
Happy reading!
BAB 4
Menutup pintu dari dalam kamar, Joash tak langsung memberikan penjelasan yang Rei minta. Laki-laki itu membawa si perempuan duduk di pinggir ranjang. Memulai dengan ciuman, lalu berakhir dengan olahraga.
Joash menjelaskan seraya membimbing Rei menjemput puncak. Ini rumah Viona, mereka tidak punya banyak waktu.
"Mereka percaya?"
Mereka sampai.
Masih tersengal, Rei membawa tubuhnya duduk. Ia melempar sorot penasaran pada Joash yang terduduk di karpet. Ia ingin tahu apa rencana pria itu mengelabui orangtuanya berhasil atau tidak.
Untuk sesaat, Joash memuji cepatnya Rei bisa berkonsentrasi dari efek yang baru saja mereka dapatkan. Pria itu mengangguk sebagai jawaban. Diam-diam memuji paras menawan perempuan di tepi ranjang.
Sadar dirinya ditatapi, Rei bertanya, "Kamu sudah selesai, Ash?" Ia ikut menurunkan pandang, ke arah dua mata Joash tertuju sejak tadi.
Senyum jenaka Joash muncul. Pria itu bangkit berdiri, menarik ke atas bawahan, memunggungi si perempuan.
"Aku sudah pesankan pakaian yang harus kamu kenakan saat bertemu Mama nanti. Sudah datang, ada di bawah. Kamu bisa siap-siap sekarang."
"Ada hal yang harus kulakukan dan tak boleh dikatakan saat bertemu Mama kamu nanti?"
Rei harus memastikan dirinya tak salah langkah. Ia butuh ini. Disetujui keluarga Joash, menikah. Angkat kaki dari rumah Reyan dan Sasa, tak menjadi penghalang untuk Nisa yang ingin segera bertunangan.
Joash menggeleng. Pria itu berbalik, memandang lurus pada dua mata Rei. "Apa pun pendapat Mama, aku tetap akan menikahi kamu. Bukan perempuan lain."
Membalas tatapan teduh itu, Rei jadi sedikit merasa bersalah. Apa ia terlalu jahat karena menipu lelaki baik seperti Joash? Namun, Rei tidak sepenuhnya berbohong, 'kan? Ia tak pernah mengatakan cinta. Joashlah yang menyimpulkan itu sendiri.
Demi mengelak dari rasa tak nyaman yang mulai membesar, Rei berinisiatif membalas kebaikan Joash barusan.
"Aku mau mandi."
"Di sana." Si laki-laki menunjuk kamar mandi yang berada di dalam ruangan itu.
"Kamu sudah mandi?"
Joash menggeleng. Ingin mengalihkan tatap, tetapi dua kaki polos Rei sungguh sayang untuk dilewatkan.
"Bersama?"
Joash menaikkan wajah. Senyumnya lebar, matanya berbinar. Gegas kakinya menghampiri Rei. "Jangan terlalu pengertian, Rei. Aku jadi senang."
***
Rei itu cantik. Seperti semua perempuan. Memang, bukan jenis kecantikan yang langsung membuat terpana di pandangan pertama. Namun, Joash sangat yakin jika Rei adalah yang paling cantik.
Jujur saja. Ketertarikan Joash Rei bukanlah karena kecantikan wajah. Melainkan bentuk tubuh. Sedikit aneh, Joash suka perempuan yang ukuran tubuhnya tipis. Bukan ramping dan menonjol di bagian seharusnya, tetapi yang benar-benar tipis, kurus, mirip sepeti orang kurang makan.
Rei demikian. Lengannya kecil, terlihat bisa saja patah sewaktu-waktu jika terkena hantaman. Pinggangnya hanya tiga kali jengkal tangan perempuan itu. Pinggulnya, luar biasa menggairahkan. Lumayan tinggi dan kakinya bagus. Panjang dan kurus, membuat Joash ingin sekali menyentuh atau meremasnya.
Tak menyangka akan menemukan tipenya, di pertemuan pertama Joash mantap menjadikan Rei kekasih. Tidak rugi sama sekali. Perempuan itu benar-benar cantik, seperti yang Joash mau.
Pergi kencan beberapa kali, Joash selalu melihat Rei mengenakan celana panjang atau rok pendek. Bukan penampilan demikian tidak menawan, tetapi Joash tetap penasaran. Ia ingin tahu bagaimana bentuk perempuan itu ketika mengenakan gaun.
Karena itu, hari ini lelaki itu memesan satu gaun berwarna krem dari butik ibunya. Lengkap dengan sepasang sneaker, sesuai selera Rei. Dan ya, Joash tak menyesal sudah membeli pakaian tadi. Sebab Rei yang sekarang muncul di hadapannya sungguh memesona.
"Aku enggak mungkin pakai kaus dan jaket kemarin, 'kan? Seaneh itu sampai kamu enggak berhenti lihatin?" Rei menyesal pada Joash. Dirinya dalam balutan pakaian perempuan feminim ini pasti amat mengerikan.
Joash berdeham. Berusaha mengatur mimik agar tak terlihat terlalu bodoh. "Kamu tahu apa yang ada di pikiranku sekarang, Rei?"
"Apa?" Rei menyisir helai rambut setengah basahnya dengan jemari.
"Polos. Kamu benar-benar kayak perempuan polos yang lemah, lembut dan pengin aku polosin dengan kasar."
Tanpa riasan, wajah putih Rei bersinar dengan lazim. Bulu matanya yang tak lentik, tetapi panjang dan lurus membuat perempuan itu semakin menawan saja. Dress dengan lengan sesiku, warnanya sempurna di kulit Rei. Panjangnya hanya selutut pas, Joash benar-benar berpuas hati pada pilihannya. Entah itu gaun atau si pemakainya.
"Itu pujian atau bukan?" Rei yang tak paham memutuskan bertanya.
"Bukan. Itu cuma pendapat." Joash merangkul pinggang Rei. Mendaratkan beberapa ciuman di bibir perempuan itu. "Kamu benar-benar jatuh cinta sama aku, 'kan, Rei?"
"Menurut kamu?"
Joash menempelkan bibir mereka agak lama, lalu kemudian berdiri tegak. "Harus. Biar aku bisa sesuka hati sama kamu. Dan kamu enggak akan pergi dengan pria lain."
Mengangguk saja, Rei membebaskan Joash memikirkan dan melakukan apa saja. Selama ia dinikahi, semua juga boleh.
"Aku bantu keringkan rambut. Habis ini, kita foto di halaman belakang. Ada banyak bunga untuk jadi background, sekalian aja untuk foto di undangan."
Awalnya, Rei kira ucapan Joash tadi hanya asal terlontar. Nyatanya, pria itu sungguh ingin mereka berfoto.
Di halaman belakang rumah kakaknya Joash itu, ada sebuah taman. Tidak besar, tetapi asri. Rumputnya hijau, banyak bunga. Ada satu kolam renang dan satu kolam kecil berisi ikan koi.
Joash mengajak Rei berdiri di pinggir kolam ikan, di belakang mereka banyak mawar yang sedang bermekaran. Kata Joash, spot yang tepat untuk mengambil gambar.
"Yang bagus. Ini untuk ditaruh di undangan." Joash merapikan kemeja hitam yang lengannya ia gulung hingga siku. Pria itu bicara pada Naka barusan.
"Sewa fotografer!" ketus Naka seraya menaruh kamera di depan wajah. "Cepat sedikit. Atur gaya sendiri, aku tak mau repot mikir."
Biasa saja, yang terlintas di otaknya saja, Joash membuat dirinya dan Rei berdiri berhadapan. Dekat, saling menatap tepat di mata.
"Satu." Naka berhasil mengabadikan momen itu.
"Memang di undangan harus ditaruh foto, Ash?" Rei menurut saja kala Joash memintanya mengalungkan tangan di leher.
"Belum pernah bikin undangan nikah, ya?" goda Joash. Ia tersenyum.
Di balik lensa kamera, Naka cukup heran akan ekspresi itu. Bukan senyum mengejek atau nakal, Joash terlihat seperti benar-benar bahagia. Ia mengambil gambar itu.
"Aku kan memang baru nikah satu kali."
"Memang rencana mau berapa kali?"
"Bolehnya berapa kali?"
"Jangan ngobrol!" Naka berteriak. Mulai kesal karena sungguh keintiman di sana tampak hangat sekali. Padahal, calon pengantin ekspres itu hanya bicara.
"Sepuluh kali boleh, tapi sama aku semua."
Candaan garing, tetapi Rei berusaha menghargai. Perempuan itu tertawa pelan.
Joash sudah pernah bilang jika yang paling disukainya dari Rei adalah bibir perempuan itu, 'kan? Berisi dan selalu terasa lembut. Pikir Joash, mengecup bagian itu adalah yang paling mengasyikan. Ternyata, ada yang sama menyenangkannya dari itu. Melihat Rei tertawa seperti barusan.
Kali ini Joash akan mengatakan bahwa Rei adalah yang paling cantik di dunia, versinya. Tawa dan lengkungan bibir perempuan itu mampu membuatnya merasakan debar halus yang memabukkan. Sebentar saja, Joash sudah dibuat ketagihan.
Laki-laki yang masih terpesona itu meraih dua sisi wajah Rei. Menghapus semua jarak di antara mereka, agar ia bisa merasakan bentuk lengkung bibir Rei di bibirnya.
Hanya ciuman lembut, tetapi penuh rasa. Joash dibuat kebingungan akan sensasi aneh yang berasal dari rongga dada, lalu menjalar ke seluruh tubuh. Mengisi tiap nadi di raga, menjadikan Joash merasa kesan utuh di jiwanya.
Ia lengkap. Yang dicari sudah ditemukan. Joash mendapat tujuan baru dalam hidup. Senyuman dan tawa Rei.
BAB 5
Bianca menatapnya lama, Rei berusaha tidak terintimidasi. Pada Nia, anaknya Viona dan Naka, ia berikan seluruh atensi. Menyuapi gadis berusia enam tahun itu makan bubur kacang hijau.
Mereka sedang di ruang makan sekarang. Mamanya Joash sudah datang dan sejak tiba tadi, tak berhenti memandanginya. Sepertinya sedang meneliti ada beberapa banyak kuman atau parasit yang menempel di kulit wajah Rei.
"Tante tinggal di mana?" Nia bertanya, memecah hening yang mengisi meja makan.
"Jauh dari sini. Kenapa Nia tanya?" Rei mengusap noda di ujung bibir Nia dengan ibu jarinya.
"Bukan di rumah Om Joash? Katanya Om, Tante itu istrinya."
Viona memanggil salah satu asisten rumah tangganya. Meminta agar Nia diajak sarapan di halaman belakang. Sang ibu sudah memberi kode, artinya mereka sudah akan masuk ke tahap inti.
"Berapa usia kamu?" Bianca menatap saksama pada perempuan di samping Viona.
"Dua puluh tujuh, Buk," jawab Rei. Ia melirik sekilas bubur miliknya yang belum sempat disentuh.
"Biarkan Rei makan dulu, boleh? Dia belum makan apa-apa."
Kalimat Joash sekali lagi membuat Rei merasa otaknya benar-benar licik. Tanggap sekali laki-laki itu. Bayangkan jika Rei bisa mengendalikannya setelah menikah nanti. Surga dunia namanya.
"Kamu mau sarapan dulu?" Bianca tak ingin memberi kesan kejam.
"Lanjutkan saja, Buk." Saat ini bersikap layaknya korban adalah yang terbaik.
Bianca setuju. Ia lantas meminta Rei berdiri di sampingnya. Meraba pinggang dan bokong perempuan itu. "Kamu belum hamil, 'kan?"
Rei menggeleng.
"Sudah tidur dengan Joash, 'kan?" Terang-terangan wanita itu bertanya. Ia sudah dengar semua dari Viona. Sebenarnya tak diberitahu pun, ia bisa membaca keadaan. Joash tak mungkin selengket ini, jika belum mendapat apa-apa. Sejatinya laki-laki memang demikian.
Kali ini Rei hanya menunduk. Mengelak bukan rencananya. Harus terkesan sejujur mungkin.
"Bisa hamil kamu dengan pinggul sekecil itu? Sudah berbagi hormon dengan Joash pun, kamu masih sangat kurus. Sudah berapa kali kalian berhubungan?"
Rei tidak tahu apa hubungannya dua hal tadi. Namun, pertanyaan terakhir, ia memang tak ingat.
"Sebelas." Dari kursinya, Joash menyahut tanpa mengangkat wajah.
"Kamu hitungin?" Viona mendelik ngeri. Tak menyangka adiknya yang selama ini menjaga jarak dengan perempuan, ternyata punya kebiasaan yang aneh.
Ini sebenarnya keluarga seperti apa? Rei bertanya dalam diam. Membicarakan hal privasi begitu di ruang makan? Rei mulas dan nyaris muntah.
"Tubuh saya juga selangsing kamu dulunya. Dan ya, saya bisa punya anak. Dua." Sorot mata Bianca tak setajam tadi.
"Sekarang masih langsing, Mam." Naka menyahut dari kursinya. Dihadiahi si mertua senyuman.
Bianca membuat Rei duduk di kursi sebelahnya. Mengambilkan bubur baru dan menghidangkannya di depan perempuan itu.
"Kenapa mau menikah dengan Joash? Dia itu perjaka tua. Usianya sudah 34 tahun."
"Udah enggak perjaka, tolong diralat." Joash meneguk air dari gelas. Ia sudah selesai dengan sarapan. Saatnya menontoni Rei.
"Jangan bilang kamu jatuh cinta. Itu sangat tak mungkin." Naka mendapat cengiran hampa dari Joash atas ucapan itu.
"Karena dia tampan?" Bianca yang tak sabar menebak.
Rei mengangguk.
"Uangnya lumayan?"
Lagi, yang ditanyai menaik turunkan kepala.
"Lalu?"
"Aman." Rei mengangkat wajah. Memasang mimik setenang mungkin menghadapi tatapan ingin tahu wanita di sampingnya.
"Aman?" Viona membeo.
"Kalau saya bertemu Joash, saya merasa tak perlu mengkhawatirkan apa pun. Enggak ada manusia yang sempurna, yang mampu jadi pahlawan di setiap keadaan. Tapi, kalau bersama Joash, saya merasa apa pun akan bisa kami selesaikan. Dia pasti akan berusaha mengupayakan segala hal."
Bianca tercenung, Sungguh. Ia tak menyangka anaknya akan dipandang demikian oleh orang lain.
Joash itu nakal. Dia laki-laki dan bungsu. Setiap bulan pasti berulah di sekolah. Tidak serius, hingga alih-alih ikut mengurusi usaha keluarga, Joash justru memilih membuka usaha warnet dan hidup dari sana.
Anak itu mampu membuat perempuan merasa aman?
Hening menyelimuti ruangan itu cukup lama, sampai akhirnya Joash angkat suara.
"Tolong, intrograsinya dipercepat. Aku udah enggak sabar pengin cium seseorang." Joash menggigit bibir gemas. Matanya sama sekali tak berpindah dari Rei.
"Yang lain?" Bianca masih belum ingin mengakhiri ini.
"Apa Ibuk ingin saya mengabsen baiknya Joash menurut pendapat saya?"
Cantik sekali perempuan di sana, Joash tak berhenti tersenyum di kursinya.
"Satu lagi saja. Mengapa kamu ingin menikahi Joash?"
"Dia terlalu asal-asalan. Misal, kami pernah pergi jalan-jalan. Joash habis dari warnetnya dan mengambil uang dari sana. Cukup banyak, sekitar 20 juta, tunai. Bukannya menyimpan uang itu terlebih dahulu, ia malah membawanya bersama kami. Saya rasa dia butuh partner untuk mengingatkan hal-hal sepele semacam itu."
Bianca mengangguk puas. Ia menoleh pada anaknya. "Kamu bawa dia ke Mama bukan mau minta restu, 'kan?"
"Bukan. Hanya memperkenalkan."
"Kapan kamu ingin menikah?"
"Kalau sore ini Mama bersedia ikut ke rumah orang tua Rei, seminggu setelah besok aku mau pernikahan kami sederhana saja."
Rei tergagap mendengar itu. Ia membulatkan mata pada Joash yang malah melempar senyum.
Mengangguk-angguk lagi, Bianca mengetukkan telunjuk ke meja satu kali. "Oke. Sore ini kita ke rumah orang tua Rei. Tapi, setelah ini kamu harus antar Rei pulang."
"Good!" Joash mengembangkan senyuman lagi. "Cepat habiskan sarapanmu, Rei."
Belum terlalu jauh mencerna apa yang terjadi, Rei malah diinterupsi bersinnya sendiri. Satu keluarga tergelak, kecuali dirinya.
Bianca mengelus puncak kepala Rei. Air mukanya lebih bersahabat sekarang. "Semoga, penantian lama Joash tidak sia-sia. Semoga, memang kamu yang ia tunggu selama ini."
Kalimat aneh yang ditutup dengan kecupan di kepala itu membuat Rei benar-benar terkejut. Ia diterima? Bianca setuju padanya? Benarkah ia seberuntung ini?
BAB 6
Rei membawa tubuhnya duduk. Kepala perempuan itu terasa amat pusing. Suhu tubuh tinggi. Terlalu malas untuk turun dari ranjang dan keluar dari kamar.
Di luar sana, sayup-sayup Rei mendengar suara beberapa orang. Ia mengenalinya. Joash, Bianca dan Naka.
Setelah diantar pulang oleh Joash tadi pagi, Rei merasa tubuhnya terasa tak nyaman. Karenanya, setelah berganti pakaian dan menerangkan rencana pernikahannya dengan Joash pada Reyan dan Sasa, ia putuskan untuk tidur. Niatnya hanya sebentar, malah bablas hingga malam hari.
Bukannya membaik, demamnya malah makin parah. Bagus juga sebenarnya. Rei punya alasan untuk tak bergabung dengan keluarga dan keluarga Joash. Biarkan saja mereka bicara sampai puas. Yang penting buat Rei hanya menjadi istri Joash.
Pintu yang Rei punggungi berderit, perempuan itu memejam. Langkah kaki terdengar mendekat.
"Rei? Masih tidur kamu?"
Joash yang datang. Sepertinya, pria itu benar-benar sudah direstui. Joash bahkan sudah diperbolehkan masuk ke kamar ini.
Bergeming, Rei membuat dahinya berkerut. Ada sentuhan di lengan, lalu telapak tangan di dahi.
"Astaga. Sakit. Rei? Kamu bisa dengar aku?"
Sakit. Satu ide terbersit begitu saja. Agar tak perlu ikut repot dalam persiapan pernikahan, sakit agaknya adalah alasan yang tepat. Bagus. Rei hanya perlu memperparah demamnya.
Perempuan itu membuka mata perlahan, pura-pura terkejut atas kehadiran Joash, lalu membalik badan.
"Ini jam berapa, Ash?" Syukur sekali suara Rei bisa separau itu. Mendukung.
"Sejak kapan kamu demam? Kenapa enggak ke dokter?" Air muka Joash yang semula semringah berubah sedikit mendung.
"Kamu kapan datang? Mamamu ikut? Kenapa aku malah ketiduran?" Berusaha duduk, bahu Rei didorong si lelaki agar kembali berbaring.
"Di sini aja. Nanti aku bilang ke mereka kalau kamu sakit."
"Aku enggak mau ada yang tertunda cuma karena aku demam, Ash. Aku kuat jalan. Cuma pusing sedikit."
Kembali Joash membaringkan Rei. Pria itu meringis melihat wajah pucat calon istrinya. Ia membungkuk, lalu memberi kecupan hangat di bibir Rei.
"Kita ke dokter, ya?"
Karma. Pura-pura sakit, Rei malah merasa pandangannya mengabur. Suara Joash menjadi samar-samar, lalu tak jelas.
"Ash?" panggilnya seraya menggapai lengan pria itu. "Ash." Lalu perempuan itu jatuh tak sadarkan diri.
***
Kelelahan dan banyak pikiran.
Perkataan dokter membuat Joash menyesal. Rei yang terbaring lemah seperti sekarang adalah karena ulahnya. Pasti karena malam saat mereka datang ke rumah Viona.
Di mobil, Joash ingat bagaimana ia sangat bersemangat melakukannya dengan Rei. Ditambah pagi harinya, lalu di kamar mandi.
Di samping ranjang rawat yang dihuni sang kekasih, Joash menatap sedih pada punggung tangan Rei yang dipasang jarum infus. Kata dokter, calon istrinya itu butuh dirawat beberapa hari, apalagi, mereka akan menggelar acara pernikahan yang tentunya menguras tenaga.
"Ash?"
Panggilan lirih itu Joash tanggapi dengan senyuman. Senang sekali melihat akhirnya Rei membuka mata.
"Kenapa aku di sini?"
Joash meraih jemari Rei. "Kamu perlu dirawat beberapa hari. Katanya, kamu banyak pikiran. Mikirin apa memangnya? Aku?"
Bibir pucat Rei melengkung. "Maaf. Bukannya bantu kamu menyiapkan pernikahan, aku malah menambah masalah."
"Aku bisa handle. Pernikahan kita juga bukan yang mewah. Cuma upacara nikah, terus resepsi malam harinya. Aku bisa. Jangan cemas."
Rei tersenyum lagi. Kali ini sungguh karena ia merasa puas. Perempuan itu membelai pipi Joash. "Belum apa-apa, aku udah buat kamu repot, Ash."
"Bukan masalah, Rei. Siapa yang mau sakit memangnya?"
Lama menatapi wajah itu, Rei meminta Joash mendekat. Mendaratkan satu kecupan di pelipis pria itu. "Aku bantu sebisa mungkin dari sini."
"Kamu cuma perlu sembuh, Rei. Aku cuma perlu kamu sehat."
"Biar apa?"
"Biar bisa dibuat capek pas habis resepsi." Joash tertawa setelah beberapa jam sebelumnya hanya memasang wajah khawatir.
***
Reyan dan Sasa sudah setuju. Undangan sudah disebar. Tempat pemberkatan sudah dipilih. Gedung untuk resepsi juga sudah dipesan. Katering, penata rias, akomodasi keluarga dan pakaian seragam juga sudah ditentukan.
Laporan itu Rei terima saat ia kembali pulang ke rumah. Di atas ranjang, perempuan itu berbaring, sedangkan sumber berita, Joash, tampak sedang melepas kancing kemeja.
Rei benar-benar bingung mengapa dirinya semujur ini. Semua terjadi sesuai dengan apa yang diinginkan. Rei bahkan tak perlu repot mengurusi pernikahannya sendiri. Dua hari belakangan hanya sibuk berbaring dan tidur-tiduran di ranjang rumah sakit.
"Baju aku, Ash? Aku belum diukur sama penjahitnya."
Joash mengulas senyum di wajah lelahnya. "Sudah, Rei. Kemarin, aku datang dengan salah seorang pegawai butik Mama. Waktu kamu sedang tidur."
Mengangguk saja, perempuan itu memandangi wajah calon suaminya. Tak terasa, tinggal hitungan hari dan mereka akan menjadi suami-istri. Mimpi apa Rei bisa mendapatkan lelaki sesempurna Joash? Dirinya memberikan apa pada pria itu hingga diberi begitu banyak?
"Capek, Rei," adu si lelaki.
Rei menggeser tubuh ke kanan, menyisakan sisi kosong. "Kasurnya enggak seempuk punya kamu tapi," ujar perempuan itu seraya menepuk spasi kosong tadi.
Memang itu yang ia tunggu, Joash merebahkan tubuh ke sana. Menarik napas, lalu membuangnya pelan-pelan. Ia miring ke samping agar bisa melingkarkan tangan di perut Rei.
"Pegawai warnet yang dekat SMA Harapan resign. Aku harus gantikan dia beberapa hari ke depan, sampai dapat pengganti."
"Kenapa dia berhenti?"
"Sudah lulus kuliah. Katanya, mau cari pengalaman baru."
"Kamu yang menggantikan untuk sementara?"
Kepala Joash yeng berada di bahu Rei bergerak naik-turun.
"Kamu yakin? Enggak jaga di sana aja, jam tidur kamu berantakan, Ash. Main gim, pergi sama teman-teman kamu, karokean dan main futsal."
Mendengar penuturan Rei, bibir penuh Joash melengkung. "Kamu hafal jadwal aku? Memang secinta itu sama aku, Rei?"
"Hm." Rei menjawab sekenanya. "Cari pegawai untuk warnet susah, ya, Ash?"
"Tergantung, sih. Kadang mudah, kadang sulit. Kalau pun banyak yang apply lamaran, sebagian besar kadang kurang bisa meyakinkan aku. Kamu tahu instingku kuat dan selalu benar, 'kan?"
Mengamini dengan anggukan, Rei menertawakan kesombongan pria itu diam-diam. Joash memang sering bercerita, bahwa saat sedang melakukan seleksi pegawai, maka pria itu lebih banyak menggunakan intuisi daripada melihat rekam jejak pengalaman yang tertera di CV. Namun, agaknya, itu hanya bualan. Jika memang demikian andal, mengapa Joash masih belum menyadari niat Rei?
Hening menyelimuti ruang tidur Rei cukup lama. Perempuan itu pikir lelaki di sampingnya sudah tidur, hingga tangan tanpa sungkan mengusap kening dan rambut Joash.
"Dibelai-belai gini, kenapa rasanya enak, ya?"
Rei sedikit menunduk untuk bisa menengok wajah kekasihnya. Ternyata belum terlelap. "Aku pikir udah tidur." Ia hendak menjauhkan tangan, tetapi ditahan Joash.
"Rei, nanti, kita tinggal di rumah aku yang dekat sama warnet yang sekarang aku jaga, ya?"
Ada kerutan di dahi Rei. Rumah yang mana? Jadi, rumah yang selama ini kerap mereka datangi bukan satu-satunya milik Joash?
"Kamu punya rumah lain?"
Lelaki itu mengangguk. "Dekat sama tempat yang aku jaga sekarang. Dekat SMA Harapan."
"Kenapa di situ? Ada yang spesial?"
"Lebih kecil. Satu lantai, tiga kamar. Ada halaman belakang." Joash mendongak untuk mencari tatapan Rei. Perempuan itu terlihat biasa saja. "Rumah yang lebih kecil, kamu keberatan?"
"Muat untuk aku tidur, 'kan? Ada kamar mandi? Kakus? Kalau ada, berarti aman." Rei menangkap ada rasa ingin tahu di cara Joash menatap. Jadi, ia mencoba bersikap biasa saja.
"Tempat tidurnya kecil. Cuma cukup untuk satu orang. Nanti, kamu tidur di atas aku aja. Atau aku yang di atas kamu." Dengan cepat keinginannya disetujui, tanpa banyak pertanyaan, Joash mana bisa tidak senang.
Lawakan menjurus itu Rei tanggapi dengan gelengan seolah geli. Namun, beberapa detik kemudian, ia mencuri satu ciuman dari bibir Joash. "Maaf, ya. Tenagaku masih belum banyak. Kalau kamu enggak keberatan ma--"
Joash menghentikan bibir Rei berucap. Gantian, ia yang mengecup perempuan itu. "Ini cukup, Rei. Pikirmu aku sejahat itu? Lagipula, ini rumah kamu. Orang tua kamu akan menganggap aku apa?"
Rei sengaja tidak berkedip untuk beberapa saat.
"Kenapa? Apa? Kenapa lihatin aku begitu?"
"Aku ... Aku ...."
"Kamu secinta itu sama aku? Paham. Paham aku, Rei." Tawa Joash mengudara. Terdengar ringan dan riang. Menunjukkan betapa pria itu sangat bahagia.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
