
"Masih marah?"
Aku gak menjawab. Asal, kutekan-tekan tombol keyboard di laptop.
"Lagi ada kerjaan?"
Kali ini aku menjawab, "Hm. Lagi nyari tutorial nyantet orang jahat."
Bab 10- Sok Baik
Aku sedang menatapi layar laptop saat mendengar suara mesin mobil memasuki pekarangan rumah sebelah. Sepertinya Pak Aksa yang pulang. Aku berusaha gak terlalu memperhatikan. Mau ngapain juga?
Sebenarnya aku juga punya hak marah ke dia, 'kan? Bisa-bisanya dia biarin pacarnya melakukan hal seperti kemarin. Malah kotak bekal dan makanan basinya berasal dari dia.
Ah, Serena bilang kan jodoh cerminan diri. Mungkin, aslinya Pak Aksa itu memang mirip Serena. Sama-sama setan. Jadi, pantas mereka cocok.
"Saya kira kamu merantau."
Eh, orang yang sedang kupikirkan malah mengajak mengobrol. Aku melirik ke samping, Pak Aksa tampak berusaha menampilkan wajah ramah.
Kenapa? Tumben? Merasa bersalah? Gak perlu!
Aku gak mendengar dia bicara lagi. Namun, gak lama setelah itu dia malah muncul di teras. Duduk pula di kursi satunya, padahal aku gak mempersilakan. Mirip Serena memang dia.
"Masih marah?"
Aku gak menjawab. Asal, kutekan-tekan tombol keyboard di laptop.
"Lagi ada kerjaan?"
Kali ini aku menjawab, "Hm. Lagi nyari tutorial nyantet orang jahat."
Dia mengangguk. Aku melipat dahi kebingungan. Kenapa dia harus mengangguk? Mengejekku?
Berikutnya, lelaki itu menaruh satu batang pasta coklat seribuan di meja. Kemudian, dia pergi begitu aja. Wah, aku makin bingung.
Mau bertanya, kok, ya, aneh? Kan aku ceritanya masih marah. Gak bertanya, aku penasaran. Ah, biarkan sajalah.
Sore-sore, mulai gelap, Rexi datang. Gak ada angin, gak ada badai, datang-datang dia langsung main usap-usap kepalaku. Kenapa orang-orang pada aneh, ya?
"Capek banget. Seharian ini nggak berhenti," keluhnya sembari meregangkan otot saat sudah menempati kursi yang tadi diduduki Pak Aksa.
Aku hanya menoleh. Laptop sudah kulipat. Dia gak bohong. Rambut dekat dahinya tampak basah oleh keringat.
"Besok jalan-jalan, ya."
"Ke mana?"
"Kamu maunya ke mana?"
Berpikir sejenak, aku terpikirkan pantai. "Kamu punya banyak waktu, gak?"
"Ke mana memangnya?"
"Pantai?"
Rexi menyungging senyum. "Mau ngapain? Ritual? Kek bisa berenang aja."
Aku gak menyahut. Kalau gak mau, tinggal bilang. Kenapa harus mengejek?
"Besok aku ambil libur, deh."
Kepalaku menoleh cepat padanya. Jadi, dia setuju? Gak bisa ditahan, aku melengkungkan senyum tanda terima kasih.
Menaruh laptop di meja, aku masuk ke rumah untuk membuatkan teh. Kubawa teh itu ke depan, bersama sepiring biskuit.
"Udah dapat maunya, baru aku diservis?" sindir Rexi sebelum meneguk teh buatanku.
"Kemanisan ini, Abigail. Kamu kasih sekilo gula untuk segelas teh ini?"
Baru saja suasana hati baik. Ini sudah dibuat gondok lagi. Kalau saja gak ingat dia bersedia libur untuk menemaniku ke pantai, sudah kuusir dia sekarang juga.
"Kamu tuh kalau marah kenapa serem banget, sih, Bi?"
Mataku menyipit. Kejadian tiga hari lalu, baru dibahas sekarang? Pakai mengubah cara memanggil segala. Kalau sudah begini, artinya aku harus mendengarkan dengan serius.
"Aku gak sampai ngereog padahal," bantahku gak terima.
"Aku tuh gak suka kalau lihat kamu marah."
"Kenapa? Memangnya orang marah itu bukan hal wajar?"
"Marahmu nyeremin. Gak lihat kemarin perempuan itu sampai pucat?"
Halah. Dia pasti membesar-besarkan. "Gak usah berlebihan. Selama ini juga aku sering marah ke kamu. Kamu gak sampai pucat."
Rexi menatapku lama. "Kayaknya, aku belum pernah bikin kamu marah."
"Apa?!" Aku memekik gak terima. "Waktu di depan supermarket, Rex? Yang kamu batalin jalan-jalan gitu aja? Aku kurang marah di situ?"
Bibirnya malah menjungkit ke atas. Senyum itu sampai ke matanya yang masih menatapku lekat.
"Yang itu kesal. Kamu itu seringnya kesal. Kamu jarang marah kalau soal hal-hal remeh. Paling juga nyubit, ngomel, nginjek kaki dan ngambek. Itu kesal."
"Kalau marah?"
"Kamu baru akan marah kalau udah merasa disakiti. Dan kalau kamu marah, itu serem banget. Nggak sampai ngereog, tapi lidahnya jadi tajam banget."
Tahu-tahu aku menatapnya waspada. Itu jelas bukan pujian. Dan senyum yang sekarang dia perlihatkan tentu punya maksud.
"Kurang-kurangin, Bi, kayak gitu. Kamu jago tahu bikin orang hilang harga diri. Tapi, aku nggak suka. Kamu kelihatan jahat kalau begitu."
Murahan.
Sampah.
Aku teringat dua kata yang kemarin kulontarkan pada Serena. Eh? Rexi benar, ya? Apa aku sudah kelewatan? Kok sekarang aku jadi merasa menyesal?
"Dia ngasih makanan basi ke Ibuk, Rex." Gak ada niat menjelaskan, tapi aku melakukannya sekarang. Aku gak sudi disalahkan sepenuhnya.
"Aku tahu. Aku uda dengar ceritanya dari Ibuk. Tapi, Ibuk bener. Yang Ibuk tahu, niat dia berbagi. Kalau ternyata makanannya basi, kan bisa dibuang, Bi."
"Dia kira keluargaku pembantunya? Tukang buang sampahnya gitu?"
"Ibuk nggak tahu niat dia begitu. Dia salah, tapi apa harus kamu juga jadi ikut-ikutan berbuat jahat?"
Aku membuang tatapan ke depan. "Dia pantas dikasih perlakuan jahat."
"Kemarin yang terakhir, ya, Bi?"
Itu bukan permintaan. Aku tahu itu perintah. Dan karena argumen sebelumnya terasa masuk akal, maka aku tiba-tiba menjadi bodoh.
"Iya, iya."
Rexi menjangkau kepalaku dengan tangan. Pria itu mengusap-usap rambutku lagi.
"Bi, kamu tahu nggak kalau tadi aku habis gantiin oli mobil customer?"
Alisku bertaut. Rexi menjauhkan tangan dari kepalaku. Dia menunjukkan tangan dan kukunya. Masih ada bekas oli di sana. Kukunya bahkan menghitam.
"Hitam, Bi," ujarnya dengan wajah tanpa dosa.
Dan tangan itu barusan mengusap-usap rambutku?
"Aku baru keramas tadi pagi, Rexi!"
Pria itu mengangguk saja. Seolah perbuatannya gak menimbulkan kerugian apa-apa buatku. Kesal, sebelum tangannya menjauh, kutarik lebih dulu.
Lengan itu kugigit sekuat tenaga sebelum akhirnya kulepas. Seperti biasa, Rexi gak menjerit. Dia hanya meringis pelan, dengan mata melotot. Dan sore itu, gak tahu kenapa, hatiku lagi-lagi merasa aman.
***
"Bapak."
Aku mengejar Bapak yang sudah akan pergi bekerja, ke teras. Beliau berhenti, kemudian siaga mengeluarkan dompet. Aku dibuat memicing kesal karenanya.
Apa kalau berurusan denganku akan selalu soal uang?
"Gak minta duit!" bantahku.
Bapak hendak memasukkan kembali uang lima puluh ribunya, tetapi segera aku sambar. Udah keluar juga. Ngapain masuk lagi?
"Gak minta duit." Bapak meniru ucapanku dengan mimik mengejek.
"Aku mau pergi sama Rexi nanti. Ke pantai. Pulang sore kayaknya. Ibuk udah kasih izin. Bapak bolehin?" Aku memberi laporan sekalian meminta izin.
"Cuma berdua?" Bapak memastikan.
"Iya."
"Jangan main digubuk, ya. Kalau kamu kenapa-kenapa habis dari pantai itu, bapak usir kamu dari rumah."
"Iya." Aku mengangguk malas. Selalu saja berburuk sangka padaku. "Di belakang batu padahal bisa. Gak harus di gubuk."
"Abigail!" Bapak membentak.
Aku gak takut. Malah tertawa-tawa karena wajah Bapak terlihat cemas.
"Bercanda. Makanya, jangan selalu buruk sangka. Kayak aku nakal aja."
"Memang situ merasa nggak nakal?" Bapak bertanya dengan nada menjengkelkan. Untung beliau segera berangkat. Kalau gak, mungkin kami akan berdebat lagi.
Saat akan masuk ke rumah, aku melihat Pak Aksa baru datang. Pria itu membawa tabung gas di jok depan motor. Aku menatapinya lama, dia membalas tatapanku sebentar, kemudian masuk ke rumahnya.
Aduh, kok, kasihan?
Gak pikir lama, aku mengenakan sandal, lalu pergi ke rumah sebelah.
"Pak Aksa?" panggilku dari depan.
Pria itu muncul gak lama kemudian. Dia diam, aku tersenyum canggung.
"Mau pasang gas, Pak," kataku. Berikutnya, aku terheran. Kenapa jadi aku yang menawarkan diri? Sudah mirip abang-abang penjual gas belum?
"Masuk."
Diberi izin, aku masuk. Gak mau kejadian tempo hari terulang, aku meneliti lantai. Aman, gak ada tumpahan air.
Tanpa bicara, aku memasangkan gas Pak Aksa. Kompornya menyala, aku puas. Hitung-hitung permintaan maaf karena sudah kesal gak jelas ke dia kemarin.
Gak sengaja mataku melihat sekotak penuh pasta coklat seribuan di meja makannya Pak Aksa. Wah, dia makan itu sekarang?
"Mau?" Pak Aksa yang sepertinya menyadari apa yang kupandangi menawarkan.
"Satu atau dua?"
"Satu," katanya.
Menyebutnya pelit, aku mengambil satu. "Harusnya tadi Bapak liat saya pas masang. Biar nanti bisa sendiri."
Selesai aku berucap, aku terheran karena mendapati Pak Aksa tersenyum. Ujung matanya sampai berkerut, membuatku merinding tiba-tiba. Jarang sekali melihat dia membuat ekspresi begini.
"Saya sudah bisa pasang sendiri sebenarnya."
Satu kalimat itu langsung membuatku berlari keluar dari rumahnya. Ah, mau ditaruh di mana wajah yang gak seberapa ini? Sok sekali aku mau membantu dia, padahal dia sudah bisa melakukannya sendiri.
Ah, gak enak!
Bab 11 - Rexi itu Sekutunya Bapak
Aku dan Rexi duduk bersebelahan. Di depan sana, hamparan air laut dan langit tampak bagus. Angin yang berembus sesekali menerbangkan rambut dan membuatku tersenyum-senyum.
Matahari hari ini sedang bagus. Meski jadi sedikit panas, tetapi aku senang. Cuaca cerah membuat langit biru dan aku suka itu.
Kami sudah duduk di sini sejak setengah jam lalu. Sama-sama gak mengatakan apa-apa, dan lebih fokus menikmati pemandangan.
"Rex, lapar, gak?" Aku bersuara pada akhirnya.
Lelaki itu hanya melirik. Sebelum dia sempat mengatakan apa-apa, aku mengambil sejumput pasir, lalu berakting seolah akan menyuapinya dengan itu.
Rexi gak menghindar, tetapi pandangannya menajam. Aku tertawa, dia setia dengan wajah datarnya itu.
"Bi, nanti habis menikah kamu berencana minta bulan madu?"
Aku menggeleng. "Mau ngapain? Toh, kegiatannya gak ada beda."
Pria itu mendorong keningku dengan telunjuk. "Jangan kotor-kotor isi otakmu, Bi."
"Heh? Kotor gimana? Kan yang aku bilang bener?"
Rexi menggeleng dengan ekspresi geli. "Kamu maunya kita tinggal sama ibu apa ngekos?"
"Ngekos kayaknya lebih enak."
"Biar nggak kena omeli ibuku?" ejeknya.
"Gak. Biar kita belajar mandirilah. Kalau tinggal sama ibumu, kalau kamu gak ada uang, nanti kita jadi mudah minta-minta ke ibumu."
Pria itu menyuarakan beberapa pertanyaan lagi. Yang setelah aku teliti, semuanya tentang masa depan. Soal apa yang akan kami lakukan setelah menikah nanti.
Aku jadi penasaran. Apa selama dia diam tadi, dia berpikir soal itu semua?
"Kamu dari tadi mikirin ini, Rex?"
Rexi gak menyahut, hanya tersenyum simpul. Kalau gak salah, aku melihat ada rasa cemas di cara matanya menatap.
"Kamu ... kamu ragu?" tanyaku.
"Soal?"
"Soal pernikahan kita?"
"Bukan. Aku cuma cemas ada sesuatu yang nggak berjalan lancar."
"Misalnya?"
Rexi menoleh. Kedua tangannya di belakang, menyangga tubuhnya.
"Yang tadi. Soal bulan madu. Siapa tahu kamu pengen ke mana, tapi aku nggak bisa kabulkan."
Mendengarnya bicara begitu, aku berdecak kesal. Kenapa kesannya aku ini membebani dia, ya?
"Aku tuh sesekali aja suka jalan-jalan. Aku lebih suka di rumah. Lagian, mikirin bulan madu bikin geli tahu. Jadi, jangan pusing gara-gara hal nggak penting, deh."
"Oh, ya?" Dia menatapku dengan mata berkilat jahil. "Mikirin bulan madu bikin kamu geli?"
Rexi mendekat, telunjuknya mulai menusuk-nusuk perut dan pinggangku. Aku yang gak bisa nahan geli berusaha menjauhkan tangannya, tetapi sambil tertawa.
Untungnya dia gak berlama-lama melakukan itu atau aku akan pingsan karena terlalu banyak tertawa. Namun, hal selanjutnya yang Rexi lakukan malah membuat jantungku berdetak cepat gak karuan.
Ini pertama kalinya. Ini pertama kalinya Rexi memelukku. Pria itu merangkulku dari samping.
"Bi, aku gak bisa janjikan akan bisa menjadikan kamu ratu. Kamu tahu, aku bukan raja. Aku cuma tukang benerin sepeda motor dan mobil orang."
Aku gak bisa mengatakan apa-apa. Dibanding ucapan Rexi, aku malah lebih fokus dengan pelukan yang dia kasih. Apa karena ini pertama kali, jadi rasanya luar biasa? Kok nyaman?
"Kamu harus siap lihat penampilan dekil aku tiap pulang kerja. Tangan hitam, kuku kotor, rambut lepek, bau oli dan keringat."
Tahu apa yang kulakukan setelah mendengar dia berkata begitu? Aku malah membauinya. Lain dengan yang dia katakan, hari ini Rexi wangi sekali. Pelan-pelan aku menyandarkan kepala ke dadanya.
"Kamu nggak akan nyesal, kan, Bi?"
Kali ini otakku cukup fokus. Maka kujawab pertanyaannya tadi.
"Mana tahu. Nikah aja belum. Lihat nantilah."
Rexi hanya tertawa. Setelahnya, dia gak bicara apa-apa lagi. Aku juga gak berniat mengatakan apa-apa, sebab ternyata ada satu hal lagi yang membuat duduk di pantai jadi lebih menakjubkan. Yakni, duduk sambil dipeluk Rexi.
***
Gak langsung pulang, usia dari pantai, Rexi singgah di rumahku. Katanya, mau menumpang makan dulu. Kebetulan Ibu memang sedang bersiap masak saat kami pulang.
Aku menyempatkan diri membantu Ibuk di dapur. Setelah kurasa pekerjaan gak terlalu banyak lagi, aku pergi ke depan dan menemani Rexi yang duduk di teras.
Sebelum sampai teras, aku ingat sesuatu. Potong kuku. Aku singgah sebentar ke kamar untuk mengambil penggunting kuku, baru kemudian menghampiri Rexi.
"Sini kukumu."
Kukunya Rexi sudah panjang. Dia lupa potong mungkin. Sebagai calon istri yang baik, aku akan bantu potongkan.
Tepat saat aku sudah selesaikan 3 kuku, Bapak pulang. Beliau menatap tajam ke arahku usai menyapa Rexi.
"Sudah makan, Rex?" Anaknya diberi tatapan sinis, orang lain diberi perhatian.
"Ini nunggu Ibuk selesai masak, Pak. Baru pulang?"
Bapak mengangguk. Beliau yang masih berdiri di depanku kemudian menoleh. Alisnya menyatu. Aku tahu-tahu memasang sikap waspada.
"Dulu, waktu kamu masih bayi, yang potong kukumu itu saya." Bapak menarik satu jariku. "Sekarang, saat sudah besar, malah potongin kuku orang lain."
Bapak melepas jariku, kemudian mencubit pipi. Ekspresi di wajahnya dibuat galak, tetapi aku tahu itu hanya pura-pura.
"Abi belum pernah potongin kuku Bapak?" Rexi bersuara sembari menarik tangannya dariku.
Bapak menggeleng. "Mana mau dia. Sibuk."
Rexi tertawa saja. Ya jelas, baginya itu lucu. Coba untukku? Jadi gak enak hati mendengar itu. Apa selama ini aku sudah jadi anak durhaka, ya?
Rexi beranjak dari kursi. Ia meminta Bapak duduk di sana. "Potongin kuku Bapak, Bi. Biar Bapak nggak cemburu lagi."
Punggungku menegang. Aku menatap Bapak dan Rexi bergantian. Mereka terlihat datar-datar saja, kenapa aku harus gugup?
"Abigail." Sambil menyebut namaku, Rexi menarik tanganku dan dituntun untuk meraih jarinya Bapak.
Menurut saja, meski sedikit canggung dan malu, aku mulai memangkas kuku jari Bapak satu per satu. Gak seperti dugaanku, melakukan itu perlu tenaga esktra rupanya.
"Ini kukunya kenapa keras, sih?" sungutku saat kesulitan memotong kuku jempol.
"Namanya juga sudah tua," sahut Bapak.
"Sama kayak orangnya," balasku sembari memajukan bibir.
Aku sibuk memotongi kuku Bapak, Rexi mengajak beliau mengobrol. Mereka ini cepat sekali menemukan topik untuk dibicarakan. Sebentar soal jalanan rusak, lalu soal pemerintahan, sekarang malah soal pernikahan aku dan Rexi.
"Jangan terlalu memaksakan diri. Menikah nggak perlu mewah-mewah," kata Bapak setelah Rexi memberitahu kalau dia ingin mengambil jatah lembur, biar bisa kerja setoran untuk biaya menikah.
"Mumpung bengkel lagi rame, Pak."
"Yang penting jangan memaksakan diri. Kalau calon istrimu rewel minta ini itu yang nggak bisa kamu wujudkan, nggak usah diturutin."
Pada Bapak aku mendelik sebentar. "Calon istrinya bisa dengar, ya."
"Baguslah. Mudah-mudahan calon istrinya itu kasihan sama calon suaminya ini. Udah makin kurus, kayak nggak makan."
Rexi tertawa, aku makin menekuk wajah. Dua orang ini paling tahu caranya membuatku kesal. Kenapa aku yang disalahkan? Kan aku gak minta macam-macam?
Selesai kukunya kugunting, Bapak beranjak dari kursi. Aku kegirangan saat beliau menaruh uang seratus ribu di atas meja. Pasti itu untuk upahku.
"Ditabung, Abigail. Kasihan calon suamimu."
Gak hanya diledek, pipiku juga dicubit lagi. Dan tahu apa yang paling menyebalkan lagi? Rexi masih tertawa-tawa saja. Sama sekali gak ada inisiatif menolongku.
"Heran. Dari semua anaknya, kenapa cuma aku yang gak disayang?" Aku mengomel setelah Bapak masuk.
"Kamu itu dikasih seratus ribu cuma untuk potong kuku, Bi. Nggak disayang gimana?"
"Gak usah belain Bapak. Kamu sekutunya!"
"Aku nggak belain. Kamu aja yang nggak sadar. Nanti, kalau kita udah punya anak, semoga aku bisa kayak Bapak, ya, Bi."
Melihat Rexi yang menampilkan raut penuh harap dan mata berbinar, aku bergidik ngeri. Aku dan dia punya anak?
Untuk bisa punya anak, artinya Rexi harus ... harus ... harus melakukan itu padaku, 'kan? Rexi harus menyentuhku, 'kan? Aduh, gak mau! Aku gak mau disentuh apalagi sampai diunboxing! Aku mendadak punya phobia sentuhan!
Bab 12 - Rahasia
Habis merampungkan satu bab baru dari novel yang sedang kukerjakan, aku memeriksa tabungan. Kemarin malam aku teringat sesuatu, jadi hari ini mau memastikannya.
Selesai memeriksa, aku menemukan jumlah saldo yang mencukupi untuk melakukan sesuatu yang sudah lama kuinginkan. Jadi, aku segera menemui Ibu.
"Ibuk mana, Rik?" Aku melihat Rika di ruang tamu. Anak itu sedang menonton.
"Di teras, sama Bapak."
Pas sekali. Ada Bapak, sekalian saja. Namun, langkahku memelan saat sudah akan dekat dengan teras. Aku mengintip dari jendela. Bapak dan Ibu ternyata sedang mencabuti rumput liar di dekat pagar.
Mereka didatangi seorang perempuan. Si nenek sihir. Agaknya dia belum jera pada tamparanku kemarin. Aku sudah akan menghampiriya, sebelum gak sengaja dengar dia berucap.
"Ada yang mau saya sampaikan soal Abigail."
Soal aku? Apa yang ingin dia bicarakan tentangku pada ayah dan ibuku? Dari balik jendela, aku mencuri dengar. Beruntung jaraknya gak jauh dari tempat Bapak dan Ibuk.
"Saya cuma nggak ingin Bapak dan Ibu dibohongi terus. Apa Bapak dan Ibu tahu kenapa dulu Abigail tiba-tiba berhenti kuliah?"
Seketika tanganku gemetar. Aku mengepalkan jemari demi membendung emosi yang tiba-tiba datang berbarengan.
Apa yang akan Serena katakan? Mau bilang apa dia pada Bapak dan Ibu?
"Sebenarnya, dulu itu ada gosip di kampus."
Serena bicara tanpa merasa bersalah. Aku bersumpah, setelah ini akan kupotong lidahnya itu. Sumpah, aku sungguh membencinya.
"Ada yang bilang, Abigail itu menggoda salah satu dosen. Semua orang sepertinya percaya dan mulai menggunjingkan dia. Mungkin karena itu dia putuskan untuk nggak melanjutkan kuliah."
Lama aku menanti reaksi Bapak dan Ibuk. Selanjutnya, aku melihat Bapak berdiri.
"Maaf sebelumnya, tapi apa tujuan kamu mengatakan semua ini kepada kami?"
Serena tersenyum palsu. "Saya hanya mau membantu Abigail, Pak. Siapa tahu dia kesulitan bercerita. Saya ha--"
"Anak saya itu, mau pergi dengan pacarnya saja izin dulu. Saya merasa dia punya alasan sendiri untuk tetap menyimpan sesuatu dari kami, kalau memang ada."
"Saya cuma mau mem--"
"Anak saya bilang kamu bukan temannya. Apa kamu sulit memahami arti perkataan itu?"
Tak lama setelah itu, Serena pergi. Aku melihat Bapak mengusap-usap punggung Ibuk.
"Kalau pun ada yang harus Abigail ceritakan, dia akan ceritakan, Buk. Bapak percaya sama anak-anak kita. Kita tunggu saja, ya."
Gak jadi menghampiri Bapak dan Ibuk, aku kembali ke kamar. Ada perasaan marah dan sedih. Aku memang menyimpan alasan kenapa dulu memilih gak melanjutkan kuliah. Alasan itu memang belum kuberitahu pada Bapak dan Ibuk sampai sekarang.
Aku tahu aku salah. Namun, mau bagaimana? Aku belum punya keberanian untuk memberitahu. Aku masih butuh waktu.
***
Niat untuk bicara dengan Ibuk dan Bapak baru bisa direalisasikan pagi ini. Saat kami sarapan. Aku berpura gak melihat dan mendengar kejadian kemarin. Dan sepertinya, Bapak dan Ibuk juga memilih melakukan hal serupa.
"Buk, mau buka warung di depan rumah, gak?" Aku memulai.
"Mau, dong. Hitung-hitung biar ada kegiatan. Kenapa memangnya?" Ibuku tampak bersemangat. Entah sedang pura-pura atau sungguhan, aku gak tahu.
"Ya udah, buka aja."
Bapak dan Ibuk langsung menoleh.
"Modal darimana, Abigail?"
"Biar aku kasih. Kapan Ibuk mau belanja? Tapi, kita harus bangun tokonya dulu, 'kan?" Kali ini aku menatap Bapak.
"Kamu mau memodali ibumu?" Bapak langsung menangkap niatku. "Uangmu sebanyak apa?"
Aku sebutkan nominal yang sudah kusisihkan untuk rencana ini. Ibuk terbatuk, Bapak melotot seolah gak percaya.
"Yakin kamu nggak salah lihat angka nol-nya?" Bapak minum, sepertinya beliau gak berselera untuk melanjutkan makan.
"Yakin. Bulan ini hasil nulis lumayan. Kan selama ini aku juga nabung."
Ibuk dan Bapak saling berpandangan sebentar. Mereka tampak berdiskusi, tapi gak pakai suara. Ih, aku ingin senyum-senyum melihatnya.
"Tabung lagi saja. Untuk bantu biaya nikah. Kasihan Rexi harus lembur tiap hari." Ibu akhirnya bersuara setelah beberapa saat hanya diam.
"Aku udah minta izin Rexi, Ibuk. Dia setuju."
Aku gak membual. Waktu di pantai kemarin aku sudah membicarakan ini dengan Rexi. Dan pria itu setuju saja. Dia juga bilang gak mau membebankan biaya pernikahan. Malah, aku disuruh gak perlu ikut patungan.
"Ayolah, Buk. Supaya pemasukan kita nambah." Aku membujuk.
Ibuk masih tampak berpikir saat Bapak mengangguk. Bapak setuju. Dan itu artinya, Ibuk akan ikut setuju.
Bagus.
"Bagi hasil, Buk," tutur Bapak kemudian. "Kamu bisa cicil modal yang Abigail kasih, kalau merasa nggak enak."
"Bapak," protesku. "Aku udah lama nabung demi ini. Kok dianggap utang?"
"Ibumu kelihatanya merasa nggak enak. Kan kamu juga butuh uang. Walau Rexi bilang kamu nggak perlu ikut bantu biaya, bukan berarti kamu lepas tangan."
Aku mengangguk. "Untuk biaya nikah aku juga ada tabungan, Pak. Aku udah sisihkan."
Bapak tersenyum. Matanya melirik penuh maksud. "Berarti, selama ini kamu banyak uang?"
"Iyalah. Memang, tiap hari nulis untuk apa?"
"Kok masih terima kalau dikasih uang?"
"Namanya dikasih. Pantang ditolak. Pokoknya, deal, ya. Bapak bantuin bangun tokonya. Gak usah yang mahal-mahal, yang penting ada tempat."
Bapak mengangguk. "Nanti bapak temui orang panglong. Tanya harga kayu sama semen."
"Aku gak ngerti gituan. Aku sediain uangnya."
Sarapan selesai. Aku menyapu halaman saat Bapak akan berangkat kerja. Sebelum benar-benar pergi, aku mendapat sebuah hadiah dari beliau.
Rambutku diacak pelan. Lalu, beliau berkata, "Makasih karena masih mikirin Ibumu, ya, Nak."
Meski terharu dan nyaris meleleh, aku berusaha tampil biasa saja. Sengaja aku sok mendelik galak. "Setelah tahu aku banyak uang, baru dipanggil Nak," candaku.
"Sering-sering makanya. Supaya tiap hari dipanggil Nak."
"Matre!"
"Kayak situ nggak aja."
***
Warungnya Ibuk selesai tiga hari kemudian. Dibantu satu tukang dan Pakl Aksa, Bapak berhasil mendirikan sebuah warung yang layak dari uangku yang gak seberapa. Senang rasanya waktu gak sengaja lihat Ibuk senyum-senyum ke Bapak sambil bilang kalau dia bakal ada kegiatan setelah ini.
Untuk ngerayain selesainya warung itu, Bapak undang Rexi dan Pak Aksa untuk makan malam di rumah kami. Aku sedang membantu Ibuk di dapur waktu suara Pak Aksa terdengar. Rexi masih di jalan katanya.
Takut Pak Aksa agak canggung, aku mengintip ke ruang tamu. Ternyata, dia terlihat luwes bicara dengan Bapak. Jadi, aku balik ke dapur.
"Abigail, kamu tungguin sayurnya matang, ya. Ibuk mau beli buah dulu. Kenapa bisa lupa kalau gak ada buah."
Daripada ibuk yang pergi, mending aku saja. "Nanti aku gak bisa takar garamnya udah pas apa belum, Buk. Biar aku aja yang pergi."
Setelah diberi uang, aku mengambil jaket dari kamar. Sepertinya naik sepedanya Rika lebih cepat daripada harus jalan kaki.
"Mau ke mana, Abigail?" Bapak bertanya saat aku keluar dari kamar.
"Beli buah, Pak."
"Jalan kaki?"
"Naik sepeda."
Bapak berdiri. "Udah malam, gelap. Biar Bapak aja yang beli. Sini uangnya."
Aku menolak. Memang kenapa kalau sudah gelap? Memang aku anak kecil? Baru saja akan protes, Pak Aksa bersuara dan memberikan solusi yang langsung kusetujui.
Pak Aksa mau mengantarku membeli buah. Naik motor Bapak, kami pun pergi ke toko buah yang memang masih buka di jam segini.
"Padahal kalau tidak ada buah sebenarnya bukan masalah."
Celetukan itu membuatku menyahut, "Ibuk kalau menjamu tamu, makanannya harus empat sehat lima sempurna. Harus ada buahnya. Katanya, biar tamu nggak jera datang."
"Ibumu baik sekali."
Aku mengangguk saja.
"Kamu sama baiknya seperti Ibumu, Abigail?"
Sepeda motor Pak Aksa berhenti. Kami sudah sampai rupanya.
"Maksud Bapak apa?" tanyaku sembari merapikan rambut.
"Memasak. Kamu sama baiknya seperti ibumu soal memasak? Bau masakannya wangi sekali tadi."
Aku mengangguk paham. "Bumbu sama cara masaknya tahu. Soal rasa, gak jamin. Aku suka salah takaran soal garam."
Kali ini Pak Aksa yang mengangguk. Aku sudah akan masuk ke toko buah, tetapi berhenti melangkah saat sadar kalau Pak Aksa masih menatapi.
"Saya mau minta tolong," katanya memecah hening yang tadinya membuatku canggung.
"Apa?" Aku baru sadar kalau dia masih serupawan dulu. Matanya masih mempesona saat menatap.
"Besok Ibu saya datang. Kamu bersedia membantu saya memasak? Kamu tahu bumbu, 'kan? Kalau saya minta bantuan Ibumu, pasti merepotkan beliau."
Oh, begitu. Kukira dia memikirkan apa sampai menatapiku begitu tadi. Bukan permintaan berat, aku menyanggupi. Kemudian, kami segera masuk ke toko untuk membeli buah pesanan Ibuk.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
