
Pertama kali bertemu Elard, aku masih berusia 8 tahun. Masih bocah, tetapi dengan lantangnya aku berkata pada ayah, kalau ingin menikah dengan lelaki itu.
Bertahun-tahun berlalu, aku kembali bertemu Elard. Umurku sudah 28, bukan bocah lagi, tetapi Elard masih sama saja. Pria itu masih menganggapku anak kecil.
Beruntung untukku, ayahku dan ibunya Elard merencanakan perjodohan. Tentu tak akan kutolak. Walau aku tahu Elard tak punya perasaan apa-apa padaku, pun dia sudah punya kekasih.
Tak apalah hanya...
Bab 1-Live Action
Tadi itu sepertinya Elard tidak menyebutkan nomor apartemennya. Aku sudah sampai di gedung yang ia beritahu. Namun, tak tahu harus mengetuk pintu yang mana.
Kuputuskan untuk menghubungi pria itu. Sempat tidak dijawab, percobaan kedua baru berhasil.
"Aku udah di apartemen kamu. Nomor berapa?"
Elard menyebutkan nomor, kemudian langsung mematikan sambungan. Tak mempermasalahkan itu, kakiku segera bergerak.
Pintu kamar itu baru kuketuk dua kali, Elard sudah langsung membukanya. Aku dipersilakan masuk tanpa suara. Mengekori langkahnya, jantungku rasanya menari-nari heboh.
Ini pertemuaan pertama kami setelah bertahun-tahun. Kurasa setelah 20 tahun. Belum lagi, jumpa kali ini kami akan membahas sesuatu yang penting.
Perjodohan.
Lama tak saling mengabari atau berjumpa, tiba-tiba saja orangtua kami memberitahu bahwa mereka ingin kami menikah. Aku tentu tak akan menolak. Aku sudah naksir dia sejak umur 8 tahun. Pernah naksir, tolong dicatat. Namun, sepertinya Elard tidak begitu.
Dari caranya merespon pesan-pesan yang kukirim, pria itu agaknya menentang perjodohan ini. Dia bahkan terus-terang mengaku bahwa aku ini bukanlah wanita tipenya.
Kupikir, itu karena dia belum melihatku lagi, setelah 20 tahun berlalu. Karena itu, aku mencetuskan ide ini. Kami harus bertemu, jumpa muka, agar dia tahu kalau aku bukan bocah ingusan yang bertahun-tahun lalu mengaku suka padanya.
Namun, setelah sampai di apartemen ini, aku jadi paham. Elard memang tak tertarik pada perjodohan ini.
"Aku mengganggu?" tanyaku dengan nada canggung.
Seorang perempuan muda keluar dari kamar Elard beberapa saat tadi. Mengenakan kemeja Elard, tak terlihat seperti teman kantor yang datang untuk urusan pekerjaan.
Aku menemukan ada bercak merah di leher jenjang perempuan bertubuh bagus itu.
Wajahnya berseri-seri.
Elard yang tak mengenakan kaus dan hanya memakai celana pendek, berdiri tepat di depanku. Pria itu menggeleng, matanya menghunus tepat ke mataku. Seolah sedang meneliti.
"Kenalkan," katanya. "Ini Vista, pacarku."
Aku hanya bisa mengangguk paham. Tidak ditawari, aku mendaratkan bokong di sofa Elard. Untuk sesaat, tatapanku nanar.
Jadi, ini? Ini alasan dia bersikap enggan pada perjodohan kami?
Kurasa aku bisa mengerti sekarang.
Menoleh pada Elard yang tampak mengerutkan dahi, aku berusaha mencari solusi. Ini rumit. Jauh lebih rumit dari dugaanku.
"Kenapa? Kamu gak nyangka kalau aku punya pacar?" Elard bertanya sembari ikut duduk. Pria itu menarik pinggang Vista, membuat perempuan itu duduk di atas pangkuannya.
Mereka berhadapan. Mereka berciuman. Elard mencium Vista tepat di depan mataku.
"Aku enggak pernah dengar. Pun, kamu enggak gamblang memberitahu."
Rasanya kakiku lemas. Perutku geli menyaksikan live aksi Elard dan kekasihnya itu. Tadinya hanya berciuman, sekarang mereka sudah saling menyentuh dada masing-masing.
Mataku spontan memejam. Jemari kakiku menekuk, saat telinga disuguhi suara melenguh dari Vista yang menengadah. Mengintip dari salah satu mata, aku mendapati wajah Elard sudah di dada perempuan itu.
Sepertinya aku ini memang menggangu mereka.
"Jadi?" Pertanyaan Elard itu diselingi deru napasnya yang berat. Bisa kulihat ada kabut nafsu di matanya.
Padanya, aku mengangkat bahu. Masalah kami tidak sesederhana aku setuju atau tidak. Ada orangtua kami di belakang semua ini. Terlebih ayah, yang sangat berharap aku bisa bersanding dengan Elard.
Elard kembali mengernyit ke arahku. "Kamu masih mau meneruskan perjodohan kita?"
"Kamu berniat menikah dengan Vista?" balasku cepat.
Pria itu diam. Bibirnya yang terkatup rapat berkedut. Penilaianku bilang, dia marah. Pada ada? Pertanyaanku?
Selanjutnya kulihat Vista bangkit dari pangkuan Elard. Tanpa menoleh padaku atau bilang sesuatu, dia pergi ke kamar lagi. Elard mengusap wajah kasar.
"Aku menolak ini," putus Elard cepat dan tegas.
Aku mengangguk. "Aku tahu. Tapi, kamu tahu. Masalah kita bukan sekadar kita mau atau enggak."
"Memang apa lagi?" Nadanya sedikit meninggi.
Sedang berusaha memikirkan kalimat tepat untuk disuarakan, mataku malah bergerak usil ke perut Elard. Samar-samar ada otot yang terbentuk di sana. Pandanganku terus turun, sampai akhirnya berhenti di sesuatu yang menonjol di antara kakinya.
Kelopak mataku langsung berkedip cepat. Buru-buru kupalingkan wajah ke mana saja.
"Lihat apa kamu?"
Yah. Mati aku. Dia sadar mataku sudah melecehkannya. Bagaimana ini?
"Lihat apa kamu, Bocah?"
Langsung aku melotot padanya. Siapa yang dia katai bocah? Aku?
"Aku bukan bocah lagi," sergahku tegas. Sekuat tenaga kuperintahkan mata untuk tak bergerak dari wajahnya. Sumpah, itu dadanya kenapa bisa terlihat bidang sekali?
"Bagi saya, kamu tetap bocah. Usia saya 40 tahun ini." Dia menyeringai.
"Aku udah 28," sahutku tak mau kalah.
Tiba-tiba aku penasaran berapa usia Vista.
Elard tertawa renyah. "Kamu tetap masih kecil," ulangnya dengan senyum mengejek.
Aku membisu. Mataku tak berkedip padanya. Sebenar-benarnya sedang masih memikirkan solusi untuk masalah ini.
"Dengarkan saya baik-baik," Elard memajukan tubuh, menyangga dua sikunya di lutut. Mata dengan iris hitam itu berkilat kejam padaku.
Nyaliku ciut sebenarnya. Namun, aku tak mau menunjukkan itu. Kutatap dia dengan alis menyatu.
"Saya sudah punya kekasih. Vista. Pun, saya bahagia dengan dia, hubungan kami selalu panas dan bergelora."
Matanya yang bergerak naik turun membuatku merasa dihina. Namun, bibir ini tetap bungkam.
"Apa kamu mau jadi orang ketiga? Sekalipun yang meminta saya adalah Ibu saya, saya tak akan luluh dengan mudah."
Tidak akan luluh dengan mudah. Artinya, ada kesempatan, walau kecil.
"Dan juga, saya masih belum punya keinginan untuk menikah. Terlebih, dengan kamu."
Aku masih tak buka suara. Kepalaku ini malah sedang memutar ingatan saat pertama kali bertemu dia. Dua puluh tahun lalu.
Saat itu dia sudah berusia 20 tahun. Di mataku, dia itu sungguh pria idaman. Kuliah di kampus bagus, kata ayah salah satu mahasiswa favoritnya. Pun, wajahnya tampan sekali.
Entah karena saat itu dia mahasiswanya ayah, jadi dia bersikap sangat baik padaku. Beberapa kali mengantar tugas, Elard selalu membawakan coklat. Aku yang polos menganggap itu adalah bentuk dari rasa tertarik.
"Ayah, aku suka Mas Elard."
Begitu kataku pada ayah dulu. Ayah menanggapi dengan tawa.
"Aku mau menikah dengan Mas Elard, Ayah."
Tawa ayah makin keras saat itu. Katanya, aku harus rajin belajar, agar bisa menjadi istri Elard. Dan, ya, dulu aku menjadi lebih rajin belajar setelah mendengar itu.
"Bocah."
Panggilan Elard mengoyak lamunanku. Padanya, aku berkedip pelan.
"Vista itu umurnya berapa?" tanyaku dengan suara pelan dan tatapan tenang.
Elard tersenyum sinis. "Dua empat," jawabnya dengan satu alis meruncing.
"Kenapa dia enggak kamu panggil bocah?"
Lelaki itu menarik sudut bibirnya. Aku bisa melihat kerut tanda kematangan di ujung matanya. Bukannya mengurangi kadar ketampanan, malah membuat pria satu ini jadi makin panas.
"Dia bukan bocah. Saya gak mungkin meniduri bocah." Dia membantah yakin sekali.
Aku bungkam lagi. Memandangi wajahnya, detak jantungku makin heboh. Jadi ingin bertanya pada diri sendiri.
Apa aku masih naksir Elard? Apa keinginan untuk jadi istrinya masih ada? Dia benar. Usia kami lumayan jauh. Alih-alih memanggilnya Mas, kurasa lebih teat kusematkan panggilan Pak pada dia.
Aku terkesiap saat mendengar pintu diketuk. Elard beranjak dari kursi dan memanggil Vista. Perempuan itu keluar dari kamar saat si lelaki sudah menuju pintu.
"Makanannya udah datang," Elard yang kembali dengan kantung makanan di tangan memberikannya pada Vista.
"Bapak mau makan sekalian?"
Ih, Bapak. Aku keduluan rupanya. Memasang wajah masam, aku memalingkan pandang ke kiri.
Detik kemudian, aku tak mendengar Elard menjawab. Malah suara decap basah yang kutebak berasal dari bibir dua orang tadi.
Tepat, saat aku menoleh, Elard sedang melumat bibir Vista.
Ganas. Panas. Live aksi itu ada lagi.
Dasar tua bangka!
"Kamu siapkan dulu. Saya mau urus tamu kita."
Elard kembali fokus padaku. Sementara Vista sibuk di dapur.
"Saya gak mau melanjutkan ini. Pembicaraan kita selesai," tuturnya tak terbantahkan.
Sadar diusir, aku berdiri dari duduk. "Aku pamit, ya. Pulang dulu."
Saat sudah berbalik, lenganku malah dicekal olehnya. Seketika seluruh rambut di tubuhku ini berdiri. Aku meremang, merasakan kulit telapak tangannya di kulitku. Tanpa penghalang.
"Bilang sama Om Ares, kalau kamu gak mau dijodohkan sama saya. Karang alasan apa pun. Bilang saya udah tualah, om-omlah, atau apalah. Yang penting, perjodohan ini batal."
Berkedip padanya, aku mengulas senyum. Lelaki ini memberiku ide nama panggilan.
"Om," kataku dengan senyum makin lebar. Panggilan itu rasanya tidak buruk.
"Kenapa kamu senyum?" tanya Elard tak paham.
Aku menunjuk tangannya yang masih memegangi pergelangan tanganku. "Tolong, Om. Lepasin tangan aku."
Elard langsung melepas tanganku. Wajahnya dihiasi ekspresi tak terima.
"Ingat yang saya bilang tadi."
Kepalaku mengangguk. "Pulang dulu, ya, Om." Dengan senyum lebar, aku pun pergi dari apartemen itu.
Dia bilang apa tadi? Berusaha membatalkan perjodohan? Kok aku tidak setuju, ya? Sepertinya seru kalau punya pacar om-om.
....
Hola!
Salam kenal dari Om Elard.
Untuk bab permulaan ini, gimana kesannya? Boleh dikasih tahu, ya?
Terima kasih sudah mampir. Sehat selalu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
