Say Yes? - 4,5,6

1
0
Deskripsi

Kembali waspada, aku bertanya, "Mau ngapain?"

Rexi berdecak. "Ya ngelamarlah."

Woanjuan! Laki-laki gila ini.

"Rexi!" Aku menjerit, kepalang kesal. "Kamu bawa ibumu hari ini untuk lamaran?"

Bab 4 

Di atas sepeda motor yang sedang menuju rumah, aku menghitung ulang jumlah belanjaan. Hari ini ada sedikit uang yang bisa kupergunakan. Habis dari ATM, aku langsung pergi membeli beberapa barang.

Beli beras, telur, minyak goreng dan beberapa camilan. Oke. Pas. Bersamaan dengan selesainya aku menghitung, sepeda motor juga berhenti. Aku sudah sampai di rumah.

"Taruh sini aja, Pak," kataku pada supir ojek saat beliau menurunkan sekarung beras dari jok depan motor. Aku gak mau merepotkan beliau yang kelihatan lelah.

Aku memberikan ongkos. Niatnya ingin masuk ke rumah dulu, menaruh telur dan belanjaan lain, lalu nanti mengangkat beras. Namun, aku termangu di depan pagar kayu rumah bapak saat melihat ada Rexi di ambang pintu.

Pria itu memakai sandal sambil melempar tatapan tajam ke sini. Aku masih terdiam di tempat karena sedang terkesima dengan penampilannya.

Tubuh tinggi dengan warna kulit coklat itu dibalut kemeja batik lengan panjang dengan warna hitam dan emas. Rambutnya disisir rapi ke atas, memperlihatkan kening yang lebar yang kinclong. Wah, ini Rexi mau jadi model abang-abang jawa atau bagaimana?

"Ngapain, Mas?" godaku saat dia sudah memikul beras yang kubawa.

Pria itu hanya melirik malas. Malas bercampur benci sepertinya. Kapan, sih, dia bisa kasih senyum?

"Ibu dan adikku ada di dalam."

Tadinya ingin mengekori langkahnya, aku seketika mematung lagi. Apa katanya?

"Apa, Rex?"

Dia berbalik. Meski kini ada sekarung beras di bahunya, kadar ketampanannya malah gak terganggu sama sekali. Kenapa aku baru tahu kalau dia bisa serupawan ini, ya?

"Ibu dan adikku ada di dalam. Cepetan masuk."

Kembali waspada, aku bertanya, "Mau ngapain?"

Rexi berdecak. "Ya ngelamarlah."

Woanjuan! Laki-laki gila ini.

"Rexi!" Aku menjerit, kepalang kesal. "Kamu bawa ibumu hari ini untuk lamaran?"

Dia sudah pernah mengatakan ini padaku. Katanya, akan segera membawa keluarganya untuk melamarku secara resmi pada bapak dan ibu. Rexi mau acaranya sederhana saja. Hanya dihadiri keluarga inti. Aku setuju.

Rexi memang tak menyebut pasti kapan ia kan datang. Namun, haruskah hari ini? Sekarang? Saat aku baru saja pulang habis panas-panasan?

Melihat dia mengenakan baju rapi seperti itu, ibu dan adiknya juga pasti tampil baik. Dan aku? Aku akan muncul di depan ibunya dengan keadaan begini?

Kaus basah oleh keringat, rambut bau debu dan celana olahraga. Menentang sepapan telur dan minyak goreng?

Astaga! Aku bisa paham kalau memang gak berjodoh dengan CEO, tapi haruskah jodohku lelaki yang modelan Rexi begini? Hobi sekali dia membuatku malu?

***

"Itu mobilnya, ya, Buk?" Aku menunjuk sebuah sedan hitam yang barusan melintas di depan rumah.

Buk Samara menggeleng. "Bukan, Sayang. Yang Rexi rental yang warnanya putih."

Aku mengangguk saja. Duduk di samping Rexi yang mengobrol ringan dengan bapak, aku menatapi orang-orang di sana dengan rasa tak percaya.

Dalam beberapa jam, semua sudah berubah. Pertama, statusku bukan lagi pacar orang, tetapi tunangan orang. Di  jari manis tangan kiriku sudah terpasang sebuah cincin emas putih.  Kedua, panggilanku ke ibunya Rexi juga sudah berubah. Bukan lagi Tante, tetapi sudah Ibuk.

Meski diwarnai kehebohanku untuk bersiap-siap, acara lamaran gila yang Rexi gagas berjalan dengan baik. Semua setuju, terlebih ibu dan bapak. Barusan acaranya rampung, kini kami duduk di teras sembari menunggu jemputan Rexi dan keluarganya.

Sejauh ini, kecuali insiden aku yang terpaksa memakai gaun seadanya untuk acara lamaran ini, semua bisa dibilang baik. Ah, ada satu lagi yang sebenarnya sedikit mengganjal. Adiknya Rexi.

Dari kesan yang aku dapat, agaknya Dea  gak terlalu menyukaiku. Dia gak banyak bicara padaku. Tersenyum pun terlihat gak tulus. Nanti akan kucari tahu dari Rexi apa masalah adiknya itu.

Gak melakukan apa-apa, gak berminat juga ikut dalam obrolan bapak, ibu, buk Samara dan Rexi, aku menatap ke depan. Mobil sedan hitam yang kulihat tadi lewat lagi. Kali ini berhenti tepat di samping rumah.

Dari dalam mobil itu turun seorang laki-laki. Aku hanya mendapat visual bagian belakang kepala dan tubuhnya. Namun, entah kenapa rasanya familiar dengan orang itu.

Lelaki itu masuk ke rumah sebelah. Aku menungu sembari menatap ke teras sebelah. Antara rumah tetangga itu dan rumahku, kebetulan hanya dipasangi beton pembatas setinggi perut. Dan betapa terkejutnya aku saat orang yang tadi turun dari mobil muncul di sana.

Mata kami bertemu. Aku gak salah mengenali. Dia memang seseorang yang familiar.

Aku mengerjap satu kali, lalu membeku sewaktu dia menaikkan satu alis ke sini. Aku sibuk menerka. Itu ekspresi heran atau gak suka, ya?

"Abigail?"

Mampus. Dia mengenaliku. Kenapa bisa?

Kikuk, aku tersenyum canggung.. Dia mendekat, aku spontan berdiri seolah ingin menyambutnya. Apa sekalian kurentangkan kedua lengan?

Pria itu menyimpan dua tangannya di saku celana. Cara berdiri yang khas dia sekali. "Kamu tinggal di sini?" tanyanya.

Aku menoleh ke bapak dan ibu, kemudian berkata, "Iya. Ini rumah bapak dan ibuku, Pak."

Aksa, Pak Aksa mengangguk saja. Beliau kemudian pamit masuk ke rumah barunya, usai aku memperkenalkan dia sebagai dosen yang pernah mengajar di kampusku dulu.

Dia masuk, aku masih berdiri di dekat beton pembatas. Rasanya masih tidak percaya,sampai-sampai aku ingin teriak. Benarkah yang barusan itu Pak Aksa?

Sempit sekali dunia ini? Dari banyaknya tempat, haruskah Pak Aksa tinggal di samping rumahku? Ya, ampun! Kenapa seperti di novel-novel saja. Apa judulnya? Jodohku Tetanggaku? Sedikit dimodif, Jodohku Tetanggaku Mantan Dosenku?

Menggelikan. Menahan senyum, aku berbalik hendak duduk lagi. Di saat aku tahu kalau sekarang Rexi tengah menghunuskan tatapan tajamnya ke sini. Pria itu sedikit menunduk, tetapi pandangannya lurus padaku.

"Apa?" Entah kenapa aku harus bertanya begitu.

Alih-alih menjawab, Rexi malah membuang pandang. Dia terlihat kesal. Saat kembali menatapku, mata pria itu berkedip pelan, yang sialnya malah terlihat kejam di mataku.

Ekspresinya keras. Kedua ujung bibirnya rapat. Ada kerutan samar di dahi dan sorot matanya mengancam.

Seketika aku jadi teringat salah satu adegan di novel yang kutulis. Saat si penjahat sedang mengatur rencana jahat di kepalanya. Gambaran ekspresi yang penjahat itu buat, mirip seperti yang sekarang Rexi perlihatkan padaku.

Bukan berubah jadi CEO, apa sekarang Rexi akan berubah jadi preman? Ternyata dia adalah anggota mafia, pemilik bisnis terlarang yang terkenal kejam. Yang menikahiku demi membalaskan dendam?

Ih. Kenapa aku takut dan bukannya terpesona? Apa karena aku tahu karakter penjahat di novel itu hanya buatan, gak mungkin keluar dari buku, sementara yang di depanku sekarang adalah Rexi, laki-laki yang bisa kapan saja membuat jantung copot hanya dengan pelototan? 
 

Bab 5 

Hari ini aku sendirian di rumah. Ibu dan adik-adik sedang pergi ke acara pesta kerabat. Sore-sore, aku duduk di teras. Saat itu kulihat Pak Aksa keluar dari rumahnya.

Terheran sebentar, aku sempat lupa kalau pria itu sekarang tetangga. Hal biasa kalau kami akan sering bertemu setelah ini. Sebisa mungkin aku bersikap biasa. Kami bertemu pandang, dia terlihat mendekat ke dinding pembatas.

"Yang jual gas di sini, di mana?"

Oh. Jadi, dia celingak-celinguk karena kebingungan mencai tempat membeli gas.

"Di pertigaan kedua," jelasku, sambil menujuk ke arah kiri.  

"Jauh dari sini?" Lelaki itu menggaruk tengkuk.

"Jalan kaki lima menit."

Pak Aksa gak bicara beberapa saat, lalu dia bertanya lagi, "Bisa masang gas?"

Ingin sekali aku tertawa usai mendengar tanya itu. Namun, demi membuatnya gak hilang muka, aku terpaksa hanya bedeham-deham halus sebagai pengalihan tawa.

Mengunci rumah, aku bersedia menemani dia membali gas. Kami pergi dengan sepeda motor. Menghabiskan waktu sekitar dua menit, kami tiba di kedai yang kumaksud.

"Tutup, Pak."

Pak Aksa kembali menaruh tabung gas di jok depan motor.

"Di depan sana ada satu lagi. Tapi agak jauh."

Tanpa berkata apa-apa, Pak Aksa menyalakan kembali mesin sepeda motornya. Kami pergi ke kedai yang satunya. Beruntung, warung itu buka dan gasnya ada.

Sambil menunggu Pak Aksa membayar gas, aku melihat-lihat jajan di sana. Ada pasta coklat harga seribuan yang menarik perhatian.

"Mau?"

Aku terperanjat waktu menyadari kalau Pak Aksa sudah berdiri di samping. Padanya aku mengangguk.

"Ambil."

Tersenyum girang, aku mengambil satu pasta coklat berbungkus merah itu. "Makasih," kataku.

Kami pun pulang. Di atas motor Pak Aksa, aku menikmati jajanan yang tadi ditraktir. Sore-sore, dapat upah usai membantu orang, kok, rasanya seperti mengulang masa kecil?

Saat gak sengaja menengok ke kaca spion, aku menemukan kalau Pak Aksa juga menatap ke sini. Dia membuang pandang ke jalanan di depan, kemudian sempat melirik dari kaca spion lagi.

Apa dia memperhatikan aku yang sejak tadi senyum-senyum? Semoga dia gak menganggap aku gila.

Setibanya di rumah Pak Aksa, aku ikut masuk ke dalam. Satu lagi bantuan yang harus kuberikan. Memasangkan selang gas-nya.

"Biasa siapa yang pasang, Pak?" tanyaku iseng.

Berdiri di sampingku yang berjongkok, Pak Aksa menjawab," Selama ini saya tinggal dengan Mama saya."

Aku mengangguk sembari menekan kepala gas. Wajar saja. Pasti, ke dapur saja dia gak sering.

"Kenapa pindah ke sini?" Aku berdiri, hendak menyalakan kompor.

"Mau hidup mandiri."

Aku menoleh dengan senyum heran. "Mandiri gimana?" Seingatku dia sudah menjadi dosen sejak beberapa tahun lalu. Mandiri yang seperti apa yang da maksud?

"Ya begini. Mengurusi diri sendiri."

Aku mengangguk  dengan senyum gak paham. Sudah enak-enak tinggal bersama orangtua, kenapa harus menyusahkan diri, sih?

Aku coba menyalakan kompor. Berhasil. Apinya menyala.

"Oke," kataku puas. Sisa pasta coklat yang tadi kusimpan di saku aku nikmati lagi.

Mungkin karena terlalu fokus pada makanan di tangan, aku jadi gak melangkah dengan benar. Alhasil, aku menginjak sesuatu yang licin dan terpeleset ke depan. Untung Pak Aksa gesit menangkap. Meski akhirnya kami tetap jatuh ke lantai.

Aku gak merasakan sakit yang terlalu. Hanya seperti menimpa sesuatu yang keras. Saat sadar dari kertekejutan, aku menyadari posisi jatuh kami amat gak aman. Aku di atas Pak Aksa, dengan bibir yang gak sengaja menempel di lehernya.

"Maaf," ucapku cepat seraya menyingkir dari atas tubuhnya.

Aku melihat ke lantai. Ternyata aku menginjak air yang tumpah.

"Ada air tumpah," terangku sembari menunjuk ke sana.

Pak Aksa berdiri. Dia terlihat menggerakkan bahunya. Pasti sakit.

"Maaf, ya, Pak." Kuulangi permintaan maaf padanya.

Pak Aksa mengangguk saja. Aku pun segera pamit dari rumahnya. Sepanjang jalan, aku terus memegangi bibir. Jadi, begitu rasanya mencium leher laki-laki?

***

Seumur hidup, aku hampir gak punya teman laki-laki. Jadi, referensi interaksiku dengan makhluk satu itu minim. Kalau menulis, biasanya aku akan cari-cari artikel soal bagaimana pria bersikap atau menyikapi sesuatu.

Dan malam ini, akibat kejadian di rumah Pak Aksa tadi, aku jadi kepikiran. Aku penasaran. Kira-kira, bagaimana tanggapan Pak Aksa atas kejadian itu?

Apa dia marah? Dia kesal? Dia geli? Dia menyesal? Dia jijik?

Kenapa aku jadi kepikiran? Entah. Mungkin, karena suka drama dan menuliskan drama, jadi aku juga suka melebih-lebihkan sesuatu. Bagaimana juga kejadian tadi itu bisa dikatakan intim.

"Abigail, ada Rexi."

Suara Ibu membuatku turun dari ranjang. Aku pergi ke depan, ke teras. Rexi masih di atas motor.

Rexi sepertinya baru pulang bekerja. Wajahnya terlihat lelah.

"Kenapa?" Aku menyusulnya ke halaman.

Pria itu memberikan bungkusan. "Aku langsung pulang, ya."

Memeriksa isi bungkusan, aku menemukan martabak. "Baru selesai dari bengkel?"

Rexi mengangguk. Ekspresi wajahnya menekuk. Kalau sudah melihatnya begini, aku jadi kasihan.

"Hati-hati, ya." Aku menepuk-nepuk punggungnya. "Makasih martabaknya. Boleh kubagi sama Ibuk, Bapak atau Rika?"

Rexi menatapku dengan senyum samar. Tanganku di punggungnya lelaki itu tepis. Sok menolak sentuhan ceritanya.

"Makan sendiri rakus namanya."

"Lain kali gak usah antar martabak kalau memang udah capek. Kan bisa besok."

"Tadi gerobaknya kelihatan ramai. Berarti enak. Kamu mau nulis, 'kan malam ini?"

Memandangi wajahnya yang lelah, tetapi dihiasi aura ketulusan, aku terenyuh. Laki-laki ini baik, pikirku. Seharian bekerja, kejar setoran demi biaya nikah katanya. Namun, masih menyempatkan diri datang hanya demi mengantar martabak.

Aku menjangkau ritsleting jaketnya. Menaikkannya hingga ke bawah leher. "Kabari kalau udah sampai rumah, ya. Jangan ngebut."

Rexi menyalakan motor tanpa melepas pandangan dariku. Dia mengangguk dan berdeham, kemudian pergi melajukan motornya. Menatapnya yang perlahan menjauh, kenapa hatiku rasanya nyaman, ya?

***

Pagi-pagi, ibu sudah merepet. Aku disuruh menjemurkan pakaian. Walau sebenarnya malas, aku terpaksa menurut. Daripada kena amuk dan dikutuk jadi kerikil?  

Sedang sibuk-sibuknya menggantung pakaian di halaman sisi kiri, aku menemukan sebuah mobil mampir ke sebelah. Gak mau kepo, aku teruskan menjemur.

Lalu, tahu-tahu ada suara.

"Abigail?"

Aku menengok. Mataku membola, kemudian langsung menyipit heran. Kenapa bisa? Kenapa bisa perempuan satu ini ada di sini?

"Kamu tinggal di sini? Wah, dunia sempit, ya? Kok bisa?"

Daripada memikirkan kenapa yang dia tanyakan, aku lebih penasaran kenapa perempuan itu bisa di sana. Di rumahnya Pak Aksa, sepagi ini. Aduh, aduh. Apa yang sudah aku lewatkan?

Tak lama, Pak Aksa keluar dari rumah. Serena merangkul pria itu, cium pipi kiri, cium pipi kanan. Ih, ada apa ini?

"Abigail tinggal di sebelah, Mas?" tanyanya.

Ih. Mas? Sejak kapan Pak Aksa jadi Masnya Serena?

"Kerja di mana sekarang, Abigail?" Suara perempuan terdengar penuh hinaan. Terserahlah kalau ini hanya perasaanku saja.

Ekspresi heranku perlahan raib. Berganti dengan ekspresi muak dan datar. Bukannya berubah, ternyata dia makin mahir berbuat jahat.

Pertanyaan itu aku biarkan mengambang. Aku gak akan jawab, meski dia dan Pak Aksa tampak menunggui aku buka suara. Aku berbalik, memunggungi mereka. Kuteruskan menjemuri pakaian.

Terdengar suara tawa mengejek dari sebelah. Masa bodoh! Terserah dia. Aku gak peduli. Yang aku peduli sekarang adalah, segera mencari tahu kenapa bisa dia datang ke rumah Pak Aksa.

Bab 6 

"Kurang ajar."

Aku mengumpat, padahal ini masih pagi. Sembari menyapu halaman, aku kembali mengingat apa yang kemarin malam kudapat sebagai hasil dari stalking akun medsos-nya Serena.

Serena dan Pak Aksa. Mereka ternyata punya hubungan. Pa-ca-ran. Gila. Gimana bisa Pak Aksa pacaran sama perempuan itu?

Serena dan aku pernah satu kelas waktu kuliah dulu. Dia ... jahat. Serena itu perempuan jahat.

"Kenapa bisa Pak Aksa pacaran sama perempuan jahat?" Aku melempar sapu lidi ke tanah.

Kalau sapu lidi itu Serena, aku pasti akan menginjak-injaknya hingga patah. Rasanya aku gak rela waktu lihat ada foto Serena dan Pak Aksa yang terpasang di medsosnya Serena. Kok bisa?

Pak Aksa itu pria baik. Dulu, dia itu salah satu dosen yang aku tunggu-tunggu tiap minggu. Secara fisik, Pak Aksa itu sempurna. Laki-laki itu tinggi, badannya tegap dan kulitnya putih bersih.

Kurasa bukan cuma aku yang suka dia berlama-lama di kelas. Dia itu incaran banyak mahasiswi dulu. Kalau dipikir, siapa pun yang Pak Aksa mau, dia bisa dapatkan. Lantas, kenapa dia harus memilih Serena?

"Depot air di sini, di mana?"

Suara itu membuatku menengok dengan ekspresi terkejut. Untung saja yang bicara barusan Pak Aksa dan bukannya hantu.

"Apa, Pak?" ulangku sembari memungut sapu lidi dari tanah.

"Depot air." Dia berdiri tepat di belakang tembok pembatas.

"Oh, di sana. Lewat warung kemarin."

Pak Aksa gak menyahut lagi. Aku menoleh dan ternyata dia tengah menatapi.

"Kenapa?" tanyaku heran.

"Soal kemarin."

"Kemarin apa?"

"Saya baru tahu dari Serena kalau kamu ...."

"Gak lulus kuliah?" tebakku.

Kelihatan sekali dari wajahnya dia sedang merasa gak enak. Pasti, Serena sudah menceritakan apa yang terjadi pada pacarnya ini.

"Maaf kalau kemarin kami menyinggung kamu." Aku bisa menangkap ada rasa menyesal di caranya berucap.

Jadi, aku mengangguk. "Mau diantar ke depot air?" kataku menawarkan. Setelahnya, aku bertanya pada diri sendiri. Kenapa baik sekali aku pada si tetangga baru ini?

Namanya juga tetangga. Kita memang harus saling menolong dengan tetangga. Apalagi dengan tetangg ayang sudah pernah dikenal sebelumnya. Ya, 'kan?

"Nggak sibuk?"

Aku menyapu dengan cepat. "Habis ini, ya. Nanti kalau ditinggal belum beres, ibu bisa ngamuk."

Pak Aksa setuju. Sepuluh menit kemudian, kami pun pergi menuju depot air minum. Jika kemarin aku dibelikan satu buah pasta coklat, kali ini Pak Aksa mentraktir dua. Sebagai ucapan terima kasih, aku berikan dia satu.

"Saya nggak pernah makan ini." Dia mengatakan itu sambil menatapi sebatang pasta coklat yang kuberikan saat kami sudah kembali ke rumahnya.

Aku gak bisa menahan senyum. "Enak itu, Pak. Dimakan aja. Aku balik, ya."

"Kamu mau pergi bekerja?"

Aku menggeleng. "Aku gak kerja. Aku pengangguran."

Saat sudah menapaki halaman rumah, Pak Aksa menyahut, "Nggak percaya. Mana ada orang nggak kerja wajahnya seperti kamu."

Pelan-pelan kepalaku menoleh. "Memang, wajahku kenapa?"

"Nggak ada beban?"

Padanya aku tersenyum kuda. "Bukan gak ada beban. Ini wajah orang gak ada malu."

Pak Aksa hanya tersenyum, kemudian pergi membawa galon airnya yang sudah terisi, masuk ke rumah.

***

Kadang, aku sangat membenci diriku sendiri. Banyak sekali yang gak bisa aku lakuin di dunia ini. Salah satunya, naik motor.

Tengah malam, Ibu terdengar menjerit takut. Aku yang memang belum tidur segera mendatangi kamar ibu. Ternyata, Bapak pingsan.

Harusnya, ini bisa diselesaikan dengan cepat, tanpa harus ada drama menangis. Namun, sayangnya aku ini banyak sekali kekurangan. Aku gak bisa membonceng Bapak dan membawanya ke rumah sakit.

Panik, yang terpikirkan pertama kali adalah menghubungi Rexi. Beruntung pria itu masih bangun dan menjawab ponselnya.

"Bapak pingsan. Aku gak bisa bawa ke rumah sakit," terangku sambil menangis.

Rexi bilang akan datang. Aku disuruh tenang dan sambungan telepon itu diputus. Aku makin kalut karena ibu terus-terusan berusaha membangunkan bapak sambil menangis.

Gak bisa. Ini gak bisa dibiarkan lama-lama. Siapa yang tahu apa yang sedang terjadi pada Bapak? Bagaimana jika beliau harus segera mendapat penanganan medis dari dokter?

Aku pun segera bergegas keluar. Satu rumah terlintas di benakku. Aku akan ke rumah Pak Aksa.

"Pak Aksa!" Aku berteriak dari depan pagar rumahnya. "Pak Aksa!"

Dua menit berlalu, Pak Aksa keluar dari rumah dengan tampang baru bangun dan terheran-heran.

"Bapak, tolong. Bapak saya pingsan. Tolong, tolong bawa ke rumah sakit. Saya gak bisa naik motor."

Gak memberi balasan apa-apa, kulihat Pak Aksa segera berlari masuk. Setelahnya, ia langsung menyalakan mobil, lalu membantuku membawa bapak ke rumah sakit.

Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku terus berusaha mengingat. Apa kiranya yang membuat Bapak sampai pingsan? Beliau gak punya riwayat penyakit apa-apa. Kalau pun sakit, paling hanya demam dan batuk. Kenapa bisa sampai gak sadarkan diri begini?

Tiba di rumah sakit, Bapak langsung ditangani dokter. Aku yang sadar diri gak akan memberi kontribusi apa pun langsung menepi dan membiarkan Ibuk yang bicara dengan dokter. Kaki dan tanganku sudah gemetaran. Pandanganku juga sudah mulai gak fokus.

Aku berjongkok di depan ruang IGD. Mengatur napas yang terengah, perutku bergejolak dan aku ingin muntah. Aku berkeringat, tetapi kedinginan. Situasi seperti ini memang sulit sekali untuk aku hadapi.

Ponselku berdering. Rexi yang menelepon.

"Di rumah sakit mana?" tanyanya dengan latar belakang suara mesin sepeda motor.

"Rumah Sakit Pelita," terangku. Setelahnya, tangisku langsung lepas. "Kamu di mana? Masih lama?"

"Udah dekat. Jangan panik. Bapak udah ditangani?"

"Udah."

"Temani Ibuk, Abigail. Aku sampai sebentar lagi."

Panggilan itu terputus. Tanganku sengaja kukepal supaya bisa menahan tangis. Kenapa aku harus jadi penakut begini?

"Abigail?"

Aku mendongak dan menemukan Pak Aksa. "Kenapa di sini?" Dia tahu-tahu ikut berjongkok.

Aku menggeleng. Ditanyai begitu, tangisku malah makin menjadi. "I--Ibuk mana?"

"Lagi bicara dengan dokter. Kamu baik-baik saja?"

Susah payah aku mengangguk. "Cu-cuma gemetar."

"Kamu takut?" Pak Aksa meraih tanganku yang terkepal. "Tanganmu dingin."

Aku hanya berusaha tersenyum. Jelas aku takut. Aku gak mau terjadi sesuatu yang buruk pada Bapak. Meski dia sedikit kejam, tetap saja akan ada yang gak baik kalau dia sampai kenapa-kenapa.

Selain takut, aku juga merasa bersalah. Aku malu karena gak bisa mengurusi bapak sendiri. Kalau saja bukan karena bantuan orang, aku bahkan gak mampu bawa bapak ke rumah sakit.

"Ayahmu sudah ditangani dokter. Harusnya sekarang semua sudah baik-baik saja. Tenangkan dirimu."

"Iya." Aku menurunkan pandangan. Sudah berusaha tenang, napasku masih saja tersengal-sengal. Belum lagi debar jantung yang makin cepat. Lama-lama aku jadi sedikit sesak.

Aku gak tahu apa yang terjadi, tetapi untuk satu detik pandanganku gelap. Kupejamkan mata erat, kemudian kembali bisa melihat dengan jelas saat membuka mata. Namun, itu hanya sebentar, sebab setelahnya aku merasa kehilangan tenaga dan mengantuk.

....

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Kategori
Say Yes?
Selanjutnya Say Yes? - 7,8,9
2
0
Wah, enak sekali. Memang, ya, Pekerjaan yang cocok untuk perempuan itu memang jadi guru. Bisa cari uang, tapi rumahtangga dan keluarga tidak terlantar. Nak Serena sudah menikah?Belum, Buk. Dia tersenyum. Palsu sekali tarikan bibirnya itu. Jijik aku melihatnya.Pasti banyak yang naksir, ya.Oalah Ibuk. Kenapa, sih? Banyak yang naksir memangnya prestasi? Iya, sih.  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan