
Dia menghinaku. Dia merendahkanku dengan menciumku tanpa izin. Dan apa? Dia mengatai munafik? Enak sekali dia?
Satu tamparan cukup dan memang pantas dia dapatkan.
Waspada menunggu reaksinya, aku kebingungan kala Elard malah mengeluarkan sebuah cincin dari saku. Berwarna putih, bermahkotakan berlian lumayan besar di tengah.
Pria itu mengambil tanganku, kemudian memasangkan cincin tadi. Aku merasa benar-benar dipermainkan.
Kulepas cincin segera. Kulempar tepat ke wajahnya. Sepertinya mengenai pipi lelaki...
Bab 5 - Kencan Penuh Air Mata
"Manis ini, Shana. Ayo, dong. Dimakan."
Siang, terik, aku masih harus menghadapi Mas Daru yang penyakit memaksanya kumat. Pria itu tak membiarkanku pergi. Sengaja memegangi kedua tangan, sembari terus mencoba memasukkan potongan mangga ke mulutku.
Entah sudah berapa kali aku bilang pada kakakku ini. Aku tak suka buah. Terutama yang asam, seperti mangganya itu. Dia ini kenapa keras kepala sekali?
"Asam, Mas. Aku enggak mau. Mau Mas paksa sampai besok juga, aku enggak akan makan." Aku berusaha memalingkan wajah, sebab potongan mangga barusan dibuat Mas Daru mengenai bibir.
Mas Daru menghela napas, tetapi urung melepaskan tanganku.
"Mas itu tahu kamu enggak suka asam. Ini mangganya sengaja dibeli yang super manis. Susah sekali makan ini?" Lelaki itu memasang wajah memelas andalannya.
Huh. Pikirnya aku Mbak Arini yang bisa luluh dengan wajah sok menderitanya itu?
Tidak.
Aku kenal kakakku ini. Akalnya banyak. Apa pun bisa dilakukan, agar aku mau menuruti perintahnya.
"Asam, Mas Daru. Enggak suka," kataku kukuh.
Mas Daru memasukkan satu potong mangga ke mulutnya. Mengunyah dengan wajah dibuat seolah baik-baik saja.
"Enggak asam, Shana. Mas enggak bohong."
Aku menyipit. Jelas tidak percaya. Sejak kecil, dia sering berbohong begini. Mengaku buah yang dia makan manis, padahal waktu aku yang makan, rasanya malah kebalikannya.
"Mas enggak bohong, Shana."
Aku mengangguk pada dia. "Percaya. Tapi, aku tetap enggak mau. Enggak usah buang waktu untuk membujuk aku. Sana, main sama Varo aja."
Mas Daru kembali bersikeras. Pria itu agaknya bertekad ingin membuatku memakan buah mangga tadi. Tanganku dipegang makin kuat. Sementara satu tangannya lagi mengambil mangga.
Beruntung, kami kedatangan tamu.
Elard Albrata.
Kakakku mempersilakan dia duduk. Aku semringah saat tangan akhirnya lepas dari pegangan Mas Daru.
"Saya mau ajak Shanaya jalan, Mas."
Kakakku mengusap kepala. Wajahnya terlihat memasang ekspresi canggung. "Sedikit canggung dengar Mas panggil saya begitu. Umur saya masih di bawah Mas Elard."
Eh, iya. Aku baru ingat. Kan umurnya Mas Daru baru 35. Sedangkan Elard sudah menginjak kepala empat.
Senyum geliku muncul tanpa kutahan. Aneh juga kalau nanti Mas Daru punya adik ipar yang usianya lebih tua dari dia.
"Santai saja, Mas Daru. Jadi, boleh saya ajak Shana?" Om Elard ini tidak ada basa-basinya sedikit pun.
"Mau ke mana memangnya?" tanyaku penasaran.
Tumben sekali dia berinisiatif mengajak kencan pura-pura begini. Kan, biasanya selalu aku yang bertindak. Juga, apa dia ada waktu? Selain sibuk dengan kafe, kan dia sibuk bercinta dengan Vista.
"Ikut saja. Nanti saya beritahu sambil jalan."
Aku menyimpan curiga, kakakku malah mendorong bahu. Menyuruhku segera bersiap-siap. Tak bisa berkutik, pun ini baik demi keberlangsungan rencana, maka aku menurut.
Segera aku pergi mandi, kemudian bersiap-siap. Lumayan, kencan ini sudah menyelamatkanku dari pemaksaan Mas Daru.
***
Sebelum ke tempat tujuan, Elard mengajak makan lebih dulu. Kebetulan memang lapar, jadi aku setuju. Kami makan mi super enak di sebuah warung yang baru aku ketahui ada di dunia ini.
"Serius, ini mi-nya enak banget," komentarku saat isi mangkuk sudah ludes.
Elard mengangguk saja. Mangkuk pria itu masih berisi setengah. Kulihat-lihat, dia tipe orang yang makannya lama. Diresapi per helai mi kali.
"Aku boleh bungkus, 'kan? Aku yang bayar," izinku padanya. Dijawab dengan anggukkan, aku memanggil salah satu pramusaji di sana. "Mbak cantik."
Seorang waiters datang menghampiri dengan senyum merekah. "Ada yang bisa dibantu, Mbak?"
"Saya pesan ...." Aku menghitung jemari. Ayah, Mas Daru, Mbak Arini, Pak Joni, Mas Tio, Mbak Asri dan Mbak Gita. Ditambah aku satu lagi. "Pesan delapan lagi, untuk dibawa pulang."
Waiters itu mengangguk, kemudian berlalu untuk menyiapkan pesananku.
"Muat sebanyak itu di perut kamu?" Elard sudah beres dengan mi-nya.
"Untuk orang rumah. Mereka harus tahu kalau ada mi seenak ini." Aku mengambil dompet, untuk menyiapkan uang.
Tak lama, pesananku datang. Memberikan uang tadi pada Elard, pria itu malah melempar tatapan bingung.
"Untuk siapa aja mi tadi?" Dia akhirnya menerima uang dariku dan menyimpannya.
"Ayah, Mas Daru, Mbak Arini, Pak Joni, Mas Tio, Mbak Asri, Mbak Gita, sama aku satu lagi." Aku menjabarkan sembari mengikuti langkahnya meninggalkan warung.
Aku sudah membuka pintu belakang mobil, saat kudengar dia bicara.
"Duduk di depan," titahnya sembari pintu depan.
Aku menggeleng. "Di belakang aja. Geli."
Elard mengembuskan napas kasar. Pria itu membuka blazer, hingga di tubuhnya hanya melekat kemeja putih. Ditaruhnya kain tadi di atas jok kursi.
"Duduk depan." Nadanya terdengar jengkel dan sedikit putus asa.
Mengulum senyum, aku pun akhirnya bersedia menempati kursi itu. Sekarang sudah aman. Kan ada alasnya. Jadi, kalau pun bekas percintaannya kemarin masih ada, tidak langsung mengenai rokku.
Aman.
Kami pun berangkat.
Elard ternyata membawaku ke sebuah panti asuhan. Bukan panti asuhan biasa, sebab adik-adik yang tinggal di sana rata-rata punya keistimewaan.
Saat diajak berkenalan, aku langsung merasa haru sekali. Entah kenapa, emosi yang begitu besar menyelimutiku. Membuatku merasa jadi sangat kecil, sangat berdosa, sangat tidak tahu berterima kasih, sangat jelek dan sangat tidak adil.
"Ini pasti Mas Elard."
Salah seorang anak di sana disuruh menebak siapa yang sedang bersalaman dengannya. Dan tebakannya benar. Itu memang Elard.
"Kirain nggak datang, Mas." Senyum anak itu lebar sekali. Terasa tulus sekali. Membuat air mataku jatuh begitu saja.
"Mas bawa teman. Kenalin." Elard menuntun tanganku untuk bersalaman dengan anak itu. "Namanya Kak Shanaya. Dia bawain kalian kue dan buku hari ini."
Di depan anak itu, aku sesenggukan. Kututup mulut dengan tangan kiri, agar tak ada isakan yang lolos dari sana. Aku malu, sumpah. Aku malu pada dia.
"Edward, Kak." Adik itu menyebut nama. "Tumben Mas Elard bawa teman. Pasti cantik."
Aku mengangguk, kemudian makin ingin menangis saat sadar kalau dia tak akan bisa melihat itu. "Can--cantik, dong," sahutku terbata dan sebisa mungkin menelan tangis.
"Mas Elard, kemarin Edward menang lomba nyanyi lagi. Minggu depan, bakal ikut lomba tingkat nasional." Salah seorang anak yang menggunakan kursi roda menceritakan itu dengan riang pada Elard.
Elard tampak mengangguk semringah. Pria itu menepuk bahu Edward. "Hebat banget. Beberapa tahun lagi, Mas pasti bakal lihat kamu di televisi."
"Amin."
"Amin."
Anak-anak yang mengerubungi kami serempak mendoakan. Aku merasa diriku makin kecil. Apa saja yang sudah kulakukan di dunia in? Mengapa aku masih sering tidak bersyukur dengan apa yang sudah diberikan padaku?
Elard kubiarkan bergabung dengan anak-anak di sana. Mereka bernyanyi, main games, kemudian saling bertukar cerita. Sepertinya, dia memang sering datang kemari.
Aku sendiri memilih duduk di sudut ruangan, setelah pura-pura ke toilet untuk cuci muka. Malu sekali. Bukannya membawa penghiburan seperti yang Elard lakukan, aku malah menangis parah di sini.
Setengah jam berlalu, Elard akhirnya menghampiriku. Pria itu melempar senyum geli.
"Kenapa nangis?" Disodorkannya botol air minum. Pria itu menatap lurus, pada adik-adik yang asyik bermain.
Aku menunduk. Meremat botol di pangkuan. Tak ada jawaban yang bisa kusuarakan.
"Sebentar lagi kita pulang. Kamu mau duduk di sini terus? Gak mau gabung sama mereka?"
Kepalaku bergerak perlahan ke arah Elard. "Mau peluk mereka boleh, enggak?"
Lelaki itu balas menatap. Ada senyum di bibirnya. Kali ini tidak terasa ada kesinisan atau ejekan di sana. Kemudian, dia mengangguk.
***
"Mi yang kamu bawa itu kayaknya udah dingin."
Sejak tadi mobil yang kami huni tak diisi suara selain deru mesin, akhirnya Elard mengajakku bicara.
Aku mengangguk saja. Masih betah menatapi ke luar jendela.
"Kamu kenapa, Bocah? Gak suka saya ajak ke sana?"
"Bukan," sanggahku cepat.
"Terus? Kenapa nangis? Adik-adik di sana bingung lihat kamu tadi."
Mataku terasa hangat. "Malu, Om," aku-ku dengan suara lirih.
"Malu kenapa?"
"Malu sama mereka. Aku merasa kek ditampar pas lihat mereka. Terutama Edward."
"Kok bisa?"
"Aku lebih banyak ngeluh daripada bersyukur." Pipiku basah. Tak bisa kutahan air mata. "Selama ini, aku merasa dunia ini enggak adil sama aku. Aku dikasih yang susah-susah, yang sulit-sulit, sengaja dikasih keadaan yang buruk. Padahal, masih ada yang jalan hidupnya lebih penuh liku daripada aku."
Elard tak menimpali. Kukira dia sedang mengejekku diam-diam. Aku memang pantas diejek.
"Terutama, aku malu sama Edward. Kata Celine, Edward itu latihan nyanyi tiga kali sehari. Sedangkan aku? Udah tahu sumber uangku cuma dari nulis, itu pun masih aku lakukan dengan bersungut-sungut, ogah-ogahan dan ikutin mood. Kok aku buruk banget, sih, jadi manusia?"
Kutekuk kaki di atas kursi mobil Elard. Aku butuh menyembunyikan wajah dan tangisku yang memalukan ini.
Buruk memang aku ini. Begitu banyak hal yang tidak aku syukuri. Padahal, untuk orang lain, itu adalah sesuatu yang berarti.
Bisa makan cukup, boleh menumpang di rumah ayah, aku masih sanggup menyalahkan takdir. Hebat memang aku ini. Sangat tidak tahu diri.
Puas menangis, aku mengangkat wajah dari lutut saat menyadari mobil tidak lagi bergerak. Ternyata benar. Elard menepi. Kami belum sampai di rumah.
"Kenapa berhenti?" tanyaku padanya.
"Habiskan dulu nangisnya, Bocah. Nanti Mas Daru mikir yang aneh-aneh kalau aku pulangkan kamu dengan keadaan begini."
Aku setuju dengan itu. Segera kubersihkan wajah dari bekas air mata. "Kamu suka ke sana, ya, Om?"
"Iya," jawabnya sembari masih menatap padaku.
"Kok bisa? Terus, kenapa kepikiran ajak aku?" Apa dia sengaja ingin membuatku sadar diri, ya?
"Ibu suruh saya ajak kamu jalan-jalan. Malas memikirkan rencana kencan pura-pura, jadi, saya ajak ke sana aja."
Dia tak bicara dan malah memandangi, aku jadi canggung. Sekali lagi kuusap mata dan pipi. Lelaki di sampingku malah tertawa.
"Sadarkah kau, cara hidupmu. Yang hanya menelan korban yang lain." Dia bersenandung dengan senyum tipis. "Bintang jatuh hari kiamat ...."
"Pengadilan yang penghabisan." Aku menyahuti nyanyian Elard.
Pria itu membolakan mata, kemudian terbahak. "Kok kamu tahu lagu itu, Bocah?"
"Mas Daru sering setel." Niatnya ingin berhenti menangis, aku malah terisak lagi. "Om tega banget ejek aku?" sungutku padanya.
Masih sambil tertawa, lelaki itu mengusap sekilas sisi wajah kiriku. "Sini, saya belikan es krim, ya, Bocah?"
Tidak menolak, aku mengangguk. Kupalingkan wajah ke arah jendela. Menyembunyikan malu. Kok kencan pura-pura begini sekali?
Bab 6 - Muslihat si Om
"Mas Daru!" Aku mengejar Mas Daru yang sudah akan berangkat ke kantor.
Kakakku itu menoleh dengan ekspresi bingung.
Aku memposisikan diri di sampingnya. Mendekatkan kepala ke dia, mengukur tinggiku.
"Tingginya Mas Daru 170 cm kan, ya?" Aku memastikan.
Dia mengangguk.
"Aku setelinganya Mas Daru, artinya aku enggak pendek, 'kan, ya? Enggak kek bocah?"
Kakakku terbahak. Dia mengajak rambutku. "Mas berangkat dulu. Jangan lupa, nanti calon mertuamu datang."
Kubalas pelukanya dengan tepukan di punggung. Ayahnya Varo itu meringis, lalu berlari kabur.
Kalau dia tidak kabur, memang akan kupukul lagi.
Aku kesal. Bukan pada Mas Daru. Namun, pada Om Elard.
Kan, kemarin dia mengajakku beli es krim. Nah, pas waktu akan membayar, mbak kasirnya sengaja tidak memasukkan es ke dalam plastik. Langsung diberikan padaku yang memang menemani Elard membayar.
"Adiknya Mas habis nangis, ya? Biar nangisnya udahan. Diambil aja es-nya."
Mbak kasir itu salah paham karena mengira aku adiknya Elard. Aku tidak marah. Kan dia tidak tahu. Yang bikin keki itu reaksi Elard.
Pria itu puas sekali mendengar si mbak bicara begitu. Dia makin gencar mengataiku bocah. Sebenarnya, aku ini terlihat seperti bocah, dari sisi mananya?
Tinggi? Aku lumayan. Pun, wajahku juga terlihat tua kata Ayah. Statusku janda pula. Jadi, dari bagian mananya aku ini mirip bocah?
Demi Tuan Krab si kepiting, aku ini sudah berumur. Dua puluh delapan tahun itu usia yang matang. Teman sebayaku bahkan sudah ada yang punya dua anak.
Aku memang belum punya anak. Namun, aku kan sudah pernah menikah. Jadi, kenapa Om satu itu terus menganggapku bocah, sih?
Apa karena dandananku, ya? Memang, sih, aku tak pernah memoles bibir dengan lipstick merah menyala. Juga, aku tak pernah mengikat atau menata rambutku aneh-aneh. Namun, apa semua itu bisa dijadikan landasan mengatai aku ini memang bocah?
Atau .... Ah, mungkin di situ masalahnya. Baik. Hari ini aku akan sedikit mengubah penampilan. Biar terlihat lebih dewasa.
***
"Shana?" Suara Mbak Arini terdengar shock. Kakakku itu bahkan menutup mulutnya dengan tangan.
"Gimana? Pantas enggak aku pakai ini?"
Mbak Arini menghampiri. Memutar tubuhku beberapa kali, sembari mengamati.
"Cantik kamu itu diapain aja," katanya dengan senyum tulus. "Tapi, Mas-mu nggak akan kasih izin kamu pakai baju ini ke luar rumah."
Aku tersenyum kuda. Aku tahu itu. Dan cukup sadar diri juga. Kalau aku keluar dengan pakaian begini, bisa masuk angin.
Gaun hitam ini tanpa lengan. Hanya tali kecil yang menyangganya di bahu. Pun, panjangnya hanya setengah paha. Malu aku kalau dilihat orang banyak berpenampilan seperti ini.
Tujuanku mencoba gaun ini cuma satu.
"Mbak, kalau pakai baju gini, aku kelihatan kayak umur berapa?"
Mbak Arini mengernyit. Tangan perempuan itu menyelipkan helai rambutku ke belakang telinga.
"Kayak bocah atau enggak?"
Ibunya Varo menggeleng.
Aku mengangguk puas. "Seksi kan, ya? Walau ala kadarnya. Kelihatan pantas, kan? Enggak kayak bocah didandani biar kayak orang dewasa."
Belum sempat aku mendengar Mbak Arini menjawab, suara lain lebih dulu mengejutkan kami.
"Astaga! Shanaya!"
Mas Daru pulang kerja. Pria itu langsung melempar pelototan. "Apa-apaan ini? Mau ngapain kamu, Dek?!"
Aku berkacak pinggang di depannya. Berputar ke kiri dan kanan, memamerkan penampilan.
"Kenapa baju bocah dipakek, Dek?" Dia malah memasangkan jasnya ke bahuku. Mengancingnya pula. "Mau ke mana kamu pakai baju begini?" Dia menepuk pahaku kesal.
Aku segera menghindar, sebelum dia mencubit. Kulempar jasnya. "Aku cuma mau coba. Aku kelihatan dewasa, 'kan? Bukan bocah!"
Mas Daru mengoper jasnya pada Mbak Arini yang sudah tertawa-tawa. Lelaki itu menghampiri dan langsung menyambar telingaku.
Astaga! Perempuan dewasa ini dijewer.
"Sakit, Mas. Ampun." Aku serba salah. Mau menarik kepala, Mas Daru menjepit daun telinga kuat sekali. Aku takut telingaku putus. Bertahan di posisi itu, dia malah memutar cubitannya.
"Awas kalau berani pakai ini di luar rumah."
"Kenapa? Orang-orang banyak yang pakai." Telingaku panas dan perih. "Mas, lepasin telingaku. Sakit ini."
Mas Daru akhirnya melepas jewerannya. Aku langsung berlari menjauh. Menghadap pada Mas Daru, tapi langkahku bergerak mundur. Waspada.
"Enggak, Mas. Aku cuma mau coba. Mana berani aku pakai ini di--"
Eh?
Pungguku membentur sesuatu yang keras. Aku menabrak apa ini?
Saat menoleh, aku mendapati wajah Elard.
"Om? Ngapain di sini?" Aku terheran-heran. Mau apa dia rumahku di jam segini? Perasaan, kami tidak ada janji temu.
Elard tak menjawab. Pria itu malah memalingkan wajah.
"Ih, dicuekin. Om?" tuntutku tak terima digantung tanpa mendapat jawaban.
Aku sudah hendak menarik lengan Elard yang melengos pergi, saat Mbak Arini mendatangi. Perempuan itu memakaikan jasnya Mas Daru lagi padaku.
"Sebentar, ya, Mas Elard. Silakan ke ruang tamu dulu," ucap kakak iparku pada Elard yang berjalan pelan menjauh.
Sementara Mbak Arini mengajakku ke kamar, Mas Daru menjitak kepalaku.
"Untung yang lihat calon suamimu. Dasar nakal!" ketusnya sebelum menyusul Elard.
Salahku apa?
***
Kedatangan Elard ke rumah kami ternyata bukan tanpa alasan. Ayah yang menyuruh lelaki itu. Katanya, ada evaluasi.
Ayah ingin tahu kemajuan apa yang sudah kami lalu setelah satu bulan lebih pacaran. Mengada-ada memang ayahku ini. Bilang saja masih curiga.
Meski tak mengatakan apa-apa, aku sebenarnya yakin jika Ayah curiga pada hubungan kami. Beliau itu terlalu paham jalan pikiranku.
Apa kata Ayah? Evaluasi? Kami harus ikut tes begitu? Yang benar saja.
Ikut duduk di ruang santai dengan Ayah dan Elard, aku menyibukkan diri dengan mengunyah keripik. Tak lama, Mas Daru dan Mbak Arini datang.
Habis sudah. Aku pasti jadi bahan ejekan mereka.
"Jadi, sejauh ini, apa saja yang sudah kamu tahu soal anak saya ini, Elard?" Ayahku memulai.
Ih, benar-benar ada tesnya. Esai ini. Apa tidak sekalian ditulis saja, lalu dikumpulkan?
"Mentang-mentang Om Elard ini mantan mahasiswanya Ayah, pakai ada tesnya. Online kayaknya bisa ini," komentarku tanpa melihat mereka.
"Om?"
Mulutku berhenti mengunyah. Menatap Ayah, aku memberi senyum lebar.
"Kenapa Elard kamu panggil Om? Bukannya dulu Mas?" Ayah ini, masih ingat saja.
"Biar unik, Yah." Aku berkelit. "Kan cuma aku yang panggil dia Om. Spesial gitu."
Ayah menoleh Elard. "Kamu tidak keberatan, El?"
Beruntung, syukur sekali Om itu tidak protes. Dia setuju saja katanya. Bagus.
Aku diam, Om itu mulai menjawab pertanyaan Ayah.
"Dia ...."
Bocah? Aku menebak si Om akan berkata begitu. Sengaja aku sibuk pada keripik di toples. Jangan lihat siapa pun, atau akan ditertawakan.
"Shanaya itu mudah dibuat menangis, ternyata."
Tanganku berhenti sejenak saat akan mengambil keripik. Kulirik dia dengan alis bertaut. Apa maksudnya itu?
"Saya kira, karena wajahnya terkesan judes, dia gak peka sama sekitar. Ternyata, mudah sekali terharu."
"Jadi, dia memang menangis kemarin itu?"
Kali ini aku menatap Ayah tak percaya. Jadi, beliau tahu kemarin itu aku habis menangis? Hebat sekali pura-puranya.
Elard mengangguk. "Saya ajak di ke panti asuhan khusus adik-adik difabel. Baru berkenalan saja, dia langsung menangis parah. Semua orang sampai cemas."
Oh, jadi itu maksudnya? Eh, apa katanya tadi? Wajahku judes? Yang benar saja!
"Lalu?" Eh, Ayah minta tambah.
"Dia baik. Saya jarang, hampir tak pernah bertemu seseorang yang membawakan makanan untuk semua yang tinggal bersamanya, termasuk satpam, supir bahkan asisten rumah tangga."
Kudengar Mas daru bersiul. "Besar kepala dia nanti, Yah. Harusnya dia nggak boleh di sini."
"Kamu sendiri, Shan? Menurutmu, Elard ini pria yang bagaimana?"
Weh, kamera tak kasat mata bergerak padaku. Aku jadi fokus semua orang sekarang.
"Kok aku juga?" protesku pada Ayah. Beliau terlihat tak berubah pikiran, aku mulai kebingungan.
Harus bilang apa tentang Om ini? Yang kutahu tentangnya minim sekali. Paling hanya nama, alamat tinggal dan .... dan kebiasaanya bercinta dengan Vista di banyak tempat dan waktu.
"Om Elard itu ... baik, sopan, rajin menabung, rajin membaca, suka membantu orang lain, pi--"
"Shanaya?" Ayah melotot.
Aku dalam masalah. Aku harus bilang apa?
Menarik napas, aku mulai mencoba serius. "Om Elard itu ... ternyata suka datang ke panti asuhan. Aku kira, dia tipe yang enggak mau memikirkan soalan kek gitu. Baik berarti, ya, 'kan?
"Lalu?"
Bibirku terkatup rapat. Apa lagi yang harus dijelaskan soal Om itu? Pada Ayah aku menggeleng.
Pak Ares, ayahku, mengangguk. Aku bisa melihat beliau tidak puas dengan apa yang kututurkan.
"Akhir bulan ini, kalian tunangan saja."
Mendadak rasa keripik dengan bumbu jagung bakar yang kukunyah jadi hambar. Mata ini langsung melotot. Apa tadi katanya?
"Loh? Kok gitu?" protesku.
"Memang kenapa?" balas Ayah dengan nada keberatan. "Toh, nanti juga kalian akan menikah. Supaya kalian, terutama kamu menanggapi ini lebih serius, lebih baik kalian bertunangan saja dulu."
Aku menoleh pada Elard. Pria itu malah memalingkan wajah, menunduk dan tak memberikan bantahan apa pun pada Ayah.
"Elard .... persiapkan pertunangan kalian untuk akhir bulan nanti."
Usai mengatakan itu, Ayah meninggalkan kami. Baru saja aku hendak suarakan protes pada Mas Daru, Elard malah beranjak dan pergi.
Mulutku menganga melihat tingkahnya itu. Dipengaruhi keputusan sepihak yang Ayah buat, aku jadi kesal. Segera kususul Elard yang ternyata memang hendak pulang.
"Harusnya Om protes tadi!" Aku menarik lengannya, mencegah dia masuk ke mobil.
Pria itu menepis tanganku. Dia menatap nyalang. "Jadi, ini rencana kamu?"
Dahiku berkerut. "Yang kulihat, cuma aku yang tadi berusaha protes di dalam. Kamu diam saja. Kenapa jadi menyalahkan aku?"
Elard berdecih. Dia terlihat muak. Pada siapa? Aku? Kenapa?
"Kalau kamu menanggapi pertanyaan Om Ares dengan benar, seperti yang saya lakukan, saya yakin gak akan ada paksaan pertunangan untuk kita."
Jadi, dia sungguh menyalahkan aku?
"Aku udah melakukan sebisaku, Om," bantahku tak senang. "Aku udah jawab sebisaku. Ke--"
"Kamu harusnya lebih tahu bagaimana sulitnya Om Ares ditipu, Bocah." Dia memelankan suara. "Jawabanmu tadi sangat gak menunjukkan keseriusan. Apa kamu sengaja?"
Menatap mataku dengan tajam cukup lama, Elard akhirnya membuang pandang acak. Pria itu mengembuskan napas kasar lewat mulut beberapa kali. Kulihat otot rahangnya mengeras.
"Terus aku harus jawab apa? Yang kutahu soal kamu cuma itu. Apa iya harus aku mention kalau hobi kamu itu bercin--"
Mataku terbelalak, rasanya akan melompat keluar saat Elard tiba-tiba saja memajukan wajah, menarik kepalaku mendekat dan membungkam bibirku dengan bibirnya.
Gerakannya saat mengecup bibirku, juga saat menyudahi ciuman itu bagai slow motion di mata. Sempat menahan napas, aku pelan-pelan kembali mengisi paru-paru.
Elard mengajak mataku beradu. Pria itu sempat melirik bibirku yang tadi ia kecup tanpa izin. Sumpah, aku melihat dia menyeringai.
"Ini memang rencanamu, 'kan?" Dia berbisik tepat di depan mukaku. Dua tangannya memegangi wajah, agar aku tak bisa berkutik. "Bilang saja, kamu memang menginginkan pernikahan ini."
Kepalaku yang sempat kosong seketika dipenuhi amarah saat mendengar tuduhan Elard. Namun, aku tak sempat memberi bantahan, sebab lelaki itu sudah lebih dulu membisikkan sesuatu tepat di samping telinga.
"Munafik."
Lekas aku mendorong tubuhnya hingga kami berjarak. Dia kembali menyeringai, telapak tanganku langsung melayang ke pipinya.
Aku menampar Om itu.
Dia menghinaku. Dia merendahkanku dengan menciumku tanpa izin. Dan apa? Dia mengatai munafik? Enak sekali dia?
Satu tamparan cukup dan memang pantas dia dapatkan.
Waspada menunggu reaksinya, aku kebingungan kala Elard malah mengeluarkan sebuah cincin dari saku. Berwarna putih, bermahkotakan berlian lumayan besar di tengah.
Pria itu mengambil tanganku, kemudian memasangkan cincin tadi. Aku merasa benar-benar dipermainkan.
Kulepas cincin segera. Kulempar tepat ke wajahnya. Sepertinya mengenai pipi lelaki itu. Membuat ada luka gores di tempat yang tadi kutampar. Berdarah pula.
"Bajingan!" hardikku tak sungkan. "Ka--"
"Shanaya!"
Aku mendengar suara Ayah.
Tubuhku membeku seketika. Mataku yang menatap Elard berkedip satu kali, lalu semuanya menjadi jelas. Aku paham sekarang. Aku mengerti apa yang terjadi di sini.
Aku ... dijebak.
Tepat setelah berbalik, aku menemukan Ayah di balkon kamarku yang memang mengarah tepat ke halaman rumah. Jadi, ini rencana Elard? Dia sengaja memprovakasi hingga aku murka dan melukainya di depan Ayah?
Benar bajingan Om ini.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰