I Love You, Om Pacar! - Bab 12

5
0
Deskripsi

Warning! 

18+

Happy Reading! 

Bab 12 - Bantuan 

 

Ini semua demi membuat ayah senang. Kemarin itu, sebenarnya aku sudah punya rencana membawa laptop. Firasatku bilang liburan ini tak akan berhasil, sebagaimana yang ayah harapkan. Namun, benda itu tak jadi kubawa karena dilarang ayah.

Tiga hari, bersama Elard dan Vista tanpa laptop, rasanya benar-benar tersiksa. Aku hanya bisa mengurung diri di kamar. Tak berani keluar, bahkan untuk sekadar menikmati sunrise atau sunset.

Kemarin pagi, aku sudah mencoba keluar. Ingin lihat matahari terbit dari balkon di belakang. Namun, yang kulihat sebelum sunrise malah membuat suasana hati jadi buruk.

Aku melihat Elard dan Vista. Pasangan yang dimabuk asmara itu sedang memadu kasih di balkon belakang kamar mereka yang memang berada tepat di samping kamarku.

Polusi mata.

Aku langsung masuk ke kamar dan melewatkan matahari terbit kemarin. Karena itu, sampai sekarang matahari sudah terbenam di hari kedua, aku masih tidak ingin keluar.

Di atas ranjang, menengok kiri dan kanan, aku merengut dan meratap. Kenapa pergi liburan aku malah makin suntuk? Rasanya ingin sekali keluar, tetapi ragu. Karena sungguh, aku tak mau disuguhi pemandangan Elard dan Vista lagi.

Tidak. Aku bukan cemburu. Sama sekali tidak. Hanya saja ... risih? Ya, risih.

Kuperiksa jam di ponsel. Sudah pukul tujuh malam. Kira-kira, ada Vista dan Elard tidak di luar, ya? Bukan di balkon, kira-kira mereka ada di pantai, tidak?

Aku ingin ke pantai. Melihat-lihat sebentar. Karena, kalau dipikir-pikir, sayang sekali tidak melihat apa pun, sementara sudah jauh-jauh kemari.

Mengintip dari jendela, aku langsung tersenyum senang saat menemukan sisi pantai di depan kamarku cukup lengang. Hanya ada beberapa orang yang lewat. Dan yang paling penting, tidak ada Elard dan Vista.

Menguatkan tekad, aku pun keluar. Turun ke pantai, hatiku langsung disapu dingin yang perih saat angin yang berembus melewati rambut.

Pantai selalu terasa begini sejak hari itu. Menakutkan, dingin dan membuat pedih. Padahal, ini pantai yang berbeda.

Tak peduli sebanyak apa aku berusaha mengenyahkan kenangan pahit itu. Ujung-ujungnya, tetap saja ingatnya ke sana. Maka itu, pantai di hadapanku sekarang berkurang kadar cantiknya.

Awalnya ingin duduk beberapa saat di sini. Namun, sesak dan perih di dada membuat niat itu terkikis. Malas berlama-lama di sini, aku beranjak. Saat berbalik, aku melihat Elard.

"Sendiri?" tanyaku berbasa-basi. Tak ada Vista di sampingnya.

Otakku mulai nakal. Kira-kira, di mana pacarnya Elard itu? Ini baru pukul tujuh malam. Apa sudah tidur? Cepat sekali?

Ah, namanya juga liburan. Pasti lelah. Lelah dihajar Elard tentu saja. Seperti kemarin. Mereka seperti tak tahu tempat saja sampai harus bercinta di balkon yang terbuka begitu.

Uh. Om-om mesum!

Lelaki yang kutanya tak kunjung menjawab. Malah, dia melengos dan berdiri di dekat bibir pantai.

Aku lupa. Kan aku memang obat nyamuk di liburan ini.

Kakiku sudah melangkah semangat menuju kamar. Namun, mata tak sengaja menangkap sosok seorang pria.

Begitu saja langkah terhenti. Jantungku juga ikut diam beberapa detik. Udara di sini seperti bercampur racun, hingga saat aku menghirupnya terasa sakit di sekujur tubuh. 

Bagaimana bisa? Bagaimana bisa dia ada di sini?

Dari sekian banyak tempat?

Astaga. Ini konspirasi. Pasti semesta sengaja melakukan ini, supaya lebih menyakitiku.

Mampus. Dia melihat padaku pula. Tatapanya terlihat seperti orang terkejut. 

Baik. Tarik napas, buang. Tenang. Pura-pura tidak kenal saja. Tenang.

Tidak bisa tenang! Dia ternyata benar-benar menyadari keberadaanku. Bagaimana ini?

Mau bagaimana lagi memangnya?

Gegas aku berbalik, menghampiri Elard. Tak bilang-bilang, aku langsung meraih wajahnya dengan dua tangan. Sedikit memaksanya menunduk. Dia ini kenapa tinggi sekali?

Napasku mulai memburu. Bayangan harus bertatap muka dengan lelaki di sana membuat tubuhku gemetar. Tidak. Aku tidak mau.

Bisa-bisa, aku menangis seperti orang gila. Atau, yang paling parah aku akan membunuhnya. Tidak. Lebih baik kami tidak bertatap muka. Namun, bagaimana cara menghindari?

"Apa-apaan kamu, Bocah?"

Suara Elard membuatku terperanjat. Berkedip cepat, kurasakan ada benda cair yang jatuh dari mata. Pipiku terasa dingin.

Elard berusaha menjauhkan dirinya. Aku menarik pria itu agar mendekat lagi.

"Tolong aku ...." Aku memohon pada Elard. Kutatap dia putus asa. Wajah kumajukan lagi.

"Selamatkan aku, please. Sekali ini aja."

Kutahan agar tangis tak segera pecah. Di depan Elard, aku menunduk. Saat pria itu memilih untuk diam saja dan tak merespon permintaan, maka aku nekat menciumnya.

Hanya kecupan singkat. Setelahnya, mataku yang tadinya terpejam, kembali terbuka. Namun, tak berani menatap Elard.

"Maaf. Sekali ini aja. Tolong aku. Tolong diam aja," bisikku penuh permintaan.

Diam berarti iya, kumanfaatkan diamnya Elard itu. Tanganku mengalung erat di lehernya. Kembali kupertemukan bibirku dengan bibirnya.

Aku memohon dalam hati. Semoga lelaki di sana itu melihat adegan ini. Semoga ini bisa membuatnya sungkan, kemudian tak jadi menghampiriku.

Pergi saja. Kumohon pergi saja.

Bukan besar kepala. Aku sangat yakin lelaki itu memang mau mendatangiku. Dan aku tak sanggup kalau harus bertemu mata dengannya. Apalagi mendengar dia bicara. Bisa mati aku.

Meski yang kulakukan pada Elard ini juga pasti akan membuatku kehilangan nyawa. Namun, nantilah memikirkan itu.

"Laki-laki, kaus biru. Di belakangku." Kunaikkan pandang hingga bisa bertemu mata dengan Elard. "Dia udah pergi?"

Kudapati mata Elard bergerak. Tatapan pria itu terpaku pada satu objek di balik punggungku untuk beberapa saat, sebelum akhirnya kembali mengunci mataku.

"Belum," katanya nyaris tanpa menggerakkan bibir.

Kakiku sudah gemetar. Pun, aku sudah membuat adegan seolah sedang bermesraan. Kenapa dia belum juga pergi? Apa dia mau menunggu sampai aku dan Elard selesai?

Sekarang harus apa?

Pura-pura mati?

Tak ada yang bisa kulihat, selain bibirnya Elard yang sedikit terbuka. Jadi, tak punya pilihan lain, aku pun kembali menjadikannya tameng.

Bibirku mengecup bibir bawah Elard sebentar. Menaruh kening di atas dahinya, aku memejam. Hujan dari mata tumpah makin banyak.

Bisakah ini disudahi saja. Sungguh, aku sudah tak sanggup.

Apa tidak bisa tiba-tiba ada petir saja? Apa pun bolehlah, asal lelaki itu segera pergi. Aku tak mau bertemu dengannya.

"Maaf," ucapku lagi pada Elard, setelah barusan kembali menyesap bibirnya. "Sekali ini aja," bibirku kembali menempel di bibirnya.

Saat hendak menarik diri, aku malah tersentak dan akhirnya tak mampu bergerak. Elard menggigit bibirku.

Sial. Kakiku jadi selembek agar-agar sekarang. Kenapa perutku mulas?

"Diam, Bocah." Elard memiringkan wajahnya.

Aku memejam saat merasakan bibir lelaki itu bergerak-gerak di atas bibirku. Rangkulan lenganku di lehernya otomatis menguat saat lidah pria itu menggelitik permukaan mulutku. Rasanya jiwaku dihisap keluar dari raga, saat bibirnya itu menyesap milikku. 

Dicium Elard, aku masih harus memusingkan lelaki satu di sana. Takut, sedih, gemetar, susah napas, panas, dingin, geli. Kenapa aku tidak langsung mati saja? Kenapa semua siksaan ini harus kutanggung bersamaan?

Entah berapa lama aku membiarkan Elard memegang kendali, menguasai adegan ciuman itu. Saat dia menyudahi pagutannya, aku mendapati kami sudah berdiri sangat rapat.

Tepat di depat mataku, Elard yang napasnya tersengal memberitahu, "Dia sudah pergi."

Aku langsung menarik tanganku darinya. Hal itu membuat tubuh langsung jatuh terduduk di pasir pantai.

Sial.

Sakit sekali.

Berulang kali berusaha mengusapi mata atau menelan tangis. Aku selalu saja gagal. Pada akhirnya, aku bangkit.

"Nanti, nanti aku jelaskan. Sekali lagi, maaf," ucapku lirih tanpa menatap Elard.

Meninggalkan dia, aku memilih duduk di pinggir pantai. Menatapi permukaan air yang menari-nari karena angin dan ombak, aku biarkan air mata terus jatuh.

Biarkan saja tangisku tumpah sesuka hati. Aku sendiri tak punya kekuatan untuk membendungnya.

Sial.

Kenapa masih sakit sekali, ya?

Kenapa semesta ini jahat sekali? Dari sekian banyak tempat, haruskah dia di sini, saat aku juga di sini?

Dia tadi berdiri di sana. Sangat dekat dengan jangkauanku, tetapi juga sudah sangat jauh.

Kenapa aku tidak bisa menghadapinya saja? Berjalan melewatinya dengan kepala tegak, seolah sebelum ini kami tak pernah kenal. Kenapa aku tak bisa bersikap begitu pada si lelaki jahat itu?

Sial.

Aku menepuk dada yang terasa amat sesak dan sakit. Agaknya, aku perlu periksa setelah ini. Sepertinya, ada yang terluka parah di dalam sana.

Puas menangis, mulai kedinginan, aku pun bangun dari duduk. Dejavu. Saat berbalik, kembali aku menemukan Elard di belakang.

Lain seperti tadi, kali ini pria itu duduk di atas pasir. Matanya langsung menatap garang padaku.

Haduh.

Ini yang namanya mengatasi masalah dengan masalah lain.

Mampus.

Sejak awal, harusnya ajakan ke sini memang kutolak saja.

Elard berdiri. Pria itu menepuk-nepuk bagian belakang celananya. "Saya cuma berjaga-jaga. Siapa tahu kamu lompat ke tengah laut."

Meski diejek, aku merasa lebih baik. Daripada dia menyemprot dengan makian karena sudah kucium tanpa izin.

Aku mendatanginya. Menyatukan dua tangan di depan dada. Kubuat senyum di bibir.

"Aku benar-benar minta maaf. Aku enggak bermaksud, tapi yang terpikirkan otakku cuma itu. Kalau aku cuma gandeng tangan kamu, dia masih punya kesempatan untuk menghampiri. Jadi, kupikir, kalau kita ciuman, dia akan sungkan mendatangi."

Elard tampak tersenyum sinis. "Itu bukan ciuman, Bocah," ejeknya tanpa menyembunyikan nada geli di suara.

Dahiku berkerut. "Setidaknya, kalau dia lihat dari belakang, itu kayak ciuman. Pokoknya, yang tadi itu berhasil bikin dia pergi. Sekali lagi maaf, dan ... makasih."

Tak mendapat balasan apa pun dari Elard selain tatapan mata seakan ingin menguliti, aku pun mulai berjalan.

"Mau ke mana?"

Ternyata dia mengekori. "Kamarlah. Memang mau ke mana lagi?"

"Jangan aneh-aneh. Saya gak mau repot ngurus orang putus asa."

Aku mengangguk. Paham ke mana arah kalimat itu. Mungkin dia takut aku melakukan hal aneh di dalam kamar. Tidak akan. Aku juga tahu diri. Tak akan kubuat dia susah di sini. Kan sejatinya, dia kemari karena ingin liburan dengan Vista. Setuju pada permintaan ayah hanya alasan.

Ngomong-ngomong soal Vista. Aku berbalik dan berjalan mundur. "Vista enggak mungkin lihat yang tadi, 'kan?"

Dia merespon dengan memutar bola mata.

"Kalau bisa, jangan kasih tahu dia, ya? Ribet."

"Jangan mengajari saya, Bocah," sahutnya ketus. "Berhenti kamu!"

Aku spontan berhenti berjalan. "Kenapa?"

Dia membalik tubuhku. "Dasar bocah! Jalan saja masih harus diajari!" Lelaki itu melewati dan pergi ke kamarnya.

Aneh. Siapa yang harus diajari? Kan tadi itu aku ingin bicara padanya, karena itu berjalan mundur. Dasar om-om! Sukanya mengomel! 
 

....

Saya penasaran. Gimana perasaan Elard waktu dicium bocah, ya? Si Om itu beneran mau tolongin Shana atau .... 
Ih, ngeri.

Terima kasih untuk Wankawan yang udah baca sampai bab ini. Sehat selalu. 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya I Love You, Om Pacar! - Bab 13
4
1
Happy Reading!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan