
Masalahnya, apa aku sanggup bercerita pada temanku kalau calon suaminya adalah orang yang mesum?
….
Sahira - Bab 1
"Ardana!"
Aku memekik sembari mendorong jidat lelaki itu dengan tangan. Untuk sejenak aku lupa pada sopan santun hingga sembarangan menyentuh kepala orang lain. Lelaki itu membuatku terkejut dan tidak nyaman.
Dia memperdengarkan tawa seraya kembali ke kursi kemudi. Padanya mataku mendelik, sementara tangan mengusapi leher yang tadi dia gigit.
Aku kira Ardana hanya ingin mencium tadi. Tidak kusangka lelaki itu menggigit kencang. Seolah dia ingin membolongi leherku dan menguras darah layaknya vampir.
"Tanganmu!"
Sekarang tangannya yang kurang ajar itu meraba paha dari balik rok. Pria ini apa-apaan? Mengapa malam ini berubah jadi gatal sekali?
"Tanganmu, Ardana." Aku memperingatkan. Dia menarik tangannya, tetapi alisnya menyatu tak senang.
Pria itu memicing padaku. "Kenapa kamu mendadak begini?"
"Begini apa?" sambarku cepat.
"Perempuan yang tadi duduk di atas saya itu kamu? Yang tadi pagi dadanya saya gigit, kamu bukan? Kenapa sekarang seolah jijik sekali saya sentuh?"
Protesnya itu aku jawab dengan bibir yang mengerucut. "Ya tadi pagi aku pengen. Sekarang, beda lagi."
Aslinya yang tebal itu makin berkerut.
"Lagian, gimana kalau teman-temanku tiba-tiba masuk dan ngelihat kamu lagi ngegerayangi pahaku? Enggak malu kamu?" Aku menyudutkannya.
Namun, bukannya melihat dia menyesal. Aku malah diberi tatapan runcing.
"Sangat egois," cemoohnya sembari membuka pintu, kemudian turun.
Masa bodoh, aku tidak mencegah dia pergi. Kembali duduk dengan nyaman, aku memikirkan apa yang tadi sempat terjadi si salah satu pondok di pantai. Pikiranku makin kusut.
Ini situasi yang aku benci. Satu sisi tahu harus melakukan apa. Namun, separuh hatiku berkata yang mau aku lakukan ini bisa merusak masa depan orang. Bisa menghancurkan mimpi temanku yang sudah diimpikan sejak lama.
Mengusap wajah, aku berdecak karena semakin dilema. Aku tahu jika membiarkan ini tanpa melakukan apa-apa juga salah. Bukan tidak mungkin lelaki itu melakukan hal serupa pada perempuan lain. Jika dibiarkan, maka ini akan menjadi bom waktu.
Masalahnya, apa aku sanggup bercerita pada temanku kalau calon suaminya adalah orang yang mesum?
***
Rasanya lelah sekali. Perjalanan yang dimulai sejak pagi ini sungguh menguras energi. Padahal, di pantai tadi aku tak banyak melakukan kegiatan. Hanya bermain air dan menerbangkan layangan sebentar, kemudian lebih banyak menontoni teman-temanku berlarian dan berfoto-foto.
Kami masih di perjalanan menuju rumah sekarang. Ardana masih menjadi supir. Pria itu agaknya masih kesal padaku, karenanya menolak tawaran berganti dengan suaminya Sarah.
Aku, sih, tidak peduli. Toh, kata dia aku ini egois. Mau dia mengemudi sampai besok juga tak akan membuatku terusik sampai ikut-ikutan membujuknya seperti dua temanku yang lain. Mengemudi berjam-jam rasanya tak akan membuat Ardana lelah.
Pria itu punya tubuh yang kekar. Otot lengan, dada dan bokongnya itu tak akan mengalami kelelahan secepat yang teman-temanku perkirakan. Dan lihat saja matanya yang masih tajam, meski sekarang malam sudah sangat larut. Kami berangkat pukul enam pagi dari kos dan matanya masih terlihat awas juga waspada dalam mengemudi. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari Ardana.
Dua menit kemudian mobil kami menepi. Dina dan Haris sudah tiba di tempat di mana mereka ingin diturunkan.
"Thanks, ya, Ar. Lain kali mau, ya, diajak kita jalan -jalan gini." Dina yang memang jenis perempuan supel dan ceria mengucap terima kasih pada supir gratis kami hari ini.
Ardana, seperti biasa, lelaki itu menimpali dengan anggukkan singkat. Sama sekali tak ada senyum di bibirnya. Aku curiga, pria ini baru akan punya ekspresi saat melakukan sesuatu yang berhubungan dengan eksplorasi tubuh.
"Kami duluan."
Sapaan pamit itu sama sekali tidak kurespon. Melirik si pengucap saja aku ogah. Setelah Dina turun, mobil kami kembali melanjutkan perjalanan.
"Gimana, Ra? Menurut kamu, calon suaminya Dina baik nggak?" Dari kursi belakang Sarah bertanya.
Aku tidak menoleh. Pun bibirku enggan menjawab.
"Menurut kamu?" tanyaku balik.
Sarah bergumam sejenak, sepertinya tengah menimbang. Kemudian dia berkata, "Agak aneh nggak, sih?"
Aku diam-diam mengulum senyum. Aku, Sarah dan Dina sudah bersahabat selama hampir 10 tahun. Biasanya kami punya pendapat yang nyaris serupa untuk beberapa hal dan kondisi. Dan sepertinya, menyangkut hal yang tadi Sarah pertanyakan, kami punya intuisi yang sama.
"Calonnya itu kayak aneh aja. Aku ngerasain auranya nggak enak. Kayak yang kamu bilang pas pertama ketemu dia."
Aku mengingat itu. Pertama kali Dina memperkenalkan calon suaminya pada kami, aku terus-terang mengaku kurang setuju. Pria itu tidak jelek. Hanya saja, pembawaannya yang kurang meyakinkan.
"Terus, apa?" sambungku menanggapi pendapat Sarah. "Kamu mau suruh Dina enggak usah nikah sama dia? Mereka udah kasih panjar gedung." Aku sedang mengingatkan diri sendiri.
Dina bercerita pada kami jikalau ia sudah ingin menikah. Usianya sudah matang, kata perempuan itu. Maka semua diurus serba cepat. Bagaimana aku bisa menyuarakan keberatan soal calon suaminya, ketika Dina ingin menikah secepatnya?
"Ya nggak gitu juga," bantah Sarah dari belakang. "Minimal kita punya bukti kalau itu laki-laki nggak beres, baru deh boleh larang-larang Dina. Tapi, buktinya apa, ya? Masa cuma firasat?" Perempuan itu terkekeh. Ia tak lanjut bicara sebab sudah ditegur suaminya agar tak terlalu mencampuri urusan orang lain.
Namun, ide itu malah terus berputar di kepalaku. Bukti. Bukti apa yang harus kuberikan pada Dina? Kalau sekadar pengakuan kalau calon suaminya berusaha menyentuh tanganku saat di pantai tadi, kira-kira Dina mau percaya tidak?
***
Sehari-hari, aku hanya di kos-kosan. Sejak dua tahun lalu aku meninggalkan rumah ayah dan ibu demi mencicipi hidup mandiri. Untuk biaya sehari-hari, aku memperolehnya dari usaha mandiri dari rumah.
Karena seharian bisa berkurung di kamar kos dan duduk berjam-jam di depan laptop, kadang aku bosan juga. Seperti sore ini. Mataku pedih sekali. Kepalaku juga penuh sebab memikirkan beberapa hal soal pekerjaan yang bagi sebagian orang bukan pekerjaan. Kupilih untuk keluar sejenak, duduk di teras sembari menontoni kendaraan lewat.
Lima belas menit duduk, bukannya terurai, kusut pikiranku makin bertambah. Langit sudah mulai gelap, kepalaku makin penuh. Apalagi ketika teringat soal Dina. Sampai sekarang aku belum menemukan cara untuk mencegah perempuan itu menikahi lelaki pilihannya.
Bukan aku sok suci atau iri karena temanku akan menikah duluan. Masalahnya, ini sangat tak adil untuk Dina. Perempuan itu adalah pekerja keras. Selama lima tahun terakhir dia berjibaku menghidupi dirinya dan orangtuanya. Apa pantas wanita sebaik itu jatuh ke tangan pria mesum yang terang-terangan menggoda sahabat calon istrinya?
Ya. Dia menggodaku. Di pantai kemarin, selain berusaha menyentuh tangan, lelaki itu juga sengaja membantuku memegangi benang layangan. Dia berdiri di belakangku dan dengan sengaja menempelkan dadanya ke punggung. Menjijikan sekali. Apa pikirnya aku akan terangsang dengan pria modelan seperti dia?
Salah besar. Karena seleraku itu pria berperawakan garang macam itu. Yang baru saja tiba di depan kamar kosnya itu.
Ardana baru pulang sepertinya. Dia membawa ransel di punggung. Aku jadi makin ingin tahu apa pekerjaan lelaki itu.
Kakiku bergerak lebih cepat dari otak. Aku mendatangi dia. Tepat setelah pria itu berhasil membuka kunci kamar kosnya, aku tanpa meminta izin masuk lebih dulu.
Kudengar dia menghela napas, tetapi tidak mendengar ada usiran. Dengan enteng aku langsung naik ke atas kasurnya. Wangi perpaduan antara mint dan anggur langsung memenuhi hidung. Membuatku memejam dan mengusap-mengusap lapisan atas kasurnya itu.
"Kamu kalau mau bikin saya jengkel, lebih baik pergi."
Aku menelungkup di atas kasurnya. Mengangkat kepala sedikit, kuberi di tampang sok lugu.
Satu alisnya menaik. Bibirnya menipis. Kutebak dia menahan diri. Dan ekspresi itu berhasil membuat dia terlihat sepuluh kali lebih menawan dari biasanya.
"Kamu habis dari mana?" tanyaku dengan nada suara yang dibuat seramah mungkin.
Dia tersenyum miring. "Saya tebak, sekarang kamu sedang ingin disentuh?"
Tersenyum kuda, aku mengangguk. Aku duduk bersila di atas kasurnya. Memberi tatapan penuh minat kepadanya.
Ardana tidak segera datang, senyumku mulai pudar. Apa dia masih marah karena kejadian di mobil kemarin? Pendendam sekali orang ini?
"Apa kamu pikir itu sikap yang baik, Sahira?" Nadanya bicara terdengar rendah dan lebih dalam dari biasa. "Saat kamu ingin menyentuh saya, saya tidak punya opsi menolak. Sementara jika kamu yang tidak mau saya sentuh, saya harus terima? Egois sekali?"
Melihatnya melipat dahi dengan ekspresi jengkel begitu, aku mengulum senyum. Pria ini memang punya sesuatu. Bahkan marahnya saja mampu membuatku terkesima.
Aku bangkit dari kasurnya. Mendatangi dia, aku mengalungkan lengan ke lehernya. Dia memalingkan wajah, kucuri satu kecupan di rahangnya yang mengetat.
"Stop it." Dia melarang, tetapi tak mendorongku. "Stop it, Sahira!" Kali ini ia menoleh dengan sorot galak.
Tak gentar aku membalas tatapan itu. Iseng, telunjukku meraba bibir bawahnya yang berisi. Lembut dan kenyal di sana membuatku mengigit bibir sebab diserbu percikan listrik kecil di seluruh tubuh. Tak tahan, aku memajukan wajah. Niatnya menyasar bibir Ardana, tetapi karena pria itu memalingkan wajah, bibirku hanya berhasil menyentuh pipinya.
Aku jelas tidak mau menyerah. Pulang tanpa mendapat apa-apa rasanya akan mengesalkan. Kurapatkan tubuh kami. Wajahku bersembunyi di ceruk lehernya. Menghidu aroma di sana sebanyak yang kubisa, sesekali memberi kecupan lembut.
"Pulanglah, Sahira. Saya sedang tidak ingin disentuh kamu."
"Omonganmu seolah aku ini pel*c*r," protesku sembari mengeratkan pelukan. "Kamu masih marah? Karena yang di mobil kemarin?"
Ardana tak menjawab. Pria itu menarik tanganku yang mulai mengusapi tengkuknya. Memeganginya di udara agar tak ke mana-mana.
"Kalau masih marah, aku minta maaf. Sebenarnya, waktu itu aku lagi kesal." Aku berusaha jujur. "Aku merasa kamu nyentuh aku karena mau melecehkan juga."
"Juga? Kamu dilecehkan?"
Merasa mendapat simpatinya, aku mengangguk. "Pas main layangan di pantai kemarin itu. Calon suami Dina yang mesum itu sengaja dempet-dempet dari belakang. Aku risih, jijik, mungkin kebawa pas kamu grepe-grepe pahaku di mobil."
Ardana mendorongku cepat. Ia menunduk untuk bisa menatap wajahku. "Kamu ... dia sejauh apa menyentuh kamu?"
Melihat matanya yang mengerjap cemas juga dipenuhi nyala amarah, aku merasa menang.
"Enggak sejauh itu. Aku berhasil kabur, kok. Cuma jijiknya kebawa pas sama kamu di mobil." Aku menangkap wajahnya dengan kedua tangan. "Maaf, ya?"
"Siapa nama pria itu?"
"Haris," jawabku cepat, sebelum memeluknya hati-hati. Beruntung dia tidak menolak. Ardana bahkan membalas pelukanku kini. Berarti, dia sudah tidak marah.
Saatnya menuntut yang sejak tadi aku mau. Agak berjinjit, aku mengecup dagunya. Agak geli sebab bakal cambangnya terasa kasar. Kuajak matanya beradu, dalam sekejap bisa kudapati sorot di sana menggelap.
Sekali lagi aku memancing. Kini kecupanku mendarat di bibirnya yang penuh. Tidak cukup dengan sekali, kuulangi sampai dia menunduk membalas ciuman itu dengan sebelah tangan sudah memegangi dan mendorong tengkukku.
Yes. Aku berhasil. Saatnya menikmati Ardana yang lezat ini.
***
"Sakit?"
Hal pertama yang kudengar dari Ardana sesaat setelah terjaga pagi ini adalah pertanyaan memuakkan itu. Sakit? Dia bertanya soal apa?
Sehabis mengucek mata, aku menyipit padanya. "Bisa jangan kasih pertanyaan yang bikin pengen muntah enggak?"
Pria itu malah makin menatap lekat. Telungkup di sebelahku, satu tangannya mengusapi kepalaku. Untuk sesaat aku seperti melihat rasa bersalah di kedua matanya. Menggelikan.
Apa dia menyesal sudah meniduriku? Namun, kenapa dia menyesal? Bukannya tadi malam aku mendengar pria ini mengerang nikmat, ya? Atau aku salah mengartikan respon itu karena yang tadi malam adakah yang pertama?
"Why?" Kini dia menyuarakan tanya itu usai melabuhkan satu kecupan di pelipis.
"Apanya kenapa?" sahutku tak mengerti.
Ardana bergeser mendekat, lantas menjatuhkan kepalanya di atas dada. "Kenapa kamu tidak mencegah saya? Dan ...."
"Dan?" kejarku penasaran. "Ardana!" Aku memekik saat dia mengigit daging dadaku. Cepat kudorong kepalanya agar menjauh.
Ardana tergelak, tetapi matanya makin terlihat sendu. "Kenapa? Sekarang kamu menolak saya sentuh lagi?"
Kutepuk jidat lebarnya itu. "Jangan digigit. Sakit." Aku mengusapi kulit yang sudah ada gambar giginya.
Ardana kemudian bangkit dari kasur. Aku dibuat mengerutkan hidung melihat pria itu berjalan santai ke meja tanpa mengenakan apa-apa. Membuat belalainya itu bergerak ke sana kemari. Aku ingin muntah saat ingat tadi malam sudah menyentuh itu dengan tanganku.
"Menjijikkan," hinaku ketika dia berjalan ke arah kasur lagi.
Mengikuti arah tatapanku, pria itu mengulum senyum jahat. "Kamu dibuat menjerit sama dia tadi malam. Menjijikan? You're so munafik."
Kuabaikan ejekan itu meski efeknya pipiku jadi memerah. Ardana memberikan sebuah amplop coklat padaku. Penasaran apa isinya, aku duduk dan memeriksa.
Mulutku dibuat menganga takjub saat menemukan foto dan dokumen di dalam amplop tadi. Isinya tentang Haris. Foto pria itu bersama seorang perempuan yang bukan Dina. Berkas soal akta pernikahan dan akta cerai atas namanya. Bahkan ada salinan kartu keluarga di mana nama Haris tercatat di nomor satu.
Menutup mulut, aku menatap Ardana tak percaya. "Dari mana kamu dapat semua ini?"
"Imbalan untuk semua itu, kamu dilarang bertanya dari mana saya mendapatkannya."
Mencurigakan. Namun, aku tak punya pilihan. Semua ini harus sampai ke tangan Dina, agar temanku itu selamat dari marabahaya. Mengangguk cepat pada Ardana, aku memasukkan semua bukti itu ke dalam amplop. Kuambil ponsel, kemudian menghubungi Dina. Berkata kami harus bertemu, syukurnya temanku itu setuju.
"Dia beneran udah punya istri?" Kuperiksa kembali isi amplop tadi.
"Sudah bercerai. Dari pernikahan itu dia punya satu anak. Dia tidak beritahu temanmu?"
Aku menggeleng. "Gila. Dina hampir jatuh ke lubang buaya. Ini beneran harta karun. Aku kayak kejatuhan durian. Makasih, Ar. Kamu bakal dapat pahala besar karena udah kasih ini ke aku."
Kuteliti lagi salah satu foto yang menampilkan Haris tengah bersama seorang perempuan. "Ini siapa?" tanyaku pada Ardana.
"Mungkin, pacarnya? Dia bertemu perempuan itu hampir setiap hari setelah pulang bekerja."
Aku mengangguk. "Mampus kau, Haris. Enak aja mau menjebak perempuan baik-baik!"
"Kamu sungguh akan menyerahkan ini pada temanmu?" Ardana bertanya dengan nada serius. Aku menatapnya sengit. "Maksud saya, undangan pernikahan mereka sudah rampung dicetak. Temanmu bisa malu."
"Lebih baik malu, daripada menderita seumur hidup!" balasku cepat. "Dia bisa berkelit soal masa lalunya. Mungkin, dia pakai alasan malu, takut Dina enggak mau nerima status dudanya. Tapi, selingkuh? Itu penyakit. Mustahil sembuh. Lebih baik Dina malu beberapa bulan, rugi beberapa juta, daripada seumur hidup harus terjebak sama jantan berkelakuan setan!"
Napasku memburu sangking emosinya. Sungguh, perbuatan Ardana ini akan kuingat sampai mati. Dia sudah membantu temanku selamat dari kesengsaraan dunia.
"Dia tidak akan marah pada kamu?"
Aku mengangkat bahu tak peduli. "Seingatku, Dina adalah perempuan yang bisa nerima fakta, seburuk apa pun itu. Kalau pun dia marah, aku enggak masalah. Yang penting, dia lepas dari setan itu."
Ada tarikan samar di dahi Ardana. "Kamu terlihat benci sekali."
"Aku memang benci sama semua manusia!" sambarku cepat. "Lebih-lebih yang jahat macam ini." Telunjukku menekan foto Haris.
Ardana tampak mengangguk-angguk. Dia menghampiri ke ranjang, memelukku kemudian mendorong hingga aku berbaring.
"Oke-oke. Enough. Kamu menyeramkan tiap kali menyuarakan kebencian pada semua manusia di bumi." Pria itu memposisikan setengah tubuhnya menindih. "Kamu juga membenci saya?" tanyanya sembari menggelitik leherku dengan bibir lembutnya itu.
"Sekarang belum." Aku berusaha jujur.
"Jangan benci saya." Dia mengangkat wajah, menatapku lurus-lurus. Satu tangannya meremas dadaku yang terbuka.
Aku meringis, kemudian tergelak hambar. "Kamu bilang begitu sambil remas dadaku? Situ waras?"
"Kamu tidak menganggap ini pelecehan, 'kan? Kita bukan hanya tetangga kos sejak pagi ini."
Tadi tangan, sekarang aku merasakan kakinya ikut berbuat kurang ajar di bawah sana.
"Terus, kita apa?" pancingku sengaja membuatnya kesal.
"Pacar? Kita bercinta tadi malam."
Cepat aku menggeleng. "Having se*? Enggak ada perasaan cinta di sana." Aku menatapnya dingin. "Partner se*? Ya, itu sebutan yang cocok."
"Ta--"
Aku meraih wajahnya, kemudian mem*gut bibirnya yang nyaris bicara. Aku yakin pria ini ingin menyuarakan sanggahan. Jadi, jangan dibiarkan dia bicara. Diajak saling melumat saja, sampai dia lupa dan kami kembali saling memuja tubuh masing-masing sekali lagi. Tanpa ada emosi rapuh penuh risiko bernama cinta tentu saja.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
