
Niatnya ingin cari suami kaya raya, minimal CEO di perusahaan milik sendiri. Jadi tawanan bos preman kayak di novel yang kutulis pun gak masalah. Namun, pada akhirnya aku harus realistis.
Dari banyaknya pria di dunia, ada satu yang nekat ingin menghabiskan hidupnya denganku. Namanya Rexi. Ganteng, meski gak putih. Badannya tinggi, angkuh. Sayangnya ... dia gak kaya.
Sebenarnya, sih, gak pengin nikah. Tapi, kayaknya aku memang butuh status baru. Jadi istri orang sepertinya bisa mengubah suasana, jadi...
Bab 1
Apa yang kalian lakuin kalau lagi galau atau gak enak hati?
Tidur?
Aku udah. Dari kemarin sore, sampai sekarang pukul 11 siang, aku sama sekali belum bangkit dari ranjang, kecuali untuk ke toilet.
Makan?
Gak bisa jajan. Uang lagi menipis. Minta ibu atau bapak, bisa diusir. Jangan. Malu.
Jadi, apa yang aku lakuin untuk menghadapi suasana hati yang lagi gak enak ini?
Nyari masalah baru dengan stalking akun medsos orang-orang dari masa lalu. Mampus. Rasanya luar biasa begah.
Gimana nggak? Mereka-mereka udah pada sukses. Ada yang udah S2, ada yang baru jalan-jalan dari luar negeri. Ada yang baru punya baby, ada juga yang baru nambah anak. Ada yang beli mobil baru, ada juga yang baru selesai bangun rumah.
Lantas aku?
Kutaruh ponsel di atas kasur. Menatapi langit-langit kamar, mataku menangkap ada beberapa titik yang sudah jadi rumah permanen laba-laba, alias banyak sawang-sawangnya. Dan perlu diketahui, ini bahkan bukan kamarku sendiri.
Ini kamar di rumah bapak dan ibu. Alias, sampai sekarang, aku masih numpang. Kenapa? Kenapa di dunia ini cuma aku yang menderita?
Kenapa bisa orang-orang menjalani hidupnya dengan mudah dan meriah? Sedangkan aku, udah berusaha semurah mungkin--biaya hidup--tetap aja kadang harus minjem.
Menghela napas lelah, aku kembali memegangi ponsel. Kembali memeriksa akun-akun orang yang dulu sempat kukenal. Dan berjam-jam setelahnya kuhabiskan untuk mengatai diri bodoh, menahan rasa malu juga iri dan cari tahu di mana bisa beli tuyul second.
***
"Kenapa bisa gak tahu kalau hari ini hari pertama?"
Repetan itu aku dengar saat sudah dekat dengan parkiran mini market. Pada si oknum cerewet yang bicara, aku hanya bisa melirik tajam.
Seperti yang kuduga, suasana hati yang gak enak kemarin adalah pertanda kalau periode datang bulan sudah dekat. Dan benar saja. Tanpa aba-aba, sore ini aku mengalami tragedi berdarah.
Masalahnya, aku hanya menduga kemarin. Tak menjadikannya sebagai prediksi untuk membuat persiapan. Alhasil, aku mengotori motornya Rexi, laki-laki yang barusan mengomeli.
"Udah dipakai pembalutnya?"
Menatap wajahnya yang datar itu, rasanya ingin kutarik saja kelopak matanya atau sekalian bibirnya. Memangnya aku minta berhenti di mini market untuk apa?
"Mau lihat?" tantangku kurang ajar.
Laki-laki itu langsung membalik tubuh dan memanjangan lengan untuk bisa menjangkau pipiku dengan tangan. Pipiku dijepitnya sampai bibir yang gak seksi ini moyong mirip ikan.
"Aku lipat bibir kamu, ya," ancamnya sok galak. Sok melotot pula. Memang aku takut? Dulu, iya. Sekarang, gak lagi.
Aku menepis tangannya. Kulihat jok sepeda motor yang tadi sempat terkena darah kotor. Sudah bersih.
"Di-lap pakai apa?" tanyaku.
"Menurutmu?" Rexi melepaskan jaketnya.
Aku gak tahu apa susahnya memberikan jaket itu dengan cara normal. Kenapa harus dilempar, padahal jarak kami gak jauh. Kenapa harus dilempar dan mengenai wajahku?
"Pakai," katanya tanpa rasa berdosa.
Hanya demi gak malu, aku mengikatkan jaketnya si Rexi ke pinggang. Tebersit keinginan untuk kabur saja, pulang sendiri. Tapi, sayang ongkosnya. Nanti bisa dipakai untuk beli yang lain.
Saat aku sudah naik ke sepeda motor Rexi, laki-laki itu menoleh dengan lirikan sombongnya itu.
"Pulang aja, ya. Nggak usah jadi jalan."
Ibab.
Apa dia tahu berapa lama aku memoles bedak di wajah yang gak seberapa cantik ini? Sepuluh menit. Dan apa? Dia bilang pulang aja?
Apa dia tahu seberapa berusahanya aku mengumpulkan niat untuk mandi tadi? Kalau bukan demi menyenangkan dia, aku gak akan mau beranjak dari kasur.
Dan apa? Dia bilang pulang aja?
Karena apa? Apa yang salah hingga membuat niatnya berubah sebegini cepat?
"Malu jalan sama cewek tembus?" Aku turun dari sepeda motornya.
Rexi hanya mengerutkan kening. Seolah dia tak mengerti apa yang aku katakan. Seolah aku bicara dengan bahasa yang dia gak pahami.
"Yang ngajak jalan itu kamu, ya! Seenaknya aja dibatalin."
Seketika aku berkeringat dingin. Bagian perut bawahku terasa amat nyeri. Mungkin karena terlalu keras bersuara.
Aku menekuk lutut dan berjongkok di samping motornya Rexi. Mengatur napas, sampai nyeri itu hilang.
"Pulang ajalah."
Dia mengulanginya lagi. Berang, aku berdiri. Kuinjak ujung sepatunya dengan tenaga penuh dan berulang kali.
"Anjuan." Usai mengatakan itu dengan mata melotot, aku pergi. Biarlah keluar uang untuk ongkos. Daripada aku makin emosi berhadapan dengan si Rexi itu? Jangan sampai dia ikut-ikutan punah di tanganku.
***
Aku sendirian di rumah. Bapak, Ibu, dan dua adik pergi makan kerang. Mereka tahu aku harusnya bersama Rexi, jadi ditinggal.
Habis mandi, aku langsung masuk ke kamar. Untuk melampiaskan marah, usai mengeluarkan uang untuk ongkos, aku juga mengeluarkan uang untuk jajan.
Masa bodoh yang lain. Aku butuh makanan untuk menghalau perasaan yang gak menentu.
Seporsi jagung goreng harga tiga ribu dengan bumbu balado juga nugget tanpa saos menjadi menu. Di kamar, sambil bermain ponsel, aku menikmati camilan terenak di dunia ini.
Setengah jam berlalu, tahu-tahu ada yang menghubungi. Nomor baru. Sengaja gak kuangkat. Setelah panggilan selesai, aku kirimi pesan.
[Siapa ini?]
Tak lama balasan datang.
[Ini ibunya Rexi. Ini Abigail, 'kan?]
Aku berhenti mengunyah. Semula bersandar ke dinding, aku duduk tegak. Kuteguk air dari botol.
Ibunya Rexi? Ah, pasti bohong. Ini pasti modus ibu minta pulsa. Tapi, kenapa bisa mereka tahu Rexi?
Ada pesan baru datang.
[Kata Rexi dia mau bawa kamu ke rumah tadi. Kenapa tidak jadi?]
Hah?
Ini sudah terlalu jauh kalau memang sekadar penipuan. Aku mencari kontak Rexi, lalu menyanyainya soal nomor itu.
[Iya. Ibuku, namanya Ibu Samara.]
Tak sempat mengetikkan protes, ibunya Rexi kembali melakukan panggilan. Mau tak mau, dengan persiapan ala kadarnya, hanya menarik napas sejenak, aku menerima panggilan video itu.
Aku tersenyum. Seorang wanita cantik dengan alis tebal muncul di layar dan membalas senyumanku. Aku jadi tahu dari siapa Rexi punya alisnya yang bagus itu.
"Halo, Buk. Aku Abigail," kataku memperkenalkan diri.
"Iya, Nak Abigail. Saya ibunya Rexi, panggil aja Tante Samara. Tante tidak menganggu kamu, 'kan?"
Aku menggeleng. Ibunya Rexi menyanyai beberapa hal remeh, kemudian kembali mengulang pertanyaan inti.
"Kenapa tadi tidak jadi datang ke rumah, Nak?"
Membuka mulut, aku menutupnya lagi. Bagaimana menjelaskannya, ya? Apa mengarang cerita lain saja, ya?
Ah, jangan. Untuk apa berbohong demi hal kecil dan gak penting begini?
"Gini, Buk. Aku lupa kalau hari ini datang bulan hari pertama. Jadi ... tembus."
Tersenyum saja dan tampak heran, Buk Samara mengangguk. "Ya sudah. Nanti atur jadwal lagi untuk datang ke rumah, ya."
Meski bingung, aku mengangguk saja. Setelah panggilan video berakhir, aku menyanyai Rexi. Kenapa tiba-tiba dia mau mengajakku menemui orangtuanya? Gak memberitahu pula.
Tahu apa balasan lelaki itu?
[Aku mau kita menikah.]
Gila. Baru pacaran satu bulan, dia sudah mengajak menikah? Ada yang lain dengan laki-laki satu ini sepertinya.
[Nikah sama siapa?] balasku.
[Pas sekolah, nilai bahasamu pasti 0. Jelas-jelas kuketik kita.]
Tak sempat mengirimi pembelaan diri, pesan dari Rexi keburu datang. Kali ini pesan suara.
"Kalau memang nggak mau, jawab sekarang. Aku malas buang waktu sama perempuan nggak jelas."
Berapi-api, aku ketikkan pesan balasan. Pertama, dia harus diberi umpatan karena sudah mengataiku perempuan gak jelas dan berniat mengajakku ke rumahnya tanpa memberitahu dulu.
Kedua, aku ingin tanya kenapa dia sok sekali mengajak menikah buru-buru? Memang dia sudah punya persiapan? Memang dia sudah yakin bisa mengendalikan aku? Selama sebulan ini, bukankah dia mengeluh kalau aku ini masih kekanakan? Ap--
"Ah, ulat bulu!" makiku pada ponsel yang tiba-tiba mati.
Kenapa? Kenapa ponsel ini harus mati sebelum aku selesai mengirimi Rexi pesan? Kenapa baterainya harus habis sekarang?
Kenapa?
Kenapa, sih, hidupku selalu sulit begini?
Bab 2
Seharian ini, aku gak melakukan apa-apa selain mengingat semua hal soal Rexi. Pertama kali bertemu dia, kenapa bisa sampai kami pacaran, sifat-sifat menyebalkannya dan ajakan menikah yang kemarin lelaki itu sampaikan dengan begitu mudahnya.
Rexi itu bekerja di bengkel. Aku kenal dia karena pernah menemani Amel membetulkan sepeda motor. Saat itu Amel lupa bawa ponsel, jadi nomorku yang diberikan sebagai kontak yang bisa dihubungi.
Saat urusan motor itu selesai, Rexi mengirimi pesan yang isinya soal hal pribadi. Laki-laki itu bertanya apa aku sudah punya pacar atau sudah menikah.
Iseng, aku meladeni dia. Diluar dugaan, kami bisa berkomunikasi dengan baik. Dia masih mengirimiku pesan sampai tiga hari setelahnya. Padahal, biasanya para pria akan menggunakan jurus menghilang seribu bayangan, setelah tahu kalau aku pengangguran.
Kesan pertamaku tentang Rexi, dia laki-laki tanpa basa-basi. Apa yang menjadi tujuan atau keinginannya, akan dia suarakan secara langsung tanpa berbelit. Saat dia memintaku jadi pacar di seminggu setelah kami intens komunikasi, dia bahkan terkesan memaksa, mengejek dan bukannya meminta.
"Lagi nggak sama siapa-siapa, 'kan? Kita pacaran. Aku suka kamu."
Kalau saja gak demi status baru, aku gak akan mau nerima dia jadi pacar. Seumur hidup, baru ini ada laki-laki yang mengajakku pacaran. Entah mata Rexi sedang salah lihat atau dia lagi di fase mabuk. Aku gak terlalu penasaran kala itu. Toh, cuma pacaran.
Punya pacar, kukira akan mengalami masa berbunga-bunga. Ada yang mengingatkan makan, minum, mandi. Ada yang membawakan coklat, bunga dan hadiah. Ada yang menurunkan pijakan motor, ada yang mengajak jalan-jalan dan momen-momen manis seperti yang sering orang-orang tunjukkan di media sosial.
Nyatanya, nol besar. Mengingatkan makan, minum? Rexi sukanya mengataiku bau asem. Dibawakan coklat, bunga? Dipuji cantik saja gak pernah. Pokoknya, jauh dari bayangan. Punya pacar gak punya pacar, sama aja. Kecuali, kadang dibayari jajan, dibelikan kuota dan diomeli.
Belum lagi, Rexi itu orangnya suka sekali mengatur-ngatur. Kata dia, aku gak boleh lagi tidur lebih dari 9 jam. Padahal, tidur itu kan hobiku. Lagipula, aku bisa melakukan apa saat sedang bosan, selain turu?
Selain suka mengatur, dia juga pelit. Saat kuminta belikan tiket konser idola K-pop, dia menolak memberikan. Padahal, aku tahu kalau dia punya uang. Alasannya juga melebih-lebihkan. Katanya, aku harus tahu mana prioritas dan mana yang bukan, terlebih di umur sekarang.
Memang kalau sudah tua gak boleh menikmati hidup? Dasarnya dia memang pelit. Gak mau menyenangkan pasangan.
Setelah semua hal-hal itu, apa masuk akal kalau aku setuju menikah? Yang benar saja. Demi Tuhan, aku masih berharap punya suami sempurna.
Selama menjadi jomlo, aku bukannya gak punya keinginan untuk punya seseorang yang spesial. Tapi, ya, begitu. Tampangku sama sekali gak menarik untuk laki-laki.
Dalam bayangkanku, ingin sekali bertemu dengan laki-laki mapan, yang punya wajah rupawan. Bos besar di sebuah perusahaan ternama yang memilih jatuh hati pada perempuan sederhana seperti aku.
Uh, pasti menyenangkan kalau itu benar-benar terjadi. Namun, kenyataan gak pernah terasa menyenangkan. Sekian lama berharap, laki-laki seperti itu gak kunjung datang. Yang datang malah yang seperti Rexi.
Bukan aku memandang Rexi rendah karena pekerjaannya. Namun, tetap saja dia bukan CEO dan aku masih punya keinginan untuk menunggu keajaiban, di mana lelaki idaman yang kaya raya akan datang dan jatuh hati padaku.
Menikah itu untuk memperbaiki kehidupan, 'kan? Kalau aku yang susah ini menikah dengan Rexi yang sederhana, apa yang akan berubah? Jadi makin buruk, besar kemungkinan.
Jadi? Jawaban apa yang harus kuberikan pada Rexi? Mengingat pria itu gak pernah asal menyatakan sesuatu, ada kemungkinan ajakan menikah kemarin juga sungguhan.
Dia juga gak menyediakan banyak waktu untuk aku berpikir dan menimbang. Lalu, harus jawab apa?
***
Ibuku bersorak sambil bertepuk tangan usai aku menyuarakan tanya. Beliau tampak akan segera menari, kalau saja aku gak menarik tangannya untuk duduk kembali.
"Ibuk apaan, sih?"
"Ini berita besar, Abigail! Akhirnya, kamu akan menikah!"
Barusan aku memberitahu ibu soal ajakan Rexi. Niatnya ingin mencari saran. Namun, agaknya ibu malah punya pendapat beda denganku.
"Aku belum bilang setuju, Buk. Ini aku tanya Ibuk, supaya bisa dapat gambaran untuk bikin keputusan."
Ibu tiba-tiba menghapus senyum. Beliau menatapku dengan kening berlipat.
"Memang apa lagi yang mau kamu tunggu? Apa alasan kamu berniat tidak setuju?"
"Kan aku baru pacaran sama dia sebulan. Masa' sebulan udah mau nikah. Belum juga kenal sepenuhnya."
Begitukan harusnya? Pacaran itu gunanya untuk saling mengenal. Dan sebulan rasanya belum cukup untuk aku paham bagaimana Rexi itu sebenarnya.
"Kamu belum kenal Rexi?"
"Maksudnya kenal karakternya, Ibuk."
"Dia anak baik, Abigail. Dia sopan ke ibu atau bapakmu."
"Baru juga ketemu beberap kali," bantahku. "Siapa yang tahu kalau nanti abis nikah sifat aslinya keluar?"
Ibu berdecak. Nyonya itu menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa. Wajahnya gak lagi dihiasi semringah.
"Jarang ada lelaki begitu. Dari yang ibu lihat, Rexi itu orangnya serius. Kalau dia yakin utrakan niat mau menikahi kamu, itu artinya dia sudah pikirkan semua matang-matang."
"Siapa tahu kalau dia cuma asal ambil keputusan?" Aku jadi makin yakin untuk menolak ajakan Rexi.
Bagaimana juga, ini terlalu cepat. Hubungan kami masih terlalu rapuh untuk dibawa ke jenjang yang lebih serius. Dan perlu diingat, aku gak mau jadi janda dalam waktu dekat. Enak saja. Kalau jadi jandanya CEO, bisa dipertimbangkan. Dengan catatan, balikan lagi nanti, seperti yang di novel atau drama-drama zaman kini.
"Ibu bilang, sih, terima. Kapan lagi ada laki-laki yang berani ajak kamu menikah, Abigail."
Tepat saat ibu bicara begitu, bapak pulang. Beliau langsung melempar tatapan tajam kepadaku. Tidak langsung pergi bersih-bersih atau makan, bapak duduk di samping ibuk.
Mampus. Aku gak berniat minta saran bapak. Karena biasanya, kami gak pernah sepaham.
"Siapa yang ajak siapa menikah?"
Tanpa kuminta dan tanpa bisa kutahan, Ibuk membagi cerita. Ditambahi bumbu mengompori, beliau agaknya sedang berusaha mempengaruhi Bapak.
"Apa lagi yang membuatmu ragu?"
Kan.
Pada Bapak, aku memutar bola mata. "Kami pacaran aja baru sebulan, Pak. Gimana bisa langsung nikah?"
"Memangnya tujuanmu pacaran ini untuk apa? Cuma untuk main-main? Kalau iya, sebulan memang kurang." Mata Bapak memberi tatapan remeh ke sini.
Hih. Aku barusan diejek. Apa beliau sedang menataiku perempuan gak jelas, seperti yang Rexi bilang?
"Laki-laki itu lebih banyak menggunakan logikanya. Kalau Rexi sudah sampai berani mengutarakan niatnya menikah, artinya dia sudah siap."
"Aku yang belum siap!" ketusku dengan wajah merengut.
Bapak tersenyum sinis. Pandangannya naik-turun seolah sedang menilai. "Memang, kapan kamu akan siap? Dua puluh delapan tahun kurang?"
Menganga dengan wajah marah, aku membalas, "Kesiapan seseorang itu gak dinilai dari umur, ya!"
"Hm. Apa katamu," balas Bapak. Kalau beliau sudah berkata begitu, aku pasti merasa luar biasa kesal. "Cuma, coba pikir lagi. Kalau bukan Rexi, siapa kira-kira yang bakal menikahi kamu? Memang, mau sampai umur berapa masih tinggal dengan orangtua? Memang gak malu sama orang-orang?"
Rahangku terbuka lebar. Itu, barusan itu adalah bentuk dari usiran halus, 'kan? Aku diusir? Oleh orangtuaku sendiri?
"Menikah itu salah satu hal yang harus dilakukan manusia." Bapak menyela aku yang sudah membuka mulut, ingin murka. "Kalau ada kesempatan, kenapa malah ditolak? Siapa yang tahu orang macam Rexi bakal ada lagi atau tidak?"
"Bapak ngusir aku?" Akhirnya aku menemukan suara.
Beliau tak menjawab, hanya menatap dengan alis bertaut. Dia kemudian berdiri. "Tolong siapkan makan, ya, Buk. Aku mau mandi dulu."
Bapak dan Ibuk pergi begitu saja. Tanpa menjawab atau menjelaskan apa-apa lagi padaku. Lalu, apa kesimpulan dari pembicaraan ini?
Aku harus menerima lamaran Rexi, agar bisa segera angkat kaki dari rumah Bapak dan Ibuk? Aku ... diusir? Iya. Diusir. Disuruh menikah hanya tameng. Sesungguhnya, Bapak dan Ibuk agaknya sudah bosan menampungku di rumahnya ini.
Nasib, nasib.
Bab 3
Sudah berapa lama aku hidup? Dua puluh delapan tahun. Selama ini, apa saja pencapaian yang aku punya?
Rasa-rasanya gak ada.
Hidupku biasa saja. Dasarnya, mungkin karena aku orang yang gak punya ambisi. Jadi, ya, begitu. Yang penting masih hidup.
Setelah lulus sekolah, aku pernah kuliah. Namun, karena satu dan lain hal, aku gagal jadi sarjana. Bisa dibilang, bukannya membanggakan, aku ini malah bikin aib untuk keluarga. Syukurnya, hal itu gak sampai bikin aku diusir dari rumah.
Gak punya kegiatan apa-apa, aku serius menekuni hobi menulis. Keberuntungan datang waktu aku tahu kalau hobi itu bisa menghasilkan uang. Gak banyak, gak pasti, tapi setidaknya sampai sekarang aku masih betah melakukan hobi ini.
Biasa sekali, 'kan? Apalagi soal hubungan percintaan. Berteman saja aku sulit, konon mencari pacar. Belum apa-apa, aku sudah malu duluan. Gak percaya diri menghadapi laki-laki.
Bicara soal pencapaian, rasanya aku memang gak punya. Lain dengan adik-adik yang meski cuma tamatan SMA, mereka bisa dapat pekerjaan yang baik. Amel misalnya. Dia sudah jadi supervisior di sebuah toko retil. Gajinya sudah cukup untuk membayar biaya kos dan mengirimi beberapa ratus ribu pada bapak dan ibu.
Hah, teringat hal itu, kenapa aku makin malu, ya? Terlebih ucapan Bapak tadi sore.
"Memang mau sampai kapan tinggal di rumah bapak dan ibumu?"
Mau sampai aku menumpang hidup? Niatnya, sih, selamanya saja. Menabung untuk beli rumah, sepertinya baru akan bisa terkabul setelah beberapa abda.
Jalan satu-satunya memang menikah. Namun, rasanya, aku gak punya hasrat untuk menikah. Kayak, penting, gak, sih, nikah itu? Buat apa? Nambahin masalah?
Tapi, teringat bapak dan ibu, kok, ya, rasanya egois sekali kalau berpikiran begitu. Mereka pasti malu pada tetangga dan kerabat. Sudah punya anak yang pantas menikah, kenapa masih menumpang hidup? Belum lagi, aku belum pernah bisa memberi apa-apa pada mereka.
Jadi, bagaimana ini?
Apa diterima saja ajakan Rexi menikah? Dengan begitu, aku bisa angkat kaki dari sini. Orang-orang gak memandang jelek bapak dan ibu lagi. Aku lepas dari label gak laku. Meski jatuhnya juga masih menumpang hidup, cuma sama orang yang berbeda.
Tadinya ingin melanjutkan pekerjaan, aku jadi hilang selera setelah memikirkan semua ini. Gak jadi ambil laptop, aku malah tarik selimut. Tidur sajalah. Siapa tahu bisa mimpi indah, Rexi berubah jadi anak orang kaya. Ternyata dia itu anaknya pemilik perusahaan besar mana gitu. Supaya aku lebih mudah berkata iya atas ajakan menikah darinya.
***
Jam makan siang. Bagi orang normal. Bagiku, ini jam tidur. Sayangnya, Rexi datang dan mengharuskan aku menyambutnya di ruang tamu.
Dia datang membawa 3 nasi bungkus. Satu diberikan pada ibu, satunya untuk si bungsu Rika dan satunya untuk dia. Aku gak kebagian.
Dia datang untuk makan katanya. Sekalian menagih jawaban. Haduh, malah aku belum seratus persen yakin dengan keputusan.
"Ngapain, sih, harus makan di sini? Udah aku gak dibagi." Beberapa menit diam, aku akhirnya bersuara. Kesal sekali melihat dia lahap menikmati ikan gulainya.
"Tidur nggak bikin kenyang?" ejeknya.
Malas berdebat, aku berbaring di sofa. Inginnya memunggui dia, tapi takut dia makin kesal.
"Sini."
Kedua alisku terangkat. "Apa?" Kubuat suara seperti orang mau mati. Siapa tahu dia kasihan dan membagi makanannya itu.
Begini laki-laki yang mau kunikahi? Makanannya saja dia ogah berbagi. Konon berbagi suka dan duka. Bisa-bisa, kalau aku mengeluh lagi gak enak hati atau gak enak badan, dia bakal memulangkanku ke rumah bapak dan ibu.
"Sini. Bangun, duduk sini." Dia menunjuk sisi kosong sofa yang dia duduki.
"Gak muat," kataku beralasan, meski tetap mematuhi keinginannya.
"Nggak usah perasaan semok, deh."
Kan, mulutnya.
Rexi tahu-tahu membawa satu suapan nasi ke depan mulutku. Apa-apaan ini? Dia mau menyuapiku? Dengan tangan?
"Katanya mau dibagi."
"Bisa makan sendiri. Tunggu aku ambil sen--"
"Mau nggak?" Dia mengancam. Matanya melotot.
Terpaksa aku menerima suapan itu. Untung enak. Kalau gak, sudah kusembur wajahnya dengan itu.
"Kalau kamu gak peduli samaku, kenapa ngajak nikah?"
"Nggak peduli?"
Kepalaku mengangguk. "Ibuku dibelikan. Rika dibelikan. Gimana bisa aku yang gak kebagian?"
Rexi kembali menyuapiku. Dia tersenyum kemudian. "Sengaja."
"Biar apha?" kataku dengan mulut penuh.
"Biar kamu minta duluan."
Oalah. Jalan pikiran picik. Gimana nanti kalau aku jadi berumahtangga dengan dia? Harus kuminta dulu baru dia kasih uang belanja?
"Kek gini yang katanya mau menikah? Kamu nikahin aku untuk disiksa, ya?"
Rexi tiba-tiba menatap tajam. Setelahnya, dia lanjut makan dan menyuapiku. Beberapa menit berlalu, nasi bungkus miliknya ludes.
"Jadi, apa jawaban kamu?"
Tembak langsung sekali lelaki satu ini. Apa pikirnya memutuskan menikah adalah sesuatu yang mudah?
"Kamu memangnya udah punya apa? Menikah itu gak sekadar mau apa gak. Harus ada biaya, kesiapan mental, aku gak mau menikah dua bulan habis itu cerai."
Kukira dia akan mengataiku matre. Ternyata gak.
"Untuk biaya nikah, aku ada. Tapi, kamu jangan minta pesta macam artis-artis itu."
Mataku membulat padanya. "Serius?"
"Aku ini nggak seperti kamu. Ada uang, malah mikir untuk beli tiket konser yang nggak ada artinya. Ada uang, ditabung."
Mana aku terima dikatai begitu. "Gajimu banyak. Gajiku itu gak pasti, pun gak seberapa. Jangan dibandingkan gitulah. Gak adil."
"Yang aku maksud caramu menetapkan mana yang prioritas. Masa' uang sebanyak itu untuk dibelikan tiket konser. Mending DP rumah."
DP rumah?
"Rumah siapa yang mau di-DP?"
"Rumah kitalah. Ngapain aku nge-DP rumah orang?" Wajahnya dihiasi ekspresi sewot. Seolah berkata kalau aku ini kelewat bodoh.
Astaga. Jauh sekali dia berpikir. Sudah sampai nge-DP rumah segala. Dia ini sungguh serius ingin menikah denganku?
"Rex," panggilku hati-hati.
Dia menoleh dengan tatapan tajam. Atmosfer di antara kami berubah jadi sedikit tegang.
"Kamu serius mau nikah sama aku? Yakin kamu mau jadikan aku istri?"
Laki-laki itu berkedip satu kali.
"Kita baru pacaran satu bulan, loh." Aku menelan ludah susah payah. Melihatnya seyakin sekarang, kenapa jadi aku yang ketar-ketir?
"Tiga puluh hari udah cukup bagiku mengenal kamu. Nggak seluruhnya, tapi secara garis besar aku udah dapat gambaran."
"Dan kamu masih mau menjadikanku istri?"
Dia mengangguk. Pelan. Hanya dua kali.
"Kenapa bisa?" Aku memancing. Siapa tahu dengan ditanyai begini, dia bisa berubah pikiran.
"Aku punya pertimbangan sendiri. Untuk sekarang, kayaknya aku nggak pengen kasih tahu. Dan ini bukan saatnya aku ditanyai. Aku harusnya dengar jawaban sekarang."
Entah sejak kapan aku sudah duduk tegak. Rasanya seperti akan ikut ujian kelulusan waktu sekolah dulu. Pada Rexi aku memberi tatapan sungguh-sungguh dan gugup.
"Kamu yakin, Rex? Menikah itu bukan untuk main-main. Semua orang maunya cuma sekali untuk seumur hidup. Yakin kamu sanggup seumur hidup sama aku?"
Dalam benak aku mengabsen semua kekurangan yang ada pada diri. Suka ngambek, suka menang sendiri, keras kepala, manja. Ya, Tuhan. Apa sanggup orang dengan karakter macam aku menikah?
Meski kadang berpikiran yang aneh-aneh, aku juga punya gambaran soal pernikahan.
"Biar begini, aku juga pengen jadi istri yang baik, Rex. Yang bisa melayani suaminya, bisa bantu suaminya untuk tiap hal. Melengkapi gak sekadar untuk kebutuhan badaniah, tapi juga jiwa. Gak sekadar jadi pajangan dan teman tidur. Menurut kamu, aku udah bisa belum?"
Rexi tersenyum. Palsu. Hanya satu detik, kemudian dia memasang wajah galak lagi.
"Kok tanya saya?" katanya dengan suara menjengkelkan. "Semua yang kamu tanyakan tadi, cuma kamu yang bisa menjawab."
Jika benar begitu, maka jawabanku adalah belum. Aku bahkan hanya bisa menumis sayur. Apa tiap hari Rexi harus kuberi makan tumis kangkung? Rumah tangga itu wadah belajar seumur hidup katanya. Apa aku bisa sesabar itu menghadapi Rexi sampai bertahun-tahun? Dia mengomel saja aku sudah menggerutu lebih parah dalam hati.
"Abigail."
Rexi mulai tak sabar. Kalau lelaki itu sudah memanggil namaku seperti barusan, artinya dia ingin apa pun yang sedang kami bicarakan segera selesai.
Terdesak, aku nekat turun dari sofa. Kududukkan diri di lantai, tepat di depan dia. Kuambil tangannya untuk digenggam. Kutatap wajahnya beberapa saat, kemudian fokus di kedua matanya.
Kucari-cari hal yang kusukai dari Rexi. Satu, dia dewasa. Kami hanya beda satu tahun, tetapi dia jauh lebih bisa lebih bijak daripada aku.
"Kalau pun nanti waktu menikah aku keras kepala, kamu jangan pernah main tangan. Kasih tahu aku, ajari aku." Aku heran kenapa suaraku jadi bergetar samar.
"Iya," jawabnya segera.
Dua, dia bertanggungjawab. Setahuku, dia ikut menyumbang biaya nikah adiknya yang kedua. Ayahnya sudah meninggal dan dia yang menghidupi ibunya.
"Nanti, ajari aku supaya bisa mandiri. Walau kita menikah, biaya hidup tanggungjawab kamu, aku juga mau punya penghasilan sendiri. Biar kamu gak bisa semena-mena sama aku."
"Iya." Suaranya terdengar jauh lebih teduh. Membuat jantungku menari heboh tanpa sebab. Belum lagi, saat ini satu tangannya sudah berada di atas kepalaku, membuat usapan pelan di sana.
Tiga, meski bukan tipe idealku, tapi aku gak menampik. Rexi ini tampan. Alisnya tebal, hidungnya tinggi. Wajahnya memang menguarkan aura congkak, meski dia gak kasih ekspresi apa-apa atau mendongakkan dagu. Dan itu, kadang-kadang terlihat seksi bagiku.
"Tolong hargai aku." Kali ini aku mengerjap karena basah di bola mata. "Meski aku gak cantik, nanti setelah kita menikah, aku mau kamu menghargai aku. Perlakukan aku sebagai manusia yang hak dan kedudukannya sama seperti kamu."
Rexi menyuarakan persetujuan, jantungku makin gak karuan detaknya. Menarik napas dalam, aku membulatkan keputusan.
"Iya. Aku mau nikah sama kamu."
Satu detik setelah kalimat itu meluncur dari bibir, aku langsung dihinggapi rasa bingung dan gugup. Mendadak kepalaku kosong. Apa yang barusan kukatakan?
Aku setuju? Aku mengiayakan ajakan Rexi menikah? Gak. Gak mungkin. Pasti ada yang salah di sini. Pasti aku udah diguna-guna. Nasi bungkus tadi pasti ada peletnya.
....
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
