Say Yes? - 19,20,21

1
0
Deskripsi

"Saya tahu waktu saya tidak tepat. Tapi, saya merasa akan menyesal kalau tidak mengutarakan ini pada kamu. Apakah saya punya kesempatan untuk bersaing dengan tunangan kamu, Abigail?"

Bab 19 - Pesaing 

"Jadi, mikirnya udah selesai?"

Yah. Dia tembak langsung. Pertanyaan ini yang sejak tadi aku hindari. Sekarang, harus jawab apa?

"Gak usah bahas itu sekarang. Diaremu urus dulu." Gak ada pilihan lain, aku berusaha mengelak.

"Masih butuh waktu lebih lama?"

Aku menghela napas. "Iya." Biar dia gondok sekalian.

Rexi gak bicara lagi. Namun, aku bisa lihat air mukanya berubah keruh. Makin tampak jelek dia. Sudah pucat, ekspresinya seperti orang mau menangis pula.

"Cewek tadi itu cantik, ya?" pancingku.

"Yang mana?"

"Yang di bengkel tadi. Kata teman kamu, dia itu anak yang punya bengkel. Kenapa gak dipacarin aja? Masih muda juga."

Dia menggeleng. Buburnya ludes, aku memberikan obat yang harus dia minum.

"Gak doyan daun muda? Lagi musim tahu. Gak pengen dipanggil Daddy?"

"Orang gila," balasnya seraya berbaring.

Aku tertawa. Entah dia sengaja atau gak, tetapi reaksinya ini sungguh membuat hati tenang. Dia terlihat benar-benar gak peduli.

"Kamu gak lagi pura-pura, 'kan, Rex? Masih baru lulus SMA itu tadi. Gak doyan cewek kinyis-kinyis dan lugu?"

"Bi, kalau kamu ada waktu sama tenaga, mending pikirkan cara untuk ngilangin mulas sama begah di perut aku." Alisnya menyatu saat mengatakan itu.

Mengangguk saja, aku mengambil minyak kayu putih yang tadi diberikan tante Samara. Aku balurkan itu di perutnya.

"Kata teman kamu tadi, kamu ngebentak cewek itu. Kamu sejak kapan bisa ngebentak orang?"

Padaku, bisa dihitung berapa kali dia menaikkan suara. Kalau benar-benar marah seperti terakhir kali kami berdebat, dia akan memilih diam, kemudian pergi. Wajar aku heran dengan penuturan temannya tadi.

"Bisalah."

"Kenapa kamu bentak dia?"

"Dia mau pegang tanganku." Rexi memejam.

Aku membolakan mata. Hanya karena itu?

"Cuma karena dia mau pegang tangan kamu?"

Rexi mengangkat kelopak matanya. Pria itu menatapku tajam. Dia perlihatkan tangan yang dijarinya tersemat cincin emas putih.

"Di jariku udah ada cincin. Udah terikat. Pantang dilirik, lebih-lebih disentuh orang lain."

Aku menelan ludah. Kenapa rasanya seperti baru ditampar?

"Aku berpegang sama prinsip itu. Nggak tahu kalau orang lain." Ada lirikan sinis di caranya menatapku.

"Kamu nyindir aku?"

Rexi gak menjawab. "Mikir aja, Bi. Tunangan itu bukan sekadar tukaran cincin. Ibuku nggak akan biarin kamu yang di sini, balurin minyak kayu putih ke perutku, sementara beliau masih bisa melakukannya. Kecuali ...."

"Kecuali?" Aku mengejar.

"Kecuali ibuku sudah paham kalau sekarang anaknya sudah punya seseorang yang berhak untuk ngelakuin itu. Kamu berhak atas aku, dan kamu juga punya kewajiban kepadaku."

Wajahku rasanya tebal sekali. Kenapa aku gak berpikir sampai sana, ya? Kami hanya tinggal satu langkah lagi. Hanya tinggal menikah dan resmi menjadi suami istri. Dia benar. Pertunangan juga sesuatu yang sama mengikatnya seperti pernikahan.

"Bicaramu kayak orang tua," elakku demi mempertahankan gengsi.

"Sudah sepatutnya kamu  nurut sama orangtua. Nurut sama aku." Rexi menatapku dalam.

Rexi menggenggam tanganku yang masih ada di balik bajunya untuk sebentar, sebelum akhirnya memejam dan tidur. Aku gak tahu mau melakukan apa, jadi aku tetap duduk di sana. Memandangi Rexi sembari memikirkan ulang rencana pernikahan kami.

***

"Abigail, ada Rexi."

Aku yang sedang di kamar langsung bergegas keluar saat mendengar ibu bicara begitu. Ini masih pukul sepuluh pagi. Kenapa Rexi datang bertamu?

Aku menemukan Rexi duduk di teras. Dia memberi senyum kikuk padaku. Ibu datang membawakan segelas teh hangat.

"Sudah makan, Nak?" tanya Ibuk dengan nada cemas yang membuatku heran.

"Sudah, Buk." Rexi hanya menatap ibuk sebentar, kemudian menunduk.

Aku makin heran saat sebelum pergi ke dapur, ibu menyenggol lenganku. Seolah memberi isyarat, tetapi aku gak mengerti apa artinya.

"Tumben jam segini datang? Kamu bukannya udah kerja?"

Lelaki itu mengusap kepalanya. Tampak ekspresi susah di wajahnya yang setia menghadap ke bawah. Baru kali ini kulihat dia gusar.

"Aku dipecat, Bi."

Dahiku tertarik ke atas. Oh, dipecat. Jadi, ini sebabnya ibu terlihat cemas?

"Gara-gara?" tanyaku.

Rexi mengangkat bahu. "Yang punya bengkel mungkin lagi mau ngurangin karyawan."

Alasan yang terasa ganjil. Kalau benar mau pengurangan karyawan, kenapa harus Rexi? Setahuku dia ini kompeten. Sudah hampir 5 tahun bekerja di bengkel itu.

Dia gak bicara, aku mulai mencerna. Kenapa kebetulan sekali pengurangan karyawan ini dengan insiden si anak pemilik bengkel yang menangis karena Rexi? Instingku langsung menebak ke sana.

"Kamu dipecat karena nolak anak gadisnya pemilik bengkel, ya?"

Rexi gak menjawab, tetapi sorot matanya cukup untuk menjelaskan semua. Aku mengulas senyum.

"Kamu, sih. Sok ganteng. Pasti kamu dipaksa macarin anaknya, tapi sok nolak."

"Gimana mau nerima, Abigail? Aku sebentar lagi menikah. Lagipula, memang perasaan bisa dipaksa begitu."

Aku menatapnya lama. Jadi, dia kehilangan pekerjaan karena itu. Kenapa pria satu ini tiba-tiba makin terlihat istimewa, ya?

"Terus, sekarang gimana?"

Rexi menyandarkan punggung. Wajahnya kembali ditekuk. "Butuh waktu untuk cari tempat kerja baru." Dia berdecak. "Padahal aku lagi ngumpulin uang."

Dia mengangkat topik itu, aku menyambutnya.

"Memang, rencananya kapan mau nikah?"

Rexi menoleh padaku. "Kamu udah selesai mikirnya?"

"Kalau misalnya jadi, mau kapan memangnya menikahnya?"

"Bulan depan."

"Hah?!"

Bulan depan itu tinggal seminggu lagi. Lelaki satu ini gila apa bagaimana? Aku bahkan belum sepenuhnya setuju.

"Bulan depan seminggu lagi, Rex."

"Kalau kamu setuju hari ini, kita bisa bikin persiapan sekarang." Dia tersenyum.

Rexi tersenyum sambil tertawa pelan. Namun, pelan-pelan tawa itu hilang. Berganti dengan wajah resah.

"Gimana ini, Bi? Kenapa juga harus dipecatnya sekarang? Uang aku belum kekumpul semua."

Aku gak mengatakan apa-apa. Sejujurnya bingung mau bilang apa. Dia sangat serius soal pernikahan kami, sementara aku menganggap itu seolah bukan hal penting.

Jadi teringat omongan Bapak kala menasihati beberapa waktu lalu.

"Anak orang jangan dipermainkan. Kalau memang nggak serius, jangan sita waktunya. Dia berhak dapat yang terbaik, karena dia mengusahakan yang paling baik yang dia bisa."

Kenapa mendadak aku merasa sudah sangat jahat, ya?

***

Malam ini aku duduk di teras. Sendirian. Niatnya ingin merenung.

Gak lama, Pak Aksa terlihat di pekarangan rumahnya. Dia menatapku lama.

"Bisa ngobrol sebentar?"

Merasa memang ada hal yang perlu kami bicarakan, aku mengangguk setuju. Aku mengajaknya jalan kaki ke warung bakso dekat rumah.

Setelah tiba di warung dan memesan, Pak Aksa buka suara.

"Maaf kalau saya membuat kamu berada di posisi tidak nyaman."

Aku mengangguk. "Saya juga minta maaf seumpama Bapak dengar sesuatu yang gak baik dari Rexi."

Pak Aksa mengangguk. "Saya bisa memaklumi dia. Semua laki-laki akan bersikap sama."

Bakso kami datang. Aku baru merasai dua suap kuahnya, lalu Pak Aksa membuatku terdiam dengan kalimatnya.

"Apa ada kesempatan jika saya berusaha mendekati kamu?"

Aku luar biasa hebat karena gak sampai tersedak. Hanya saja, aku sempat menahan napas selama beberapa detik. Menelan kuah bakso, aku membersihkan tenggorokkan dengan air putih.

Berdeham beberapa kali, aku mendengar Pak Aksa bicara lagi.

"Saya nyaman saat bersama kamu. Sesuatu yang tidak pernah saya rasakan saat bersama orang lain, termasuk dengan Serena."

Aku menelan ludah. Mataku melebar menatapi wajahnya.

"Kamu berani mengatakan apa yang kamu pikirkan. Bersama kamu, saya mendengar banyak cerita dan hal baru."

Haduh. Menahan gemetar karena kalimat itu, aku juga berusaha menghapalnya. Siapa tahu nanti bisa jadi bahan referensi untuk adegan di novel.

Gak sadar kedua tanganku sudah mengusap-usap paha. Bibirku dan tenggorokan terasa kering lagi, padahal baru minum.

"Saya tahu waktu saya tidak tepat. Tapi, saya merasa akan menyesal kalau tidak mengutarakan ini pada kamu. Apakah saya punya kesempatan untuk bersaing dengan tunangan kamu, Abigail?"

Bersaing? Ya, Tuhan. Mimpi apa hambaMu ini? Sekian lama hidup, seringnya diabaikan karena gak good looking atau good rekening, kenapa sekarang ada makhluk sempurna yang mengaku tertarik dan siap memperjuangkan hamba?

Aku benar-benar besar kepala. Rasanya dua kali lipat lebih baik saat mengingat kalau aku berhasil mengalahkan Serena. Pak Aksa lebih memilih aku daripada Serena. Ya ampun, kenapa kejadian ini gak kurekam, ya? Videonya mau kukirim ke Serena.

"Abigail?"

Aku berhenti mengkhayalkan wajah kalah Serena. Pada Pak Aksa aku bingung harus menampilkan ekspresi apa, jadi aku tersenyum kikuk saja.

"Kamu bisa memberikan saya jawaban?"

Aku mulai membuat perbandingan. Kira-kira, bersama siapakah aku akan bahagia? Bersama Pak Aksa? Dosen incaran dari dulu. Pekerjaannya terpandang. Secara fisik, dia jelas idaman. Terlebih kulitnya yang putih mulus dan hidung tingginya itu. Sifat? Dia baik. Pak Aksa sopan dan ternyata jago memujiku.

Bersama Rexi? Pria itu punya keahlian. Dia punya pekerjaan menjanjikan, walau sekarang sudah dipecat. Dia juga laki-laki baik dan setia. Namun, beberapa waktu belakangan aku ragu padanya.

Kepalaku mendadak pusing Maunya segera pulang dan tidur. Namun, Pak Aksa mendesak untuk memberi jawaban malam ini juga.

Kan. Didesak lagi. Kenapa, sih, pria-pria suka memaksa? 
 

Bab 20 - Tes 

Aku menyuruh Rexi datang pukul delapan. Pria itu sudah di luar saat itu. Sedang mengunjungi beberapa teman, untuk mencari pekerjaan baru, katanya. Sedikit memaksa, aku minta dia datang pagi itu juga.

Bapak dan Ibuk kebetulan lagi pergi. Cuma aku di rumah, karenanya ingin memanfaatkan kesempatan.

Rexi sampai di rumah pukul sebelas. Wajahnya tampak tertekuk. Matanya jelas menyiratkan kalau dia gak senang aku suruh datang tiba-tiba begini.

"Aku sakit, Rex. Cuma sendiri di rumah. Kamu marah aku minta bantuan temani?" Aku yang duduk di sofa menatap dia dengan ekspresi memelas.

"Sakit apa?" Dia gak langsung percaya.

"Sakit perut. Kepalaku pusing," aduku sembari merebahkan tubuh di sofa.

Terlihat memicing sebentar, Rexi terdengar menghela napas. Pria itu menghampiri. Memeriksa dahi.

"Nggak panas," komentarnya.

"Kan sakit perut sama pusing."

"Ya sudah. Kamu butuh apa?" Rexi kembali duduk di sofa.

Pria itu menghubungi Bapak. Aku sempat heran dia mau apa. Ternyata, minta izin.

"Abi sakit, Pak. Perutnya sakit, sama pusing. Aku izin temani sampai Bapak pulang."

Di tempatku, menatap dia yang memasang wajah serius ketika memberitahu Bapak, kenapa rasanya menyenangkan, ya? Sebenarnya, dia gak perlu melakukan ini. Kurasa, Bapak gak akan marah padanya, mungkin hanya akan mengomeliku.

Kenyataan bahwa Rexi berpikir sampai sejauh itu dan terkesan seolah sangat menghormati Bapak, kenapa rasanya menyenangkan, ya?

"Takut banget sama bapak, sampai izin segala. Kamu kan gak nginap." Aku bicara setelah dia selesai menelepon.

"Takut sama Bapak?" Dia balas bertanya.

Aku mengangguk. "Kamu gak izin, pun, kayaknya gak pa-pa. Takut dimarahi Bapak?"

Lelaki itu tersenyum remeh. "Bi, Bi. Apa secetek itu kamu mikirnya? Udah, butuh apa kamu?"

Aku mengulum senyum. Sebisa mungkin gak memperlihatkannya di wajah. "Aku mau baring di sini aja. Tapi, aku gak bawa selimut."

Rexi menaruh satu bantal di bawah kepalaku. Kemudian, pria itu pergi ke kamar. Keluar dari sana, di tangannya ada selimut dan guling.

Gak bicara apa-apa. dia memakaikan selimut. "Kamu bukan lagi mau datang bulan, 'kan?"

Bergelung di bawah selimut, aku menggeleng. "Gak tahu."

Rexi duduk. Dia kemudian sibuk dengan ponselnya. Gak lama, dia menelepon seseorang. Karena dia gak keluar dan bicara di depanku, aku jadi tahu kalau dia masih berusaha cari pekerjaan.

"Kenapa nggak tidur?" tanyanya setelah selesai bicara di telepon.

"Mau nonton." Aku melirik remote yang berada di atas televisi.

Dia berdiri, mengambilkannya untukku. Duduk lagi, dia kembali sibuk dengan ponselnya. Tebakanku, dia masih berusaha mengontek teman-teman atau kenalan untuk mencari pekerjaan.

"Rex,"

Dia gak jawab, tetapi matanya melirik.

"Nyesal, gak, nolak si anak pemilik bengkel?"

Lirikan selanjutnya dari dia terasa lebih tajam. "Nonton aja, Bi."

Aku diam. Pura-pura nonton selama setengah jam, kemudian membuat perintah.

"Haus, Rexi."

Dia beranjak. Pergi ke dapur, lalu membawa segelas air putih dari sana. Air hangat.

Beberapa menit setelahnya, aku bersuara lagi. "Panas," Kulempar selimut hingga ke ujung kaki.

Rexi kembali bergerak. Kali ini, ia menyalakan kipas angin.

"Hapeku aku di kamar kayaknya."

Gak menunggu aku minta diambilkan, dia pergi ke kamar. Mengambilkan ponsel, lalu diberikan padaku. Aku memegang ponsel, kemudian duduk.

"Bantuin sedikit, Rex. Ada yang harus aku kerjain."

Kali ini gak sekadar melirik, Rexi melotot. Ponselnya dia letakkan di meja. Gerutuan meluncur dari bibir lelaki itu.

"Bukannya kamu lagi sakit? Memang mau ngapain ngurusin hape?"

"Ada yang harus di-up hari ini. Aku udah absen beberapa hari gara-gara gak fokus."

"Kenapa bisa nggak fokus? Memang selain ini, kamu ngerjain apa?" Dia berpindah duduk jadi di sampingku.

Mulut nyinyirnya itu ingin sekali kujambak. Apa maksudnya bilang seperti tadi? Gak ada kerjain lain? Maksudnya di rumah ini aku hanya ongkang-ongkang kaki?

"Mau diapain? Aku mana ngerti kerjaan kamu, Bi."

Kesampingkan dulu marah, ternyata dia mau membantu. Aku menunjukkan draft tulisan yang kemarin malam sempat terselesaikan.

"Ini, kamu baca. Edit mana yang typo."

Matanya bertambah lebar menatap ke arahku. "Gila kamu, Bi? Memangnya aku bisa ngelakuin itu?"

Aku berdecak. "Tapi kemarin bilangnya nilai bahasanya dapat seratus. Cuma lihat mana yang salah ketik, kok."

Aku kembali membaringkan tubuh usai membuatnya memegang ponsel. "Kalau udah, bilang, ya, Rex."

Memunggunginya, aku pura-pura tidur. Selama dua menit, aku gak mendengar suara apa pun. Menit bergulir, lalu Rexi bicara. Bersungut, tepatnya.

"Ini apaan, sih? Mana ada cowok sebaik ini di dunia."

Bibirku menyungging senyum. Gak lama setelahnya, Rexi memberitahu kalau ia sudah selesai memeriksa.

"Nggak usah suruh-suruh lagi yang begini."

Aku mengangguk. Selanjutnya, aku kembali melancarkan aksi. Pertama, minta dia menyiapkan makanan. Meski ibuk sudah memasak, aku ingin dibuatkan bubur. Dia setuju, meski wajahnya makin tertekuk.

Seusai makan, aku minta dibuatkan teh hangat. Hanya kuminum seteguk, lalu bilang gak selera, lidahku pahit. Terakhir, aku merengek kalau tubuh terasa gak nyaman.

"Terus, kamu maunya aku ngapain, Bi?" Lelaki itu mulai terdengar frustrasi.

Menatapnya lama, aku menyahut, "Pijit."

Rexi menggeleng. Dia kembali memilih fokus pada ponselnya. Pura-pura gak mendengar aku menggerutu dan protes karena permintaan gak dituruti.

"Apa, sih, susahnya pijit doang? Punggung doang, Rex. Pegal."

"Diam, Abigail. Mending kamu tidur."

"Gak pedulian! Laki-laki gak peduli kayak kamu mau nikahi perempuan? Disuruh pijit aja gak mau!"

"Biarin."

"Istrimu nanti pasti tersiksa!"

"Jangan sok tahu!"

"Rexi!" Aku menaikkan nada. "Kamu beneran gak mau pijitin aku?"

"Nggak! Tidur aja. Nanti Ibuk pulang, baru minta pijitin."

Merengut padanya beberapa menit juga gak membuahkan hasil. Pada akhirnya, aku putuskan kembali merebahkan tubuh. Membelakanginya, aku memejam.

Aku mendengar dia bermain gim di ponsel. Sengaja gak bersuara, biar dia yakin aku benar-benar tidur.

"Bi? Tidur?"

Aku gak menjawab. Selanjutnya, aku merasakan selimut dipakaikan. Saatnya melancarkan aksi berikutnya.

"Pak Aksa."

Kubuat suara selirih mungkin. Tak lupa dahi dilipat.

"Pak Aksa."

Dua kali menyebut nama tetangga itu, tubuhku diguncang. Kencang sekali. Mustahil akan ada orang yang masih bisa tidur, jika tubuhnya didorong dan ditarik kasar begini.

Aku terbangun dan memasang wajah linglung. "Apa, Rex?"

Wajah Rexi sudah merah padam. Matanya seolah berkata ingin segera menguliti aku. Aku bahkan melihat urat di dahinya mencuat.

"Ada apa, Rex? Kenapa kamu bangunin aku?" tanyaku sok polos.

Gak langsung menjawab, Rexi kedapatan mengepalkan tangan. Apakah ini adalah saatnya aku mendengar dia membentak? Namun, kenyataan gak sesuai harapan.

"Gempa, Bi. Ada gempa!"  

Tuhan, hamba ingin tertawa. Terlebih menatapi ekspresi Rexi saat ini. Lelaki itu bicara dengan kelopak mata melebar, seolah bola matanya ingin melompat keluar. Giginya rapat, rahangnya mengetat. Dia marah. Jelas, dia marah. Namun, alih-alih takut, kenapa aku malah ingin tertawa? 
 

Bab 21 - Pemenang 

Bapak pernah bilang. Cinta itu bukan segalanya di pernikahan. Namun, setidaknya kita harus cinta sama pasangan yang kita nikahi.

Cinta? Rasanya aku belum bisa bilang begitu. Entah itu pada Rexi atau Pak Aksa, yang aku rasakan sepertinya baru sekadar tertarik dan suka. Dengan Rexi baru satu bulan lebih, sedangkan bersama Pak Aksa baru beberapa minggu. Terlalu dini untuk menganggap itu cinta, 'kan?

Menikah itu hendaknya sekali seumur hidup. Karenanya, harus dipikirkan matang-matang. Selagi di warung kemarin, saat Pak Aksa menuntut jawaban, aku membayangkan.

Mana lebih baik? Seumur hidup bersama Pak Aksa si lelaki idaman? Atau seumur hidup bersama Rexi si tukang mengatur?

Sekali lagi, mereka sama-sama baik. Instingku bilang, kalau aku waras, kalau sikap mereka gak berubah sampai bertahun-tahun kedepan, aku agaknya bisa berkompromi selama seumur hidup. Masalahnya, siapa yang bisa menjamin sikap seseorang gak akan berubah? Dan siapa yang bisa memastikan apa yang terjadi di masa depan?

Bagaimana kalau aku yang bosan? Pak Aksa ini sulit sekali ditebak ekspresinya. Bagus kalau aku selalu sabar dan bersedia menanyai dia dengan penuh perhatian soal apa yang dia mau. Kalau gak? Bisa saja aku salah paham dan bisa saja itu menjadi masalah yang memantik ribut.

Aku juga belum bertemu dengan keluarga Pak Aksa. Bagaimana kalau keluarganya gak setuju padaku? Gimana pun, aku ini gak sarjana, gak sepadan sama Pak Aksa.

Bagaimana kalau nanti aku mendadak gak tahu diri setelah menikah dengan Rexi? Harusnya cukup, nanti aku malah mempermasalahkan gajinya. Belum lagi, dia itu sama sekali gak manis. Memuji saja jarang.

Belum lagi aku merasa kalau adiknya Rexi gak terlalu menyukaiku. Bisa-bisa kami ribut seperti drama-drama di novel soal ipar yang gak akur.

Ini membuat pusing. Untungnya, ada satu momen yang tiba-tiba merasuk ke pikiranku kemarin, sewaktu di warung bakso bersama Pak Aksa. Jadinya, aku bisa memberi jawaban pada Pak Aksa.

Pulang dari warung bakso malam itu, aku gak langsung bisa tidur dengan tenang. Aku lagi-lagi harus memikirkan hal lain, hingga akhirnya baru bisa lelap pukul 1 dini hari.

Mengorbankan waktu tidur, aku sudah punya keputusan sebenarnya. Kemarin waktu minta Rexi datang, sebetulnya bisa kuberitahu. Namun, keinginan isengku berada di level tertinggi. Karenanya, kuputuskan untuk bicara pada si calon hari ini.

"Tabunganmu ada berapa?" Muncul di ruang tamu, aku langsung menyuarakan tanya itu.

Bapak yang sedang menonton langsung mendelik. Gak mau repot menjelaskan, aku duduk di samping Rexi.

"Tabungan, Bi?" Dia bertanya, tapi aku melihat matanya berkeliaran. Dia sedang mengkalkulasi banyak hal.

"Dana untuk nikah." Aku bertanya lebih spesifik.

Rexi menegakkan punggung. Matanya menyorot serius padaku.

"Lima belas, Bi."

Aku yang duduk di sampingnya mulai menghitung. Bisa kurasakan atmosfer di ruang tamu berubah tegang. Gak cuma Rexi, Bapak juga demikian. Beliau berulang kali kudapati melirik ke sini, seolah mewanti-wanti agar aku gak melakukan sesuatu yang salah.

Usai mengira-ngira, aku menyerahkan ponsel pada Rexi. "Coba periksa. Apa itu benar?"

Rexi sempat menatapku dengan alis bertaut, sebelum akhirnya membaca apa yang aku tunjukkan. Butuh sekitar beberapa menit sampai lelaki itu mengangguk.

"Bisa dipakai estimasi ini," katanya.

"Oke." Aku menarik napas dalam. "Aku punya tabungan lima juta. Digabung sama punyamu, jadinya berapa?"

"Dua puluh, Bi."

"Kamu bisa buka bengkel sendiri, 'kan?"

Kulihat Rexi sudah membuka mulut, tetapi mengatupkan lagi. Dia seperti ini bicara, tetapi terus tertunda.

"Kenapa, sih?" Aku mulai habis sabar.

"Dikurangi sama biaya buka bengkel, sisanya sedikit, Bi."

"Cukup untuk biaya nikah di KUA dan jamu beberapa kerabat makan di rumah ibu kamu, 'kan?"

"Tapi, Bi. Ak--"

"Kamu mau, gak? Apa udah berubah pikiran? Kamu gak mau menikahi aku?" Aku menyelanya dengan pertanyaan bertubi-tubi.

Rexi tampak memanglingkan wajah. Dari rautnya dia sedang berpikir keras. Apa lagi memangnya yang mau dipikirkan?

"Heh, Rexi!"

"Aku nggak akan bisa kontrak rumah, Bi. Kita juga nggak akan bisa bikin resepsi. Ka--"

"Kita bisa tinggal di rumah ibumu dulu. Nanti, kalau hasil bengkel udah lumayan, kita bisa pindah." Agak seram memang membayangkan akan tinggal dengan mertua. Namun, mau bagaimana? Ini yang terbaik.

Dengan begini, Rexi bisa bekerja lagi. Dan dia gak perlu capek melamar ke sana-kemari lagi. Aku yakin usahannya akan berkembang, karena dia memang andal.

"Atau, kita tinggal di sini aja?" Aku tertawa saat Rexi menatapku seolah mentertawai sikap sok beraniku tadi.

"Aku bisa cari kerja, Bi. Uangnya jangan dibuat modal semua."

"Gak. Nanti kamu dipecat lagi. Mending dipecat karena memang kerjanya gak bagus. Ini, dipecatnya karena gak mau macarin anak bos!" Sedetik usai berucap, aku malu karena terdengar kesal.

"Tapi a--"

"Banyak banget, sih, tapimu. Kamu mau gak, sih? Kalau udah berubah pikiran, bilang terus-terang."

Rexi menghela napas. Dia gak bersuara lagi. Aku anggap itu sebagai jawaban iya. Bagus.

"Oke. Beres. Besok kita mulai urus berkas," kataku menutup diskusi.

Rexi tahu-tahu tersenyum. "Nikah, Bi?" Matanya dipenuhi sirat jahil. "Jadi, kamu udah milih?"

"Milih apa?" Aku bangkit dari kursi. "Dari awal aku gak berniat neko-neko. Kamu dan semua orang yang salah paham. Tuduh aku selingkuh."

Bibirku memang menyangkal. Namun, jauh di dalam hati, aku mengakui kalau benar pernah salah. Bapak benar. Selingkuh itu gak selalu harus pacaran diam-diam di belakang Rexi. Sekadar aku yang membantu Pak Aksa memasak berduaan di rumahnya, itu sudah bisa dianggap pengkhianatan.

Di saat Rexi bahkan gak mengizinkan tangannya disentuh perempuan lain, aku malah sibuk ha-ha-hi-hi sama laki-laki lain. Memalukan. Namun, mengaku bukanlah jalan bagus. Aku bisa makin diledek.

Aku merasa tanganku disentuh. Rexi pelakukanya. Pria itu menatapku teduh.

Halah. Anak orang kenapa makin hari kelihatan makin ganteng, ya? Gak cuma luarnya, sifat dan perilakunya selama ini yang membuat Rexi lebih istimewa dari lelaki lain.

"Aku mau ke kamar. Mau lanjut tidur."

"Aku dibiarin di sini, Bi?"

"Terserah. Urusanku dengan kamu udah selesai."

Sudah akan melewati pintu kamar, aku mendengar Rexi bersuara lagi. Kalimatnya berhasil membuat jantungku melonjak-lonjak ingin keluar.

"Makasih, ya, Bi. Aku berani lakuin ini karena kamu mendukung. Doakan supaya lancar dan secepatnya menghasilkan."

Duh. Telingaku dimanjakan sekali dengan kalimat barusan. Susah sekali untuk gak senyam-senyum. Alhasil, aku secepat kilat masuk kamar menutup pintu.

***

"Kenapa akhirnya pilih Rexi?"

Aku memicing pada Bapak. Datang-datang, pertanyaannya malah aneh. Untung ini masih pagi, jadi suasana hatiku masih baik.

"Si dosen tetangga nggak sebaik dugaanmu?"

Aku menggeleng. "Dia baik. Tapi ...."

"Tapi apa?" Itu Ibuk. Beliau bergabung di meja makan sembari membawa telur dadar untuk menu sarapan hari ini.

Aku menatapi bapak dan ibuk bergantian. Tumben sekali mereka sekepo ini.

"Cuma mau memastikan kalau kamu memang sudah yakin dengan keputusanmu." Itu jawaban Bapak saat aku bertanya mengapa mereka ingin tahu.

"Rexi itu duluan."

Aku lupa dengar di mana. Pun gak terlalu ingat cerita perumpaannya gimana. Yang jelas inti nasihatnya melekat di kepalaku.

Kenapa kita harus mencari lagi, padahal yang paling baik sudah ada di depan mata? Kisah perumpaan itu tentang seseorang yang masuk ke taman bunga, terus disuruh memilih yang paling bagus buat dia.

Sebenarnya dia sudah ketemu bunga yang cantik. Namun, karena berpikir masih ada bunga lain yang paling cantik, dia lewati bunga pertama. Hasilnya, dia gak menemukan bunga yang lebih cantik dari yang pertama.

"Rexi juga kayak gitu. Setidaknya, aku menganggapnya begitu. Pak Aksa baik. Dia juga laki-laki yang kompeten untuk jadi calon suami. Tapi, aku duluan ketemu Rexi. Dan aku rasa, semua yang aku butuh ada di dia. Kalau pun gak begitu, nanti semoga bisa dikompromikan."

Selain itu, Rexi punya nilai lebih daripada Pak Aksa. Bersama Pak Aksa, aku punya ketakutan. Aku gak mau dicap perebut pacarnya oleh Serena. Belum lagi perasaan ketar-ketir soal keluarganya Pak Aksa yang belum tentu setuju. Gak tenang. Sementara dengan Rexi, sejak awal dia memang milikku. Aku merasa nyaman dan aman. Tante Samara baik, urusan adiknya Rexi bisa diatur nanti.

Bukankah sebaik-baiknya jodoh adalah orang yang membuat kita tenang saat berada di sisinya? Iya, 'kan? Iya saja.

Panjang lebar menjelaskan, aku menemukan Ibuk tersenyum, sedangkan Bapak hanya menatapi dengan tatapan yang teduh. 

"Udah puas? Gimana? Apa menurut Bapak sama Ibu, keputusanku sudah benar?"

Ibuk mengangguk. "Terima kasih sudah membuat ibuk bangga. Kalau sampai kamu menjatuhkan pilihan bukan pada Rexi, Ibuk duluan yang marah ke kamu, Abigail."

Bapak gak mengatakan apa-apa. Namun, dari gestur tubuhnya aku tahu beliau senang dengan apa yang aku tuturkan.

Nasi sarapanku tinggal setengah saat Rexi datang. Pria itu lumayan nyaring memanggil dari depan.

"Makan, Rexi!" sahutku tanpa repot beranjak dari kursi. Sementara Ibuk, beliau dengan repot-repot menyambut calon menantunya itu ke depan.

"Sarapan, Pak," sapa Rexi basa-basi. Dia duduk di sampingku. "Bi, kamu nggak pa-pa tinggal di ruko, 'kan?"

"Ruko?

"Iya. Teman aku punya ruko, dua lantai. Dia kasih aku pakai dan bayar sewa setengahnya aja. Kalau kamu setuju, kita bisa tinggal di sana aja. Jangan di rumah ibu."

Menatap matanya yang berbinar-binar, rasanya aku ingin berlama-lama. Namun, gengsi, ah. Malah ada Bapak dan Ibuk.

"Ada kamarnya?" Aku dengan terpaksa memalingkan wajah ke arah piring.

"Ada, Bi. Tapi, satu bangunan sama tempat bengkel aku nanti. Kamu nggak setuju, ya?"

Aku mendelik. "Siapa yang gak setuju? Gas!"

"Oke." Rexi beranjak dari kursi. "Pak, Buk, aku pamit dulu, ya. Sekalian aja belanja perlengkapan sama alat hari ini."

"Hati-hati, ya, Nak."

"Jangan lupa makan. Sudah sarapan belum?" Bapak perhatian sekali pada anak orang, ya?

"Udah. Aku udah sarapan, kok."

Aku yang hendak menyuapkan nasi ke mulut seketika mematung. Kepalaku dicium. Oleh lelaki di sebelah.

"Pergi dulu, ya, Abigail. Nanti aku kabari."

Dia melenggang tanpa rasa bersalah, aku malu setengah mati.

"Heh! Siapa suruh cium-cium?!"

Rexi hanya memperdengarkan tawa. Sambil berjalan, parahnya dia malah membalas, "Aku senang, Bi. You're the best choice that i ever made."

Mendengar itu, aku hanya menunduk dan pura-pura sibuk mengunyah. Aslinya, aku sudah ingin menari ular sangking senangnya. Apa ini yang disebut melayang ke langit kesembilan? Malu, tapi suka, ya, Tuhan.

Aku juga. Memilih Rexi adalah keputusan paling benar yang sudah aku buat. Sekarang aku gak merasa akan menyesalinya, semoga tetap begitu hingga bertahun-tahun setelah ini. 
 

…. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Say Yes? - 22, 23,24
1
0
Rexi duduk. Dia terlihat siap mendengar cerita. Di wajahnya, aku melihat gusar yang serupa denganku.Meratapi nasibnya beberapa saat, Sofi menyuarakan headline utama di pertemuan malam ini.Ferdi ... dia anak kamu. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan