SA - Bab 7,8

4
0
Deskripsi

Apa salahku? Kenapa karena melahirkanku Ibu jadi kehilangan banyak hal? Dan kenapa itu jadi salahku? Memangnya aku minta untuk dilahirkan dari rahim Ibu?

Kenapa semua-semua selalu salahku? 

Bab 7 

"Bisamu cuma buat ulah."

Ditengah rasa dingin yang membuat tubuh menggigil, aku mendengar suara orang bicara. Kubuka mata, lalu mengernyit saat menemukan wajah Gatan tepat di depan mata.

Seingatku, tadi itu tidur sofa di ruang tamu sendirian. Memang enggak nyenyak, karena Inara ternyata benar. Di sini dingin sekali. Namun, aku enggak merasa kapan Gatan datang dan enggak tahu mau apa dia di sini.

"Minggir," gumamku sembari mendorong wajahnya menjauh. Mau apa dia dekat-dekat?

"Pindah ke kamar. Di sini dingin."

Mengangkat kelopak mata dalam keadaan setengah sadar, aku memakinya.

"Anjing kau. Pergi kau sana," usirku dengan suara pelan. Jangan sampai Inara dengar.

"Makanya jangan bikin ulah. Pindah ke kamar." Dia malah melotot. Masih enggak menyingkir dari samping sofa yang aku baringi.

"Ulahku apa memangnya? Sana, aku mau tidur." Malas meladeni, pun masih sangat mengantuk, aku berbalik.

Aku memunggungi dia, kemudian merapatkan selimut ke tubuh. Seharusnya tadi aku menaikkan suhu dulu, baru tidur.

"AC-nya nggak akan aku matiin."

Selanjutnya aku mendengar suara. Ternyata Gatan setan itu belum pergi. Pura-pura enggak mendengar, aku lanjut memejam. Namun, mataku langsung terbuka lebar ketika merasakan sesuatu menimpa bibirku.

Gatan setan! Berani sekali dia melakukan ini padaku, di rumahnya sendiri? Kutampar dia segera.

"An ... jing!" Aku memelankan suara di ujung makian. Kalau saja Inara enggak ada di sini. Sudah aku robek-robek bibirnya itu.

"Makanya, jangan bikin ulah terus." Dia berdiri dengan satu tangan si saku. Memasang tampang layaknya orang enggak bersalah.

"Anjing kau," makiku lagi.

"Diam kamu." Dia malah membalas. "Pindah ke kamar tamu atau aku akan tetap di sini."

Oh, mengancam? Pikirnya aku takut?

"Kalau aku enggak mau, kenapa?" Kulempar selimut menjauh. Kalau dia mau perang, aku siap.

"Siapkan jawaban untuk Inara besok pagi. Dia pasti bingung kenapa kita berdua ada di ruang tamu."

Orang gila ini! Kenapa harus aku yang repot mengurusi rumahtangganya? Inara bertanya, aku tinggal jawab enggak tahu. Kalau dia curiga dan interogasi suaminya, bukan urusanku. Kalau Inara sampai sakit karena kepikiran ini, mampus situ.

Itu semua bukan urusanku.

Dengan dagu terangkat, aku memungut selimut dan bantal. Kusempatkan menginjak kaki lelaki setan itu sekuat tenaga, sebelum melangkah ke kamar tamu. Kalau saja aku lebih sinting dari dia, sudah pasti aku enggak akan melakukan ini.

***


"Serius dia ngelakuin itu?" Rahisa menutup mulutnya dengan kedua tangan. Matanya melebar, seolah apa yang aku ceritakan adalah sesuatu yang di luar nalar.

Memang, sih. Apa yang Gatan lakukan kemarin sangat di luar nalar. Yang di kamar kos dan di rumahnya.

Karena enggak mau kepikiran sendirian, aku membaginya dengan Rahisa. Enggak mungkin ceritakan pada Ibu, nanti yang ada aku dijambak dan dituduh mau balas dendam pada Inara.

"Kamu yakin dia benci kamu, Anes?" Rahisa memicing sekarang.

Aku mengangguk. "Sejak kejadian itu, dia natap aku kayak sampah. Satu jam sebelum dia nikah sama Inara, dia datangi aku, terus bilang kalau aku ini perempuan gila, perempuan sinting dan perempuan paling jahat di dunia. Titisan iblis katanya."

Rahisa mengangguk. Kukira dia bisa memahami dari dua sisi, sebab dia kan netral.

"Mungkin, waktu itu dia marah banget. Wajar, sih. Kalian baik-baik aja sebelum kamu kedapatan di hotel sama cowok. Wajar dia ngomong gitu. Tapi, itu enggak memastikan kalau dia benci yang bener-bener benci sama kamu."

Aku sepaham dengan itu. Wajar memang jika Gatan sangat marah ketika menangkap basahku di kamar hotel dengan seorang laki-laki. Padahal, kami sudah punya rencana ingin menikah waktu itu. Gatan pasti patah hati, karena saat itu ia punya perasaan padaku.

"Setelah menikah dia juga masih kek gitu, Rahi. Dia enggak mau nengok aku bahkan."

"Tapi kalian bercinta kemarin. Dan dia nyium kamu  di rumahnya, padahal itu berisiko besar ketahuan istrinya."

Rahisa yang mengulang fakta itu membuat kepalaku pusing. Aku melempar tubuh ke sofa. Bingung.

"Bukannya cowok bisa kawin dengan perempuan mana aja? Kebetulan, kan, kemarin aku mancing dia dengan telanjang depan dia." Ingin rasanya aku menggorok leher sendiri kalau ingat itu. Aku pasti akan masuk neraka jalur ekspres karena itu.

Rahisa mengangguk. "Tapi, dia meluk kamu sampai pagi, Anes. Bahkan, waktu dia mau pergi, dia sempat cium kening kamu lagi."

Pagi sewaktu insiden di kamar kos, aku memang pura-pura masih tidur saat tahu kalau Gatan sudah bangun. Pria itu memang sempat mengecup keningku, sebelum pergi. Namun, apakah itu bukan sepaket dengan kelakukan abmoralnya sebelumnya?

"Dan kemarin, dia cium kamu biar mau pindah tidur ke kamar. Kayaknya, dia enggak sebenci itu sama kamu, deh. Kok aku merasa dia kayak masih ada perasaan sayang, ya?"

Rahisa dan teorinya berhasil membuatku mulas.

"Ngaco kamu!" bantahku vokal.

Perempuan itu malah menggeleng, kemudian ikut berbaring di belakangku. Kami memang memutuskan untuk tidur bersama malam ini, di kamarku.

"Aku cemas, Anes," katanya pelan. "Kalau benar dugaanku, cinta segitiga kalian ini bakal rumit. Sainganmu adikmu sendiri."

Aku menatap dinding dengan sorot nanar. "Enggak mungkin, Rahi. Kamu mikirnya terlalu muluk."

Enggak pernah merebut barang Inara saja, Ibu sudah sebenci ini padaku. Konon aku  nekat membuat konflik dengan Inara. Habis aku dicincang hidup-hidup.

"Kamu siap jadi madunya adikmu, enggak?"

"Gilak!"

Dia tertawa. Berikutnya, aku merasa tepukan lembut di lengan.

"Aku cuma berharap, kamu enggak akan ambil pilihan sulit. Cinta itu memang bukan hal yang salah. Tapi, menyakiti orang lain karena memperjuangkan cintamu, rasanya terlalu egois. Apalagi, ini adikmu sendiri. Aku cuma enggak mau kamu makin merasa bersalah."

"Kalau aku, di otakku sekarang bahkan terpikirkan kalau ini bisa kamu manfaatin untuk balas dendam ke Inara. Sejak kecil, dia selalu lebih disayang Ibumu. Kamu pasti punya rasa iri. Tapi, untungnya kamu bukan aku. Kamu sayang adikmu. Jadi, please, jangan ambil tindakan apa pun yang bakal kamu sesali nanti."

Aku berdeham malas, tetapi mengingat nasihat itu baik-baik. Dia benar. Sekalipun teorinya yang mengatakan kalau Gatan sudah enggak benci dan mungkin masih punya perasaan padaku, itu enggak lantas jadi lampu hijau untuk aku kembali pada lelaki itu. Ada Inara sekarang. Dan Rahisa benar, aku enggak mungkin menyakiti Inara hanya demi Gatan.

Balas dendam? Bohong kalau aku enggak terpikirkan itu. Bukan pada Inara, tetapi pada Ibu. Kalau Inara sedih, bukankah Ibu akan lebih sedih. Namun, apa yang berubah kalau aku mengambil opsi itu? Ibu malah akan makin benci padaku dan hidupku akan banyak masalah.

"Tapi, kamu malang sekali, ya, Anes?"

Aku menengok dengan satu alis menukik padanya. "Apanya?"

"Capek-capek lakuin ini dan itu biar dia pergi, eh, akhirnya dia balik lagi ke kamu. Namamu harus diganti. Nes di depan namamu bawa nasib buruk kayaknya. Ngenes terus jadinya."

"Diam kau!" Aku menyalak macam anjing gila. Terlampau benar candaannya tadi.

Kira-kira, sampai kapan aku akan selalu merasai kesusahan begini? Apa mengganti nama benar bisa mengubah nasib?

"Cara ganti nama gimana, Rahi?"

Rahisa tergelak, kemudian menggebuk tubuhku dengan bantal.

"Pakai biaya, enggak?" sambungku lagi, tetapi perempuan itu enggak menjawab dan malah pura-pura ngorok. 
 

Bab 8 

Aku berlari macam orang dikejar anjing dari kos. Tujuanku adalah jalan raya, segera mencegat taksi, kemudian ke rumah sakit. Namun, setibanya aku di jalan besar, enggak ada satu pun taksi yang lewat.

Aku memukul kepala kencang karena enggak ingat kalau taksi atau ojek bisa dipesan lewat ponsel. Mana ponselku tinggal di kos. Sialan.

Menjambak rambut sendiri, aku sudah akan berlari. Biar pakai kaki saja, pasti sampai juga. Saat itu, sebuah mobil mengadang jalanku, sembari menekan klakson.

"Kamu ngapain berkeliaran malam-malam di--"

"Rumah sakit!" potongku pada Gatan.

Aku langsung masuk ke mobilnya. Dia menatapku dengan wajah bingung.

"Rumah sakit. Cepat!"

Mobil Gatan mulai berjalan. Aku meremas jemari sendiri. Enggak sabar untuk segera sampai rumah sakit, tetapi juga enggak sanggup kalau harus lihat Rahi.

"Kamu mau apa ke rumah sakit?"

Pertanyaan Gatan langsung membuat air mataku tumpah. Debar jantungku yang cepat membawa sensasi nyeri yang membuat enggak nyaman bernapas.

"Temanku kecelakaan. Rahi kecelakaan."

Mengatakan itu, aku mulai tersedu-sedu. Aku mengingat penuturan Pak Naja beberapa saat lalu. Pria itu menelepon untuk mengabarkan kalau Rahi kecelakaan, ditabrak mobil dan keadaannya parah. Saat Naja menelepon, Rahi sedang dioperasi.

Pikiran buruk langsung memenuhi kepalaku setelah itu. Aku enggak mau kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk pada Rahi.

Air mataku enggak mau berhenti sampai kami tiba di rumah sakit. Aku langsung menuju ruang tunggu operasi yang Naja beritahukan sebelumnya. Saat menemukan pria itu terduduk dengan dua tangan saling meremas dan kepala tertunduk lesu, tangisku kembali pecah.

"Operasinya belum selesai?"

Pak Naja mengangkat wajah. Matanya memerah dan tampak basah. Dia pasti habis menangis. Lelaki itu menggeleng lemah padaku.

"Rahi mau pulang tadi?" Aku duduk di sampingnya. Berusaha mengajaknya  bicara, agar sedikit membagi resah.

Pak Naja mengangguk singkat. "Saya sudah suruh menginap. Tapi dia bersikeras pulang."

Aku mengangguk, menggigit bibir sembari menahan tangis. "Rahi bilang enggak mau serumah sama kamu, kecuali kalian sudah menikah."

Pak Naja menyugar rambutnya. Kelopak matanya berkedip gusar, tatapannya terlihat gelisah.

"Ini hukuman untuk saya."

Perkataannya membawaku pada momen di mana Rahi bercerita di suatu sore.

"Kok Tuhan baik sama aku? Aku udah ngelakuin dosa besar. Kenapa sampai sekarang belum dikasih hukuman?"

Begitu pengakuan Rahisa kala itu. Aku yang mendengarkan hanya mencebik dan mengatainya sok religius. Namun, perempuan itu balas tersenyum, kemudian lanjut bicara.

"Semua perbuatan harus ditanggungjawabi, Anes. Cepat atau lambat, kita semua harus menuai apa yang udah kita tanam. Dan aku yakin, suatu saat balasan untuk keputusanku waktu itu bakal datang."

Dulu, waktu mendengar itu, aku mendiamkan saja. Menganggapnya sebagai ungkapan rasa bersalah Rahi. Namun, beberapa jam kemudian, sesudah Rahi dipindahkan dari ruang operasi.  Seorang dokter menemui dan bicara dengan Naja.

Rahisa dinyatakan koma. Benturan di kepalanya menyebabkan pendarahan dan menyebabkan cedera lumayan parah. Dokter enggak bisa memastikan kapan Rahi akan bisa sadar. 

Naja terduduk lemas di kursi ruang tunggu, aku hanya bisa meredam tangis. Aku ingin menyebut dunia enggak adil, tetapi aku tahu kalau ini adalah keadilan yang Rahisa tunggu.

"Ini berlebihan, Rahi," ratapku sembari menontoni Pak Naja yang berjalan masuk untuk menemui Rahi.

Kalau pun ini memang hasil dari apa yang pernah Rahi lakukan, bukankah ini terlalu kejam? Rahisa melakukan itu semua karena keadaan. Ia juga terpaksa. Lantas, kenapa hukumannya akan seberat ini?

Aku enggak bisa membayangkan harus pulang ke kos setelah ini dan enggak menemukan Rahi di sebelah kamar dalam waktu yang lama. Aku sedih mengingat kalau selain aku, Pak Naja juga pasti amat terpukul karena keadaan ini.

"Pakai sandalmu."

Suara itu menghentikkan ratapanku. Aku sempat heran kenapa Gatan ada di sana, tetapi kemudian ingat kalau tadi aku menumpang mobilnya ke sini.

Kuseka air mata di pipi. Saat menengok ke bawah, aku melihat sepasang sandal. Dan baru sadar kalau sejak tadi aku bertelanjang kaki.

Aku memakai sandalnya. "Makasih udah bantuin aku. Kamu bisa pulang."

Saat akan berjalan, Gatan menahan lenganku. "Kamu nggak pulang?"

"Nanti. Aku  mau ngomong dulu sama Pak Naja, dan kalau bisa lihat Rahi dulu."

Kulihat Gatan melepas jaketnya. Kemudian, ia pakaikan jaket itu padaku.

"Aku tunggu di depan," katanya.

Kupandangi dia dengan ekspresi bingung. Maksudnya apa?

"Aku antar kamu pulang. Kalau sudah selesai, cari aku di depan. Aku tunggu."

Aku mengangguk paham, kemudian segera pergi untuk menemui Rahisa. 

 

*** 

 

"Temanmu itu pasti akan baik-baik saja."

Pada Gatan yang barusan bicara, aku mengangguk cepat. Tangisku kembali pecah. Aku teringat bagaimana keadaan Rahisa tadi.

Rahisa enggak membuka mata atau menyahut saat aku atau Pak Naja memanggilnya. Kepalanya dibalut perban, Rahisa bahkan butuh selang oksigen. Tadi itu pertama kalinya aku melihat Rahisa enggak cantik sama sekali.

"Dia baik banget. Aku bersumpah enggak akan pernah rela kalau dia kenapa-kenapa."

Gatan memegang kemudi dengan satu tangan, sementara tangan satunya mengangsurkan botol air padaku. Aku menerimanya. Setelah minum, aku kembali bersuara.

"Dia padahal mau nikah sama Naja. Kenapa, sih, semua ini harus kejadian sekarang?"

Aku saja temannya hancur, konon Naja kekasih Rahisa. Sedihku berlipat ganda karena mengingat hubungan dua orang itu. Mereka sudah mengalami banyak rintangan sebelum bisa sama-sama sepakat untuk menikah.

"Rahisa pasti bangun. Secepatnya dia pasti bangun," kataku berusaha meyakinkan diri sendiri.

Terisak parah, aku menutupi wajah dengan kedua tangan. Sudah kucoba untuk menahannya sejak tadi, tetapi enggak pernah berhasil. Kenapa ini semua harus menimpa Rahisa?

Sekuat tenaga berusaha menelan tangis, aku malah makin sesenggukan ketika merasakan seseorang memeluk. Gatan ternyata sudah menepikan mobil dan sudi memberikan sebuah dekapan padaku.

"Rahisa enggak boleh kenapa-kenapa. Aku cuma punya dia. Cuma dia yang selalu dengerin ceritaku. Cuma dia yang bisa bikin aku senang. Kalau dia enggak sadar dalam waktu lama, terus aku gimana?"

Aku terbatuk beberapa kali karena tangis yang bercampur rasa sesak. Aku teringat permintaan Rahisa. Dia memintaku untuk enggak perlu pergi ke Mars.

"Dia suruh aku tetap di sini. Kenapa dia yang mau pergi ninggalin aku? Aku enggak mau ditinggal lagi." Aku memeluk Gatan erat. Kupejamkan mata karena bayang-bayang akan ditinggalkan Rahisa memenuhi pikiran dan membuat tubuhku menggigil.

"Aku cuma punya Rahisa. Jangan diambil kayak Ayah juga. Jangan."

Pada siapa pun yang mendengar pintaku ini. Kumohon, jangan biarkan Rahisa pergi seperti Ayah. Aku cuma punya dia sekarang. Dan juga, Pak Naja akan sedih lagi kalau sampai ditinggal perempuan yang dicintai. 
 

*** 
 

Hari ini aku jadi orang kedua yang menjenguk Rahisa. Tadi pagi, kata perawat, Pak Naja sudah datang. Pria itu tinggal selama satu jam, kemudian pergi.

Pak Naja singgah sebelum ke kantor. Aku datang di jam dua siang, sekalian membawakan barang-barang Rahi. Dia paling suka kaktus, jadi aku bawakan dua pot kecil dan ditaruh di dekat jendela.

Aku duduk di sebelah ranjangnya Rahi. Sudah sengaja kuberi dia senyum lebar sekali. Namun, perempuan itu enggak bereaksi sama sekali. Aku jadi ingat ceritanya saat dulu menemani mantan pacarnya yang juga koma.

Kata Rahi, orang koma itu bisa diajak bicara. Namun, memang enggak akan memberi respon. Jadi, aku melakukan hal itu.

Kuceritakan soal Pak Naja yang menangis kemarin. Berharap Rahi akan iba, lalu bangun. Dia kan sayang sekali pada Naja. Namun, agaknya kali ini Rahi sedikit cuek, dia enggak peduli dan terus diam.

Aku enggak menyerah. Aku terus bercerita sampai mulut berbuih. Kadang memasang wajah sedih, kadang terbahak kalau sedang bicarakan hal lucu.

Pak Naja datang waktu sore. Dia mau kami bergantian. Walau merasa masih kurang, tetapi aku terpaksa mengalah. Aku yakin Rahisa jauh lebih butuh Naja daripada aku.

"Aku enggak akan menyerah sama dia," kataku pada Pak Naja saat kami bertemu di luar.

Pria itu mengangguk dengan senyum tipis.

"Kamu tahu, 'kan, kalau dia cuma ingin  menghabiskan hidup sama kamu?" kataku lagi.

Lelaki itu memalingkan wajah, tetapi aku sempat melihat matanya yang memerah.

"Jangan nyerah sama dia. Ini baru seminggu. Yang koma bertahun-tahun aja bisa bangun lagi. Rahi enggak akan kalah semudah ini." Aku menelan ludah, berusaha menahan tangis yang sudah akan pecah.

Aku ingat apa yang pernah Rahisa katakan padaku, kemudian mengulangnya pada Pak Naja.

"Kamu udah banyak mengalami hal sedih."

"Rahisa udah banyak mengalami hal sedih."

"Adilnya dunia itu nyata, Anesya. Yakini kalau suatu saat, akan ada masa di mana kamu akan dapat berlimpah-limpah kebahagiaan, segitu banyaknya, sampai muntah, demi menebus air mata yang kamu jatuhkan sebelum ini."

"Rahisa akan bangun. Dia belum muntah karena terlalu bahagia. Dan  kamu harus di sana, di samping dia, ketika waktu itu datang."

Aku sudah menangis sesenggukan, tahu apa yang Pak Naja katakan sebagai sahutan?

"Padahal, kata Rahi, kamu itu perempuan gila. Saya sempat percaya, ternyata enggak sepenuhnya benar."

"Anjing," umpatku dengan air mata yang masih berderai. Namun, kali ini aku bisa tersenyum karena Naja juga melakukan hal sama.

Seperti Rahi yang enggak pernah bosan menyuruhku untuk menunggu waktu di mana nasib malangku akan habis, aku juga enggak akan bosan menunggu Rahi bangun. 
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Kategori
AdultDrama
Selanjutnya SA - Bab 9, 10, 11
3
0
Pernah aku nekat pergi tanpa bilang. Dan aku berakhir dijemput Ibu dari mal dan dijambak.  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan