I Love You, Om Pacar - Bab 17

1
0
Deskripsi

Happy reading! 

Bab 17 - Pengakuan Elard 

 

Manusia itu kadang punya jalan pikiran aneh. Sementara diriku ini masih bersedih karena kebohongan Lukas, sempat-sempatnya malah memikirkan masalah Elard dan Vista.

Aku kasihan pada Vista. Aku iba memikirkan dia harus bertemu Tante Andini setiap hari, tetapi tak bisa mengatakan kalau dirinya adalah perempuan yang dipacari Elard.

VIsta sudah memberikan segalanya pada Elard. Demi apa pun, mereka sudah tidur bersama. Namun, apa? Elard tak memberikan kepastian apa-apa.

Dasar jantan! Hobinya kawin apa, ya?

Terlebih kejadian kemarin di rumah Tante Andini. Kalau aku jadi Vista, sudah pasti akan kujambak rambut Elard. Bisa-bisanya pria itu bersikap tak kenal, padahal sudah tidur bersama.

Dasar om-om mesum!

Sepulang dari mengontrol toko, aku menyempatkan singgah di salah satu kafe dekat sana. EnjoyMe. Kukira tak masalah datang ke sini, tetapi pada akhirnya aku menyesal sudah melakukan itu.

Elard ada di sini dan pria itu baru saja duduk di hadapanku, tanpa minta izin atau dipersilakan.

Dasar muka tembok!

"Kamu menyetir sendiri?"

Aku berusaha tak terlihat kekanakan. Aku mengangguk tenang. Tidak apa-apa. Sebentar lagi aku juga akan pulang.

"Kenapa? Sepertinya, ada yang berbeda dari kamu."

Oke. Katakan otakku gila, tetapi aku merasa inilah waktunya melakukan pembalasan dendam pada lelaki satu ini.

Aku menatapnya tajam. Berusaha mengintimidasi.

"Bisa bicara sebentar?"

Lelaki itu mengangguk dengan ekspresi angkuh.

"Aku mau membantah tuduhan yang pernah kamu berikan waktu aku di rumah sakit tempo hari."

Dia tersenyum remeh. Matanya bergulir naik dan turun, mirip pria gila yang suka menggoda gadis belia di jalanan atau dalam angkutan umum.

Dasar gila!

"Silakan," katanya terdengar menantang.

"Kamu tahu siapa ibuku?"

"Tante Linka?"

"Linka Hartawan. Anak pertama dari Susilo Hartawan, pemilik salah satu hotel terbesar di kota ini."

"Lalu?" Bola matanya berputar malas.

"Kalau Ibuk mau, dia bisa menjadi pewaris dari Na--"

"Nay's Hotel," potong Elard pongah. "Saya tahu kenapa kamu diberi nama Shanaya. Kamu satu-satunya cucu perempuan dari mendiang Susilo Hartawan."

Bibirku otomatis melipat ke dalam. Aku terkejut kenapa dia bisa tahu hal itu. Berdeham sekali, aku berusaha kembali mengumpulkan keberanian.

"Ibuk punya bagian lima belas persen dari saham di Nay's Hotel. Dan dividen dari sana, sudah jadi milikku sejak usia 20 tahun."

"Oke. Maksud kamu, karena punya uang banyak, kamu berhak disebut dewasa dan gak manja?"

Ah! Kenapa dia bisa mengerti maksudku dengan baik?

"Aku juga punya bisnis," lanjutku berusaha tak terpengaruhi tatapan sinisnya itu. "Meski enggak sebesar kamu, tapi tiga toko kue-ku lumayan menghasilkan. Aku menulis dan itu juga lumayan mendatangkan pendapatan. Singkatnya, tanpa uang bulanan dari Ayah dan Mas Daru, aku masih bisa menghidupi diriku sendiri. Aku bukan benalu!"

Elard tampak menggeleng singkat. "Kamu gak menangkap maksud saya, Bocah," ucapnya pelan.

"Dan satu lagi. Perlu kuingatkan, kakak dan ayahku enggak dungu, yang mau-mau saja aku atur dan mengikuti keinginanku. Aku tahu cara bersikap. Sikapku yang kamu sebut manja itu, kulakukan karena aku tahu itu masih lumrah dan memang aku suka saat mereka mau direpotkan. Itu bentuk kasih sayang mereka, bukan kebodohan." Bicara panjang lebar, napasku sedikit cepat.

Elard di depanku malah terlihat sebaliknya. Dia tenang sekali.

"Kamu mengatakan ini semua demi membantah tuduhanku?"

"Aku enggak senang kamu mengatai ayah dan kakakku terbutakan kasih sayang dan dungu."

Dia tersenyum. Dua tangannya menyatu dan menopang di bawah dagu. "Jadi, karena ucapan saya itu juga kamu mulai menyetir sendiri dan ... memotong rambutmu?"

Aku mengangguk yakin. "Entah kenapa ucapanmu terasa menggangu sekali. Aku enggak suka kamu salahpahami."

Elard tertawa. Pria itu malah terbahak seolah apa yang sejak tadi aku lakukan adalah lawakan.

"Dan kamu gak mau dibilang bocah? Kamu persis bocah yang dituduh melakukan sesuatu, Na."

Membuang wajah, aku menjawab, "Terserah."

Kami sama-sama tak bicara. Meski wajahku menoleh ke samping, aku bisa melihat Elard masih menatapi ke sini. Tak suka dengan situasi tersudut, aku bangkit.

"Aku mau pulang," kataku pamit.

Elard mengangguk saja. Namun, dia mengekori sampai ke tempat parkir. Aku berusaha mengabaikan. Takut nanti kalau aku tanya, dia bilang aku kepedeaan diikuti dia.

Kunyalakan motor, tetapi benda itu tak kunjung mau menyala. Beberapa kali kucoba, tetapi hasilnya masih sama.

"Mogok itu."

Penjelasan Elard hanya kubalas lirikan sewot. Harus hal itu dia sebutkan? Aku juga tahu motorku bermasalah.

Harusnya biar lebih bermanfaat, dia itu memberikan solusi. Alternatif tumpangan yang bisa kunaiki untuk bisa sampai ke rumah.

Apa pesan taksi online saja? Lalu, motorku?

"Ada bengkel dekat sini?" tanyaku padanya.

Dia mengangguk. "Di pertigaan ujung jalan. Biasanya, tutup jam tujuh." Elard memeriksa arloji, kemudian melempar senyum lebar padaku. "Ini udah setengah delapan."

Baik. Aku bingung. Bagaimana caranya membawa motor yang rusak ini pulang? Apa kutuntun saja sampai ketemu bengkel lain?

"Jangan bilang kamu lagi mempertimbangkan mau tuntun motor mati ini sampai rumah," tebak Elard yang langsung kubalas dengan tawa hambar.

Sial. Kenapa dia bisa membaca pikiranku?

"Mau saya bantu?"

"Enggak!"

Dia tertawa. Elard kemudian memanggil seorang karyawannya. "Tolong motor ini disimpan di gudang."

Sepeda motorku dibawa pergi. Aku menatapnya penuh selidik.

"Biar saya antar kamu pulang."

Aku mengangguk padanya dan langsung berjalan ke arah mobilnya. Elard bersikap sok baik dengan berusaha membukakan pintu.

"Aku masih punya tangan," ketusku sembari menutup kembali pintu itu.

Elard terdengar tertawa. "Bocah, bocah," ejeknya sebelum masuk ke kursi kemudi.

Kami berangkat, Elard berusaha membuat konversasi. Beberapa kali aku menjawab dengan gelengan atau anggukkan kepala saja. Saat pertanyaannya menyangkut Riel, aku pun bersuara.

"Saya terkejut waktu tahu mantan suami kamu bekerja di Nay's Hotel. Kenapa bisa?"

"Bisalah. Kenapa enggak?" Aku membuang pandang ke luar.

"Kalian sudah bercerai. Apa dia bekerja di sana sesudah kalian pisah? Mustahil sepupumu masih menerima dia setelah kalian bercerai."

Aku menengok dengan mata menyipit padanya. "Sebenarnya, sebanyak apa kamu tahu soal keluargaku? Kamu tahu yang pimpin Nay's Hotel sekarang sepupuku?"

Ada tarikan senyum di bibir Elard. "Saya kenal Om Ares sejak masih kuliah. Beliau banyak bercerita soal anak kesayangannya."

"Tapi Ayah enggak cerita soal aku yang udah pernah menikah?"

Elard mengangguk. "Karena itu saya sempat gak percaya. Gimana bisa anak kecil seperti kamu menikah?"

Aku tersenyum kecut. "Ya bisa. Dikadalin tapi."

"Dikadalin?"

"Riel pikir aku bakal ambil Nay's Hotel. Dia dekatin aku karena tahu Ibuk itu anak pertama Kakek."

Tiba-tiba saja mobil kami berhenti. Elard menatapku dengan sorot terkejut.

"Maaf," kata pria itu sembari menepikan mobil. "Dia membohongi kamu?"

Aku mengangguk. "Dia kira bisa dapat Nay's Hotel. Nyatanya, sejak awal, baik Ibuk atau aku enggak pernah berminat jadi pewaris hotelnya Kakek."

"Lalu dia menceraikan kamu?"

"Enggak. Aku yang menggugat. Dia menipuku, pun berselingkuh. Yang pada akhirnya aku tahu, kalau ternyata dia dijebak Lukas. Dibuat seolah selingkuh, supaya aku ingin berpisah."

Untuk sesaat, aku melihat ada rasa iba di cara Elard menatap. Aku berusaha tersenyum padanya.

"Karena itu aku benci sekali waktu kamu ngatain aku bocah. Enggak ada bocah yang mengalami hal seburuk yang aku udah alami."

Tak ada suara selama beberapa menit, kupalingkan wajah padanya. "Kenapa masih berhenti? Mobilmu ikut mogok juga?"

"Oke," sahutnya sedikit kaku.

Mobil kembali berjalan, lelaki itu beberapa kali melirik. Aku jadi tak nyaman, maka kukatakan padanya.

"Jangan kasihani aku. Aku enggak suka ditatap kayak gitu."

"Saya bukan hanya kasihan, kalau kamu mau tahu."

"Terus, apa?"

"Rumit. Kamu rumit sekali, Na."

"Aku?"

Dia mengangguk. "Satu kali terlihat judes dan sombong. Di lain hari terlihat sangat keras kepala dan manja. Lalu kamu menunjukkan kelemahanmu, membuat saya ingin selalu memastikan kamu baik-baik saja."

Aku menelan ludah. Mataku yang menatapnya tak berkedip. Jantungku menari heboh.

"Hari ini saya melihat kepolosan dan keluguan di mata kamu, yang anehnya membuat saya frustrasi antara haruskah mencemaskan kamu atau gak."

Mampus. Otakku korsleting. Saat ini, melihat pria itu tersenyum dan mendengar pengakuan barusan, aku punya keinginan gila.

Kenapa aku ingin sekali memajukan wajah, mendekat padanya dan menciumnya?

Shana? Kamu sehat? Sepertinya tidak. 
 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya I Love You, Om Pacar - Bab 18
2
0
Happy reading!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan