
Happy reading!
Bab 19 - Kesalahan Shana
Warning!
21+
*
*
*
*
*
"Kamu menghindari saya?"
Terkejut, aku menoleh dan menemukan Elard sudah duduk di sebelah. Pria dengan kemeja hitam itu sengaja duduk menghadap ke sini, dengan kaki yang dilebarkan, salah satunya diletakkan di samping kursiku. Dia seperti tak ingin membiarkanku kabur lagi.
Aku memang menghindari Elard. Saat dia datang ke rumah, kemarin. Aku sengaja pura-pura tidur. Dia mengajak pergi jalan-jalan besoknya, dengan alasan kencan, dan aku menjadikan pekerjaan sebagai tameng.
Sekarang, sepertinya tidak ada celah untuk mengelak.
Tadi, kami memang datang bersama. Ini acara ulang tahun anak dari sepupu Elard. Tante Andini yang memintaku ikut, katanya untuk menemani Elard.
Kuusahakan tak terlibat obrolan apa pun dengannya sejak di perjalanan tadi. Pun, sudah sengaja aku memilih tempat duduk yang agak sudut, sementara dia berbincang dengan sepupu-sepupunya.
Namun, usaha itu tampaknya sia-sia. Dia masih saja bisa membaca sikapku.
"Na?"
Aku menatapnya setenang mungkin. "Memang ada alasan untuk aku enggak menghindari kamu?"
"Kenapa?" balasnya dengan wajah serius.
"Aku enggak mau salah paham." Membuang wajah, aku bertanya, "Apa aku boleh pulang duluan?"
Di luar dugaanku, Elard menggeleng. "Kamu lupa kita belum pura-pura kencan dalam minggu ini?"
Memang egois sekali pria satu ini. Dia tak mungkin belum paham maksud ucapanku di mobil tempo hari. Kutebak, dia memang sengaja ingin mempermainkanku.
"Mau ke mana?" kataku pasrah.
Menolaknya hanya akan membuatnya merasa menang dan makin menjadi. Lebih baik, ikuti arus saja dulu. Toh, kencan yang dia maksud tak akan pernah menjadi sebenar-benarnya kencan.
"Ke apartemen saya."
***
Kami tiba di apartemennya pukul sebelas siang. Dipersilakan duduk, aku membuka kardigan untuk dijadikan alas duduk. Elard tersenyum mengejek, kemudian berlalu ke dapur.
Entah apa yang ia lakukan di sana, aku berusaha tidak peduli. Sebagai ganti, aku sibuk mengutak-atik ponsel. Mungkin selang setengah jam, Elard baru menghampiriku.
Pria itu menaruh piring berisi roti bakar dan segelas susu di atas meja.
"Kamu belum makan apa pun sejak tadi," katanya.
Aku menggeleng, masih tidak mengubah posisi duduk. "Lagi enggak selera," tolakku.
"Karena itu saya gak tawarkan nasi. Kamu gak bisa menghargai usaha orang lain, ya?"
Ih, curang sekali. Menuduh begitu, maksudnya agar aku mau mencicipi suguhannya, 'kan? Apa susahnya menyuruh dengan kalimat jelas?
Duduk tegak, aku mengambil selembar roti. Memakannya, dan lumayan terperangah karena rasanya enak. Tadinya ingin makan satu saja, aku jadi menghabiskan empat.
"Kalau kencannya gini doang, ngapain harus ke sini, sih? Di tempat sepupu kamu juga bisa," protesku sebelum meneguk susu di gelas.
Elard menyandarkan punggung ke sofa, kemudian bersedekap. "Jadi, kamu mau kencan yang bagaimana?"
Aku menggeleng dengan wajah menekuk. "Enggak usah. Nanti malah jadi masalah."
Aku juga bersandar ke sofa. Menatapi dia, aku jadi penasaran ingin melakukan sesuatu.
"Om, boleh wawancara enggak?"
Elard menggeleng. Namun, sorot matanya mengatakan sebaliknya.
"Di umur segini, selain bisnis yang sukses, Om pengin apa lagi dalam hidup?"
Tadi itu, waktu di rumah sepupu Elard, aku tak sengaja mendengar sesuatu. Para sepupu Elard membicarakan pria itu.
Si om ini dikatai sukses. Dipuji karena cabang kafenya ada di mana-mana. Namun, sayang. Sampai sekarang belum juga menikah. Mereka heran. Juga bingung, karena tak mampu menebak perempuan seperti apa yang sebenarnya Elard inginkan.
Mendengar itu, aku juga heran. Aku tahu perempuan seperti apa yang Elard inginkan. Vista. Masalahnya, kenapa pria itu tak kunjung membawa hubunganya ke jalur serius?
Karena itu, aku bertanya seperti tadi. Jawaban Elard, pasti tidak jauh-jauh dari pernikahan, rumah tangga dan pendamping, 'kan? Memang hanya itu yang dia tidak punya sekarang.
Menunggu jawaban Elard beberapa saat, aku mengangkat alis keheranan ketika pria itu menggeleng.
"Gak ada," katanya menguatkan jawaban tadi.
"Om enggak kepengin nikah? Punya istri?"
Dia tersenyum miring. "Buat apa?"
Eh? Kenapa jawabannya membuatku emosi, ya?
"Buat apa? Memang, Om enggak mau ada yang temani kalau nanti udah tua?"
"Gak."
"Om mau melajang sampai mati?"
"Iya."
Eh, eh. Cepat sekali dia menjawab. Seolah itu memang apa yang akan dia lakukan.
"Terus, Vista?"
Rahangnya terlihat sedikit bergerak. Kutebak, pria itu tengah terusik dengan pertanyaanku. Biarkan saja.
"Kenapa Vista?"
Aku tak langsung merespon. Alih-alih menjelaskan hubungannya yang rumit itu, aku lebih ingin berandai lewat tanya.
"Kalau misal Vista tekdung, gimana?"
Mampus aku. Air muka lelaki itu terlihat menyeramkan. Matanya memancarkan sorot dingin dan bengis. Seolah aku baru saja melakukan sesuatu yang salah.
"Kamu pikir saya gak memperhitungkan apa pun, Bocah? Saya bukan anak kecil."
Aku mengangguk-angguk saja. Berusaha tak terlihat takut. "Nasib siapa yang tahu, Om?"
"Lalu, kamu sendiri? Kamu gak takut hamil?"
Mataku membola. "Gimana bisa aku hamil?"
Secepat kilat aku berdiri. Memeriksa kardigan yang sejak tadi aku duduki, lalu bernapas lega ketika tak ada bagian yang basah yang teraba telapak tangan. Aku kembali duduk dan menekuk dahi padanya.
"Makanya kalau gituan lihat-lihat tempat, Om." Dudukku tak setenang tadi.
"Kamu mencium saya kemarin, Bocah."
Kutebak, wajahku sudah pias sekarang. Ingatan soal perbuatan kami di mobil kemarin menyeruak. Membuat telapak tanganku pelan-pelan berkeringat.
"Ciuman bisa bikin hamil, Om?"
Terdiam sesaat, Elard kudengar mengumpat. "Sialan. Memang sperma saya ada di mulut, Bocah?"
Aku mengurut dada, lega. Berikutnya, kuberikan tatapan sengit padanya. "Aku jadi penasaran, kenapa kemarin cium aku?"
"Kamu duluan!"
"Kan cuma sekali. Kamu berkali-kali. Malah sambil ngelus-ngelus leher. Kamu enggak lagi berhalusinasi kalau aku itu Vista, 'kan?"
"Apanya yang berkali-kali?"
"Cium. Bibirku kebas karena diisep sama kamu. Malah digigit lagi. Memang, ya. Kelihatan kalau kamu i--"
Tanganku membekap mulut sendiri. Apa yang aku lakukan? Kenapa malah membicarakan hal memalukan begitu?
Aku menatap Elard dengan mata lebar, sementara pria itu makin terlihat tenang. Canggung, malu, aku permisi ke toilet. Namun, belum sempat melewati tempat Elard duduk, pria itu lebih dulu menarik tanganku.
Aku terjatuh di atas pangkuannya. Pria itu menatapku dalam, alarm di kepalaku berbunyi nyaring. Nahas, belum sempat aku melarikan diri dari keadaan bahaya itu, Elard sudah lebih dulu menembakkan peluru.
Lelaki itu mengecup bibirku. Hanya satu kali dengan ritme pelan, selanjutnya ia terasa menggebu. Dia bahkan membalik posisi kami, hingga aku yang duduk di sofa.
Alarm bahaya yang sejak tadi berdenging di kepala, akhirnya pecah dan mati saat kurasakan tangan Elard membelai paha. Napasku serasa tercuri ketika telapak tangannya ada di pahaku yang polos.
Elard terus mengerjai bibirku. Dia berpindah tempat, berlutut di depan sofa. Tubuhnya tepat di antara kedua kakiku yang terbuka.
Tak hanya bibirnya, kali ini lidah dan gigi Elard turut bermain di atas bibirku. Bahkan beberapa kali dia menerobos masuk ke dalam mulutku.
"Saya gak akan berhenti."
Kalimatnya membuat kepalaku pening. Ciumannya turun. Ke dagu, lalu berlama-lama di leherku. Seperti yang ia lakukan di mobil kemarin. Hasratku membumbung tinggi. Aku mendongak dengan napas tak beraturan.
Mataku terpejam saat merasakan bagian bawah dress disingkap ke atas. Elard meraba pahaku makin intens. Dia mengerang, aku melenguh.
Aku tahu ini benar-benar tak akan berhenti. Aku bisa merasakan kalau lelaki yang menjamahku ini sedang sangat berhasrat. Begitu pun aku. Namun, ini salah. Ini benar-benar tidak benar.
"El, berhenti," kataku dengan napas tersengal.
Elard tak peduli. Dia mengecupi bahuku yang sudah tak digantungi tali dress.
"El, berhenti ...."
Aku mendorong dia, tetapi pria itu menepis tanganku. Wajahnya rapat di dadaku.
Mataku kembali terpejam. Ada keinginan untuk berhenti protes dan menikmati perlakuannya yang sungguh memabukkan. Namun, satu sisi diriku menolak ini.
Dalam mata yang tertutup itu, ditengah terjangan gelora hasrat yang makin menjadi, aku melihat bayangan seorang anak laki-laki. Anak laki-laki itu menangis, pipinya biru lebam dan hidungnya berdarah.
Aku tersentak. Seolah baru saja disadarkan. Aku menarik napas, kemudian berucap, "Andaru Tanujaya."
Tidak satu kali, aku menyebut nama itu lima kali. Dan sepertinya, Elard mendengar, hingga perlahan bibir dan tangannya berhenti menyentuh.
Elard menaikkan wajah dari dadaku. Mata kami bertemu, aku melihat ketidaksukaan di sana.
"Andaru Tanujaya?"
Wajah merah Elard membuatku ingin tersenyum. Jadi, pria itu sungguh berhasrat? Padaku? Perempuan yang selalu dia sebut bocah?
Ada apa ini?
"Shana? Kamu menyebut nama kakakmu saat aku yang menyentuh kamu?" tanyanya tak terima.
Aku berusaha menormalkan napas beberapa saat. Jantungku makin berdebar ketika menemukan bahwa bagian bawah dress sungguh terbuka. Setelah lumayan tenang, aku mengangguk.
"Umur Mas Daru mungkin 13 atau 14 tahun waktu itu. Dia pulang pas sore, wajahnya kayak habis dipukuli. Hidungnya berdarah."
"Lalu?"
"Waktu aku tanya dia kenapa, dia bilang jatuh. Tapi, rupanya lebam-lebamnya itu karena dia latihan bela diri sama senior di sekolah. Ayah marah, melarang dia melakukan itu lagi. Tapi, Mas Daru menolak sambil nangis. Kamu tahu apa alasannya belajar berkelahi?"
Elard tak merespon, aku melanjutkan cerita.
"Dia lihat ada kakak kelas laki-laki yang pegang-pegang rambutku. Dia marah, tapi waktu itu belum bisa pukul."
Kulihat mata Elard melebar untuk beberapa saat. Bagus. Dia sepertinya mengerti ke mana arah ucapanku.
"Kamu mau bilang, kalau saya meneruskan ini, kakakmu akan menghajar saya? Asal kamu tahu, saya juga bisa menggunakan tinju."
Aku menggeleng. Tanganku mengusap bahunya yang terasa tegang. "Aku enggak mau Masku pukul atau dipukul orang. Aku enggak mau dia terluka. Jadi, berhenti di sini. Menyingkir dariku, aku enggak mau kamu sentuh lebih jauh."
Bukannya menyikir, Elard malah menyelipkan kedua tangannya di bawah ketiak. Aku dibuat telentang di sofa. Pria itu naik, mengungkungiku.
"Kamu yakin mau berhenti?" Tangannya mengusap lenganku yang terbuka.
"Berhenti, Om." Walau suaraku bergetar, aku berusaha terdengar yakin.
"Kamu menginginkan ini, Na." Dia menunduk, mengecupi bahuku.
Ucapannya benar. Aku memang mengingkan dia. Sungguh, rasanya menyenangkan ketika dia menyentuhku. Namun, ini tidak benar.
"Berhenti, Om. Aku bukan Vista."
Kami bertatapan, rasanya hatiku remuk. Ada sedikit sesal karena aku harus melibatkan Vista di sini. Namun, aku tak punya pilihan. Aku merasa dengan menyebut nama kekasihnya, Elard akan sedikit sadar.
"Kenapa? Apa kamu mau bilang kalau Vista itu perempuan mu--"
Aku menyela, "Aku enggak melarang orang lain, tapi bukan berarti aku mau melakukan hal sama. Kubilang, berhenti. Kalau kamu meneruskan ini, tandanya kamu enggak menghargai aku."
Elard tersenyum. Aku tahu dia memaksakan diri. Matanya mengatakan hal lain sekarang.
"Ayolah, Na. Ini cuma s*x. Apa hubungannya dengan menghargai atau gak? Faktanya, kita sama-sama menginginkan ini."
"Kamu menganggapku binatang?"
Rahangnya bergerak-gerak. Urat di sekitar pelipisnya tampak menonjol.
"Aku sama sekali enggak mau menilai perempuan lain. Tapi, aku enggak mau ditiduri lelaki yang bukan suamiku. Kolot? Terserah. Jadi, tolong. Lepaskan aku. Hentikan ini."
Air mataku jatuh. Rasanya malu sekali. Tadi, memang aku merasa luar biasa senang karena dia sentuh. Sekarang, aku jadi jijik dengan diriku sendiri. Kenapa aku murah sekali? Pria ini bahkan sudah punya kekasih dan aku membiarkannya menjamahku.
Elard menatapi, aku rasanya lebih baik mati. Malu sekali. Dia pasti sudah menghinaku dalam hati.
"Kamu kolot sekali," ucapnya tanpa ada nada bercanda. Tangannya merapikan bagian bawah dressku.
Elard bangkit, dia menarik tanganku hingga aku ikut duduk. Pria itu menaikkan kembali tali gaun yang tadi sempat dia turunkan. Aku hanya bisa menunduk dan menangis.
"Saya antar kamu pulang."
"Aku bisa sendiri."
"Saya antar kamu!" Nadanya naik satu oktaf. Membuatku tak lagi protes. "Tunggu di sini. Saya butuh mandi. Saya antar kamu pulang."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
