RENDEZVOUS [PART 1,2,3,4]

166
16
Deskripsi

[CONTAIN MATURE CONTENT 21+ ⚠️]

Menikah di usia muda dengan masalah yang belum selesai di masa lalu membuat pernikahan Devan dan Meisya berantakan.

Mungkinkah mereka berhasil memperbaikinya?

DISCLAIMER: Cerita ini mengisahkan tentang pasangan suami istri yang masih belum selesai dengan masa lalu mereka.

Devan yang masih terlibat dengan urusan geng motor di SMA-nya, dan Meisya, wanita independen yang masih bertahan dengan sifat egoisnya membuat rumah tangga mereka benar-benar hancur berantakan.

[PART 1]

"Devan, Revolver angkatan 3 bikin onar di sekolah. Sekarang mereka mau dibubarin sama kepsek."

Mendengar laporan tersebut, cowok berambut two-block dengan tubuh atletis yang terbalut kaos putih itu nyaris tersedak air yang sedang diminumnya. Orang-orang yang lewat di sekitar lapangan basket pun ikut menoleh. "Kan gue udah bilang gak usah ikut tawuran-tawuran lagi. Kenapa masih pada ngeyel sih?"

"Bukan mereka yang mulai, tapi anak Azeroth yang nyerang mereka duluan," jelas Gio seraya menunjukan ponselnya.

"Coba liat ini."

Devan menyerahkan botolnya pada Yutha yang juga baru selesai main basket. Mata elangnya memperhatikan baik-baik layar ponsel milik Gio. Anak-anak Revolver angkatan 3 nyaris terbunuh karena dikeroyok oleh geng sebelah.

Sungguh. Devan sudah lama sekali ingin menghindari tawuran, balapan atau hal-hal negatif dan tidak berguna seperti ini. Lebih tepatnya; dia sudah insyaf.

Tapi di sisi lain dia juga sudah terlanjur membentuk geng Revolver angkatan 3 yang ternyata malah menimbulkan masalah baru lagi. Dan Devan tidak bisa lepas tangan begitu saja. Biar bagaimanapun Devan sebagai ketua harus bertanggung jawab.

Di tengah kegundahan itu, Devan merasakan bahunya ditepuk dari belakang. Cowok berambut blonde dengan tatapan teduh menenangkannya. Rey, sang wakil ketua Revolver. "Biar gue yang atasin. Gue otw ke markas mereka sebentar lagi."

Alis tebal Devan bertaut. "Tapi lo bukannya ada urusan?"

"Gampang. Urusan gue gaada apa-apanya dibanding urusan lo. Udah sana, kerjain tugas makalah," suruh Rey seraya menepuk-nepuk bahu sahabatnya.

"Thanks, Rey."

Ketika Rey berlalu ke parkiran kampus, Devan menepi di tribun untuk rehat sejenak. Ia menghela napas berat. Sebenarnya dia juga tidak enak merepotkan Rey. Tapi mungkin sahabatnya itu tidak tega padanya.

Bagaimana tidak? Devan sudah semester 12 sekarang, tapi karena dia fokus memajukan WALDEN— perusahaan almarhum ayahnya, dia stuck mengulang beberapa mata kuliah. Skripsi pun masih harus menunggu tahun depan. Alhasil semuanya pun tertunda dan Devan harus menunjuk orang lain sebagai direktur di WALDEN.

Well, bukan hanya Devan, sih. Tapi teman-temannya yang lain juga senasib. Mereka tertunda lulus karena sambil kerja, masalah geng dan beberapa hal lain.

“Santai, Dev," Gio duduk di samping Devan sembari menatap ketuanya itu. "Lo gak usah banyak pikiran dulu. Gue cuma ngasih info biar lo tau aja. Masalah gimana-gimananya, serahin aja sama kita."

Yutha yang baru meneguk minum ikut nimbrung. "Yoi, Dev. Mendingan lo urus bini lo tuh. Katanya lo berdua pengen fokus punya anak dulu, kan?"

"Gue emang pengen punya anak, tapi gak sekarang," jawab Devan. "Gue mau selesain skripsi dulu. Sampe semua tanggung jawab gue beres baru mikir ke sana."

"BOS! GAWAT BOSS!!"

Tiba-tiba seorang cowok berwajah cantik yang tiba-tiba datang ke arah mereka. Devan, Yutha dan Gio spontan melotot. Itu Raffa, teman mereka yang ditugaskan sebagai mata-mata di Revolver.

"Hah? Kenapa, Fa? Angkatan 3 diserang lagi?" tanya Devan panik.

Wajah Raffa lebih panik lagi, membuat firasat Devan memburuk. Sepertinya ada sesuatu yang sangat serius. "BUKAN!!"

"T—Terus? Markas kita yang diserang??"

"Bukan Bos... BEBEK GUA ILANG HUWAA!!"

“GUA KIRA APAAN BANGSAT!!"

***

"Kwek! Kwek!!"

"Hng? Di mana pemilik kamu? Kasian kamu tersesat."

“Kwek..."

“Ayo ikut. Onti kembaliin kamu ke pemilik kamu."

"Kwek? Kwek!!"

"Apa? Gausah panik. Onti bukan penculik."

"Kwek kwek."

Gadis berambut sebahu dengan tanktop putih yang dibalut jaket kulit hitam itu menggendong bebek yang ditemuinya di parkiran.

Dia, Meisya Ratu Jelita, langsung menjadi pusat perhatian ketika berjalan menelusuri halaman Universitas Andromeda sambil membawa bebek. Tapi justru itu tujuannya. Mana tahu sang pemilik bebek ini ikut meliriknya dan mengambil bebeknya.

"NAH ITU BECKY!! BECKY!!"

Mendadak Raffa, Devan, Gio dan Yutha dari arah lain menoleh ke arah Meisya.

"Kwek! Kwek!! Kwek!!!" seru si bebek seraya berlari ke arah pemiliknya, Raffa.

"Bebek dari mana aja? Hiks..." Raffa menangkat bebek dan memeluknya erat bagaikan bayi.

"Kwek! Kwek! Kwek!" jawab bebek.

"Becky nyasar uncle. Kwek! Untung ditemuin sama onti cantik ini kwek!"  Yutha menerjemahkan bahasa bebek.

Raffa menatap Meisya dengan mata berkaca-kaca. "Onti Mei cantik makasih ya udah nemuin bebek—Aw aw aw!!"

Raffa dan Yutha meringis ketika kuping mereka dijewer oleh Devan. "Gausah genit lo pada sama istri gue."

"Pocecip amat bang," ujar Raffa sembari mengusap-usap kupingnya yang merah.

Sementara yang lain masih fokus mengecek keadaan bebek peliharaan Raffa, Devan justru fokus dengan sosok perempuan yang kini berada di depannya. Kenapa dia bisa ada di sini?

"Mei, kamu ngapain di sini?"

“Mau daftar kuliah," jawab Meisya apa adanya.

"APAAA?! K—Kuliah di kampus aku?! Bukannya kata kamu gak mau kuliah lagi?!!" teriak Devan dengan dramatis seperti di Indosiar.

"Aku udah mutusin buat jadiin model sebagai pekerjaan sampingan aku aja. Aku mau fokus ke bisnis buat masa depan aku. Jadi aku mau ambil jurusan manajemen," jelas Meisya membuat Devan tertegun. Bagaimana tidak? Meisya sudah pernah kuliah s1, namun berhenti di tengah jalan karena tidak cocok dengan jurusannya. Setelah itu, Meisya memutuskan untuk menjadi model freelance.

"Kamu serius, Mei?" tanya Devan masih tak percaya. Meisya hanya mengangguk.

“Kamu beneran gapapa? Gak kecapekan kuliah sambil kerja?"

"Enggak." Meisya memainkan kukunya yang dipoles kuteks hitam, sementara matanya melirik suaminya itu jengah. "Kenapa? Emangnya kamu ngga seneng kalo aku sekampus sama kamu?"

Devan menggeleng cepat-cepat, takut Meisya marah. "Ngga gitu!! Seneng kok, seneng banget malah!!"

"Oke. Aku ke rektor duluan."

"Sama aku ya?"

"Ngga usah, aku bisa sendiri."

"Kalo butuh bantuan, call aku ya."

"Aku ngga akan repotin kamu, Dev. Makanya aku ke sini sendiri. I can do it by myself."

Melihat Meisya yang melengos begitu saja, Devan menghela napas. Lagi-lagi ia merasa tidak ada gunanya untuk Meisya.

Meisya Ratu Jelita memang istri sahnya. Tapi tak pernah sekalipun Devan merasakan Meisya sebagai miliknya seutuhnya. Meisya adalah wanita independen yang nyaris tidak pernah meminta bantuan, tidak butuh validasi dan yang paling parah... tidak pernah menunjukan perasaannya yang sebenarnya kepada siapa pun. Termasuk kepada Devan, suaminya sendiri.

"Sebenernya Meisya sayang gak sih sama gue?" Setidaknya itulah yang kepala Devan selama beberapa tahun belakangan ini.


 

[PART 2]

Meisya yang sedang memasak sarapan di dapur bergidik ketika merasakan seseorang menyentuh rambutnya dari belakang.

"Don't move." Suara berat serak khas bangun tidur terdengar sopan di telinganya. Suara Devan.

"Dev? Kamu ngapain?"

“Benerin rambut kamu." Tangan kekar lelaki itu mengangkat rambut Meisya yang tergerai sampai bawah pundak, lalu menggelungnya ke atas dengan hati-hati. "Biar kamu masaknya ga keganggu, ribet kan."

Meisya kembali fokus memasak. "Nanti aku mau potong rambut seleher lagi deh, ini kan udah panjang. Walau aku lebih suka rambut panjang sih—"

"Ngga usah, biarin aja segini."

"Kenapa?"

"Karena aku juga suka," puji Devan seraya menjepit rambut Meisya dengan jedai hingga leher jenjang perempuan itu terekspos jelas. "Cantik."

Pipi Meisya kontan memerah. Hanya mendengar pujian dari Devan atau merasakan sentuhan kecil seperti tadi saja perutnya sudah serasa dipenuhi kupu-kupu. Ini baru hari ketiga mereka tinggal bersama sebagai suami istri. Jadi tidak heran kalau Meisya masih sering malu-malu setiap berinteraksi dengan Devan yang apalagi dulu adalah 'musuh bebuyutannya' di sekolah.

"U—Udah selesai aku masaknya, kamu duduk aja sana," suruh Meisya masih dengan pipinya yang merona. Lucu sekali. Devan tidak kuat kalau Meisya begini!

"Ngga," tolak Devan sambil menciumi pipi Meisya bertubi-tubi.

"K—Kok ngga? Devan kamu ngapain cium-cium terus ih?!"

"Gemes," Devan tak berhenti nyosor, kini dia malah mencium hidung, pipi dan sudut bibir Meisya dari samping. "Abisnya kamu gemes."

"Ya tapi kenapa harus cium-cium kalo gemes?!"

"Mending gemes aku cium kan, daripada aku gigit?"

"Devan jangan nakal ih udah deh. Cepet sana duduk!"

"Iya, iya sayangku. Ini udah jadi, kan? Aku bawain ya." Tanpa mendengar persetujuan istrinya lagi, lelaki berkaos putih itu langsung mengangkat beberapa lauk yang sudah disajikan di atas piring lalu menaruhnya di atas meja makan.

Kedua pasutri muda tersebut duduk di berhadapan di meja makan, menikmati sarapan mereka dengan tenang sebelum akhirnya suara Devan memecah keheningan.

"Minggu depan udah mulai ospek kan kamu? Udah tau barang-barang yang disuruh bawa?" tanya Devan setelah menghabiskan makanannya.

"Udah."

"Ya udah, abis ini mandi," Devan menyeruput kopi buatan Meisya pelan-pelan. "Kita beli barang-barang yang dibutuhin buat ospek kamu minggu depan."

"Enggak usah, Dev. Aku bisa sendiri."

"Aku ngga terima penolakan. Gimana dong?"

"Mana bisa begitu?!" Meisya reflek menjatuhkan garpu di piringnya.

"Karena aku suami kamu, lah?"

"Terus kalo kamu suami aku, kamu boleh gitu ngatur-ngatur aku?"

Devan terbungkam.

"Yang berhak atas diri aku itu cuma aku sendiri. Bukan orang lain. Aku nikah sama kamu, bukan berarti aku jadi milik kamu. Jadi properti, benda yang bisa kamu apain aja semau kamu. Aku manusia bukan barang."

Ucapan Meisya barusan cukup membuat Devan nyaris tersedak kopinya. Rasanya seperti saja ditampar dengan sangat keras. Ternyata dari dulu sampai sekarang Meisya belum berubah juga. Meisya masih seperti itu; wanita yang sangat menjunjung independent dan harga diri. Dia tidak akan pernah tunduk pada siapapun. Devan pikir dirinya sudah berhasil meluluhkan hati Meisya tapi nyatanya tidak.

"Maaf," Wajah Meisya berubah pucat. Sepertinya ia sadar begitu melihat Devan yang diam seribu bahasa. "Kata-kata aku keterlaluan."

Bibir Devan tertarik ke samping, membentuk senyuman masam. "Ngga apa-apa. Aku ngerti."

***

Devan & Meisya's Home | 23:00PM

REVOLVER🏁

Devan

jam segini bini gua belum pulang.

gua chat gadibales. di mana coba

Raffa

di pelukan gw

Yutha

nyawa lu ada berapa sih fa heran gue

Gio

lagian udah tau geng jamet itu lagi berulah lu malah bolehin bini keluar

Devan

ya masa gua iket. mangnya elu posesif sama bini

Gio

ya gapapa daripada disandera

Devan

anj jangan bikin tambah ovt lu gi

Yutha

lagi nongki cantik sama anak-anak queens kali.

emg knp lu ga anterin?

Devan

gabisa kaya gitu. meisya beda.

dia gamau kalo gua anterin ke mana-mana

Gio

agak laen

bini gua aja manja bener sama gua

Raffa

@gio heleh bukannya lu yang manja sama bini?

dibentak bini dikit langsung nangis sambil bilang gimiwy by gimiwi

Gio

LU MAU GUA BANTAI??!!

Yutha

gua depak lu semua!!

-bos devan

Rey

bisa diem ga

udah tau orang lagi panik

terus gimana dev

Devan

ya gitu gua bingung

gua cuma pengen ngelindungin mei, rey

gua pengen bantu dia di saat susah

gua gasuka liat dia susah

apalagi sedih

tapi dia selalu aja nolak pertolongan gua

Devan berhenti mengetik sampai di situ saja. Dia sangat menjaga nama baik istrinya dan tidak mau memberitahu kekurangannya kepada orang lain.

Mungkin selama ini Meisya tidak bermaksud jahat pada Devan. Meisya bersikap seperti itu karena masa lalunya yang terlalu keras. Dia tidak punya siapa-siapa. Orang tuanya meninggal sejak kecil, ayah tirinya kejam hingga ia harus mencari uang sendiri sejak SMA.

Wajar Meisya tumbuh menjadi wanita mandiri yang tak tak butuh bantuan siapapun. Devan sangat mengerti akan hal itu. Tapi... di sisi lain terkadang Devan juga merasa tak ada gunanya untuk Meisya.

Rey

kalo gitu sekarang lo gausah khawatir meisya kenapa-napa. dia bisa jaga diri, bahkan tanpa pertolongan lo kan?

kenyataannya begitu. meisya emang cewe mandiri, bisa ngelindungin dirinya sendiri.

kalopun ada begal pasti dibegal balik sama dia

jadi lo tenang aja

Rey

gua bisa kasih saran ke lu, pc gua aja

Devan

ok

Setelah setengah jam lupa caranya bernapas, akhirnya Devan bisa menghirup oksigen dengan bebas begitu mendengar suara bel berbunyi. Meisya pulang ke rumah dengan selamat.

"Mei, kamu dari mana aja?" tanya Devan khawatir. Mengingat ini sudah hampir jam dua belas malam dan dia membawa motor sport miliknya sendirian.

“Aku abis beli barang buat ospek besok," jawab Meisya sambil melepas sepatu kets putihnya dan menaruhnya di rak.

"Mei, aku boleh tanya?" tanya Devan membuat Meisya menghadapnya.

"Apa?"

"Kenapa aku gak boleh bantuin kamu sama sekali?"

“Karena aku bisa sendiri."

Rahang Devan sontak mengeras. Sudah muak dengan jawaban seperti itu. "Bukan itu jawaban yang aku mau."

Meisya menatap Devan. Tersadar bahwa dirinya sudah membuat Devan terlihat menyedihkan.

"Kalo aku ngga bisa, pasti aku bilang kamu. Jadi kamu jangan khawatir. Okay? Sekarang ayo tidur," ujar Meisya menenangkan Devan. Setelahnya ia melangkah ke kamar. Tapi mengingat kejadian saat bertemu orang tadi, dia jadi lemas lagi.

"Bentar, bentar." Langkah Meisya terhenti mendengar suara Devan.

"Ini kenapa? Muka kamu pucet banget," tanya Devan peka. Raut wajah Meisya memang kelihatan lelah sekali. "Kamu kecapekan? Mau aku pijitin?"

"Enggak kok," Meisya menolak. Ia duduk di pinggir ranjang. Melepas kaos kaki, beserta jaket hoodienya. Terdengar helaan nafas berat di sampingnya. Devan ikutan duduk.

"Kalo ada apa-apa tuh bilang aja, Mei. Aku ga bermaksud maksa kamu buat cerita, tapi aku cuma mau kamu tau kalo kamu gak sendiri. Kamu punya aku. Aku ada di sini," ujar Devan menenangkan Meisya seperti biasa, lembut. Hal yang diam-diam selalu membuat hati Meisya tersentuh. Setulus ini Devan padanya. Selama ini dia sudah banyak menyakiti Devan. Brengsek sekali dirinya jika dia tega menambah penderitaan Devan lagi.

Tapi, sepertinya mulai besok kekejiannya pada Devan akan lebih parah lagi.

"Aku... cuma pengen sama kamu aja," ucap Meisya berhasil membuat jantung Devan hampir copot. Tumben sekali. Apa ada dia benar-benar ada masalah?

"Cerita. Kapanpun kalo udah siap." Devan kembali merengkuh Meisya. Sementara perempuan itu menyembunyikan wajahnya di pundak Devan. "Aku di sini. Aku gak akan ninggalin istri aku sendirian."

Meisya semakin merasa bersalah. Walaupun Devan sudah bilang begitu, tetap saja dia tidak bisa memberitahu Devan akan pertemuan tadi.

Pertemuan yang ia harap tidak pernah terjadi. Pertemuan yang akan mengubah hidupnya dan Devan untuk selamanya.


 

[PART 3]

Setelah lima jam sesi pemotretan yang sangat melelahkan, akhirnya Meisya bisa istirahat di ruang ganti model agency-nya. Hari ini melelahkan sekali. Sekarang sudah nyaris jam sepuluh malam dan dia hanya ingin pulang ke rumah untuk tidur cantik.

"Meisya."

Suara lembut itu membuat Meisya yang sedang mengganti gaunnya menjadi kaos biasa reflek menoleh.

Perhatian seisi ruangan pun tertuju pada wanita paruh baya berambut panjang ikal bersinar yang menghampiri Meisya dengan tampang serius. "Badan kamu sekarang kurang proposional. Tolong diturunin sekitar 5kg lagi dalam waktu lima hari. Karena kita butuh cepat untuk pemotretan selanjutnya."

Mulut Meisya spontan terbuka mendengarnya. Yang benar saja?

"Ya, lima hari." Wanita dengan nametag 'Vara' di dada kanannya itu menatap Meisya dengan mengintimidasi. "Ada masalah?"

"Maaf, Bu. Saya butuh waktu lebih untuk mencapai berat yang Anda minta. Karena kondisi saya saat ini juga—"

"Kamu bisa atau enggak? Kalau enggak saya ganti posisi kamu sama model yang lain," sergah Vara.

Meisya terdiam sejenak, sebelum kemudian bersuara, "Beri saya waktu untuk mempertimbangkannya, Bu. Sampai malam ini jam 9 malam."

"Baik. Saya tunggu. Ini bayaran kamu," ujar Vara seraya menyerahkan uang seratus ribu pada Meisya. Kedua mata Meisya terbelalak, seolah tak percaya dengan apa yang didapatkannya.

"Ng—Ngga ada fee tambahan lagi ya, Bu?" tanya Meisya.

"Hah? Itu kan udah banyak. Mau berapa lagi sih kamu? Liat aja dulu hasil foto kamu itu, lemak kamu di mana-mana. Pantas nggak kamu dibayar lebih?" jawab Vara pedas membuat Meisya kembali terdiam. Bukannya apa, Meisya sudah bekerja keras sangat hari ini. Lima jam pemotretan dengan kostum, makeup, bahkan tempat yang berbeda dan jauh. Meisya merasa kerja kerasnya tidak worth it dengan apa yang didapatkannya. Terlebih lagi fotonya nanti kan bakalan dipajang di mana-mana, tidak adil sekali dia hanya mendapat bayaran segitu.

Tapi pada akhirnya, Meisya hanya bisa pasrah. Karena di usia pertengahan 20 tahun ini sangat sulit untuk mencari pekerjaan sesuai passion-nya. Meisya pun memutuskan untuk pulang bersama Nindya, Winona dan Cheryl yang sedari tadi menemaninya di sini.

"Lo tuh udah kecapekan, Mei. Enggak boleh overwork. Nanti sakit," ucap Nindya sembari menyodorkan starbucksyang dibelinya untuk Meisya. "Nih, minum."

"Thanks," Meisya menerimanya, lalu berjalan ke pintu keluar bersama ketiga temannya. "Gue enggak akan sakit, tenang aja. Gue tenaga badak."

"Don't be so hard on yourself. Lo udah berjuang keras banget, Mei. Waktunya lo rehat sebentar, lo berhak untuk istirahat," nasihat Cheryl.

"Di kamus gue, gak ada yang namanya istirahat. Karena saat kita istirahat, dunia dan waktu ga ikut berhenti, tapi terus berjalan. Jadi mau ngga mau gue harus keep going and keep pushing myself," sangkal Meisya membuat ketiga temannya diam.

Yang dikatakan Meisya benar. Tapi yang di dalam pikiran mereka sekarang, Meisya kan seharusnya tidak harus kerja. Ada Devan yang tajir melintir dan bisa memenuhi semua kebutuhan Meisya. Mereka tidak mengerti kenapa Meisya tak mengandalkan Devan saja.

Winona berdecak. "Lagian ini Devan ke mana sih? Ga jemput lo lagi? Lo doang deh kayaknya yang dateng sendiri pake moge. Sekali-kali kek gitu dia jemput lo."

"Gue yang mau pake motor sendiri," jawab Meisya. "Selama gue mampu, gue gaakan minta bantuan orang lain. You know that."

Well, jawaban Meisya barusan membuat teman-temannya sadar kalau Meisya memang tidak mau mengandalkan Devan. Dia benar-benar wanita independent yang mengerjakan semuanya sendiri.

"Oh iya. Kalian mau ke Sephora dulu kan ya? Gue duluan yaa, makasih udah temenin gue. Chei, makasih ya udah ngasih makanan ke gue tadi. Bilang nyokap lo makasih," pamit Meisya seraya menatap Cheryl.

"Take care kalian!" pesan Meisya pada ketiga temannya yang masih terbingung-bingung.

“B—Bye... Tiati bu Bos!"

Sembari meminum starbucks pemberian Nindya, Meisya berjalan ke arah parkiran. Namun tak lama langkah gadis itu terhenti begitu melihat gerombolan cowok berjaket kulit dengan lambang Revolver. Teman segeng Devan; Rey, Gio, Yutha dan Raffa.

"Loh? Lo pada ngapain di sini?" tanya Meisya penasaran.

"Eh, Bu Boss. Kita abis dari mall sebelah nih, terus markir di sini," jawab Yutha. "Lo baru pulang kerja?"

"Ya," Meisya membuang starbucksnya di tong sampah lalu menyalakan motornya. Tak begitu menghiraukan anak Revolver karena ia sedikit bingung.

Kenapa mereka harus parkir di sini sementara di mall juga ada parkiran? Ah, positive thinking saja mereka mau caper ke anak-anak Queens tadi.

"Sendirian aja? Udah malem gini, bareng kita aja yuk," ajak Rey.

"Heem, pulang bareng yok, Mei," timpal Gio.

"Bentar-bentar, itu lo kaosan doang?" Kini giliran Yutha yang membuat Meisya bingung. Cowok berwajah oriental itu membuka jaketnya lalu menyampirkannya di bahu Meisya. "Pake aja. Nanti masuk angin."

Meisya mengerenyit. "Kenapa lo pada tiba-tiba aneh deh? Perasaan gue lagi ga ultah."

"Emang harus ultah dulu buat memperlakukan ibu negara kita dengan spesial?"

Pertanyaan Rey barusan benar-benar membuat Meisya tidak bisa positive thinking lagi. Apa-apaan sih ini? Dia sedang di prank?

"Ayo, Bu Boss. Mampir ke shelter," ajak Raffa.

“Ngapain ke shelter?"

"Lo dicariin sama bebek."

Plak!

“Ga dulu," tolak Meisya mentah-mentah sembari melempar jaket Yutha ke pemiliknya. "Udah pulang sana lo pada."

Tanpa pikir panjang lagi Meisya langsung naik ke motornya dan tancap gas secepat kilat. Yang dia dengar terakhir anak Revolver berteriak padanya 'Ati-ati Mei!! Kabarin kalo dah sampe!!'

Serius. Mereka aneh.

***

Meisya sampai di rumah jam setengah sebelas malam. Devan masih bangun, mengerjakan tugas-tugas kuliahnya yang menumpuk sekalian menunggu Meisya pulang— tentu saja.

"Mei, lagi ngapain sih kamu?" Devan beranjak dari sofa menyadari istrinya masih sibuk grasak-grusuk di dapur sejak pulang tadi.

"Ngangetin masakan dari mamanya Chei. Aku dikasih. Kamu harus makan pokoknya," kata Meisya sembari memasukan plastik berisi masakan tersebut ke dalam panci.

Tahu-tahu Devan sudah berada di belakang Meisya. Kedua tangannya melingkar di pinggang perempuan itu. "Wanginya enak."

"Iya, kan? Mamanya Chei emang jago masak."

"Bukan wangi masakannya."

"Terus?"

"Wangi kamu," bisik Devan di leher Meisya membuat hati Meisya mencelos. Dia reflek mendorong pelan dada Devan malu. Devan hanya tertawa. Gemas melihat Meisya yang tersipu seperti itu. "J—Jangan nakal ih. Ayo makan dulu."

"Iya, iya. Kamu juga makan ayo."

"Ngga. Aku mau diet."

Alis tebal Devan bertaut. "Ngapain? Badan kamu udah kurus gitu."

"Manajer agency ku nyuruh diet. Katanya berat badanku udah gak proporsional. Jadi di foto jelek." Meisya mengerucutkan bibir. "Aku harus turun 5kg dalam 5 hari. Ya aku nyadar sih aku udah ga secantik dulu. Tapi ga gitu jug—"

"Ngaco. Ngga secantik dulu apaan. Aku aja sampe pusing ngeliat kamu yang makin lama makin cantik," ujar Devan tak habis pikir.

"Mulai deh mulai alaynya. Kamu bilang aku cantik sampe pusing, tapi cewek yang lebih cantik dari aku kan banyak. Terus kamu pusing juga liat mereka? Meledak dong tuh kepala kamu," ledek Meisya.

"Cewek cantik emang banyak, tapi cantiknya aku kan cuma kamu," ujar Devan sambil senyam-senyum. Dia yang gombal dia yang salting.

"Devan ih gombal mulu!"

"Kamu gak tau rasanya kayak gimana. Punya istri cantik, disukain banyak orang. Untung dia judes," goda Devan sambil mencubit pipi Meisya.

"U—Udah ah aku malu," Meisya menepis tangan Devan, mematikan kompor lalu menghidangkan makanan yang sudah dipanaskan di atas meja.

'Gak tahu rasanya kayak gimana' katanya? Padahal Meisya bahkan lebih sering merasakannya. Dia juga pusing melihat banyak sekali perempuan yang suka pada Devan di SMA dulu.

"Oh iya, Dev," Meisya mengganti topik agar tidak canggung. Devan yang duduk di kursinya dan baru saja mulai makan hanya melirik. "Hm?"

"Aku ketemu anak Revolver hari ini," curah Meisya membuat Devan reflek berhenti mengunyah. Jakunnya naik turun menelan ludah.

"T—Terus?"

“Mereka aneh banget. Tiba-tiba ada di parkiran agensiku terus nyuruh pulang bareng, mampir markas, bahkan ngasih jaket. Apaan coba maksudnya? Weird."

"Serius? Mereka mabok kali."

"Entahlah. Pokoknya aneh."

"Nanti coba aku tanya deh maksud mereka apa kayak gitu."

"Okay."

“Yaudah gausah dipikirin, besok kamu OSPEK hari pertama. Soal model agency kamu yang nyuruh hal ga masuk akal itu tinggalin aja. Kamu berbakat, Mei. Kamu cantik, pinter, talented. Di luar sana pasti banyak perusahaan yang ngincer kamu. Kamu cukup tonjolin aja potensi kamu. Percaya sama aku."

"Makasih, Dev."

Tiba-tiba ponsel Meisya berdenting. Wajah Meisya seketika pucat. Keringat dingin membasahi pelipisnya.

0812838xxxx

Gimana progress lo sama Devan?

0812838xxxx

Gue tunggu.

 

[PART 4]

D-1 OSPEK

Belum saja dimulai, tapi baru hari pertama OSPEK alias kegiatan orientasi mahasiswa baru di Universitas Andromeda, Meisya sudah lemas.

Meisya benci sekali kegiatan yang merepotkan seperti ini. Semua mahasiswa dikumpulkan dalam satu ruangan. Lalu di cek kelengkapan atribut, disuruh mendengarkan pidato, pengenalan kampus dan jurusan. Mana disini panas, sesak.

Tidak ada yang menarik. Kecuali seorang laki-laki rupawan bertubuh tinggi dengan model two-block belah pinggir mengenakan almamater hitam yang berkumpul di pojokan dengan teman-teman sesama panitia BEMnya. Siapa lagi kalau bukan suaminya sendiri, Devano Adrian Dirgantara?

Meisya bangga mempunyai suami setampan itu, tapi juga kesal karena banyak cewek-cewek yang caper kepadanya.

Dan yang lebih parah, Meisya tidak bisa menunjukan kecemburuannya sama sekali semenjak kejadian semalam.

Karena dia dan Devan... harus segera berpisah.

"Heh!! Kamu yang di sana!!"

Salah satu kakak panitia laki-laki memelototi Meisya.

"Liatin apa kamu hah? Saya lagi ngejelasin malah matanya jelalatan ke mana-mana."

Meisya terdiam.

"Sini maju kamu! Udah tadi telat juga kan kamu?"

"...."

"Kok diem aja? Gak punya mulut apa gimana? Buruan maju!! Harus dihukum nih anak songong kayak gini!"

Meisya bertambah diam. Bukannya takut, tapi justru karena speechless! Apa-apaan itu? Tidak ada sopan-sopannya sama sekali. Aneh sekali orang jaman sekarang ini. Minta dihargai tapi dirinya sendiri tidak bisa menghargai.

"Cepat!! Kamu pilih saya hukum apa pilih saya pulangkan?!!"

Pundak kakak panitia tersebut tiba-tiba di genggam oleh seseorang. Devan. "Ez, Biar gue yang hukum."

Devan menggandeng pergelangan tangan Meisya pergi dari sana. Namun kakak panitia ospek yang disebut Ezra tadi menghampiri Devan.

"Heh, heh. Ini bagian gue. Lo yang lain aja," protes Ezra tak terima seraya melirik Meisya.

"Gak bisa, dia milik gue. Jadi hak gue mau hukum kayak gimana," balas Devan.

“Cih, milik anjir bahasanya. Udah balikin sini."

“Gue gak akan pernah kasih milik gue ke orang. Mutlak," balas Devan tak main-main.

"Lebay lu anj—"

"Ck!" Lirikan tajam Devan berpindah pada

Meisya, lalu tanpa basa basi ia mengangkat paha perempuan itu dan menggendongnya di salah satu bahunya seperti menggendong karung beras.

“IH DEVAN TURUNIN!!" teriak Meisya kaget.

Perhatian semua orang yang ada di sana langsung tertuju pada mereka.

Devan tidak menggubris dan malah membawa pergi Meisya dari sana. Rasanya kepalanya mau meledak. Susah memang punya istri secantik Meisya. Ada saja yang berusaha nikung.

"WOY!! KOK LU CURANG!!" teriak Ezra.

Sudut bibir Devan tertarik ke samping, membentuk senyuman miring. Ia lalu membawa Meisya ke kantin. Memesankannya caesar salad. Meisya tidak suka sebenarnya, dia lebih suka makanan cepat saji atau mi instan. Tapi menurut Devan, ini adalah makanan yang paling sehat untuk istri kesayangannya itu. Devan tidak mau Meisya sakit.

"Kamu kenapa lemes kayak gini? Ga makan lagi ya kamu? Kan aku bilang berangkatnya bareng aja, biar ga dihukum kayak barusan," omel Devan seraya membuka kotak stereofoam salad tersebut dan menyendok selada di dalamnya.

"Aku bisa makan sendiri." Meisya menyambar sendok dari tangan Devan. Lalu mengunyah saladnya dengan cepat.

"Tangan kamu gemetaran gitu." Devan khawatir melihat telapak tangan Meisya yang tremor saat selesai makan dan memegang botol minum. Tampaknya ia benar-benar lemas.

"Sekali-kali jangan nolak terus. Kamu punya aku Kamu bisa andelin aku. Kamu bisa repotin aku. Aku ngga akan pernah keberatan, Mei," ucap Devan.

Meisya terdiam sejenak, lalu tersenyum getir. Membuat Devan berpikir apa yang sedang Meisya pikirkan tentangnya. Perasaan dan pikiran Meisya seperti teka-teki yang sangat sulit untuk ditebak.

Tapi Devan ingin tahu. Devan ingin tahu apa yang ada di benak Meisya ketika melihat Devan. Devan ingin tahu apa yang ada di hati Meisya ketika Devan memberi sedikit perhatian padanya. Dan Devan ingin tahu apakah Meisya mencintainya atau tidak.

Namun lagi-lagi Meisya tetap menyembunyikan jawabannya.

"You know what... aku ngga butuh bantuan kamu. Lebih baik kamu fokus sama tugas kamu sendiri. Kamu harus fokus kuliah biar cepet lulus dan kerja, kan? I can handle everything by myself," ucap Meisya tanpa menghilangkan senyum tak jelas itu di bibirnya.

****

Setelah makan, Devan dan Meisya kembali berjalan menuju lapangan lorong kampus. Namun tiba-tiba suara Meisya menghentikan langkah Devan.

"Dev, aku boleh minta tolong sesuatu?" tanya Meisya seraya menatap lelaki yang jauh lebih tinggi darinya itu.

"Apa itu?"

"Tolong rahasiain pernikahan kita."

Devan terpekur. Rasanya seperti ada yang menghantam jantungnya dengan sangat keras. Dia sudah biasa mendengar perkataan Meisya yang setajam silet, namun ini adalah yang paling menyakitkan yang pernah ia dengar.

"Hah? M—Maksud kamu?"

"Ya. Aku gamau ada yang tahu aja."

"Kamu kenapa sih, Mei? Kenapa tiba-tiba kayak gini?"

Semenjak malam itu, sikap Meisya jadi semakin parah. Apa ada yang menghasut Meisya?

"Maaf." Meisya memalingkan wajahnya, seolah tak mau melihat sarat kekecewaan di mata Devan. "Tapi aku maunya begitu."

"Maaf kata kamu," Devan terkekeh kosong, benar-benar tidak habis pikir. "Terus kalau ada orang yang tau kalo kita udah nikah gimana? Kamu tau kan di medsos kita juga sering publish—"

“Itu kamu, Dev. Bukan aku," sergah Meisya membuat Devan terkesiap untuk yang kedua kali. Tapi itu benar. Selama ini Meisya memang nyaris tidak pernah mengunggah foto tentang Devan.

“Kalau ada yang tanya tentang kita, bilang aja kita udah gak bersama lagi. Gampang kan?" lanjut Meisya tak henti-hentinya menorehkan luka di hati Devan.

Devan merasakan darahnya naik sampai ubun-ubun. Ia sampai tidak tahu harus bingung, marah atau menangis. Ia bahkan tidak tahu kata-kata apa yang tepat untuk menanggapi semua ini. "Maksud kamu apa sih, Mei? Pernikahan kita sebercanda itu ya buat kamu?"

"Dev, aku punya alasan tersendiri kenapa aku gak mau kamu publish hubungan kita."

Alasan apa? Alasan mempertahankan imagenya sebagai public figure? Atau ada hati lain yang dijaganya?

"Lagian apa susahnya cuma merahasiakan itu? Apa juga ruginya? Toh di rumah kita baik-baik aja kan." Meisya berkata dengan entengnya.

"Baik-baik aja apanya? Kamu selalu nolak bantuan aku, selalu gak mau kalo aku tawarin temenin kamu ke mana-mana. Kamu gak mau membuka diri buat aku... dari mananya baik-baik aja, Mei?"

"Seenggaknya aku melaksanakan kewajiban sebagai istri kamu. Aku gak pernah ngelanggar perintah kamu."

"Oh ya?" Devan maju selangkah, mencengkeram lengan Meisya. Tatapannya pada perempuan itu menajam. "Berarti kalau aku suruh kamu layanin aku sekarang... kamu ga akan langgar kan?"

Meisya spontan melotot. "Kamu gila? Gak di sini juga lah!!"

“Berarti kalau di rumah mau?"

Meisya terdiam dan kembali memalingkan wajahnya. Kali ini karena malu.

"Ngga mau juga kan kamu?" tanya Devan putus asa. Cengkeramannya pada lengan Meisya melemah. Ia lelah dan akhirnya berbalik ke arah fakultas. Meninggalkan Meisya sendirian.

"Ya udah fine. Mulai hari ini aku bakalan rahasiain hubungan kita di kampus. Tenang aja," ujar Devan sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Meisya.

Sekarang Devan sudah tahu jawaban dari semua pertanyaannya selama ini. Mungkin saja... Meisya menerima lamaran Devan waktu itu hanya karena kasihan.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Rendezvous
Selanjutnya RENDEZVOUS: [SPECIAL PART] YUTHA & NINDYA FIRST DATE
62
35
[12+] “Ga penting dia pacar gue atau bukan. Dia emang bukan pacar gue, tapi dia orang yang berharga bagi gue,” ujar Yutha serius membuat Nindya terbelalak.Tentang Yutha yang tukaran pasangan sama Nindya. Enjoy the sweet & cute story about this couple 🤎⚠️ Kamu bisa membaca semua cerita private Rendevous dengan membeli Paket Lengkap & Paket Rendezvous ⚠️
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan