Awal Pembentukan Tentara KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger)

3
2
Deskripsi

Pada 4 Desember 1930, Gubernur Jendral Hindia Belanda, Van Den Bosch merancang pendirian suatu pasukan Hindia Belanda (Indonesia). Atas dasar ketakutanya terhadap perlawanan orang orang pribumi yang lazim terjadidi negeri jajahan, Hindia Belanda, membuat Van Den Bosch berpikir bahwa sebaiknya dia membentuk suatu pasukan khusus, yang terdiri dari orang orang pribumi dengan fungsi sebagai penjaga keamanan, ketertiban dan menegakkan kekuasaan kolonial. 

Nama pasukan yang diprakarsai Van Den Bosch...

Pada 4 Desember 1930, Gubernur Jendral Hindia Belanda, Van Den Bosch merancang pendirian suatu pasukan Hindia Belanda (Indonesia). Atas dasar ketakutanya terhadap perlawanan orang orang pribumi yang lazim terjadidi negeri jajahan, Hindia Belanda, membuat Van Den Bosch berpikir bahwa sebaiknya dia membentuk suatu pasukan khusus, yang terdiri dari orang orang pribumi dengan fungsi sebagai penjaga keamanan, ketertiban dan menegakkan kekuasaan kolonial. 

Nama pasukan yang diprakarsai Van Den Bosch semula Bernama Oost Indische Leger (Tentara Hindia Timur) di mana berikutnya pada tahun 1836, Raja William I mengganti menjadi Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL) artinya para tentara yang tergabung dalam kesatuan ini juga diakui sebagai tentara kerajaan Belanda, walaupun keberadaan mereka lebih dipandang sebegai sekelompok serdadu bayaran. 

Pembentukan KNIL ini dilakukan karena kerajaan Belanda tidak mengizinkan para wajib militer asal Belanda ditempatkan di Hindia Belanda. Mereka kebanyakan berposisi di Jawa, di mana akan dikirim keluar hanya apabila ada pemberontakan di luar Jawa. Secara umum, para prajurit KNIL berasal dari Eropa. Mereka direkrut langsung dari Perancis, Belgia, Jeman dan Swiss; Tetapi tidak semuanya berasal dari perekrutan legal. Ada Sebagian dari para tentara ini adalah para desersi (pelarian militer) yang melarikan diri ke Hindia Belanda. Jika sudah sampai ke Hindia Belanda, para desersi tersebut merasa aman, karena Polisi Militer kerajaan Belanda tidak mau repot repot mengejar para desertir terlalu jauh sampai ke Hindia Belanda. Sebagian lagi adalah prajurit yang dibuang dari Belanda karena melakukan Tindakan indisipliner. Hal ini semacam hukuman bagi mereka yang melanggar. 

Pemerintah kolonial dengan komposisi orang Belanda yang jumlahnya tidak sampai 1/5 penduduk pribumi membutuhkan kekuatan militer untuk menjaga kestabilan. Walaupun telah menguasai selama beberapa abad, masalah masalah tetap saja muncul, khususnya masalah di bidang ketertiban umum. Sering terjadi perlawanan lokal, bahkan banyak di antara perlawanan itu terjadi dalam skala kecil dan tanpa bisa diduga. Jadi, pemerintah kolonial harus memiliki banyak pasukan yang mampu menghancurkan perlawanan lokal yang sifatnya seperti ‘bara dalam sekam’.   

Meskipun banyak dari tentara Eropa , tidak berarti mudah untuk merekrut mereka. Sangat sulit merekrut serdadu dari tanah Eropa. Pemerintah Hindia Belanda seringkali mengundang serdadu bayaran langsung dari Eropa. Banyak referensi tulisan menyebutkan bahwa orang Eropa yang menjadi serdadu kolonial Hindia Belanda, termasuk juga dalam masa VOC yang umumnya berasal dari sampah masyarakat. Tidak salah apabila ‘Haderwijk’ yang menjadi tempat persiapan pemberangkatan serdadu ke Hindia Belanda disebut ‘got Eropa’; yang diasumsikan sebagai tempat dimana orang orang terbuang (suka mabuk, main perempuan dan banyak hutang) dalam masyarakat Eropa dapat pergi jauh dan menjalani hidup baru. 

Pembentukan pola struktural KNIL dapat dibilang sangat rasis. Gambaran umumnya, para tentara KNIL dibagi menjadi dua bagian, dari golongan Eropa dan pribumi. Pembeda yang sangat kental terasa adalah Ketika tentara dari golongan pribumi hanya menjadi bawahan dimana mereka selalu ada di garis terdepan pertempuran. 


Komposisi antara tentara KNIL Eropa dengan pribumi adalah ¾. Keberadaan mereka merupakan penjaga dominasi rasial, yang menjadi atasan bagi tentara golongan pribumi. Namun, sikap mereka dikatakan buruk di dalam tangsi  dengan disiplin yang rendah. Sebagian menghabiskan waktu di kedai minuman keras dan tempat pelacuran. Terlebih lagi kebiasaan tubuh mereka yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan iklim Hindia yang tropis. Loyalitas serdadu Eropa bisa dikatakan lebih rendah dari serdadu pribumi. Serdadu KNIL pribumi sebenarnya adalah solusi utama untuk menjaga kestabilan tanah kolonial Hindia Belanda. 

Dalam sejarah KNIL juga telah turut menjaga kestabilan Hindia Belanda hingga mendaratnya bala tentara Jepang. Selama puluhan tahun, KNIL di mata pemerintah kolonial di Batavia terbilang sukses dalam menumpas berbagai pemberontakan di Nusantara, walaupun masih ada pemberontakan kecil lainya yang terus meletup. 

KNIL dalam tugasnya sebagai Angkatan perang bukan ditugaskan untuk menghadapi musuh dari luar. Keberadaan mereka hanya berfungsi sebagai pengaman keadaan dari perlawanan lokal saja. Hal ini dapat dimaknai, para petinggi Hindia Belanda, yang banyak diisi oleh orang Belanda asli, ingin terus eksis di tanah jajahanya tanpa ada gangguan sama sekali khususnya dari rakyat Hindia Belanda.   

Para personel KNIL yang diajarkan menjadi perangkat militer profesional dan tidak terlibat dalam kehidupan politik, apalagi berpolitik praktis dalam masyarakat selaku anggota militer. Unsur tersebut menjadi salah satu warisan tradisi KNIL yang bisa dipelajari dan digunakan dalam era Indonesia Modern. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Peristiwa Rengasdengklok: Refleksi munculnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
8
2
Jika mengenang peristiwa proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia nama Rengasdengklok selalu terkenang dalam guratan sejarah.. Di pesisir yang terletak di kabupaten Karawang utara itu menyimpan banyak kenangan menjelang detik detik Proklamasi. Didasari oleh aksi para pemuda dalam melihat gelagat bahwa kaum tua bersikap ragu ragu dalam melaksanakan proklamasi kemerdekaan dengan stigma bahwa Jepang masih mempunyai kedudukan yang masih kuat maka segala langkah harus mengikutsertakan badan yang dibentuk resmi oleh pihak Jepang yakni Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), padahal dapat dikatakan secara mental psikologis kekuasaan mereka sudah corrupt dengan ditandai menyerahnya Jepang kepada pihak Sekutu pada 15 Agustus 1945 setelah jatuhnya bom Atom AS di Horoshima dan Nagasaki pada 6 Agustus dan 9 Agustus 1945. Di benak para pemuda, momentum itulah yang telah lama dinantikan untuk merebut kemerdekaan. Sidik Kertapati (2000: 77) menyatakan bahwa pada 15 dan 16 Agustus 1945 merupakan saat saat penuh kegiatan dan kesibukan revolusioner yang akan menentukan jalanya sejarah perjuangan bangsa Indonesia di kemudian hari. Pada 15 Agustus 1945 malam hari diadakan pertemuan rahasia kalangan pemuda sebagai kelanjutan pertemuan sebelumnya di kebon Jarak, Institut Bakterologi, Pegangsaan Jakarta. Hadir beberapa tokoh seperti Chaerul Saleh, Wikana, Djohar Nur, Subadio, Suroto Kunto dll. Setelah membahas situasi revolusioner tersebut, maka mereka berkesimpulan bulat bahwa proklamasi kemerdekaan harus segera dikumandangkan . Keputusan tersebut langsung disampaikan kepada bung Karno di Pegangsaan Timur no. 56 Jakarta. Maka dikirimlah utusan para pemuda yang dipimpin oleh Sukarni dan Chaerul Saleh. Tapi ternyata Bung Karno dan Bung Hatta serta kaum tua tidak dapat mereka yakinkan. Bung Karno menginginkan agar masalah Proklamasi kemerdekaan ini dibahas di rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada kedatangan tersebut, para pemuda agak sedikit memaksa serta ‘mengancam’ Bung Karno untuk segera memproklamirkan kemerdekaan. Tetapi Bung Karno tetap tidak bersedia. Keributan kecil pun terjadi. Para pemuda tetap bersikeras meminta Bung Karno untuk membacakan Proklamasi. Bung Karno pun naik pitam hingga menghardik “Silahkan bawa saya ke pojok dan gorok leher saya, kalau kalian ingin merdeka silahkan proklamasikan sendiri!” kira-kira seperti itu hardik Bung Karno kepada pemuda, dikutip dari buku Penyambung Lidah Rakyat.Wikana seketika setelah kejadian itu menyampaikan laporanya kepada pertemuan pemuda dan pelajar di Cikini 71 Jakarta yang dihadiri juga oleh dokter Muwardi, Sukami, Jusuf Kunto, Shodanco Singgih dari Daidan Jakarta. Pertemuan tersebut mengambil keputusan untuk segera mengungsikan Bung Karno dan Bung Hatta dari Jakarta ke tempat aman sebagai basis pergerakan anti fasis dan menghindari kedua pemimpin ini dari pengaruh Jepang yakni di daerah Rengasdengklok. Dipilihnya daerah ini karena dianggap aman dari Jepang dan dekat dengan markas Pembela Tanah Air (PETA) selain itu letaknya juga sangat kondusif untuk merumuskan konsep revolusi karena terleta tidak jauh dari Jakarta. Bung Karno meminta agar Bung Hatta juga disertakan dalam pengasingan ini. Bung Hatta pun langsung dijemput oleh para pemuda untuk dibawa bersama Bung Karno. ‘Tawanan’ para pemuda ini berjumlah 4 orang yakni Bung Karno, Bung Hatta, Fatmawati (istri Bung Karno) dan Guntur Soekarnoputra yang waktu itu baru berusia 1 tahun. Mereka dibawa dengan menggunakan mobil milik anggota PETA. Di sana para pemuda yang tergabung dalam PETA dan laskar-laskar perjuangan lainnya sudah menunggu kedua pemimpin ini. Awalnya, para tawanan ini ditempatkan di sebuah gubuk tua, dekat sawah yang tak layak kondisinya.Akan tetapi atas desakan pejuang dari Klender, H.Darip agar kedua pemimpin ini ditempatkan di tempat yang layak, maka dipilih lah rumah saudagar Tionghoa Djiauw Kie Siong. Hingga sore, kedua pemimpin itu menunggu kepastian dari para pemuda yang tengah mengutus utusannya ke Jakarta untuk memantau kondisi.Selanjutnya para pemuda melakukan berbagai persiapan konsolidasi ke seluruh penjuru Jakarta, menggalang kekuatan menyambut proklamasi kemerdekaan. Ketika itu sejumlah komandan PETA dan Camat Rengasdengklok serta komandan PETA Purwakarta mempunyai hubungan erat dengan pergerakan kaum pemuda.Sedangkan di sisi lain pada 16 Agustus 1945 di Jakarta, kondisi semakin genting melihat Bung Karno dan Bung Hatta tidak ada di kota tersebut. Sebagai pimpinan PPKI, seharusnya kedua tokoh tersebut membuka dan memimpin rapat di waktu yang telah dijadwalkan. Salah satu anggota PPKI, Achmad Subardjo berinisiatif untuk mencari Bung Karno dan Bung Hatta. Setelah bertemu dengan Wikana dan Jusuf Kunto, akhirnya Achmad Subardjo bergegas untuk segera diantar ke Rengasdengklok.Berangkatlah mereka menuju pengasingan Bung Karno dan Bung Hatta di lembah Sungai Citarum itu. Sesampainya di sana, Achmad Subardjo langsung meminta kepada para pemuda untuk memohon membawa kedua pemimpin tersebut Kembali ke Jakarta karena anggota PPKI lainnya juga telah menunggu di rumah Laksamana Maeda. Sesampainya di Jakarta, teks Proklamasi Kemerdekaan langsung disusun. Hingga pukul 04.00 pagi tanggal 17 Agustus 1945, saat waktu sahur karena saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, rapat tersebut berakhir. Dan tidak berselang lama, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan pukul 10.00 WIB pagi di rumah kediaman Bung Karno sebagai puncak perjuangan seluruh rakyat. Refleksi peristiwa Rengasdengklok merupakan manifestasi Gerakan pemuda sebagai bagian dari revolusi Agustus 1945 di mana merupakan peristiwa revolusioner Gerakan pemuda yang menjadi bagian Gerakan rakyat. Makna gerakan ini sesungguhnya bukanlah sesuatu yang bernilai murni Negatif bahwa para pemuda ‘menculik’ pemimpinya yang hendak memaksakan kehendak untuk melakukan proklamasi. Gerakan ini sebagai bagian dari kehendak rakyat untuk melakukan proklamasi kemerdekaan. Andaikata kemerdekaan ini dihadiahkan oleh Jepang atau siapapun kaum penjajah, maka kemerdekaan itu bersifat kemerdekaan kolonial. Gerakan rakyat kita yang dipelopori oleh para pemuda tidak sudi jika kemerdekaan yang didapat bersifat ‘hadiah’ itu. Suatu Gerakan yang sebelumnya tidak dapat dibendung . musti segera adanya proklamasi, ini merupakan kehendak murni rakyat untuk MERDEKA!!! (Satrio)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan