Lisa sebagai bentuk permohonan izin ingin menyentuhnya lebih dalam. Lisa merona, lirikkannya menghindari Jungkook tetapi kedua tangannya yang bertengger dileher pria itu mendekatkan wajah Jungkook ke bawah sana, ke dadanya. Lisa tidak ingin melihat, Lisa memejamkan matanya saat Jungkook melepas nipple padnya menggunakan gigi.
 


 

Puncak merah muda tegak itu kembali Jungkook lihat, rasanya sudah lama. Jungkook tidak mau menyiakan waktu, bibirnya terbuka sempurna dan mulai melahap kesukaannya. Beberapa kali Lisa mendesah merasakan nyeri dan nikmat disaat yang sama. Tidak ada dadanya yang menganggur, disaat Jungkook sibut menghisap yang kiri maka yang kanan dimanjakan dengan remasan menggunakan tangan.
 


 

Lisa mendongak, mulai meracau sesekali. Memasuki masa subur, Lisa sangat sensitif. "Awh.." Lisa meringis, nipplenya digigit dan ditarik seolah yang menghisapnya adalah bayi yang baru tumbuh gigi.
 


 

Menyalurkan hasrat kala tubuhnya diserang rasa panas bertubi, Lisa meremas-remas surai Jungkook. Bergerak-gerak gelisah tapi tidak terlalu kentara sebab takut terjatuh ke bawah. Punggungnya yang terbuka mulai dingin diterpa angin, satu tangannya turun meremas jas Jungkook dibagian bahu, membuat pakaian itu jadi kusut.
 


 

"A-ahh.." Lisa mendesah tak karuan, bibirnya terbuka berulang kali melenguh, mendesis, bahkan meringis. Jungkook baru melepas nipplenya usai membuatnya membengkak dan berdenyut nyeri, bahkan terlihat lebih merah daripada sebelumnya serta mengkilap karena saliva. 
 


 

Jungkook menjilat bibirnya, sudah siap melahap yang satunya lagi. Lisa menahannya, meneguk saliva dan melirih. "Kak, pelan-pelan, sakit" 
 


 

Tanpa menjawab Jungkook mengecup bibir Lisa, turun mengecup ujung nipple Lisa yang tadi telah ia habisi lalu berpindah melahap yang sebelah sedangkan yang sebelumnya Jungkook mainkan menggunakan tangan.
 


 

Lisa merapatkan kaki, tubuh Jungkook terhimpit nikmat ditengah. Tonjolan sesak dicelananya terlihat, Lisa menunduk menghentikan desahan. Mulai menikmati permainan Jungkook yang penuh kehati-hatian sampai sukses menggetarkan kedua kaki Lisa. 
 


 

"Kak Jungkook.." Suara serak Lisa mencapai telinga Jungkook, Lisa seperti sedang minta dilahap oleh singa. Ralat, bukan singa, tapi kelinci jantan kelebihan hormon yang suka sekali pada roti lapis. 
 


 

"Kiss.." Jungkook mensejajarkan wajahnya dengan wajah Lisa, menunjuk bibirnya sendiri. "In here, kiss baby
 


 

Lisa mendekat perlahan, mendaratkan bibirnya diatas bibir Jungkook. Lalu pria itu menggendongnya tanpa melepaskan ciuman yang sedang berlangsung, ia membawa Lisa masuk ke dalam untuk memulai sesuatu yang lebih menantang dan menyenangkan. 
 


 

Diturunkannya gadis itu ditepi ranjang, beberapa kecupan ia berikan sebelum kembali ke balkon untuk menggeser pintu kaca disana, dikunci, dan lalu merapatkan gorden sampai tertutup sempurna. 
 


 

Kemudian berjalan ke arah pintu, memutar anak kunci hingga tidak ada seorangpun yang bisa masuk ataupun keluar. Memastikan semua aman terkendali tanpa gangguan barulah menghampiri Lisa yang terduduk ditepi ranjang sambil menahan gaunnya yang merosot, menutupi dadanya.
 


 

Jungkook menyeringai dan mulai melepaskan satu per satu kancing jasnya, menjatuhkannya ke lantai, disusul dasi merahnya lalu kemeja putihnya. Kemudian merangkak naik mendekati Lisa, membawa gadis itu berbaring dibawahnya.
 


 

Oh, ini menyenangkan. Jungkook bisa merasakan kesesakkan dibalik celananya dan kepasrahan Lisa yang patuh terhadapnya. Jungkook menyukai situasi ini, dimana Lisa mengerang saat ia memberikan tanda berbekas disekitar dada lalu segera membungkam bibir ranum itu dengan ciuman.
 


 

~~
 


 

Beberapa tamu mulai membubarkan diri, sudah terlalu malam. Mereka mencari Hyori untuk berpamitan. Disusul para tamu yang lain secara bergantian, mereka sudah kenyang dan bosan makanya pulang. Tak lupa Hyori ditemani dua pelayan memberi bingkisan sebagai buah tangan dan tanda terimakasih atas doa yang para tamu panjatkan.
 


 

Diujung sebuah meja terlihat Serin tergeletak tak berdaya usai minum-minum dengan dua temannya yang lain, Ahn Ruby dan Shin Chaera. Dua temannya itu sengaja menjebak Serin, siapa tau Serin akan mendapat malam panas yang panjang kalau dalam keadaan mabuk. 
 


 

Ruby dan Chaera tertawa, mata keduanya berkeliling mencari atensi keberadaan tunangan Serin, Han Jungkook. Tapi tidak dapat ditemui, berulang kali mereka justru menemukan tunangannya calon adik ipar Serin, Taehyung. Ruby dan Chaera berpandangan seolah sedang bertelepati lalu kompak mengangguk.
 


 

"Jaga dirimu baik-baik, Taehyung" Lelaki itu, Kim Taekwang berpesan kepada sang putra. Sesaat sorot dingin terpancar dari tatapannya namun segera melunak. "Berhati-hatilah selalu, waspada harus nomor satu"
 


 

"Hm. Ya, ayah" Taehyung menyahut malas, ia juga sedang mabuk gara-gara ditawari minum bersama sang ayah dan dilarang menolak. 
 


 

Taekwang membenarkan syal dilehernya dengan waspada, bahkan sampai melirik ke sana-kemari seolah menyembunyikan bom dibaliknya. Taekwang tersenyum pada putra sulungnya, menepuk-nepuk kepalanya lembut dan berpamitan. "Ayah pulang dulu, naiklah dan pergi tidur" 
 


 

"Yah, ayah" Sahut Taehyung malas, mengerjap dan menopang tubuhnya dengan menumpukkan tangan diatas meja.
 


 

Ruby dan Chaera mendekat, Ruby menepuk lengan Taehyung dan berbicara duluan. Wanita itu lebih berani dibanding Chera. "Tuan Taehyung, apa anda keberatan mengantarkan teman kami ke kamarnya?"
 


 

Taehyung menoleh dan memicingkan mata, tidak mengenali dua sosok wanita dihadapannya dan teman yang mereka maksud. "Siapa?" Balasnya bertanya.
 


 

"Serin" Bisik Chaera agak berjinjit.
 


 

Taehyung ber-oh-ria lantas mengangguk tak keberatan. "Dimana?"
 


 

Chaera dan Ruby lagi-lagi kompak menunjuk ke arah meja dimana Serin sudah terkulai tetapi kesadarannya masih terjaga. Taehyung melihat ke arah yang ditunjuk lalu mengangguk, ia menghampiri meja Serin dan membantu wanita itu berjalan untuk dibawa ke kamar.
 


 

Keduanya sama-sama mabuk sehingga berjalan terhuyung-huyung tetapi berhasil dengan mudah mendaki tangga dan kini saling menopang berjalan bersama dilorong. Serin terdengar cegukkan, Taehyung tertawa pelan mengejeknya.
 


 

"Hei, kau.. apa sih?" Desis wanita itu tak suka dan mendorong Taehyung menjauh.
 


 

Taehyung berdecak, "Diamlah bodoh!" Dan menarik Serin bersamanya dengan susah payah, mendorong sebuah pintu lalu masuk ke kamar kosong tak terpakai.
 


 

Tentu pikiran keduanya sangat tidak jernih sekarang terutama Serin yang mulai mengerjapkan mata saat wajah Taehyung berubah jadi Jungkook. Taehyung yang sempoyongan dan duduk ditepi kasur untuk meredakan pusing dan berat dikepalanya itu malah terlihat seperti Jungkook yang sedang memberi senyum godaan dan melambaikan tangan seolah sudah menunggu kehadiran Serin sejak tadi.
 


 

Mata Serin melebar, mulutnya terbuka nampak seperti kucing lapar lalu dalam sekejap melepaskan gaun ditubuhnya sampai tak lagi ada busana menempel ditubuhnya. Serin telanjang dan berlari menerkam Jungkook yang sebenarnya adalah Taehyung.
 


 

Taehyung tersentak, pandangannya memburam tapi masih bisa melihat wanita telanjang naik ke atasnya. Wanita itu duduk tepat dikejantanannya dan mulai menggesekkan bokong besarnya, menekan kejantanan Taehyung hingga erangan berat keluar dari belah bibirnya.
 


 

Serin menyerang lebih dulu, mencium rakus bibir Taehyung. Taehyung yang bingung antara nyata atau berkhayal tentu saja membalas, toh, didepannya tersaji wanita telanjang. Siapa yang tidak akan tergoda jika dibeginikan? Persetan!
 


 

~~
 


 

"Ahh! Kak Jungkook!"
 


 

Lisa baru saja memekik, punggung telanjangnya terangkat. Kakinya nyaris menekuk, matanya memerah dan berair. Sedangkan diujung sana Jungkook sibuk melakukan sesuatu seperti mendorong lidahnya masuk ke rongga kewanitaan Lisa.
 


 

Tak ada lagi gaun merah ditubuh Lisa, benda itu terletak rapih dilantai dekat dengan pakaian atas Jungkook. Tentu saja Jungkook melepas gaun itu dengan hati-hati ketika Lisa bilang sangat suka gaunnya. Jungkook yang pengertian akhirnya sedikit sabar ketika mulai menelanjangi gadisnya.
 


 

Tangannya menahan paha Lisa, meminta gadis itu tetap dalam posisinya. Jungkook mendongak, menatap Lisa yang hampir menangis karena menahan malu dan nikmat disaat yang sama dikala Jungkook mulai melahap kewanitaannya.
 


 

"Awhh.." Lisa meringis, menahan kepala Jungkook. Kewanitaannya sangat berkedut, Lisa tidak pernah seperti ini sebelumnya, tubuh berkeringat diselimuti hawa panas dan perut yang bergejolak.
 


 

Lisa hanya belum terbiasa, Jungkook tau itu. Jungkook tersenyum pada Lisa, mengulurkan tangannya ke atas kepala gadis itu dan mengusapnya lembut agar Lisa merilekskan diri.
 


 

Lalu Jungkook berujar dengan suara serak yang terdengar seksi, "Tenangkan dirimu, tidak apa-apa dan beri aku beberapa saat untuk menyiapkan roti lapis-mu terlebih dahulu, Lalisa.." 
 


 

~•~
 

 

24 : Just be mine

"Well, bukannya itu kalimat menjijikan yang tidak seharusnya didengar seorang kakak laki-laki dari adik perempuannya?"

Deg!

Lisa tersentak atas kalimat Jungkook barusan, hatinya berjengit ngilu dan senyum diwajahnya memudar. Air mata masih mengalir dari kedua pelupuk matanya, Lisa menegang ditempat ia berdiri. Sorot mata Jungkook begitu tajam seakan sedang menghakimi, dan kata-katanya barusan sangatlah menjatuhkan harga diri Lisa yang sudah susah payah bergelut dilema untuk datang dan menyatakan perasaannya.

Jungkook maju selangkah, melonggarkan dasi yang melingkar dikerahnya. Tubuhnya sedikit dicondongkan, melihat getaran dipupil mata Lisa, Jungkook melunak. Jemarinya menggapai dagu Lisa, naik perlahan mengusap lembut jejak air mata dipipi mungilnya.

"Aku sering mendengar kalimat ini," Jungkook berdecak sedikit mencoba mengingat, senyumnya terulas saat kalimat yang ia cari sudah muncul ke permukaan otaknya. "Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Aku senang kau disini, Lalisa"

"Kakak marah?" Lisa bertanya menampilkan sisi kepolosan dari tatapannya, sangat cantik seperti biasa.

Jungkook terkekeh, tangannya meraba-raba rambut Lisa yang ditata oleh Rose, dibentuk menjadi updo hairstyle tanpa menghilangkan poni khas menutupi dahi yang merupakan gaya rambut alami favorit Lisa. Jungkook menyukainya, Lisa semakin cantik bahkan jika tidak memakai apa-apa.

"Kau tidak mabuk?" Jungkook bertanya memastikan.

Sedikit bingung namun Lisa mengangguk. "Tidak sama sekali, aku belum makan apapun sejak sore. Aku minum beberapa teguk air mineral, bukan cola atau alkohol. Aku tidak mabuk, kakak!" Jelasnya agak jengkel.

Jungkook mengangguk terlihat masih sibuk melihat wajah Lisa dari beragam sisi, lalu pandangannya membeku pada keranuman bibir sang gadis yang terbaluri lipstik merah berwarna senada dengan gaunnya. Jungkook meletakkan ibu jarinya disana, menekannya sebentar lalu membalik jarinya itu, memandangi jejak lipstik yang tertinggal disana.

Pandangannya turun lagi, kali ini keningnya mengernyit kala mendapati kalung asing bertengger dileher Lisa. Dengan gesit Jungkook meraihnya, mengenggam bandulnya penuh rasa jengkel seolah tak ada yang pantas memberikan hadiah kepada Lisa selain dirinya.

"Lepaskan ini. Aku tidak suka" Desis Jungkook. "Jangan terima apapun dari siapapun kecuali dari diriku, perlu digarisbawahi kalau aku pria dewasa yang sangat-amat posesif pada gadis yang kucinta."

Lisa mengangguk. "Iya, aku tidak-"

Cup!

Jungkook mengecup singkat bibir Lisa, gadis itu salah tingkah menggerakkan kepalanya menoleh ke kanan lalu ke kiri. Respon yang menggemaskan, menggelitik perut Jungkook. Tangannya memegang sisi pinggang ramping Lisa, mulai mengangkat tubuh gadis kesukaannya.

Wajah Lisa merah padam, hanya bisa menunduk saat Jungkook mengangkat tubuhnya usai melepaskan dan melempar kalung hadiah Rose keluar sana. Mungkin jatuh ditaman lalu hilang diantara rerumputan, Lisa dan Jungkook tidak peduli.

Kaki Lisa terbuka, membentuk silangan dibalik tubuh Jungkook untuk menahan bobotnya sendiri meski tau bahwa pria itu sedang menggendongnya dengan satu tangan menahan dibagian bawah bokong Lisa.

Posisi Lisa otomatis jadi lebih tinggi, wajahnya makin panas saat menyadari sedang dipandangi oleh manik hitam milik Jungkook. Pantulan rembulan membuat manik itu mengkilap, Lisa melingkarkan tangannya disekitar leher Jungkook lalu menyembunyikan wajahnya merasa malu.

Jungkook mengulum senyum saat Lisa menyembunyikan wajah diceruk lehernya, jutaan kelegaan menghujam Jungkook saat Lisa datang. Kini giliran milyaran kebahagiaan menusuk tiap aliran darahnya saat gadis yang ia nanti-nantikan telah berada didalam rengkuhannya, menyembunyikan wajah malu-malu.

"Kakak!" Lisa memekik saat Jungkook meletakkannya duduk dipembatas balkon, Lisa takut jatuh jadi kedua tangannya bergerak cepat mempererat pelukannya pada leher pria itu.

"Aku memegangimu" Jungkook tersenyum penuh kelembutan, maju selangkah lagi sampai tubuhnya tertelan diantara kedua kaki Lisa. "Ketahuilah.. aku tidak akan pernah melepaskan hal yang sudah berada dalam genggamanku."

Agak merinding mendengarnya, tapi Lisa tidak takut, Lisa justru suka. Berulang kali perutnya bergejolak hangat, sentuhan Jungkook pada lehernya begitu lembut. Lalu saat pria itu mendekatkan kepala, menyerukkannya pada leher jenjang Lisa dalam kondisi bibir sepenuhnya terbuka, hisapan kuat mulai terasa.

Jemari Lisa meremas ujung rambut Jungkook, mengeratkan pelukannya terhadap sang pria. Pelukan yang justru membuat Jungkook semakin terdorong, menghisap kuat-kuat permukaan kulit putih Lisa.

"Ahh.." Desahan kecil lolos dari bibir Lisa tatkala Jungkook melepaskan hisapannya, meninggalkan bekas kebiruan yang dapat dengan mudah dikenali sebagai tanda kepemilikan, bukan lebam sembarang.

Ibu jarinya bergerak mengusap pelipis Lisa, mengecup sekilas bibir ranum gadis itu. Lisa memejam saat bibir manis pria itu menempel pada bibirnya, kecupan yang singkat untuk memulai momen manis.

"Aku sudah mencap-mu" Jungkook berbisik bangga, kini sibuk memeluk Lisa sepuasnya. Hal yang tidak bisa ia lakukan sebelum-sebelumnya. "Kau tau apa artinya itu?"

Lisa mendongak, menatap wajah Jungkook dengan maniknya yang sayu. Bahkan sentuhan lengan melingkar pria itu dipinggangnya sukses membuat kedua kakinya menggantung lemas. Lisa menggeleng polos, Jungkook mengecup bibirnya lagi dan lagi.

"Tanda yang berarti; kau milikku, kurasa kau harus bersiap untuk menerima banyak tanda disekujur tubuhmu"

Lisa meneguk saliva merasa takut. Jungkook menenangkan gadis belia itu dengan elusan dipuncak kepalanya,turun ke pipi lalu memeluknya erat. "Sangat tidak sakit, sama sekali tidak sakit"

Lisa balas memeluk Jungkook tak kalah erat, tubuhnya menempel sempurna pada Jungkook. Dekapan yang hangat dan pas, Lisa menyukainya. Aroma tubuh Jungkook begitu wangi, bahkan mengalahkan parfum maskulin yang menguar dari pakaiannya.

"Kak Jungkook, aku takut.." Lisa menggigit bibirnya resah, bukan tanpa alasan-Jungkook telah menjadi milik orang lain dan Lisa juga.

"No baby." Jungkook menegaskan, menautkan jemarinya diantara jemari tangan Lisa terasa lembut nan lentik. "Sebuah cincin apabila telah dilepaskan maka hubungan yang terikat saat cincin tersemat akan hilang. Apalah arti sebuah cincin, Lalisa.. itu hanya sebuah benda."

Jungkook melepaskan pelukannya dari Lisa, beralih memandang keindahkan yang terpahat sempurna diwajah cantik sang gadis. Jungkook menyorot teduh lewat tatapannya, memberikan ketenangan yang sama pada Lisa.

"Ibu, aku takut pada ibu" Suara Lisa mencicit dan bergetar sarat rasa takut. "Kakak, kau telah bertunangan" sambungnya melirih terlihat tidak suka dari gestur memalingkan wajah ke arah lain.

Jungkook tertawa ringan, Lisa makin cemberut. Oh, persetan! Amat menggemaskan sampai Jungkook ingin menenggelamkan wajahnya didada mungil gadis itu.

Tanpa beban Jungkook menyahut. "Resiko, baby.. kau lumayan terlambat tapi tak apa. Kita bisa teruskan, kita tidak akan berhenti."

Lalu tangannya naik menyusuri punggung Lisa, menekannya lembut dan hangat. Lisa menggigit bibir, gugup saat tangan besar Jungkook mencakup tengkuk lehernya dan mengarahkan wajahnya merunduk mendekat ke wajah Jungkook.

Mata keduanya terpejam, ketika bibir satu sama lain bersentuhan tak lagi ada jarak berarti, keduanya saling memangut satu sama lain, berperang membalas lumatan satu sama lain.

Dibawah cahaya rembulan yang menyinari, menjadi saksi bisu dimulainya perselingkuhan seorang tunangan dengan gadis lain yang notabennya merupakan adik sendiri-sekaligus dimulainya hubungan yang tidak seharusnya terjalin diantara kakak-beradik. Hubungan yang tersembunyi dan harus dirahasikan dari orang lain.

Lisa mulai sesak kehabisan nafas, lidah Jungkook bermain-main menyerang habis-habisan. Beberapa kali lidah Lisa menghindar tetapi Jungkook itu pemaksa, membelit lidah Lisa dengan lidahnya lalu memperdalam ciumannya hingga banyak aliran saliva yang menetes disudut bibir Lisa sampai ke dagu dan mengalir ke bawah leher.

Lisa meremas kuat bahu Jungkook, pria itu tak merasakan sakit tetapi kode bahwa Lisa butuh oksigen sekarang Jungkook ditangkap jelas oleh Jungkook. Maka Jungkook menggigit bibir bawah Lisa dengan gemas, menambahkan bengkak pada bibir ranum yang kini lipstiknya telah berantakan akibat keganasan Han Jungkook.

"Sudah kuduga, gaunnya pas untukmu!"

Pujian Jungkook semakin membuat Lisa merona, disaat Lisa sibuk mengais oksigen berbeda dengan Jungkook yang sibuk memeluk Lisa erat seolah takut gadis itu menguap hilang dalam sekejap dan semua ini hanya mimpi, hanya angan-angan belaka. Tapi Lisa tidak hilang, Lisa masih ada dan nyata didekapannya.

Nafas Lisa masih terengah, rasa malu membuat wajahnya tenggelam dibahu Jungkook sedangkan jemarinya menyusuri surai tebal Jungkook. Halus dan lembut, jemarinya refleks meremas surai dalam genggamannya saat kecupan-kecupan didapat disekujur leher jenjangnya.

"Kakak.." Erang Lisa menahan ledakan ditubuhnya tatkalah lidah Jungkook turut ambil andil membuat Lisa, membasahi leher Lisa dengan saliva hangat yang berubah dingin kala diterpa oleh angin.

"Kau nyaris membuatku gila, Lalisa." Bisik Jungkook seduktif sembari mengecupi daun telinga Lisa berkali-kali. "Aku akan gila jika kau tidak datang, aku benar-benar akan gila.. oh! Lihat, tubuhmu sangat pas dipelukanku"

Malu mendengarnya, Lisa mempererat pelukannya pada Jungkook. Tentu dadanya jadi menempel dengan dada Jungkook, terlihat pria itu menahan lenguhan. Gundukkan kembar empuk itu seperti meledeknya, menggoda minta disentuh. Jungkook menghela nafas, wajah sampai telinganya memerah.

Jemarinya bergerak meraba letak resleting gaun Lisa, menurunkan benda itu perlahan setelah didapat. Berhenti ditengah-tengah saat gaun Lisa melorot, tidak melorot sepenuhnya, bagian dadanya melorot. Belahan menakjubkan itu terlihat, Jungkook meneguk saliva saat melihatnya.

Menatap Lisa sebagai bentuk permohonan izin ingin menyentuhnya lebih dalam. Lisa merona, lirikkannya menghindari Jungkook tetapi kedua tangannya yang bertengger dileher pria itu mendekatkan wajah Jungkook ke bawah sana, ke dadanya. Lisa tidak ingin melihat, Lisa memejamkan matanya saat Jungkook melepas nipple padnya menggunakan gigi.

Puncak merah muda tegak itu kembali Jungkook lihat, rasanya sudah lama. Jungkook tidak mau menyiakan waktu, bibirnya terbuka sempurna dan mulai melahap kesukaannya. Beberapa kali Lisa mendesah merasakan nyeri dan nikmat disaat yang sama. Tidak ada dadanya yang menganggur, disaat Jungkook sibut menghisap yang kiri maka yang kanan dimanjakan dengan remasan menggunakan tangan.

Lisa mendongak, mulai meracau sesekali. Memasuki masa subur, Lisa sangat sensitif. "Awh.." Lisa meringis, nipplenya digigit dan ditarik seolah yang menghisapnya adalah bayi yang baru tumbuh gigi.

Menyalurkan hasrat kala tubuhnya diserang rasa panas bertubi, Lisa meremas-remas surai Jungkook. Bergerak-gerak gelisah tapi tidak terlalu kentara sebab takut terjatuh ke bawah. Punggungnya yang terbuka mulai dingin diterpa angin, satu tangannya turun meremas jas Jungkook dibagian bahu, membuat pakaian itu jadi kusut.

"A-ahh.." Lisa mendesah tak karuan, bibirnya terbuka berulang kali melenguh, mendesis, bahkan meringis. Jungkook baru melepas nipplenya usai membuatnya membengkak dan berdenyut nyeri, bahkan terlihat lebih merah daripada sebelumnya serta mengkilap karena saliva.

Jungkook menjilat bibirnya, sudah siap melahap yang satunya lagi. Lisa menahannya, meneguk saliva dan melirih. "Kak, pelan-pelan, sakit"

Tanpa menjawab Jungkook mengecup bibir Lisa, turun mengecup ujung nipple Lisa yang tadi telah ia habisi lalu berpindah melahap yang sebelah sedangkan yang sebelumnya Jungkook mainkan menggunakan tangan.

Lisa merapatkan kaki, tubuh Jungkook terhimpit nikmat ditengah. Tonjolan sesak dicelananya terlihat, Lisa menunduk menghentikan desahan. Mulai menikmati permainan Jungkook yang penuh kehati-hatian sampai sukses menggetarkan kedua kaki Lisa.

"Kak Jungkook.." Suara serak Lisa mencapai telinga Jungkook, Lisa seperti sedang minta dilahap oleh singa. Ralat, bukan singa, tapi kelinci jantan kelebihan hormon yang suka sekali pada roti lapis.

"Kiss.." Jungkook mensejajarkan wajahnya dengan wajah Lisa, menunjuk bibirnya sendiri. "In here, kiss baby"

Lisa mendekat perlahan, mendaratkan bibirnya diatas bibir Jungkook. Lalu pria itu menggendongnya tanpa melepaskan ciuman yang sedang berlangsung, ia membawa Lisa masuk ke dalam untuk memulai sesuatu yang lebih menantang dan menyenangkan.

Diturunkannya gadis itu ditepi ranjang, beberapa kecupan ia berikan sebelum kembali ke balkon untuk menggeser pintu kaca disana, dikunci, dan lalu merapatkan gorden sampai tertutup sempurna.

Kemudian berjalan ke arah pintu, memutar anak kunci hingga tidak ada seorangpun yang bisa masuk ataupun keluar. Memastikan semua aman terkendali tanpa gangguan barulah menghampiri Lisa yang terduduk ditepi ranjang sambil menahan gaunnya yang merosot, menutupi dadanya.

Jungkook menyeringai dan mulai melepaskan satu per satu kancing jasnya, menjatuhkannya ke lantai, disusul dasi merahnya lalu kemeja putihnya. Kemudian merangkak naik mendekati Lisa, membawa gadis itu berbaring dibawahnya.

Oh, ini menyenangkan. Jungkook bisa merasakan kesesakkan dibalik celananya dan kepasrahan Lisa yang patuh terhadapnya. Jungkook menyukai situasi ini, dimana Lisa mengerang saat ia memberikan tanda berbekas disekitar dada lalu segera membungkam bibir ranum itu dengan ciuman.

~~

Beberapa tamu mulai membubarkan diri, sudah terlalu malam. Mereka mencari Hyori untuk berpamitan. Disusul para tamu yang lain secara bergantian, mereka sudah kenyang dan bosan makanya pulang. Tak lupa Hyori ditemani dua pelayan memberi bingkisan sebagai buah tangan dan tanda terimakasih atas doa yang para tamu panjatkan.

Diujung sebuah meja terlihat Serin tergeletak tak berdaya usai minum-minum dengan dua temannya yang lain, Ahn Ruby dan Shin Chaera. Dua temannya itu sengaja menjebak Serin, siapa tau Serin akan mendapat malam panas yang panjang kalau dalam keadaan mabuk.

Ruby dan Chaera tertawa, mata keduanya berkeliling mencari atensi keberadaan tunangan Serin, Han Jungkook. Tapi tidak dapat ditemui, berulang kali mereka justru menemukan tunangannya calon adik ipar Serin, Taehyung. Ruby dan Chaera berpandangan seolah sedang bertelepati lalu kompak mengangguk.

"Jaga dirimu baik-baik, Taehyung" Lelaki itu, Kim Taekwang berpesan kepada sang putra. Sesaat sorot dingin terpancar dari tatapannya namun segera melunak. "Berhati-hatilah selalu, waspada harus nomor satu"

"Hm. Ya, ayah" Taehyung menyahut malas, ia juga sedang mabuk gara-gara ditawari minum bersama sang ayah dan dilarang menolak.

Taekwang membenarkan syal dilehernya dengan waspada, bahkan sampai melirik ke sana-kemari seolah menyembunyikan bom dibaliknya. Taekwang tersenyum pada putra sulungnya, menepuk-nepuk kepalanya lembut dan berpamitan. "Ayah pulang dulu, naiklah dan pergi tidur"

"Yah, ayah" Sahut Taehyung malas, mengerjap dan menopang tubuhnya dengan menumpukkan tangan diatas meja.

Ruby dan Chaera mendekat, Ruby menepuk lengan Taehyung dan berbicara duluan. Wanita itu lebih berani dibanding Chera. "Tuan Taehyung, apa anda keberatan mengantarkan teman kami ke kamarnya?"

Taehyung menoleh dan memicingkan mata, tidak mengenali dua sosok wanita dihadapannya dan teman yang mereka maksud. "Siapa?" Balasnya bertanya.

"Serin" Bisik Chaera agak berjinjit.

Taehyung ber-oh-ria lantas mengangguk tak keberatan. "Dimana?"

Chaera dan Ruby lagi-lagi kompak menunjuk ke arah meja dimana Serin sudah terkulai tetapi kesadarannya masih terjaga. Taehyung melihat ke arah yang ditunjuk lalu mengangguk, ia menghampiri meja Serin dan membantu wanita itu berjalan untuk dibawa ke kamar.

Keduanya sama-sama mabuk sehingga berjalan terhuyung-huyung tetapi berhasil dengan mudah mendaki tangga dan kini saling menopang berjalan bersama dilorong. Serin terdengar cegukkan, Taehyung tertawa pelan mengejeknya.

"Hei, kau.. apa sih?" Desis wanita itu tak suka dan mendorong Taehyung menjauh.

Taehyung berdecak, "Diamlah bodoh!" Dan menarik Serin bersamanya dengan susah payah, mendorong sebuah pintu lalu masuk ke kamar kosong tak terpakai.

Tentu pikiran keduanya sangat tidak jernih sekarang terutama Serin yang mulai mengerjapkan mata saat wajah Taehyung berubah jadi Jungkook. Taehyung yang sempoyongan dan duduk ditepi kasur untuk meredakan pusing dan berat dikepalanya itu malah terlihat seperti Jungkook yang sedang memberi senyum godaan dan melambaikan tangan seolah sudah menunggu kehadiran Serin sejak tadi.

Mata Serin melebar, mulutnya terbuka nampak seperti kucing lapar lalu dalam sekejap melepaskan gaun ditubuhnya sampai tak lagi ada busana menempel ditubuhnya. Serin telanjang dan berlari menerkam Jungkook yang sebenarnya adalah Taehyung.

Taehyung tersentak, pandangannya memburam tapi masih bisa melihat wanita telanjang naik ke atasnya. Wanita itu duduk tepat dikejantanannya dan mulai menggesekkan bokong besarnya, menekan kejantanan Taehyung hingga erangan berat keluar dari belah bibirnya.

Serin menyerang lebih dulu, mencium rakus bibir Taehyung. Taehyung yang bingung antara nyata atau berkhayal tentu saja membalas, toh, didepannya tersaji wanita telanjang. Siapa yang tidak akan tergoda jika dibeginikan? Persetan!

~~

"Ahh! Kak Jungkook!"

Lisa baru saja memekik, punggung telanjangnya terangkat. Kakinya nyaris menekuk, matanya memerah dan berair. Sedangkan diujung sana Jungkook sibuk melakukan sesuatu seperti mendorong lidahnya masuk ke rongga kewanitaan Lisa.

Tak ada lagi gaun merah ditubuh Lisa, benda itu terletak rapih dilantai dekat dengan pakaian atas Jungkook. Tentu saja Jungkook melepas gaun itu dengan hati-hati ketika Lisa bilang sangat suka gaunnya. Jungkook yang pengertian akhirnya sedikit sabar ketika mulai menelanjangi gadisnya.

Tangannya menahan paha Lisa, meminta gadis itu tetap dalam posisinya. Jungkook mendongak, menatap Lisa yang hampir menangis karena menahan malu dan nikmat disaat yang sama dikala Jungkook mulai melahap kewanitaannya.

"Awhh.." Lisa meringis, menahan kepala Jungkook. Kewanitaannya sangat berkedut, Lisa tidak pernah seperti ini sebelumnya, tubuh berkeringat diselimuti hawa panas dan perut yang bergejolak.

Lisa hanya belum terbiasa, Jungkook tau itu. Jungkook tersenyum pada Lisa, mengulurkan tangannya ke atas kepala gadis itu dan mengusapnya lembut agar Lisa merilekskan diri.

Lalu Jungkook berujar dengan suara serak yang terdengar seksi, "Tenangkan dirimu, tidak apa-apa dan beri aku beberapa saat untuk menyiapkan roti lapis-mu terlebih dahulu, Lalisa.."

~•~
 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Baby Don't Stop 3
45
1
Chapter 25-35 (gratis)Apabila dikalian spasi jarak antar paragraf nya tidak manusiawi di aku normal guys, mungkin bug karena kebanyakan^^ Selamat membaca
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan