HHS - Bab 46

21
8
Deskripsi

Selamat membaca. Sehat selalu. 

Hari-Hari Sere - Bab 46 (Morat-Marit) 

 

Pulang bekerja sore ini, Goklas langsung disambut bau harum mentega yang dipanggang. Dengan langkah bersemangat ia masuk ke rumah, kemudian pergi ke dapur. Sere di sana, seperti dua hari belakangan.

Perempuan itu menjual kue. Pekerjaan yang wanita itu maksud rupanya berdagang kue. Sere membuatnya di rumah, jika ada yang memesan. Dan sungguh, Goklas senang sekali. Sere akan seharian di rumah, tetapi wanita itu juga bisa bekerja.

"Bolu pandan lagi?" tanya Goklas seraya menuang air ke gelas.

Si istri yang sedang merapikan meja makan menggeleng. "Lapis yang belakangan viral itu."

Yang mana? Goklas bertanya dalam diam. Namun, tak ia suarakan. Yang pria itu tanyakan selanjutnya adalah, "Bagi aku nanti cicip, ya?"

Bukan apa-apa, Goklas baru tahu jika istrinya si garang ini bisa membuat kue-kue semacam itu. Kemarin Sere mendapat pesanan bolu kukus coklat. Goklas kebagian mencicip sepotong. Dan itu enak sekali. Mirip dengan kue-kue mahal yang dijual di toko.

Bolu pandan Sere semalam juga sama. Wangi dan lembut sekali. Jadi, untuk pesanan yang kali ini Goklas juga tak mau melewatkan kesempatan mencicipi.

"Pinggir-pinggirnya aja, ya? Pas seloyang ini soalnya." Sere memberitahu.

Goklas mengangguk dengan mata berbinar. "Sempat tadi kau masak?" Pria itu memeriksa tudung saji. Ada tahu semur di sana.

Ia mengambil piring. "Udah makan kau, Sere?" tanyanya seraya menuju meja tempat penanak nasi.

"Abang enggak makan lagi tadi di sana?"

Kembali ke meja makan, Goklas menjawab, "Makan." Ia menarik kursi, lalu duduk. Menyendok lima potong tahu ke piring, lalu mulai makan.

"Kok kayak lapar kali?" Sere meninggalkan sejenak wadah-wadah kotor bekas mengadon kue. Perempuan itu duduk di sebelah Goklas. "Kenapa tanganmu ini?" Ia terkejut menemukan luka gores memanjang dari bahu kiri, hingga siku dalam Goklas.

"Kena kawat," jawab si suami. "Tadi di sana nasinya nggak enak. Keras."

Berdecak jengkel, Sere beranjak dari kursi. Ia pergi ke kamar, mengambil tas kecil tempat menyimpan obat. Selagi Goklas makan, ia obati luka di lengan lelaki itu.

"Makanya kalau kerja pakai kaus yang ada tangannya, Bang. Jangan yukensi kek gini." 

"Panas." Goklas membawa satu suapan nasi ke depan mulut Sere. "Nah, suap sekali. Enak tahunya."

Dahi Sere berlipat. "Aku yang masak tahu itu. Tahu aku enak."

"Iya. Nah, sekali." Pria itu tersenyum simpul ketika Sere membuka mulut. Bibirnya ikut terbuka ketika Sere menerima suapan itu.

Hal yang membuat Sere tersenyum. Wanita itu mulai hapal kebiasaan Goklas yang ini. Tiap kali dia menyuapi Sere, mulutnya akan ikut terbuka. Seperti ibu-ibu menyuapi anaknya.

Goklas menghabiskan makan sorenya dengan wajah semringah. Pria itu membiarkan istrinya menjauh. Sere kini tengah mengeluarkan kue yang tadi menguarkan bau wangi dari oven. Perempuan itu membawanya ke meja makan.

"Wangi kali," puji Goklas sungguh. Ia bahkan berdiri dari kursi untuk bisa berdiri di sebelah Sere dan melihat lebih dekat. "Pindahkan-lah."

"Tunggu dingin."

Goklas mengangguk. Pria itu tidak kembali duduk, tetapi memperhatikan Sere yang lanjut membereskan meja. Awalnya menontoni, pria itu ikut menyisihkan plastik dan cangkang telur.

Pria itu mondar-mandir antara meja makan dan keranjang sampah yang letaknya di dekat bak cuci piring. Lalu setelah meja makan bersih dari barang-barang dan juga sampah, tibalah hal yang Goklas tunggu. Mengeluarkan kue lapis itu dari loyangnya.

"Pisau?" Goklas membawakan pisau yang biasa Sere gunakan untuk memotong kue. Ia setengah berlari menuju meja makan lagi.

"Pinggirnya aja samamu, ya. Punya orang ini." Sere menggeser loyang usai kuenya dikeluarkan. Perempuan itu mengulum senyum seraya mulai memotong pinggiran kue.

Empat sisi kue itu dipotong hingga rapi. Goklas menontoni dengan sabar dan bibir tergigit. Ia tak sabar merasai, meski hanya diberi potongan tipis.

"Nah, coba rasa." Sere menyuapkan seiris pada Goklas. "Enak?"

Mengunyah beberapa kali, Goklas mengangguk antuasias. "Enak." Ia kutip seluruh irisan kue tadi dari piring kecil, lalu dihabiskan dalam satu kali suap. "Habis?"

Pria itu agak cemberut, tetapi tak berani menyuarakan protes. Ia sedang minum, saat Sere menyuarakan pertanyaan soal ganti rugi mobil Anton.

"Kau itu terlalu berlebihan, tahu." Sere memulai dengan sebuah protes. "Berapa juta uangmu habis? Harus bayarin mobil Anton, juga ganti kerusakan mobil kawanmu itu. Apa enggak sayang?"

Yang langsung Goklas sahut dengan gelengan kepala. "Banyak uangku."

Sere menyipit. "Masih enggak mau kau kasih tahu dari mana uangmu yang banyak itu?" Ia terlihat jengkel dan malas menanggapi kesombongan sang suami.

Menyandarkan punggung, Goklas menatapi kue lapis berbentuk kotak itu dengan mata berbinar. Warna coklatnya mengkilat, pinggirannya terlihat rapi dan berminyak, menggiurkan. Irisannya saja terasa lembut, apalagi kalau Goklas bisa dapat sepotong utuh?

"Abang!"

Panggilan itu membuat Goklas terperanjat. Ia jawab pertanyaan Sere tadi. "Dulu, opungku kasih warisan. Kan aku anak sulung, cucu panggoaran pulak. Ada sikit tanahnya dikasih samaku pas meninggal dulu."

Sere mengangguk paham. "Di mana tanahnya?"

"Di Riau."

Si istri menyipit. "Riau? Kelapa sawit?"

"Kok tahu?" timpal Goklas heran. Ia tidak merasa pernah bercerita soal tanah warisan itu.

Sementara itu, Sere kini membekap mulutnya dengan tangan. Matanya melebar takjub. "Bang, kau orang kaya?"

"Hah?"

"Sawit di Riau? Pantas kau bisa beli truk enam ratus juta!" Wanita itu menggeleng heran. Matanya tak berhenti berkedip takjub. "Berapa hektar?"

"Sedikit." Si lelaki tersenyum tipis.

"Sejak kapan kau kelola? Kenapa enggak pernah Abang ke sana?"

"Udah sepuluh tahun kayaknya. Ada Bapa Uda di sana. Jadi, aku pantau dari sini aja. Kadang, kalau memang perlu, baru pergi ke sana."

Sere mengangguk. Ia berkata, "Harusnya enggak perlulah kau kerja jadi supir lagi, Bang. Cukuplah hasil tanah itu menghidupi kau."

Goklas mengangguk. "Tapi,  mana enak makan hasil warisan, Sere. Enak hasil keringat sendiri. Biarkan hasil tanah itu kusimpan. Kalau perlu, baru dipakai. Masalah uang untuk kebutuhan kita, masih bisa kucari."

Sembari bicara, mata Goklas tak berhenti menatapi kue di meja. Pria itu sungguh menginginkan itu. Jadi, dia berkata, "Berapa pesan kue kayak gini, Sere?"

"Kenapa?"

"Buatkan samaku satu? Nggak puas cuma makan irisan pinggir-pinggirnya." Pria itu tersenyum malu. "Bisa?"

Sere mengangguk. Perempuan itu menatapi wajah Goklas sesaat, sebelum bersuara lagi. "Bang."

"Hm?"

"Mau kau punya anak?"

Pertanyaan yang membuat Goklas memindahkan tatap dari kue secepat kilat. "Apa?" Ia minta Sere mengulang tanya.

"Belum datang bulan aku hari ini," keluh si istri dengan wajah ditekuk. "Rencanaku mau cek, udah kubeli tadi test pack."

Padahal Sere sudah yakin ia tidak hamil. Keram kemarin itu adalah keram yang biasa ia alami sebelum datang bulan. Namun, sampai sekarang belum juga. Ia pun curiga.

Goklas menyipit. "Mau kau tipu lagi aku, Sere?" tuduhnya. Goklas tak mau diperalat macam tempo hari.

Sere menggeleng. "Enggak, loh. Makanya suntuk kurasa. Kalau betul hamil aku, cemana?" Perempuan itu berdecak susah.

"Cemana apa?" Goklas agak heran. "Nggak mau kau punya anak?"

Sere menatapi meja. Perempuan itu menimbang sesaat, kemudian berkata, "Sebenarnya, belum mau."

Terlihat kecewa, tetapi Goklas berusaha mencerna. Ia ikut diam, memikirkan. Sere belum ingin hamil, pasti karena sebuah alasan.

Mungkin karena proses mengandung hingga melahirkan yang begitu sulit dan menakutkan. Sedikit banyak Goklas tahu itu karena hampir tiap malam Uli menelpon Sere untuk mengeluhkan banyak hal. Mulai dari mual, ngidam, dan banyak perubahan tubuh lainnya yang dialami. Sere mungkin mencemaskan semua hal itu, atau memang wanita itu merasa belum siap secara mental.

Goklas agak sedih. Bagaimana juga, ia ingin seorang anak. Apalagi di usianya yang sekarang.  Namun, mau bilang apa? Yang mengandung bukan dirinya, jadi keputusan Sere-lah yang harus diikuti.

Goklas tidak mau kalau ia bersikeras, Sere akan merasa dipaksa. Lalu, perempuan itu akan bilang, 'Aku bukan mesin pencetak anak'. Kemudian mereka akan bertengkar, lalu Sere akan membencinya. Tidak, Goklas tak mau itu terjadi.

Rumah tangganya sudah lumayan tenang. Jadi, jangan sampai ada bibit badai lagi.

Pria itu menghela napas. "Ya udah, kalau kau belum mau," ujarnya memberi kebebasan. "Aku ikut kau aja. Kalau nanti hasilnya betul hamil, kita ke dokter?" Ia berusaha tersenyum, meski sebenarnya tidak rela.

Sere yang mendengar itu makin melipat dahi. "Kok gitu?" protesnya tidak terima. "Kau enggak mau anak dari aku?"

"Mau. Tapi, kalau kau belum siap? Nanti, kau bilang pulak semua gara-gara aku."

Sere mengentak kaki. "Ah, Abang ini ntah cemana?" Ia memukul lengan lelaki itu. "Aku ikut kau ajalah! Nanti kita tes, kalau garis dua, aku terserah apa katamu!"

Goklas bingung. Ia sudah berikan kebebasan Sere menentukan, tetapi perempuan itu malah marah. Istrinya malah bilang mau ikut keinginan Goklas saja.

"Mauku, ya, kau hamil, Sere." Goklas berusaha jujur. "Udah tua aku, kapan lagi punya anak."

"Ya udah! Aku ikut Abang. Kalau Abang mau, biar aja aku hamil."

Usai mengatakan itu, Sere beranjak dari kursi. Wanita itu pergi ke kamar mandi, melakukan tes-nya. Setelah mendapat hasil yang sudah ditebak, ia menghampiri Goklas lagi.

"Hamil, Bang." Ia letakkan alat tes itu di atas tisu di meja. "Dua garisnya." Perempuan itu terlihat pasrah, tetapi juga cemas.

Goklas mengambil benda kecil itu, lalu senyumnya mengembang. Mata pria itu berbinar. Binarnya bahkan lebih terang, daripada saat lelaki itu menatapi kue lapis tadi.

"Jadi rupanya barang itu," katanya dengan tawa bangga  mengiringi. Pria itu menatap Sere.

"Abang maunya cemana? Aku ikut maunya Abang aja. Asal, tanggung jawab kau sama pilihanmu. Ngurus aja susah, aku enggak bisa sendiri."

Goklas menaruh alat tes itu ke atas tisu. "Biarkan aku jadi bapak, ya, Sere? Minta tolong, biarkan anak itu jadi punyaku." Ditatapnya sang istri penuh permintaan.

"Abang mau bantuin?" Sere memastikan. "Ngerawat anak, sama kayak tugas rumah. Bagi dua, bukan cuma tugasku, bagianmu bukan cuma cari uang untuk beli susunya."

Goklas mengangguk yakin, setuju. "Ajari aku," pintanya sungguh.

"Kalau nanti aku rewel, cemana?" Sere menyipit penuh ancaman.

"Nggak pa-pa. Biar aja dunia ini morat-marit." Goklas tertawa, kemudian menghadapkan tubuh pada Sere sepenuhnya. Ia tatap mata wanita itu penuh permintaan.

Sere mengangguk. "Okeh."

"Iya?" Goklas memastikan.

"Iyaaa."

Sere akhirnya bisa sedikit melepas tawa, sebab Goklas membungkuk, lalu menaruh kepala di kedua paha. Pria itu bahkan repot-repot mengucap terima kasih. Suaminya terlihat bahagia, yang entah kenapa berhasil membuat cemas yang Sere punya sedikit berkurang.

"Padahal, kukira enggak hamil. Orang perutku udah keram dua hari lalu." Sere bercerita, satu tangannya menepuk pelan punggung Goklas sudah berlutut di lantai, memeluk perutnya. Membuat Sere merasa agak mulas.

Ia terheran. Siapa pria ini, batinnya. Kenapa Goklas yang ini bisa bersikap manis?

Berdeham, wanita itu melanjutkan,  "Eh, sampai sekarang enggak datang juga. Ternyata hamil. Roman juga yang betul, ya?"

Goklas tidak menyahut. Pria itu sibuk mengusakkan pipi ke perut Sere. Mulai memikirkan apa saja yang perlu ia persiapkan.

Yang utama, Goklas harus mulai menurut pada Sere. Wanita itu akan mengajarinya bagaimana mengurus anak berdua. Jadi, sebisa mungkin Goklas harus mendengarkan sang istri.

Uang? Sudah pasti. Baju baru untuk Sere, itu juga perlu karena nanti tubuh sang istri pasti banyak berubah. Dokter kandungan yang bagus, Goklas juga harus mulai memaksa wanita ini makan makanan sehat lebih banyak.

Apa lagi?

Kamar. Di rumah ini hanya ada dua kamar. Satunya dipakai mereka, yang satu letaknya dekat kamar mandi, jadi dipakai jadi tempat menyimpan barang tak terpakai. Di mana anaknya nanti kalau sudah umur sepuluh tahun? Apa Goklas sudah harus mencari rumah baru? Yang kamarnya lebih banyak? 

Ah, Uli pernah menelepon untuk mengeluh mual dan hanya bisa makan biskuit. Apa Goklas sudah harus menyetok biskuit di rumah? Oh, nama. Ia juga harus mempersiapkan nama untuk anak mereka. Tunggu, bukankah sekarang Sere berjualan kue dari rumah?

Sepertinya Goklas harus memangkas waktu kerjanya agar bisa membantu pekerjaan di rumah. Mencuci piring, menyapu, mencuci pakaian,  bisa Goklas kerjakan. Namun, memasak? Tentu tidak. Masakan Sere yang enak.

"Abang!"

Si pria terperanjat, ia mendongak. "Apa?" tanyanya bingung.

"Melamun kau?" tuduh Sere. "Dari tadi dipanggil pun."

Goklas menggeleng. "Apa?" tanyanya lagi.

"Itu kuenya makan aja." Sere menggerakkan dagu ke arah kue yang tadi ditatapi suaminya penuh damba.

"Tapi punya orang?"

Sere mengulum senyum, lalu menggelengkan kepala. "Yang punya orang udah diambil tadi siang. Itu sengaja kubuat untukmu." 
Perempuan itu mengusap perut. "Kayaknya, anakmu ini hobi menipu kau, Bang," kelakarnya dengan ekspresi wajah tak setegang tadi.

Berdecak, tetapi Goklas tertawa setelahnya. Pria itu memotong kue di meja, kemudian memakannya. Ekspresi puas langsung terlihat di wajah saat kue lapis itu meleleh di mulut. Kue enak, di hari membahagiakan, batinnya. Ia tidak ulang tahun, tetapi kenapa hari ini mendapat hadiah?

Namun, kebahagian itu tidak bertahan lama. Perlahan hilang, ketika Sere buka suara.

"Ayo ke kos Roman?" ajak perempuan itu dengan wajah semringah. "Kita bagi tahu dia aku lagi hamil, sekalian kasih kue ini."

Goklas menelan kuenya segera. Tampangnya mendadak datar. Ingin sekali ia menolak ide tadi. Sudah di ujung lidah kalimat itu. Bahwa Roman baru angkat kaki dari rumah ini tiga hari, belum seharusnya mereka rindu atau datang mengunjungi. Pun, untuk apa ke sana dan membagi kue enak ini?

Namun, Goklas tak bisa suarakan itu semua.

"Ayo, Bang. Entahnya aku ngidam mau jumpa Roman?"

Kan? Dari celah mana lagi Goklas bisa menghindar jika kata 'ngidam' itu sudah diperdengarkan? Tentu saja tidak ada.

Goklas jadi sadar. Mungkin, beginilah hidup. Senang atau bahagia itu tidak selamanya. Namun, setidaknya kebahagiaan itu harus diperjuangkan.

"Besok aja, ya, Sere? Udah sore," kata Goklas berusaha memperjuangkan kebahagian. Malas sekali ia harus berbagi kue enak buatan istrinya dengan si adik.

"Kan!" Sere memekik marah. "Katamu biar aja aku rewel! Katamu, mau tanggung jawab! Katanya mau nurut samaku!  Kok permintaan sepele ini aja kau tolak?" Perempuan itu mulai mengomel sekaligus memasang wajah sedih. Bahkan, mengancam, "Pulang ajalah aku ke rumah bapakku?"

Yang membuat Goklas menarik napas panjang. Dipandanginya wajah istrinya, seraya memanjangkan sabar. Rupanya, ancaman pulang ke rumah bapakku itu bawaan bayi. Siap-siap saja Goklas harus mendengarnya terus-terusan selama sembilan bulan ke depan.

Menghela napas kesekian kali, Goklas berkata dalam hati, Selamat datang dunia yang morat-marit. 

 

TAMAT. 
 

 

post-image-67dc10539e804.png

 

Draft ceritanya Sere ini dibuat 25 November 2024. Ide awalnya tentang cewek Batak yang kepengin punya suami abang-abang Jawa yang terkenal sama soft spoken dan anti bentak-bentak. Tapi, dia malah harus nikah sama abang-abang Batak paket lengkap. Besar suara di situ, patriarki di situ, pun mereka sama-sama anak pertama.

Cuma, aku gagal ciptain karakter second lead si abang-abang Jawa itu. Malah, karakter Gio juga nggak ter-eksekusi dengan baik. Mohon maaf.

Judul awal cerita ini semasa masih jadi draft itu, Rolas Niro H, nama orang. Terus, aku ganti ke Adjusment, sampai akhirnya yang dipakai adalah Hari-Hari Sere dan akhirnya bisa selesai ditulis.

Yey!

Mari tepuk tangan untuk kalian semua yang berhasil sampai ke bagian ini. Kalian baik sekali. 💙💙

Jadi, per hari ini ceritanya Abang sama Sere udah selesai, ya. Perjalanan rumah tangga mereka yang banyak kerikil, badai, dan topan itu ditutup dengan kalimat,

"Selamat datang dunia morat-marit."

Lagi-lagi, dunia ini memang bukan tentang bahagia selama-selamanya. Harus naik, turun, tergelincir, tenggelam, terlempar, terombang-ambing, tercampak, sambil ketawa-ketawa.

Aku mau bilang makasih untuk semua yang membaca cerita ini. Kalau bukan karena kalian yang selalu baik kasih vote dan komentar, cerita ini bakal lama selesainya.

Untuk kalian yang merasa relate dengan beberapa bagian di cerita ini, khususnya soal praktek patriarki di sekitarnya, semangat, ya. Kalau bisa melawan, lawan. Kalau masih bisa diabaikan, abaikan. Kalau rasanya terlalu susah, pindah dari situ, cari tempat yang lebih baik.

Semoga sepanjang cerita ini, khususnya soal gimana Sere melawan sikap patriarki Goklas, kalian enggak merasa dihasut supaya jadi perempuan yang suka membantah. Sebisaku, lewat sikap Sere di cerita ini, aku mau tunjukkan kalau perempuan itu cuma akan melawan, kalau dia merasa diperlakukan enggak adil.

Perempuan, apalagi yang udah jadi istri, dia sadar kalau kodratnya harus ngikut suami. Tapi, kalau suaminya nuntun ke jurang, apa dia enggak boleh bersuara, kasih tahu kalau itu jalan yang salah? Kalau suaminya lebih milih ongkang-ongkang kaki, sementara dia banting-tulang, apa perempuan enggak berhak marah?

Itu aja. Jangan anggap aku menggurui, ya. Yang penting, untuk semua perempuan, belajar yang rajin, biar kalian pintar milih laki-laki. Harus bisa cari uang, biar enggak kalian bisa beli apa pun yang kalian mau. Harus baik hati, biar jadi ibu kebanggaan anaknya nanti.

Mohon maaf untuk semua kekurangan di cerita ini, ya.

Sekali lagi terima kasih sudah menemani Sere. Sampai ketemu di ceritaku yang lain, ya. Sehat selalu.

Oh, ya. Kemarin ada yang tanya visualnya Abang kira-kira siapa. Aku ada post di TikTok cast ala-ala. Tengok kalau senggang, ya. 
 

Medan. 20 Maret 2025.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Hari-Hari Sere
Selanjutnya HHS - Extra Part 1
50
3
Selamat datang di era Sere yang banyak mau. Selamat membaca, sehat selalu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan